02 January 2024

REGRESI DEMOKRASI

 ~~~ M. Syafi'ie

Beberapa topik pada debat calon presiden (capres) masih ramai diperbincangkan. Salah satunya, pernyataan capres Anies Baswedan yang mengungkap bahwa kebebasan berpendapat dan indeks demokrasi di Indonesia menurun. Bahkan, pemerintah dinilai kerap menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk memidanakan pihak-pihak yang mengkritisi kekuasaan.



Pernyataan itu menjadi diskusi menarik di kalangan komunitas, bahkan kedua kubu beradu data perihal kondisi demokrasi di Indonesia. Partisan Anies misalnya merujuk pada data indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan bahwa skor indeks demokrasi di Indonesia tergolong cacat (flawed democracy).

Skor indeks demokrasi Indonesia bisa dikatakan tidak full democracy, tetapi belum jatuh pada skor hybrid regime dan authoritarian. EIU dikelola Economist Group yang rutin menilai kondisi demokrasi di ratusan negara dunia yang didasarkan pada lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Pada sisi yang lain, partisan pemerintah yang diwakili Prabowo Subianto merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa tingkat demokrasi di Indonesia masuk dalam kategori baik. Bahkan, menurut BPS, indeks demokrasi Indonesia (IDI) selama tiga tahun terakhir mengalami kenaikan sejak 2020. IDI sendiri merupakan angka yang memperlihatkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia yang substansi, metode, dan pelaksanaan olah datanya dijalankan secara kolaboratif oleh BPS, Bappenas, Kemenko Polhukam, Kemendagri, serta pemerintah daerah.

Data siapakah yang paling benar? Sebagai pembaca yang kritis, tentu kita akan melacak lebih detail dan memaknai secara substantif kualitas demokrasi yang dirasakan langsung oleh rakyat hari ini. Apalagi, menurut V-Dem Institute dalam Democracy Report 2023, sebanyak 43 persen jumlah populasi dunia saat ini hidup di negara-negara yang mengalami kemunduran demokrasi.

Bahkan, tingkat demokrasi secara global pada 2022 terdegradasi ke level yang sama dengan demokrasi pada 1986. Situasi itu ditandai, antara lain, dengan represivitas pemerintah terhadap masyarakat sipil, kebebasan berekspresi menurun, meningkatnya sensor pemerintah terhadap media, dan memburuknya kualitas pemilu. Indonesia dalam 10 tahun terakhir menurut laporan itu juga mengalami penurunan demokrasi bersama negara-negara Asia-Pasifik yang lain seperti Kamboja, Afghanistan, India, Bangladesh, Hongkong, Myanmar, Filipina, dan Thailand.

Substansi Demokrasi

Secara kebahasaan, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti pemerintahan dan kratos yang berarti rakyat. Demokrasi dapat dimaknai sebagai pemerintahan rakyat yang dalam makna lain diartikan sebagai daulat rakyat dalam pemerintahan suatu negara. Cara pandang kedaulatan rakyat merupakan antitesis dari konsep negara yang dikuasai secara tunggal oleh raja, pemimpin agama, dan atau bentuk pemerintahan yang dijalankan dengan cara tiran, aristokrasi, dan atau oligarki.

Demokrasi setidaknya memiliki tiga nilai prinsip, yakni keadilan, kesetaraan dan persamaan hak, serta kebebasan dan kemerdekaan. Secara konseptual, demokrasi bisa dibaca secara substantif dan prosedural. Demokrasi substantif menghendaki demokrasi secara hakiki, yaitu demokrasi dinilai tegak dengan nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat berdaulat dengan sesungguhnya. Kehidupan sosial bernegara memperlihatkan budaya saling menghormati, toleransi, anti kekerasan, serta tumbuhnya kebijakan yang berkeadilan sosial yang berdampak pada kesejahteraan yang merata.

Sementara itu, demokrasi prosedural menghendaki demokrasi pada level prosedur. Yaitu, adanya aturan atau prosedur formal yang mengandung nilai-nilai demokrasi yang aturannya bersifat nondiskriminasi, imparsial, dan independen.

Pertanyaan Kunci

Merujuk pada konsep demokrasi, apakah negara Indonesia sudah memenuhi kualifikasi sebagai negara demokrasi dan bagaimana kualitasnya? Secara konstitusional, Indonesia memilih demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Pertanyaan pentingnya lebih pada kualitas demokrasi itu sendiri, yaitu sejauh mana kedaulatan rakyat dijaga dan dihormati oleh penyelenggara pemerintahan? Seberapa jauh aktivitas dan keputusan politik pemerintahan melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan? Dan, sejauh mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum?

Pertanyaan tersebut seiring dengan situasi keprihatinan terkait semakin renggangnya hubungan rakyat dengan wakil-wakil rakyat dan semakin renggangnya hubungan rakyat dengan pemerintahan yang dalam banyak hal mengesahkan regulasi yang tidak sejalan dengan pikiran dan tuntutan rakyat. Regulasi yang dikritisi misalnya UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU Ibu Kota Negara (IKN), dan beberapa regulasi lain yang proses pembuatannya minim partisipasi dan secara substansi mempertebal aristokrasi dan oligarki yang menggerogoti pemerintahan.

Catatan lainnya terkait demokrasi Indonesia saat ini ialah semakin menguatnya intervensi kekuasaan terhadap kebebasan berpendapat dan pada sisi yang lain terjadi kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia. Amnesty International misalnya mencatat bahwa sedikitnya 328 kasus serangan fisik dan digital terjadi dan setidaknya 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022. Beberapa aktivis pembela demokrasi dan HAM, di antaranya Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, saat ini sedang diadili karena mendiskusikan hasil penelitian kasus Intan Jaya. Ada banyak kasus kriminalisasi yang kita bisa baca menjadi pertanda buruknya sistem demokrasi saat ini. Demokrasi Indonesia mengalami regresi, melorot, dan mundur yang hampir menyerupai represi rezim Orde Baru. (Dimuat di Koran Jawa Pos, 21 Desember 2023)

13 October 2023

KORBAN UU ITE

 ~~ M. Syafi'ie

Pasal karet UU tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE) memakan korban lagi. Terbaru, pedagang di Bogor Bernama Wahyu Dwi Nugroho dilaporkan ke kepolisian karena mengkritik larangan berbelanja di warung-warung sekitar majelis pengajian dalam akun tik-toknya. Kasus ini telah berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.



Pada tahun ini juga, seorang buruh di Jakarta Bernama Septia Dwi Pertiwi dilaporkan oleh atasannya dengan dugaan pencemaran nama baik karena ia berkeluh kesah terkait pengalaman kerjanya di media sosial. Atasan Septia merasa namanya tercemar akibat cerita yang dibuatnya di media sosial. Kasus lain menimpa Susi Ikhmah warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik karena menceritakan pengalamannya tertipu oleh penggadai mobil. Mobil yang Susi terima ternyata milik tempat penyewaan bukan milik penggadai yang sejak awal berinteraksi dengannya. Susi Ikhmah merasa tertipu oleh pihak penggadai dan kemudikan menuliskan pengalamannya di media sosial.

Selain tiga kasus di atas, puluhan kasus lain yang kita bisa baca setiap tahunnya akibat ekses pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. Masyarakat sipil telah mendesak sedemikian rupa agar ada perbaikan dan bahkan ada yang menuntut pencabutan Undang-Undang bermasalah ini. Sebagai respon desakan publk, Kapolri, Jaksa Agung, serta Menteri Komunikasi dan Informatika telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang harapaannya tidak memunculkan mutitafsir di kalangan penegak hukum. 

Pada kasus WDN yang dijerat Pasal 28 ayat (2) misalnya, fokus pasal ini diartikan oleh SKB pada perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan.

 

Menunggu Revisi

Desakan masyarakat sipil terhadap revisi bahkan pencabutan UU ITE terasa kencangnya pada tahun lalu. Pemerintah kemudian mengupayakan dua jalan, pertama, membuat SKB tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua, revisi terbatas terhadap UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya pertama telah selesai dilakukan tetapi tidak berjalan maksimal karena dalam praktik masih banyak laporan dan kemudian tetap diproses oleh aparat penegak hukum. Masalahnya terletak pada norma dalam UU ITE, dan pada sisi yang lain SKB dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dibanding Undang-Undang.

