09 October 2013

Penegak Hukum Tak Mengerti Difabel

~~~ M. Syafi' ie

Berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik,
maka dengan peraturan yang buruk pun
 saya bisa membuat putusan yang baik
(Taverne)

Penegak hukum adalah pundak bagaimana hukum bisa merespon persoalan-persoalan masyarakat. Adil atau tidak satu penegakan hukum, salah satunya bergantung kepada para penegak hukum itu sendiri. Satjipto Rahardjo mengatakan, penegakan hukum itu bukan merupakan satu tindakan yang pasti, yaitu sekedar menerapkan satu peraturan hukum pada satu kejadian, sebab penegakan hukum ibarat menarik garis lurus antara dua titik : antara hukum dan manusia.  Pada level  hukum yang normatif,  penegakan hukum terlihat sederhana dan mudah, tinggal menerapkan satu peraturan. Tapi, penegakan hukum sebenarnya tidak semudah itu, karena penegak hukum harus mengerti tentang konteks sosial masyarakat, keadaan manusia yang bermasalah dengan hukum, dan bagaimana teks hukum harus diterapkan pada sisi yang lain.

05 July 2013

Penyalahgunaan Wewenang

Hukum pasti bertitik tolak pada satu  hal, yaitu hubungan manusia dan hukum. Semakin landasan sebuah teori bergeser ke faktor peraturan, maka ia menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik.  Sebaliknya, semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan
(Bernard L. Tanya)


M. Syafi’ie


Mempersalahkan masyarakat atas kesalahannya tentu sangat  mudah. Tinggal mengurai tindakan, kualifikasi kesalahan, dan setelah itu ada jelas sanksi hukumnya. Tapi, untuk mempersalahkan pemangku kebijakan atas penyalahgunaan wewenangnya, kita tidak bisa berharap banyak  apakah kesalahan itu diproses secara hukum, dan diberikan sanksi yang setimpal.  Bahasa refleks masyarakat seringkali muncul : ‘begitulah hukum, tajam ke bawah  tapi pasti tumpul ke atas’. Ucapan itu sederhana, tapi senantiasa muncul karena masyarakat merasa begitu banyak ketidakadilan atas perilaku pemangku kebijakan yang sewenang-wenang, dan masalahnya tidak terjamah oleh supremasi hukum.

Rezim Tak Terkontrol

Orang-orang pintar yang mentalnya di bawah standar,
Tentunya lebih besar potensinya berbuat kerusakan
(Mustofa Bisri)



M. Syafi’ie



Beberapa tahun ini adalah masa yang paling meresahkan bagi mereka yang peduli terhadap perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia. Betapa tidak? Di tengah belum lama kita menghirup udara transparansi, kebebasan berpendapat, peradilan bagi pelaku korupsi, dan mendorong pertanggungjawaban pengelolaan pemerintahan yang berpihak kesejahteraan rakyat, tapi bersama itu pula, pemerintah rupanya tidak terima menjadi obyek kritik. Pemerintah, dengan aliansi politiknya di legislatif telah mempersiapkan segudang amunisi agar suara masyarakat sipil yang kritis bisa dikendalikan. Pemerintah telah menyulap wakil rakyat sebagai penyuara kepentingan kekuasaan.

24 February 2013

BURUH YANG TERPINGGIR : PERSPEKTIF HISTORIS DAN ISLAM

 ~~ M. Syafi'ie

Buruh! Kata itu selalu identik dengan perlawanan. Tidak jarang, ada sekelompok orang membencinya karena tidak henti-henti dalam menuntut. Pengusaha sebagai majikan selalu menutup tuntutan, dan memecah belah para buruh. Hal serupa kerap dilakukan pemerintah : memukuli para buruh yang demonstrasi, membuat kebijakan yang mengkerdilkan, dan mendorong discourse yang memojokkan kaum buruh. Sebagai kelompok pekerja, buruh selalu dilemahkan. Karl Marx menyebut, situasi yang menimpa buruh adalah satu konsekwensi. Sebab, para buruh memperjuangkan kelasnya.  