Saat ini, pemerintah menjanjikan revisi kedua atas UU ITE. Besar harapan ada pembahasan substantif terhadap beberapa pasal karet yang termuat dalam UU ITE, antara lain terkait pasal penyerangan kehormatan seseorang, pencemaran nama baik, penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan pada individu dan kelompok berdasar etnis, pihak-pihak yang dapat melaporkan, dan beberapa yang lain. 

Substansi dalam UU ITE sebagian sudah diatur dalam Undang-Undang yang lain seperti KUHP dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lebih dari itu, revisi kedua UU ITE ini harapannya lebih menjamin penghormatan hak-hak ekspresi dan berpendapat warga negara tanpa ancaman kriminalisasi yang berlebihan. Apalagi ekspresi dan pendapat masyarakat tersebut muncul sebagai sikap kritis untuk mengungkap kebenaran, kenyataan, dan fakta dari ketimpangan sosial yang terjadi. [Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, 12 Oktober 2023)

15 June 2022

Rethingking Komisi Nasional Disabilitas (KND): Kritik dan Idealita Lembaga Negara Independen

 ~~ M. Syafi'ie


Komisi Nasional Disabilitas (KND) adalah lembaga negara nonstruktural yang bersifat independen. Lembaga negara ini dibentuk untuk mengawal pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yang secara umum telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabiltitas. Namun demikian, keberadaan lembaga negara ini dipermasalahkan sangat serius oleh komunitas penyandang disabilitas karena lembaga ini dinilai berada di bawah kekuasaan pemerintahan, dikendalikan oleh Kementrian Sosial, dan dianggap tidak sejalan dengan konsepsi ideal lembaga negara independen.



A. Pendahuluan

Pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa kaum difabel hampir terjadi di semua lini.  Hak pendidikan, hak kesehatan, hak keadilan hukum, hak politik, hak bebas dari stigma negatif, hak aksesibilitas, hak atas layanan publik dan beberapa hak yang lain masih ditemukan bermasalah cukup serius. Difabel berada di garis kerentanan yang serius dibandingkan dengan kelompok-kelompok rentan yang lain. Difabel selalu beririsan dengan kemiskinan dan keterbelakangan, akibatnya posisi difabel berada di area yang sangat marginal dalam bangunan struktur sosial kemasyarakatan. 

Konteks kerentanan difabel mendorong pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dimana dalam pertimbangannya dikatakan bahwa sebagian besar difabel di Indonesia berada dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau/miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak-hak difabel. Untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi difabel menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan sebuah peraturan perundangan yang menjamin pelaksanaannya.  Dalam hal ini pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan juga telah meratifikasi Convention on The Rights of Persons With Disabilities (CRPD) lewat Undang-Undang No. 19 Tahun 2011.

Dalam perundang-undangan tentang penyandang disabiltias diatur dengan cukup baik cakupan hak yang melekat pada difabel dan menjadi tanggungjawab negara untuk memastikan pemenuhannya, antara lain hak hak hidup, hak bebas dari stigma, hak privasi, hak keadilan dan perlindungan hukum, hak pendidikan, hak pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, hak kesehatan, hak politik, hak keagamaan, hak keolahragaan, hak kebudayaan dan pariwisata, hak kesejahteraan sosial, hak aksesibilitas, hak pelayanan public, hak perlindungan dari bencana, hak habilitasi dan rehabilitasi, hak konsesi, hak pendataan, hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam kehidupan masyarakat, hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak berpindah tempat, hak bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaraan, penyiksaan dan eksploitasi, hak perempuan dengan disabilitas, serta hak anak dengan disabilitas.

Membaca jaminan hak yang diatur dalam perundang-undangan disabilitas, terlihat sudah sudah cukup memadai dan meliputi cakupan hak yang sedemikian luas baik dari sisi hak sipil dan politik, maupun dari sisi hak ekonomi, sosial dan budaya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengawal dan memastikan pemenuhan hak difabel yang sedemikian lengkap itu? Merujuk pada Undang-Undang 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ada beberapa cara yang digunakan antara lain : pemerintah pusat dan daerah wajib melakukan perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi tentang pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabiltitas yang kemudian dirumuskan dalam rencana induk (Pasal 27 ayat 1 dan 2); Pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di beberapa instiitusi; Pembentukan Mekanisme Koordinasi Nasional dan Daerah dalam rangka melaksanakan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (P4D); Pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND); Kerjasama Internasional untuk mendukung usaha memajukan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (P4D); Pemberian Penghargaan Perorangan, Badan Hukum, Lembaga Negara dan Penyedia Fasilitas Publik yang berjasa dalam Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (P4D), serta Pemberian sanksi yang berifat pidana terhadap perorangan yang melakukan tindakan yang berdampak pada bertambah, berkurang atau hilangnya hak-hak penyandang disabilitas. 

Salah satu yang menyita perhatian penulis ialah keberadaan Komisi Nasional Disabilitas (KND), dimana dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Komisi ini dikatakan sebagai lembaga non structural yang bersifat independen. Namun pada kenyataaanya, Komisi ini keuangannya melekat pada keuangan Kementrian Sosial, dan dalam menjalankan tugasnya KND dibantu oleh Sekretariat KND yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang notabene jabatan pimpinan tinggi pratama atau jabatan structural eselon II yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang sosial.

Komisi Nasional Disabilitas (KND) pembentukannyta telah dimandatkan pada Pasal 134  Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan lebih teknis telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Keberadaan Komisi ini masih dipertanyakan dan dikritik oleh banyak pihak, utamanya komunitas difabel yang mempertanyakan independensi kelembagaan dan peran pentingnya untuk mengawal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak difabel yang telah diatur dengan sedemikian rupa dalam perundang-undangan terkait hak asasi manusia dan hak-hak difabel pada khususnya. Komunitas difabel mendesak revisi pengaturan tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) . Tulisan ini hendak mengkaji dua rumusalah masalah, pertama, bagaimana desain pengaturan Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Indonesia? Kedua, apa kritik mendasar dan idealita Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Indonesia?

B. Metode Penelitian

Tipologi penelitian ini ialah penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang kelembagaannya diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Pendekatan penelitian ialah perundang-undangan dan konseptual tentan lembaga independen. Sumber data primer ialah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas, sedangkan data sekunder merujuk pada literatur, jurnal, dan makalah yang terkati dengan obyek bahasan. Teknik pengambilan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan literatur terkait dengan lembaga negara independen. Analisis data bersifat kualitatif meliputi aktifitas pengklasifikasian data, editing, penyajian hasil data dalam bentuk narasi dan kemudian dilakukan pengambilan kesimpulan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

C. Lembaga Independen : Perkembangan Trias Politica

Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak, maka kebebasan akan terancam.  

Pembagian tiga fungsi kekuasaan di atas dikenal dengan konsep ini dikenal dengan trias politica, dimana kekuasaan suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur  kekuasaan politik melainkan harus dipisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda, yaitu lembaga legislatif yang lebih pada fungsi rule making, lembaga eksekutif yang lebih pada fungsi rule application, dan lembaga yudikatif yang lebih pada fungsi rule adjudication.

Konsepsi Trias politica dipandang sudah tidak relevan lagi saat ini, pertama, tidak mungkin mempertahankan ketiga organisasi hanya berurusan secara ekslusif dengan satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini memperlihatkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan tidak mungkin saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip check and balances. Kedua, perkembangan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial budaya serta pengaruh globalisme dan lokalisme menghendaki struktur organisasi negara yang lebih responsif, lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik untuk mencapai penyelenggaraan pemerintahan.

Perkembangan pemikiran di atas berpengaruh pada terciptanya struktur organisasi negara, termasuk fungsi-fungsi lembaga negara baru yang antara lain berupa Dewan (Council), Komisi (Commision), Komite (Committee), Badan (Board), atau otorita (authority). Lembaga-lembaga baru ini dikenal sebagai state auxiliary organs atau auxiliarty institutions yang fungsinya sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga ini ada yang disebut self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi regulative, administrative dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi perkembangannya dilakukan secara bersamaan oleh lembaga baru yang ada. Bahkan, ada lembaga negara yang disebut sebagai quasi non governmental organizations. 