22 February 2013

Paradigma Profetik : Tawaran Paradigma Penegakan Hukum


~~ M. Syafi' ie


Penegakan hukum bukanlah pekerjaan yang biasa dan bergerak normal, tetapi merupakan pekerjaan yang membutuhkan keseriusan tinggi, komitmen yang total dan semangat menegakkan keadilan yang utuh. Penegak hukum akhirnya bukanlah seorang yang sekedar digerakkan oleh pasal-pasal dalam perundang-undangan, tetapi harus mengkontekstualisasi dan mengobyektifikasi  nilai-nilai yang ada dalam teks terhadap fakta-fakta yang berkembang sehingga keberadaan teks yang  mati tersebut selaras dengan semangat konteks yang selalu dinamis, hidup dan tidak bermakna tunggal.

21 February 2013

Tjokroaminoto : Inspirasi Pergerakan Sosialisme Islam Indonesia




~~ M. Syafi’ie

Pasca kemerdekaan Indonesia, mungkin tidak banyak orang yang kembali menengok kebelakang membaca kembali sosok-sosok inspiratif yang menggerakkan perlawanan terhadap kolonialisme Hindia Belanda. Pandangan dan sikap politik mereka patut diobyektifikasi untuk membangkitkan pergerakan nasional kekinian yang kehilangan arah perjuangan.
Tokoh itu adalah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Lahir di Bakur, sebuah desa di Madiun pada tanggal 16 Agustus 1887. Tjokroaminoto adalah lulusan Opleiding School voor Inlandsche Ambenaren (OSVIA) Magelang. Tjokroaminoto masih keturunan bangsawan yang bergelar Raden Mas. Walaupun dirinya tidak pernah memakai embel-embel gelar kebangsawanannya dalam ruang sosialnya.

Transformasi Islam Untuk Bebas dari Kemiskinan



M. Syafi'ie


Kita tahu penduduk negara Indonesia mayoritas adalah muslim. Tapi, di negara ini pula kemiskinan merajalela. Dalam rilis LIPI dikatakan bahwa jumlah orang miskin tahun 2010 bertambah terus. Orang-orang miskin akan membengkak dari 32,5 juta jiwa pada 2009 akan membesar menjadi 32,7 juta jiwa pada 2010. Pada tahun 2011, data BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang. Sedangkan tahun 2012 sebagaimana dikatakan Kepala Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang.

Dinamika dan Posisi HMI (MPO) di Era Transisi



 M. Syafi’ie [2]


Radikalisasi gerakan HMI (MPO) terbangun dari empat faktor.
Pertama, persentuhan aktifis HMI  dengan perkembagan
dunia Islam,  khususnya revolusi Iran 1979. 
Kedua, kebijakan rezim orde baru yang refresif utamanya terkait asas tunggal.
Ketiga, faktor reformasi 1998 yang gagal.
Keempat, faktor pengader HMI dan alumni
(Ubedillah Badrun)


Gerakan HMI mempunyai dinamikanya sendiri dalam setiap periode dan zamannya. Rezim kekuasaan yang terbangun dalam struktur kekuasaan politik selalu terimbangi oleh positioning sikap kritis gerakan mahasiswa, termasuk di dalamnya adalah HMI. Struktur kekuasaan yang berjalan, sudah biasa terusik oleh lantangnya suara gerakan mahasiswa. Rezim berkuasa dalam lintasan sejarah, selalu  terganggu oleh gerakan mahasiswa, karena itu penguasa telah terbiasa dengan mempolitisasi, melakukan  infilterasi dan mengorganisasikan tekanan-tekanan terhadap gerakan mahasiswa sehingga tidak padu dan berkonflik secara internal. Perpecahan gerakan HMI yang kemudian menjadi organisasi HMI (Dipo) dan HMI (MPO) tidak lepas dari intrik dan politisasi kekuasaan itu.

Pemberdayaan Aktifis Gerakan Islam




M. Syafi’ie


Penindas dan yang tertindas (karena tidak melawan),
 sama-sama menggunting keadilan
 (Ali bin Abi Thalib)

Pemberdayaan ialah tranformasi kesadaran korban,
sehingga dapat ambil bagian secara aktif dalam mendorong perubahan
(Timur Mahardika)


Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai usaha yang memungkinkan semua orang untuk bisa ambil bagian, baik dalam mengaktualisasi aspirasi dan beragam kepentingannya secara bebas dan merdeka. Setiap orang juga secara mandiri dapat terlibat dalam proses perumusan kebijakan-kebijakan yang menentukan terhadap aspirasi dan kepentingannya, sehingga setiap orang dapat melihat, merasakan dan mengantisipasi terhadap situasi dan kondisi yang akan terjadi kedepannya.

20 February 2013

Membumikan Pesan Tuhan

~~ M. Syafi'ie

Pengembaraan yang cukup panjang dan melelahkan ini menyisakan sekian persoalan yang harus diselesaikan. Didalamnya banyak pertanyaan yang kadang saya tidak mampu untuk menjawabnya dan semuanya berjalan begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan yang lahir itu dan belum usai saya menjawabnya kemudian lahir pertanyaan kembali membuatku hidup dalam kepenatan yang sangat kuat. Saya sadari dengan hati yang lapang memang dunia ini menyimpan banyak pertanyaan dan masalah. Semuanya berkonstelasi dalam ruang yang tanpa batas dan akhir.

Salah satu pesan yang ada dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa dunia ini tidak lain merupakan ilusi dan permainan. Bagaikan sebuah skenario besar Tuhan dengan berbagai lakon, pembawaan karakter serta berbagai setting yang mencoba mengkonstruksikan kekuatan ide ketauhidan untuk mewujudkan kerahmatan bagi seluruh sekalian alam. Demikian pula berbagai permasalahan yang terdapat didalamnya tidak lain merupakan butiran yang bermuara pada perwujudan skenario tuhan.
Konteks ini meniscayakan satu pemahaman yang utuh terhdap skenario dan setting yang dibuat oleh Tuhan. Muatan nilai yang saya pahami dan menjadi tuntunan terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadist, sebagaimana diungkapkan oleh Nabi ‘barang siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka dia akan selamat’ . dengan demikian untuk melakonkan skenario yang benar maka menjadi kewajiban untuk mempelajarinya sehingga ketika melakonkan sudah tidak terdapat ambiquitas.

Dalam konstruksi dunia lakon dan laku banyak hal yang kita tidak mengerti dan sesuai dengan rencana awal mula. Dunia lakon dan laku merupakan zona realitas yang belantara sedangkan dunia nilai sebagaimana terdapat dalam ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan zona ideal. Keberbedaan entitas zona ideal dan realitas memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap konfigurasi keberhasilan tujuan. Jika nilai idealitas keberadaannya menjadi fundamen dari gerak perjalanan realitas maka keberhasilan sudah dapat dipastikan. Sedangkan jika realitas yang berkembang berjalan tanpa landasan esensial nilai maka dapat dipastikan ambiguitas, asosial dan menyimpang dari garis skenario yang sudah digariskan oleh Tuhan.

Persoalan yang timbul dalam dunia realitas sangatlah kompleks. Untuk menjadikan fundamen idealitas sebagaimana terdapat dalam teks firman Tuhan sangatlah multi interpretatif. Dalam konteks inilah bagaimana masyarakat itu mewujud dalam polarisasi madzhabiyah dan kelompok, ada yang tekstualis fundamentalis, substansialis liberalistik, dan ada juga yang abangan.
Kelompok yang tekstual fundamentalis memandang bahwa seluruh persoalan realitas harus merujuk pada teks-teks firman Tuhan sebagaimana yang sudah tertera dan termaktub didalamnya. Kelompok ini menyatakan bahwa teks yang sudah ada itu merupakan norm idealitas yang tidak perlu ditafsir ulang. Keberadaannya merupakan produk yang final dan merupakan kalamullah sehingga tafsir terhadap norm yang sudah ada dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap perintah Tuhan Yang maha Esa.

Kelompok kedua lebih melihat bahwa teks merupakan produk budaya yang meniscayakan pembongkaran ulang sehingga sesuai dengan konteks dan tuntutan lingkungan yang berkembang. Kelompok ini meyakini bahwa teks merupakan konteks itu sendiri sehingga keberadaannya harus direkonstruksi sesuai kebutuham zaman. Untuk mengupayakan terciptanya teks yang kontekstualis maka metodologi hermeneutik sebagai salah satu pilar mengumpulkan seluruh segmen sebagai penentu dalam norm idealitas dan realitas meliputi keberadaan teks, pembaca dan pengarang menjadi sebuah kewajiban.