Munculnya lembaga negara yang dalam tugasnya tidak secara jelas berada di posisi tiga lembaga trias politica para pakar menyebutnya dengan state auxiliary organs atau lembaga negara penunjang. Istilah yang paling umum digunakan  para pakar hukum tata negara ialah lembaga negara independen. Walaupun banyak juga pakar yang mempergunakan state auxiliary organs.  Sebagian ahli mengelompokkan lembaga independen semacam dalam ruang lingkup lembaga eksekutif, tetapi ada banyak pakar yang bersepakat menempatkan lembaga independen sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. 

Salah satu tokoh yang cukup jelas menyebut bahwa lembaga negara independent sebagai lembaga negara kekuasaan baru ialah Bruce Ackerman. Bruce dalam artikelnya yang berjudulnya The New Separation of Powers yang dimuat di Jurnal Harvard Law Review menuliskan pemisahan kekuasaan baru (the separation of power) yang memastikan keberadaan lembaga independent (independent agencies) sebagai cabang kekuasaan baru.  Perkembangan kelembagaan yang ada di Amerika memperlihatkan bahwa ada perkembangan praktik ketatanegaraan yang tidak lagi berlandaskan pada konsep trias politica yang diusung oleh Montesquieu. Dalam artikelnya Bruce Ackerman menulis, “… The American system contain (at least) five branches : house, senate, president, court, and independent agencies such as the Federal Reserve Board. Complexity is compounded by the wildering institutional dynamics of the American Federal System..” 

Saat ini, sudah banyak lembaga independent yang terbentuk, setidaknya ada sekitar lima ratus quasiautonomousnon-governmental organization di Inggris, lebih dari seratus lembaga negara bantu di Perancis, dan sekitar 40.000 enti publicci di Italia.   Di Amerika misalnya, lembaga independen memiliki banyak varian, antara lain : lembaga independent yang dianggap paling penting atau utama (major independent agencies) seperti CIA dan USAID; lembaga atau badan independent, korporasi atau quasi lembaga resmi lainnya (Other major independent agencies, corporations, and quasi official agencies) seperti American Red Croos dan State Justice Insititute; lembaga-lembaga regulasi independen lainnya (Independent regularatory agencies, quasi judicial agencies and other independent agencies) seperti Consumer Product Safety Commision dan Federal Home Loan Band Board; dan Korporasi, Komisi, dan Badan-Badan Independen lain (Other Independent agencies, Corporation, Committes) seperti Civil Rights Commision dan Corporation for National and Community Service.

Secara teoritis, kehadiran lembaga independen tidak lepas dari kehendak dan kebijakan negara,  dimana negara dengan kebijakan resminya membuat lembaga negara baru yang keberadaannya diharapkan bersifat independen dan bebas dari campur tangan kekuasaan. Lembaga negara independen keberadaannya lebih jauh diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan, dimana anggotanya biasanya diambil dari unsur masyarakat, diberi kekuasaan oleh negara secara untuk mengawasi tanggungjawab negara, kelembagaannya dibiayai oleh negara, dan anggotanya tidak harus menjadi pegawai negara. Keberadaan lembaga independen ini muncul untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yagn akuntabel, terpercaya dan independen.

Lembaga negara independen ini dibutuhkan antara lain dalam rangka penyediaan layanan yang bebas dari dari campur tangan politik; lembaga yang diharapkan berfungsi memberikan masukan dan nasehat kepada pemerintah secara independen; adanya kebutuhan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution);   serta adanya kebutuhan-kebutuhan fundamental lain yang berupa hadirnya aktor-aktor independen yang mengawasi kinerja pemerintahan, menampung keluhan-keluhan hak-hak warga negara, dan menyampaikannya secara independen kepada pemangku kebijakan sehingga penyelenggaraan layanan pemerintahan dapat berjalan maksimal, tidak diskriminatif, dan menjamin hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.

Dalam konteks lembaga nasional yang melindungi hak-hak asasi manusia, terdapat ketentuan internasional yang dikenal dengan Prinsip-Prinsip. Beberapa hal penting yang diatur dalam Prinsip Paris, pertama, kemandirian hukum. Penjelasannya ialah dasar pembentukan lembaga nasional HAM dan adanya jaminan independensi yang diberikan. Kedua, kemandirian anggota. Prinsip Paris menegaskan bahwa anggota lembaga nasional HAM bertanggungjawab untuk menentukan kebijakan, program, metode operasional, dan kegiatan lembaga, serta temuan, kesimpulan, dan rekomendasi ketika orang-orangnya menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, kemandirian operasional yang berarti lembaga nasional HAM mandiri dalam menentukan prioritas, program dan proyek kelembagaan sendiri.  

D. Desain Komisi Nasional Disabilitas 

Pada pasal 131 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dibentuk KND (Komisi Nasional Disabilitas) sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat independen. Redaksi lembaga nonstruktural dan bersifat independen menjadi catatan serius bagaimana lembaga negara Komisi Nasional Disabilitas ini semestinya dibentuk dan dapat menjalankan program dan agenda pengawasannya secara independen. Merujuk pada pandangan Jimly Asshiddiqie, Komisi Nasional Disabilitas dapat dikatagorikan sebagai Lembaga Negara dan Komisi Negara yang bersifat Independen berdasarkan konstitusi atau memiliki constitusional importance yang setara dengan Komnas HAM. Komisi Nasional Disabilitas mengawal isu hak asasi manusia yang secara umum dijamin dalam UUD 1945.

Pada Pasal 132 ayat (1) dinyatakan bahwa Komisi Nasional Disabilitas mempunyai tugas melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa hasil pemantauan, evaluasi dan advokasi dilaporkan kepada Presiden. Pada Pasal 133 dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Nasional Disabilitas menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu : 

1. Penyusunan rencana kegiatan KND dalam upaya pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas;

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas

3. Advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas

4. Pelaksanaan kerja sama dalam penanganan penyandang disabilitas dengan pemangku kepentingan terkait

Ketentuan lebih detail dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No, 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Dalam Peratuan ditegaskan bahwa kedudukan KND bersifat independen, dan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Ketentuan cenderung membingungkan, kedudukan KND dinyatakan bersifat independen, tetapi berada di bawah Presiden. Ketentuan ini dengan kata lain sebenarnya menegaskan bahwa KND merupakan Komisi yang berada di lingkungan eksekutif (pemerintah). KND tidak bisa disamakan dengan Komnas HAM dimana kelembagaannya menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bersifat mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. 

Dalam menjalankan tugasnya, KND dibantu oleh  Sekretarian KND yang dipimpin oleh oleh Kepala Sekretariat yang notabene jabatan pimpinan tinggi pratama atau jabatan structural eselon II yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial atau Menteri Sosial (Mensos). Sekretariat KND bertugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada KND, secretariat berkedudukan di unit kerja kementrian sosial, dan lebih jauh tentang orgnisasi dan tata kerja Sekretariat KND akan diatur dalam Peraturan Menteri Sosial yang materi muatannya ditetapkan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara. 

Secara teknis untuk kelancaran pelaksanaan tugas  KND, Ketua KND dapat membentuk paling banyak 4 (empat) kelompok kerja yang berasal dari unsur Pemerintah, Akademisi, Profesional, Praktisi, OPD dan masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, kelompok kerja dikoordinasi dan difasilitas oleh Sekretariat KND, dan lebih jelas terkait anggota, tugas, dan tata kerja kelompok kerja KND diatur dalam dengan Peraturan KND.  

KND sebagaimana dikemukakan sebelumnya dinyatakan sebagai lembaga negara yang bersifat independen, dan tetapi berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, otomatis pengangkatan dan pemberhentian anggotanya dilakukan oleh Presiden.  Calon anggotanya dari unsur akademisi, praktisi, professional dan masyarakat yang dipilih melalui proses seleksi oleh panitia seleksi calon anggota KND. Panitia Seleksi sendiri merupakan wewenang Presiden, dimana dalam praktiknya mendelegasikan kepada Menteri Sosial untuk membentuk panitia seleksi atas usulan Ketua KND.  

Pemilihan calon anggota KND dinyatakan dilakukan secara transparan, professional, dan akuntabel dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat terkati dengan kelayakan. Selanjutnya, Panitia Seleksi menyampaikan kepada Menteri Sosial nama-nama calon anggota KND sebanyak 2 (dua) kali jumlah anggota KND yang dibutuhkan untuk dipilih. Anggota KND sendiri berjumlah 7 (tujuh) orang, yang terdiri dari 4 (empat) anggota berasal dari unsur disabilitas, dan 3 (tiga) anggota dari unsur non disabilitas.  Selanjutnya Menteri menyampaikan nama calon anggota KND kepada Presiden untuk memilihnya, kemudian melantik calon terpilih, dan para para anggota KND terpilih akan bertugas selama 5 (lima) tahun.

Secara umum, dalam melaksanakan tugasnya, KND bertanggungjawab kepada Presiden. Hasil pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dilaporkan kepada Presiden. KND menyampaikan laporan kinerja tahunan kepada Presiden secara berkala.  Pendanaan KND juga berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. 

Secara kelembagaan, KND dengan demikian lembaga independen yang berada di bawah kekuasaan eksekutif (Pemerintah), dalam hal ini sepenuhnya di bawah kendali Kementrian Sosial. KND ‘agak mirip tetapi tidak sama’ dengan Komnas Perempuan, dimana Komnas Perempuan merupakan lembaga independen, dibantu Sekretariat Jenderal dan Staf Sekretariat Jenderal yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan Komnas Perempuan, dan bertanggungjawab kepada Presiden di setiap akhir tahun dan akhir periode. Kewenangan, pera,  dan tugas-tugasnya masih lebih luas Komnas Perempuan, padahal Komnas Perempuan dibentuk berdasarkan dasar hukum Peraturan Presiden dan bukan Undang-Undang seperti KND. 

E. Kritik dan Idealita Komisi Nasional Disabiitas

Pengaturan kelembagaan Komisi Disabilitas (KND) direspon kritik oleh komunitas difabel. Kedudukan KND dinilai tidak sesuai dengan mandat awalnya yang dikehendaki sebagai lembaga nonstruktural dan independen. Lembaga Non structural (LNS) dimaknai sebagai lembaga negara yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintahan, dan independen dimaknai sebagai lembaga negara yang bekerja secara independen.

Persis setelah pengesahan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas, muncul petisi Organisasi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia yang mendesak untuk dilakukan direvisi terhadap pengaturan KND. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan Organisasi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia, yaitu : 

1. Pemerintah belum sepenuhnya memahami disabilitas sebagai bagian dari isu hak asasi manusia, karena KND dilekatkan secara kelembagaan kepada Kementrian Sosial yang tidak memiliki urusan di bidang hak asasi manusia. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015, urusan Kementrian Sosial terbatas kepada rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial dan penanganan fakir miskin.

2. Pemerintah belum sepenuhnya memahami Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 yang membentuk Komisi Nasional Disabilitas (KND) sebaga lembaga yang independent dan non structural, yang bertugas melaksanakan pemantauan, evaluasi dan advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dengan dilekatkan pada Kementrian Sosial, maka KND akan terbatas menjalankan tugasnya, terutama apabila terkait dengan kinerja dari Kementrian Sosial yang justru saat ini banyak mendapat kritik dari organisasi penyandang disabilitas, karena masih melihat disabilitas dari pendekatan belas kasih (charity based). KND juga berpotensi terjerat dalam konflik kepentingan dengan Kementrian Sosial yang pekerjaannya akan sering sekali menjadi sasaran evaluasi, pemantauan, dan advokasi sebagai tugas KND.

3. Pemerintah keliru menafsirkan bahwa KND ini adalah bagian dari tugas koordinasi yang diemban oleh Kementrian Sosial dalam Pasal 129 UU No. 8/2016. KND dalam UU No. 8/2016  telah diatur secara tersendiri di Bab VI, yaitu sebagai lembaga independent dan non structural yang memiliki tugasnya sendiri, dan justru bergerak di luar pemerintah untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dengan begitu, secara pendanaan berdasar pada Pasal 135 ayat (2) UU No. 8/2016, KND mendapatkan anggaran dari APBN yang tidak harus bersumber dari Kementrian Sosial. Justru Pemerintah harus mendukung pembentukan KND yang terbebas dari konflik kepentingan yang akan menghambat pelaksanaan tugas dan fungsinya.

4. Pengisian anggota KND tidak memberikan kesempatan penuh bagi penyandang disabailitas karena membatasi peluang dengan hanya sudah menetapkan jatah anggota KND dari penyandang disabilitas sebanyak 4 dari total 7 orang. Hal itu menutup peluang anggota KND seluruhnya berasal dari penyandang disabilitas, padahal yang utama dalam Pasal 33 ayat (3) UN CRPD adalah mengutamakan keterlibatan penyandang disabilitas dalam pelaksanaan pengawasan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam suatu negara

5. Pemilihan panitia seleksi dan penunjukan anggota KND untuk pertama kalinya tidak melibatkan organisasi penyandang disabilitas yang beresiko menganggu independensi dan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas dari panitia seleksi dan anggota KND tersebut

6. Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) dibentuk secara tertutup dan minim partisipasi penyandang disabilitas sebagai stakeholder utama. Pembentukan yang minimi transparansi informasi menjadikan masyarakat penyandang disabilitas tidak mengetahui apa yang sedang dibahas dan bagaimana pertimbangan dari pemilihan berbagai ketentuan yang saat ini tercantum dalam Perpres KND

7. Proses pembentukan Perpres KND yang tidak membuka partisipasi secara penuh bagi penyandang disabilitas, bahkan tidak ada uji publik atas Rancangan Perpres KND ini kepada penyandang disabilitas, bertentangan dengan mandat Pasal 4 UN CRPD yang mewajibkan pemerintah untuk berkonsultasi secara erat dan intensif dengan masyarakat penyadang disabilitas melalui organisasi yang mewakilinya setiap kali pemerintah akan membuat peraturan dan kebijakan yang terkait dengan penyandang disabilitas

8. Proses penerbitan Perpres KND juga tidak menerapkan prinsip “nothing about us without us” yang sejak diberlakukannya CRPD di negara-negara anggota PBB prinsip ini selalu didorong untuk terus diimplementasikan. Prinsip ini memberikan makna bahwa para penyandang disabilitas yang paling memahami persoalan apa yagn mereka hadapi, dan bagaimana cara menyelesaikannya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Organisasi Penyandang Disabilitas seluruh Indonesia menyampaikan tuntutan kepada Presiden, pertama, agar Presiden merevisi Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) dengan poin-poin revisi, yaitu :

1. Menjadikan Komisi Nasional Disabilitas sebagai lembaga yang berbasis pada hak asasi manusia sesuai dengan mandate UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan tidak melekatkan KND kepada Kementrian Sosial, tetapi melekatnya kepada Kementrian atau Lembaga yang melaksanakan urusan di bidang hak asasi manusia, diantaranya Kementrian Hukum dan HAM dan Komnas HAM

2. Memperluas tingkat partisipasi dan representasi penyandang disabilitas sebagai anggota KND dengan menambah jumlah anggota KND dari penyandang disabilitas sekurang-kurangnya 5 orang

3. Menambahkan ketentuan yang menyebutkan secara ekplisit bahwa Ketua dan Wakil Ketua KND adalah Penyandang Disabilitas

4. Menambahkan pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam proses pemilihan Panitia Seleksi (Pansel) Pemilihan Anggota KND

5. Menambahkan pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam proses pengusulan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota KND untuk pertama kalinya.

6. Menambahkan pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam proses pembentukan Peraturan Menteri tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KND

7. Menambahkan ketentuan bahwa rekomendasi KND wajib dijalankan oleh Kementrian/Lembaga yang menjadi sasaran rekomendasi tersebut.