Sedangkan kelompok ketiga merupakan kelompok abangan yang memahami idealitas dan realitas sebagai wujud lokal dan kedaerahan. Norma yang terdapat dalam firman Tuhan dipahami kelompok ini sebagai nilai-nilai yang universal dan substansial. Sehingga wujud kelompok ini lebih bercorak identitas lokal dan kedaerahan dan tangkapan secara general kelompok ini tidak berbasis teks dan ke arab-araban.Penggambaran tersebut saya katakan cukup sederhana dan general diluar itu sebenarnya terdapat kompleksitas permasalahan yang yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa sederhana klasifikasi yang disebutkan diatas.

Dunia realitas merupakan problem yang cukup kompleks dan sederhananya tidak bisa diselesaikan dengan sekedar teks-teks normatif. Dibutuhkan kreatifitas yang radikal menggali realitas dan memasukkan norma-norma ideal sehingga mampu memayungi terhadap idealisasi yang akan dibangun. Tanpa proses radikalisasi intelektual dan penyegaran terhadap teks sehingga kontekstual sangat rumit bahkan saya katakan tidak bisa menyelesaikan masalah yang berkembang sangat pesat.

Untuk membumikan keberadaan teks, Kuntowijoyo menawarkan upaya obyektifikasi dari teks terhadap kebutuhan sosialnya (konteks). Perihal obyektifikasi membutuhkan keberanian yang totalitas dimana harus meletakkan teks sebagai sesuatu yang harus dibongkar untuk menjadi fundamen sosialnya yang humanis dan memerdekakan.

Wacana membumikan teks lebih awal dimulai dengan pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam. Dimana dalam pemikirannya mengungkapkan bahwa fungsi dari agama adalah sebagai medium liberalistik yang diharapkan mampu mengangkat derajat kearifan-kearifan lokal, keadilan perspektif lokal dan muatan-muatan daerah yang beragam. Salah satu bentuk radikalisasi pemikiran Gus Dur adalah menolak terhadap unsur-unsur yang berbau arabisme. Menurutnya sebuah daerah lokal dan Negara yang bukan arab mempunyai perspektif kebudayaan sendiri-sendiri sehingga bangunan sosialnya semestinya tidak tercerabut dari identitas lokal dan kedaerahan yang sudah ada.

Disinilah pemaknaan Islam yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Letak paradigma yang dibangun berangkat dari nilai transdental tauhid yang memanusiakan manusia. Bukan sekedar penjajahan secara simbolik, ritual arabisme bahkan kebudayaan arab yang diambil serta merta menjadi produk religiusitas sosial. Secara tegas semestinya bangunan sistem keislaman yang akan dibangun menitikberatkan pada nilai-nilai budaya masyarakat yang sudah ada serta kearifan-kearifan lokal yang terdapat didaerah.

Pemikiran Kuntowijoya tentang Obyektifikasi dan Gus Dur tentang Pribumisasi Islam merupakan kerangka metodologi hermeneutik yang mencoba membongkar teks sebagai sebuah wahana pembangunan masyarakat yang tamadduni. Menempatkan teks sebagai wacana yang universal, humanis, holistik serta membumi!.

Selalu dengan Krisis : Renungan


~~ M. Syafi'ie


Saat ini, badanku begitu lelah seperti menyimpan rasa sakit tapi enggan dan sangat berat kuungkapkan. Tidak ingin aku larut dalam sakit yang menghinggapi badanku ini. Di saat yang sama, aku menemukan jiwaku juga tergeletak dalam ranjang renung panjang dan belum mendapatkan muaranya. Seakan jiwaku mengawang dalam ruang langit, beterbangan bersama malaikat-malaikat yang terus bertasbih.

Kudapatkan diriku sangat lelah, jiwa dan raga. Setiap saat tatkala aku membaca berbagai berita baik televisi, Koran ataupun mendengarkan radio, senantiasa kudapatkan informasi-informasi yang mengkerdilkan kemanusiaan, mempecundangi keadilan, dan mendorong atas penindasan-penindasan yang tiada henti. Ataupun realitas yang kulihat sendiri, dimana kaum kaya semakin kaya raya sedangkan kaum miskin semakin menderita dan tidak mendapatkan ruang untuk menaikkan pangkatnya : menjadi manusia yang bermartabat.