8. Memastikan proses pemilihan anggota Komisi Nasional Disabilitas dilakukan secara terbuka dan mengedepankan akuntabilitas dan independensi dari panitia seleksi

Kedua, menuntut agar Presiden memerintahkan Menteri Terkait untuk menunda pelaksanaan Peraturan Presiden No. 68 tentang Komisi Nasional Disabilitas karena adanya petisi dari Organisasi Penyandang Disabilitas seluruh Indonesia ini.

Merujuk pada kritik Organisasi Penyandan Disabilitas Seluruh Indonsia di atas terlihat kekecewaan mendalam komunitas difabel terhadap metode dan substansi pengaturan Komisi Nasional Disabiltas. Secara kelembagaan, komunitas difabel mengharapkan Komisi Nasional Disabilitas berkedudukan secara independen, tidak di bawah kendali kementrian, khususnya Kementrial Sosial yang notabene dinilai tidak bukan kementrian yang mengurusi hak asasi manusia, dan pada sisi yang lain berharap organisasi KND dapat bekerja untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap tanggungjawab pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Secara ideal, KND semestinya dibentuk seperti kelembagaan Komnas HAM,  yaitu menjadi lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara yang lannya, dan fungsinya pun diperbesar yaitu fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa kaum difabel. Saat ini, KND hanya melaksanakan tugas pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak kaum difabel.

Merujuk pada struktur kelembagaan Komnas HAM, KND semestinya dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang memberikan layanan administratif dalam pelaksanaan kegiatan. Sekretaris Jenderal bukan anggota Komnas HAM, tetapi dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil yang tentu memiliki kualifiasi, diusulkan dalam Sidang Paripurna Komnas HAM dan kemudian ditetapkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara. Anggota Komnas HAM juga dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.

Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM juga ditentukan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Laporan tahunan Komnas HAM terkait fungsi, tugas dan wewenangnya serta kondisi hak asasi manusia dan perkara yang ditangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat Ripublik Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung. Model laporan ini memperlihatkan bahwa Komnas HAM merupakan lembaga mandiri yang setara dengan lembaga negara lainnya, temuannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan lembaga negara yang lain, dan pendanaannya pun berasal dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Komnas HAM sebagai lembaga negara independen mendekati model kelembagaan yang patut dicontoh, dimana posisi kelembagaannya setara dengan lembaga negara yang lain baik lembaga negara eksekutif, legislatif dan yudikatif; pemilihan keanggotaannya memperlihatkan model keterwakilan ragam civiel society; dan Komnas HAM sejalan dengan Prinsip-Prinsip Paris yang mengatur tentang Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi Manusia, dimana institusi nasional HAM seharusnya diberikan kewenangan untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia, memiliki kewenangan menyampaikan pendapat, rekomendasi, usulan dan laporan mengenai hal-hal menyangkut perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia kepada pemerintah, parlemen, dan badan-badan yang berwenang, serta konteks jaminan kemandirian lembaga dan keanekaragamaan anggotanya.  

E. Penutup 

Komisi Nasional Disabilitas (KND) merupakan lembaga nonstruktural yang bersifat independen yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Sekretariat KND yang secara struktrual pemerintahan setara dengan jabatan eselon II di Kementrian Sosial (Kemensos). KND melaporkan kepada Presiden terkait hasil pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Kritik mendasar terhadap lembaga ini terletak pada metode, kelembagaan, dan substansi pengaturan KND yang notabene berada di bawah kendali Kementrian Sosial (Kemensos). Lembaga ini dinilai tidak akan cukup independen dalam melakukan pengawasan dan evalusi terhadap  tanggungjawab pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Keberadaan KND berpotensi terjerat dalam konflik kepentingan dengan Kementrian Sosial yang dalam pekerjaannya akan sering menjadi sasaran evaluasi, pemantauan dan advokasi KND.

Idealnya, KND dibebentuk seperti kelembagaan Komnas HAM atau malah menjadi bagian kelembagaan Komnas HAM. Model kelembagaan Komnas HAM sejalan dengan Prinsip-Prinsip Berkenaan dengan Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi Manusia atau dikenal dengan Prinsip Paris, yang didalamnya memastkan kemadirian lembaga dan keanekaragaman anggotanya. Kelembagaan KND saat ini tidak sejalan dengan Prinsip kelembagaan institusi HAM yang independen. 


Daftar Pustaka

Alder, John, Constitusional and Administrative Law, The Macmillan Press, London, 1989

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

Fakih, Mansour, Panggil Saja Kami Kaum Difabel, dalam Jalan Lain : Manifesto Intelektual Organik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011

Mahfud, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Cetakan Kesepuluh, Depok, 2020

Meny, Yves dan Andrew Knapp, Government and Politic in Western Europe : Britain, France, Italy, Germany, Oxford University Press, 1998

Salim, Ishak dan M. Syafi’ie (Editor), Hidup dalam Kerentanan : Narasi Kecil Keluarga Difabel, SIGAB, Yogyakarta, 2015

Syafari Firdaus, Muhammad, dkk, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia : Sebuah Panduan, Komnas HAM, Jakarta, 2007

Syafi’ie, M, dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, Cetakan Kedua, SIGAB, Yogyakarta, 2016

Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

Widijantoro, Johannes, dkk, Analisis Putusan Difabel Berhadapan dengan Hukum, SIGAB, Yogyakarta, 2019

SAHRDC, Komnas HAM dan Prinsip-Prinsip Paris : Sebuah Gugatan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001


Sumberhttps://law.uii.ac.id/blog/2021/12/03/quo-vadis-lembaga-negara-independen/

Benturan Pemenuhan Hak Konstitusional di Era Pandemi

 ~~ M. Syafi'ie


Hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat fundamental bagi keberadaan manusia. Hak asasi manusia memiliki sejarah yang sangat panjang dan melekat dengan gagasan negara hukum yang mengalami perkembangan terus menerus. Pada abad ke-19 dengan munculnya konsep rechtstaat Frederick Julius Stahl sudah menyatakan bahwa unsur negara hukum antara lain: pertama, perlindungan hak asasi manusia. Kedua, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan untuk mejamin hak- hak. Ketiga, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undngan. Keempat, peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada saat yang tidak terlampau jauh muncul konsep A.V Dicey tentang negara hukum (rule of law) yang lahir dan tumbuh di negara Anglo Saxon. Menurut A.V Dicey unsur-unsur hukum meliputi: pertama, supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang tidak boleh dihukum kalau melanggar hukum. Kedua, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Ketiga, terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh konstitusi) serta keputusan-keputusan pengadilan.



Pengakuan jaminan hak asasi manusia dalam negara hukum terus mengalami perkembangan yang cukup memadai, dari mulai negara hukum, negara hukum modern pada abad ke-20, sampi dengan dengan saat ini. Kita dapat menyaksikan betapa jaminan hak asasi manusia selalu ditemukan dalam dokumen konstitusi, tidak terkecuali dalam UUD 1945. Konstitusi sendiri merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak bagi sebuah negara. Konstitusi umum secara memberikan gambaran tentang dan penjelasa tentang lembaga-lembaga negara dan juga ditemukan penjelasan tentang posisi hak dan kewajiban warga negara. Konstitusi bisa dikatakan sebagai bagian dari social contract antara rakyat dan penguasa. 

Konstitusi sangat dibutuhkan dalam suatu negara, setidaknya dengan dua alasan, pertama, agar penyelenggaraan negara tidak didasarkan pada kehendak individu atau kelompok tertentu tanpa adanya rujukan bersama yang telah menjadi konsensus bersama suatu negara. Kedua, konstitusi menjadi aturan dasar yang mengatur persoalan fundamental yang menjadi sendi berdirinya suatu negara. UUD 1945 secara umum memuat beberapa hal penting, pertama, kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa. Kedua, dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik. Ketiga, suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara. Keempat, deskripsi yang menyangkut tentang hak asasi manusia.

Muatan hak asasi manusia dalam UUD 1945 pasca reformasi bisa dikatakan sudah sangat mengakomodasi hak-hak yang diatur di dunia internasional. UUD 1945 pasca reformasi mengalami amandemen sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002. Perubahan UUD 1945 pasca amandemen mengalami perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan perlindungan HAM di Indonesia. Pasal tentang HAM terletak pada bab tersendiri yaitu Bab XA, di dalamnya terdapat 26 butir ketentuan yang menjamin terhadap pemenuhan HAM.

Substansi hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejauh ini tidak ada masalah, karena norma-norma tersebut memang digali dari norma hak asasi manusia yang diakusi secar internasional dan hak-hak tersebut melekat kepada harkat dan martabat manusia. Jack Donnely menyebut bahwa hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat, atau hanya berdasarkan hukum positif, melainkan karena semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Namun demikian, penulis menemukan potensi benturan pemenuhan hak-hak yang diatur dalam konstitusi, dalam ruang dan waktu tertentu. Salah satunya terjadi saat ini, yaitu dimasa pandemi Covid-19. Kita tahu bahwa pandemi ini berkaitan dengan kesehatan, dan berelasi dengan hak-hak kesehatan dan hak setiap orang untuk mendapat layanan kesehatan sebagaimana diatur pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Untuk kepentingan kesehatan, dibuatlah beberapa kebijakan dan peraturan antara lain: Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, serta Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). 

Selain itu, Pasal 59 ayat (3) UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Permenkes No. 9 tahun 2020 menyatakan bahwa pembatasan dalam memberlakukan PSBB paling sedikit meliputi: a) peliburan sekolah dan tempat kerja; b) pembatasan kegiatan keagamaan; c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum; e) pembatasan moda transportasi; dan f) pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan, disertai ancaman sanksi bagi yang melanggar. Dalam konteks hak kesehatan dan layanan kesehatan di atas, benturan pemenuhan konstitusional terjadi pada hak kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat (Pasal 28E ayat 3), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2), hak bebas memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai ajaran agama (Pasal 28E ayat 1), dan hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1).

Di masa pandemi Covid-19, fokus pemerintah cenderung pada penanganan Covid-19, dan dalam konteks hukum hak asasi pendekatan ini dapat dibenarkan secara hukum sebagaiman diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang dikenal dengan konsep derogasi (pengurangan). Derogasi (derogation) dimaknai sebagai peluang negara untuk mengabaikan kewajiban memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia pada masa darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Derogasi hak asasi manusia merupakan mikanisme yang disediakan hukum internasional bagi sebuah negara yang mengalami situasi darurat untuk mengambil tindakan yang dinilai melanggar HAM, dan apabila derogasi tidak dilaukan maka dikhawatirkan akan terjadi kerusakan yang lebih parah.

Secara teknis, kebijakan pengurangan HAM boleh dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan pengumuman secara resmi nasonal terlebih dahulu. Konteks ini sebenarnya telah dilakukan dalam kasus Pandemi Covid-19, dimana kasus tersebut telah ditetapkan sebagai kasus darurat kesehatan dan dikatagorikan sebagai bencana non alam. Pembatasan pun dilakukan salah satunya dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB).

Catatan penting dari penanganan Covid-19 sebenarnya lebih pada posisi pemerintah yang seperti kebingunan dalam pemenuhan hak, yaitu antara pemenuhan hak atas kesehatan dan hak hidup pada satu sisi, dan pada sisi yang lain pemenuhan hak politik dengan tetap menyelenggarakan Pilkada langsung secara serentak, pemenuhan hak ekonomi dengan membuka secara bebas pembatasan sosial berskala besar.

Dampak dari kebingungan pemerintah ini akhirnya kasus Covid-19 terus meningkat dan tidak terkendali. Selama ini, masyarakat menyaksikan tumpang tindih penanganan Covid-19, antara lain : pemerintah cenderung fokus pada persoalan ekonomi, padahal krisis utama terjadi di sektor kesehatan, data pelacakan (tracing) pasien positif Covid-19 cenderung minim, penanganan Covid-19 tenggelam dikalahkan oleh hiruk pikuk politik, pengesahan peraturan kontra produktif seperti revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konsitusi, dan pengesahan RUU Cipta Kerja yang memancing gejolak dan kerumunan yang massif, serta pemerintah yang sibuk dengan tarik menarik penanganan Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah, diantaranya terlihat pola vis a vis di DKI Jakarta.

Berangkat dari pemikiran di atas, memang benar terjadi benturan pemenuhan hak konstitusional di era pandemi covid-19, namun demikian pengarusutmaaan pemenuhan hak atas kesehatan dapat dibenarkan menurut standar hukum hak asasi manusia internasional sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik. Substansi problemnya terletak pada sikap pemerintah yang cenderung ambivalen dan mengutamakan hak lain seperti hak politik dan hak ekonomi sehingga berdampak pada meningkatkannya kasus Covid-19 dan membuka pintu pelanggaran hak atas kesehatan yang lebih mendalam.

Sumber : https://law.uii.ac.id/prosiding-webinar-nasional-berseri-htn-oktober-2021/



14 April 2022

TRAGEDI PEMBELA HAM

~~ M. Syafi'ie

Salah satu kasus yang menyita perhatian kelompok pro demokrasi saat ini ialah terkait dengan penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti. Keduanya merupakan aktifis HAM yang cukup kritis terhadap beberapa kasus struktural yang terjadi di Indonesia. Keduanya ditetapkan menjadi tersangka setelah dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. 

Kasus ini bermula dari unggahan video di kanal youtube Haris Azhar yang mendiskusikan hasil riset tentang konsensi Blok Wabu dan perusahaan yang beroperasi di wilayah Intan Jaya Papua, dan dikemukakan ada keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang tersebut. Riset yang dikutip oleh Haris dan Fatia berpijak pada laporan “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua : Kasus Intan Jaya” dimana laporan riset ini dilakukan oleh YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia dan Trend Asia.


Kasus yang menimpa Haris dan Fatia sebenarnya bukan peristiwa baru dimana pembela HAM dilaporkan ke institusi kepolisian. Diantara kasus yang mengemuka ialah laporan Moeldoko terhadap dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan pencemaran nama baik; kasus Prita Mulyasari yang dijerat UU ITE karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit Omni Internasional di media sosial; serta kasus guru perempuan SMAN 7 NTB bernama Baiq Nuril Mukmin yang dijerat UU ITE karena merekam pembicaraan tidak senonoh saat ditelpon Kepala Sekolah. 

Beberapa organisasi masyarakat sipil menyatakan bahwa kriminalisasi terhadap pembela HAM setiap tahunnya selalu tinggi. Sepanjang tahun 2021 misalnya, kasus pembela HAM menempati peringkat pertama dari jumlah korban UU ITE. Umumnya, para pembela HAM dilaporkan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Kasus pembela HAM yang lain ada yang berujung ancaman, kekerasan, dan pembunuhan seperti yang terjadi pada Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) yang dibunuh karena berita, Marsinah yang dibunuh karena memperjuangkan hak upah, dan Munir Said Thalib (Munir) yang dibunuh dengan racun arsenik karena kritis terhadap sengkarut tata kelola sektor keamaan. 

Nasib Pembela HAM

Isu pembela HAM saat ini menjadi concern tersendiri. Nasibnya kerap berujung menyedihkan karena berhadapan dengan aktor kuat dari oligarki kekuasaan. Pembela HAM dikenal sebagai human rights defender, yaitu istilah yang menunjuk pada orang-orang yang secara individu maupun bersama-sama pihak lain bertindak untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia. Dalam Declaration on Human Rights Defender, pembela HAM diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional. 

Amnesty Internasional menyatatakan bahwa siapa pun orang yang melakukan kerja-kerja untuk hak asasi manusia bisa dikatakan sabagai pembela HAM, termasuk orang yang memperjuangkan gender, masyarakat adat, buruh, dan petani; para pejuang keadilan; orang yang memperkuat hukum dan pemerintahan demokratis; orang yang memperjuangkan hak-hak sipil dan politik; serta orang-orang yang memperjuangkan hak ekonomi, sosial dan budaya. Definisi ini bersifat luas dan universal. Namun demikian, betapa pun luas definisinya, aktor yang dihadapi tentu bertingkat tergantung pada kasusnya. Dalam kasus yang menimpa Munir, Udin, atau beberapa kasus mutaakhir memperlihatkan bahwa aktor yang dihadapi ialah orang-orang yang berada di sentrum kekuasaan dan memainkan peran yang sangat strategis dalam berbagai kebijakan dan program yang yang didalamnya sangat rentan disalahgunakan. 

Pembela HAM umumnya dihabisi dengan berbagai cara, antara lain pembatasan aktifis HAM untuk mendapatkan akses informasi yang notabene menjadi pijakan perjuangan, pembatasan hak berserikat dan berkumpul karena dianggap sebagai aktifitas yang akan mengganggu jalannya pemerintahan, dan yang paling biasa berupa pembatasan untuk menyampaikan pendapat, walaupun pendapat tersebut sifatnya jujur dan berada dalam koridor ilmiah. Strategi lain adalah dengan penggunaan pasal-pasal karet, antara lain Pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE dan Pasal penghasutan dalam KUHP. Kelompok pro demokrasi menyebut peristiwa ini dengan kriminalisasi, dimana pembela HAM yang menyuarakan isu publik biasanya dilaporkan dengan pencemaran nama baik. Cara yang paling bar-bar ialah ancaman, penganiayaan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan seperti yang menimpa kepada Munir dan Udin. Ikutan lain yang biasa dimunculkan ialah label dan stigma negatif yang dilakukan dengan berbagai cara oleh jaringan oligarki kekuasaan yang pada intinya agar pembela HAM layak untuk dijauhi dan dimusuhi.

Nasib pembela HAM dengan demikian sangat rentan, walaupun posisinya telah dijamin oleh hukum. Pasal 101 UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang, kelompok, organisasi politik, atau organisasi kemasyaratan lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia. Apa yang dilakukan Haris dan Fatia adalah ekspresi untuk memajukan hak asasi manusia di bidang hak ekonomi sosial dan budaya, dimana negara semestinya bebas dari tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakannya termasuk bagian dari hak berpendapat dan menyampaikan informasi hasil penelitian ke masyarakat luas.

Konteks tragis dan tragedi pembela HAM memperlihatkan betapa Indonesia sebagai negara hukum mengalami krisis yang akut, dimana praktik hukum dan kekuasaan kerap menjauh dari sisi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Para pembela HAM kerap dikriminalisasi dengan penggunaan pasal-pasal karet yang dimainkan oleh jaringan oligarki kekuasaan. Karena itu, sudah selayaknya ada pembacaan kritis dan pembenahan mendalam terhadap sistem hukum dan kekuasaan yang terus menerus berjalin kelindan menghabisi para pembela HAM. [Koran SINDO, 13 April 2022]

03 January 2022

Islam dan Diskursus Kecakapan Difabel Mental

~~ M. Syafi'ie

Organisasi masyarakat sipil, salah satunya Perhimpunan Jiwa Sehat saat ini mempermasalahkan beberapa peraturan dan kebijakan yang mendiskriminasi difabel. Salah satu aturan yang digugat tentang pengampuan. Aturan pengampuan diatur pada Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi : “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya”.

Pengaturan kecakapan hukum lebih jauh tertera pada Pasal 1330 KUH Perdata yang berbunyi, “Tidak cakap untuk berbuat suatu perjanjian adalah : (1) orang-orang yang belum dewasa; (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang da npada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.



Pasal di atas dikritik dan realitasnya berdampak nyata, dimana difabel biasa ditolak menjadi pihak dalam kontrak perjanjian, asuransi, dan beberapa kontrak keperdataan. Pihak yang selalu diserahkan tanggungjawab umumnya pengampunya, atau keluarga dekatnya. Banyak ironi yang terjadi, khususnya bagi difabel mental yang harta miliknya dikendalikan oleh pengampu, dan si difabel mental tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan hartanya sendiri. Akibatnya, harta milik difabel kerap beralih kepemilikan kepada pengampunya.

Kondisi ini menjadi masalah serius, sehingga aturan pengampuan dinyatakan diskriminatif kepada difabel, melanggar human rights, dan secara normatif bertentangan dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyadang Disabilitas. Secara substansi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas tegas menyatakan bahwa difabel termasuk didalamnya difabel mental memiliki legal capacity, diakui sebagai subyek hukum, tidak boleh didiskriminasi atas dasar disabilitasnya, dan pemerintah wajib menyediakan akses dukungan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kapasitas atau kecakapan hukum difabel.

Konvensi Hak-Hak Penyadang Disabilitas mengembangkan sistem baru, yaitu Supported Decision Making atau ‘Sistem Dukungan Dalam Pengamiblan Keputusan’. Sistem ini menegaskan bahwa difabel mental tidak serta merta dihilangkan kapasitas hukumnya dengan jalan pengampuan yang notabene menggunakan model Substituted Decision Making atau Sistem Substitusi dalam Pengambilan Keputusan. Saat ini, idealnya memang ada sistem yang membantu orang-orang dengan hambatan-hambatan tertentu untuk membuat keputusan, dan tidak dihilangkan atau digantikan dengan model subsititusi dalam pengampuan. Apalagi sebagaimana para ahli katakan, difabel mental yang salah satunya  skizofrenia gangguannya pikirannya hanya bersifat kambuhan dan tidak terus menerus.

Telaah kecakapan hukum bagi difabel mental ini menarik untuk dikaji lebih jauh, khususnya bagaimana tinjauan hukum Islam dan konteks maslahat yang perlu diambil dari dua sistem hukum yang tidak harmonis : apakah pengampuan yang menggunakan model substitusi (pengganti) atau sistem dukungan dalam pengambilan keputusan?

KECAKAPAN DALAM ISLAM

Dalam kajian ushul fiqh, kecakapan hukum atau legal capacity dikenal dengan konsep ahliyah, yaitu kecakapan menangani suatu urusan. Konsep ahliyah mencakup ahliyah al-wujub (kepantasan seseorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban) dan ahliyah al-ada’ (kecakapan bertindak secara hukum dan pantas dimintai pertanggungjawaban hukum).

Semua orang dalam hukum Islam dinyatakan ahliyah al-wujub, walau pun orang-orang tersebut dinyatakan tidak sempurna (naqish). Contohnya, anak-anak yang berada dalam kandungan ibunya, menurut para pakar telah dinyatakan memiliki memiliki hak, bahkan orang-orang yang dianggap memiliki gangguan kejiwaan (majnun) tetap dianggap memiki hak. Kelompok ahliyyah al-wujub ini ada dua, pertama, ahliyyah wal-wujub an-naqisah yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, contohnya bayi dalam kandungan. Kedua, ahliyyah wal-wujub al-kamilah yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan menerima hak sekaligus.

Dalam konteks kecakapan bertindak, dalam fiqh Islam dikatakan bahwa tidak semua orang dapat dikatakan sebagai ahliyyah al-ada’ (cakap bertindak) secara sempurna. Tidak semua orang dinyatakan dapat melakukan tindakan hukum. Mengapa? Karena ada beberapa indikator yang menjadi alasan penghalang seseorang dalam melakukan tindakan hukum. Dalam hukum Islam, orang yang mengalami gangguan jiwa total dan terus menerus dinyatakan tidak memiliki ahliyah al-ada’. Tindakannya tidak menjadi tindakan hukum. Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa total dinyatakan tidak memiliki kewajiban menjalankan syari’at dalam Islam. Orang yang diwajibkan menjalankan syariat yang disebut mukallaf indikatornya dewasa dan berakal.

Orang yang dewasa dan sempurna akalnya memiliki kewajiban menjalankan kewajiban syariat Islam. Karena itu, difabel yang sekedar memiliki hambatan penglihatan, pendengaran, wicara, dan mobilitas tidak lepas dari tanggungjawab melaksanakan kewajiban syariat  atau hukum dalam Islam. Dalam hal ini, mereka bisa disebut memiliki kecakapan bertindak (ahliyyah al-ada').

 Bagaimana dengan difabel mental? Dalam UU No. 8 Tahun 2016, difabel mental terdiri dari dua, yaitu : psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, aunxitas, dan gangguan kepribadian. Kedua, disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif. Merujuk ketentuan ini, difabel mental yang memiliki hambatan paling serius ialah skizofrenia. Namun demikian menurut ahli, skizofrenia ialah gangguan kejiwaan yang biasdanya terjadi dalam jangka panjang. Namun demikian, skizofrenia tidak terjadi secara terus menerus, tetapi bersifat episodik. Fungsi akal pikirannya bisa hilang saat dalam kondisi relaps atau kambuh saja.

Dalam konteks hukum Islam, dewasa dan akal menjadi kunci kecakapan bertindak, saat akal dan kesadaran hilang maka saat itu pula kecakapan bertindak tidak diberikan. Kondisi ini menegaskan karena difabel skizofrenia tidak sepenuh waktunya kehilangan akal, tetapi pada saat relaps (kambuh) saja. Artinya, saat akal pikiran difabel mental tidak relaps, maka pada saat itulah kewajiban hukum wajib ia lakukan, dan pada saat bersaman ia memiliki hak dan dapat dikatakan cakap untuk bertindak (ahliyah al-ada’).

AKTUALISASI MASLAHAT

Dalam kajian usul fiqh, maslahah ditempatkan sebagai bagian metode penggalian hukum Islam yang dikenal dengan maslahah mursalah, dan dalam kajian maqosid syariah, maslahah ditempatkan sebagai motivasi dan tujuan universal daripada hukum Islam, dimana keberadaan hukum Islam di tengah perubahan tempat dan waktu yang silih berganti selalu akan berkontribusi pada pencapaian nilai kemanfaatan untuk kepentingan umat manusia.

Maslahat diartikan dengan faedah, kepentingan, dan kemanfataatan. Pemikir lain mengartikan maslahah dengan sebab atau sumber sesuatu yang baik dan bermanfaat (a cause or source of someting good and beneficial). Maslahah juga sering diartikan dengan kepentingan umum (public interest).

Dalam konteks kecakapan hukum difabel mental, dimana pada Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan berada di bawah pengampuan, aturan ini dalam banyak hal telah dikritik karena telah melahirkan kemudaratan, praktik diskrimiminatif, dan melanggar hak-hak difabel. Mendasarkan pada kondisi ini, maka sudah selayaknya sistem pengampuan yang merujuk pada model Substituted Decision Making diubah dan ditranformasi dengan sistem Supported Decision Making atau Sistem Dukungan dalam Pengambilan Keputusan yang secara konseptual sejalan dengan human rights, nilai maslahat, serta menghargai harkat dan martabat kaum difabel yang marginal. [Dimuat di Koran Sindo, 4 Januari 2022]

04 November 2021

DIFABEL MENTAL DAN HUKUM

 ~~ M. Syafi'ie

Pandemi Covid-19 menghantui seluruh umat manusia dunia saat ini. Ribuan orang meninggal. Dampak lainnya bermunculan, salah satunya rasa cemas, takut, stres, dan depresi. ­­­Kementrian Kesehatan mencatat bahwa selama pandemi Covid sampai Juni 2020, setidaknya terdapat 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2019. Pada tahun 2021, WHO menjelang Peringatan Hari Kesehatan Jiwa 10 Oktober merilis data mengejutkan bahwa hampir 1 milyar orang, atau 1 dari 7 manusia dunia terkena gangguan mental.

Data di atas memberikan gambaran bahwa pandemi dengan ragam masalahnya seperti pemutusan hubungan kerja, usaha yang kolaps, informasi Covid-19 yang dramatis, dan beberapa kondisi eksternal lain yang mengakibatkan kekhawatiran berlebih. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa Kesehatan jiwa menjadi penyebab membesarnya jumlah difabel mental di dunia. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 mendefinisikan difabel mental sebagai orang yang terganggu fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain : (a) psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxitas, dan gangguan kepribadian; dan (b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif. 


Membesarnya jumlah difabel mental dengan ragam faktornya menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagaimana pemangku kebijakan dapat memastikan interaksi sosial, partisipasi, layanan Kesehatan, dan hak-hak difabel mental dapat terpenuhi. Ada banyak sektor yang harus diperbaiki. Salah satu yang penulis ingin ulas ialah sektor di bidang hukum, di mana saat difabel mental berhadapan hukum, baik sebagai korban, pelaku, dan atau pun saksi, proses hukum harapannya dapat menjamin pemenuhan hak atas peradilan yang fair.

Tantangan Hukum

Salah tantangan serius penanganan difabel mental ialah bagaimana mengenali tingkat kesadaran tindakan difabel saat melakukan tindakan hukum. Difabel mental yang terkatagori depresi dan bipolar mungkin mudah identifikasi dan menilai pertanggungjawabannya, tetapi pasti akan sangat sulit kalau difabel mentalnya terkatagori skizofrenia. Butuh pelibatan ahli untuk menilai, apakah tindakan seorang skizofrenia dalam kondisi relaps (kambuh), dan atau dalam kondisi sadar.

Skizofrenia menurut ahli dikatakan sebagai gangguan kejiwaan yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguannya menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi (mendengar suara atau melihat hal-hal yang bagi orang lain tidak), delusi/waham (keyakinan yang bagi orang lain tidak berdasar), kekacauan berfikir, dan memperlihatkan perubahan perilaku. Saat dalam kondisi relaps penderita skizofrenia umumnya sulit membedakan antara kenyataan dan pikiran lain yang menyelimutinya.

Dalam kasus pidana, pertanyaan yang mengemuka :  apakah seseorang yang mengalami skizofrenia dapat dimintai pertanggugjawaban hukum? Kapan ia bisa bertanggungjawab? Pasal 44  ayat (1) KUHP berbunyi “Tidak dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabnkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”  Ketentuan ini dikenal dengan alasan pemaaf  pelaku tindak pidana karena dianggap kurang sempurna akalnya.

Dalam kasus perdata, pertanyaan yang mengemuka : apakah seseorang skizofrenia, bipolar, anxietas, dan beberapa difabel mental yang lain dianggap cakap melakukan perbuatan hukum? Merujuk pada Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya...” Bunyi pasal ini jelas menghilangkan kapasitas hukum difabel skizofrenia, bahkan ragam difabel yang lebih luas. Tidak cukup jelas juga bagaimana mekanisme dan pengawasan pengampuan difabel mental sehingga hak-hak keperdataannya tidak terciderai sebagaimana terjadi pada sebagian besar difabel mental yang hak miliknya diambil alih oleh pengampunya.

Secara umum, substansi pasal KUHP dan KUH Perdata sudah tidak selaras dengan Undang-Undang No. 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam dua regulasi ini sangat tegas bahwa difabel mental dengan ragam hambatannya memiliki legal capacity, diakui sebagai subyek hukum, harus diberlakukan setara di hadapan hukum, dan tidak boleh didiskriminasi atas dasar disabilitasnya.

Pasal 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa negara wajib mengambil Langkah-langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum penyandang disabilitas. Saat ini sudah dikembangkan konsep supported decision making, dimana difabel mental tidak serta merta dihilangkan kapasitas hukumnya dengan jalan pengampuan yang tidak jelas kapan berakhirnya, tetapi difabel tersebut semestinya dibantu oleh pihak terpercaya dalam membuat keputusan. Konsep supported decision making dinilai menjadi jalan keluar dimana banyak difabel di Indonesia saat ini telah dimatikan hak-hak keperdataannya.

Tantangan lain saat difabel mental berhadapan hukum ialah pada prosedur acaranya, di mana aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan dan hakim di pengadilan harus memastikan pemenuhan akomodasi yang layak. Beberapa hal yang harus dipastikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 39/2020 yaitu terkait penilaian personal (profil assessment) yang diajukan kepada dokter atau psikolog/psikiater, penyediaan penerjemah, penyediaan pendamping disabilitas, penyediaan pendamping hukum, pemenuhan layanan dan sarana prasarana yang aksesibel, serta aparat penegak hukum yang menangani kasus harus memahami isu disabilitas.

Tangungjawab berikutnya dan saat ini telah dikawal oleh banyak jaringan aktifis difabel ialah bagaimana prosedur acara yang baru diatur dalam Peraturan Pemerintah semestinya dikembangkan ke dalam peraturan dan kebijakan internal institusi peradilan, baik itu Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Kejaksaan Agung, dan atau Peraturan Kapolri. [Dimuat di Koran Republika, 5 November 2021]