Kurasakan yang berhak untuk bermartabat ialah mereka yang mempunyai uang dan berkecukupan karena dengan kelihaian dan kecerdasannya mereka mampu menyekolahkan putra-putrinya, membelikannya kebutuhan-kebutuhan yang melebihi sekedar layak, dan perpenghidupan elit. Sedangkan mereka yang miskin semakin tidak jelas, tergusur dan tersingkir. Untuk makan hari ini saja, merekapun bingung harus makan apa? Berfikir makan untuk anak-anak mereka, mengobati sakit mereka dan kalau bisa menyekolahkan anak-anak mereka biar tidak sama dengan nasib mereka kekinian, tidak jelas pekerjaan dan hanya meminta-minta. Pendidikan adalah salah satu harapan dari penyelesaian krisis yang mereka hadapi saat ini.

Berkali-berkali telah dipesankan dalam buku-buku, mimbar ilmiah, pengajian-pengajian ataupun lainnya bahwa yang namanya pendidikan itu sangat penting dan fundamental bagi masa depan umat, sehingga seluruh umat manusia dari manapun harus berpendidikan dan menjadi manusia pembelajar. Pesan dan ultimatum inipun sesungguhnya telah disadari oleh kaum miskin, makanya mereka sangat menyesali terhadap nasib mereka. Mengapa mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka? Apa salah mereka? Takdirkah? Untuk menjawabnya mereka seringkali menggigit jari karena jalan pendidikan itu tertutup bagi kaum yang seperti mereka. Untuk makan hari ini saja susah apalagi akan berfikir menyekolahkan anak-anak yang biayanya jelas melebihi harga makanan hari-hari.

Hidup di negeri Indonesia ini seakan hidup di negeri dongeng. Sumber alam yang katanya melimpah dan dibangga banggakan, kok bisa banyak warganya yang busung lapar dan mati karena kelaparan. Ditengah maraknya para pejabat yang pamer kekayaan, selebritis yang pamer kemewahan, gemerlapnya hotel berbintang, bangunan-bangunan yang mencakar langit, mal-mal yang berhias lampu-lampu, mini-mini market yang bersih sampai sesak mobil-mobil di jalanan, tapi kenapa malah yang miskin melonjak tajam? Peminta-minta bertambah, pekerja seks komersial meningkat, pendidikan memahal, harga bahan pokok naik tajam, harga minyak yang tak terkontrol dan lain sebagainya.

Krisis demi krisis berjalan begitu saja tanpa pembenahan fundamental. Semuanya diselesaikan secara parsial dan temporer. Ironisnya penyelesaian yang ada malah menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih serius dan mengantarkan pada krisis yang berkepanjangan. Contohnya semisal untuk menuntaskan maraknya penyakit HIV maka solusinya kondomisasi, menyelesaikan krisis minyak maka jalan keluarnya konversi, krisis beras maka solusinya impor, krisis lembaga maka ciptakan lembaga baru lagi dan masih sangat banyak contoh-contoh lainnya yang menunjukkan political will penyelesaian krisis bangsa dilakukan secara serampangan dan tidak fundamental.

Kalau mengutip apa yang diungkapkan Adorno, kita harusnya mampu melakukan dialektika negatif yang kemudian mendorong kita untuk mengumandangkan slogan "Jangan", yang artinya dalam pengelolaan bangsa ini jangan sampai menggunakan logika-logika pokoknya dan sembarangan mengambil jalan keluar, melainkan harusnya mendasarkan atas kesadaran sejarah, kesadaran sosial, kesadaran berkebangsaan dan kesadaran bernegara. Sehingga krisis yang ada semestinya dielaborasi dan diselesaikan dengan keberanian dan kesadaran yang tinggi. Tanpa itu mustahil bangsa ini akan mampu keluar dari krisis panjangnya.

Memahami Realitas : Refleksi

~~ M. Syafi' ie

Dunia realitas merupakan dunia nyata, nampak atau kebalikan dari dunia maya. Bahasa yang yang sering dipadankan dengan realitas adalah dunia obyektif yaitu dunia yang sesungguhnya dimana areal kondisinya dirasakan secara langsung oleh orang yang menjalani dan mengalaminya. Membincangkan areal obyektif membutuhkan totalitas diri untuk terlibat dan menyelaminya serta menghilangkan unsur-unsur subyektif. Eksistensi subyektif harus dileburkan dengan kepentingan-kepentingan realitas obyektif dengan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi jarak yang memisahkan atau kepentingan-kepentingan yang merasuki dan mempengaruhi terhadap relasi antara entitas subyektif dan realitas obyektif.

Konstelasi dan tarik menarik antara kepentingan subyektif dan realitas obyektif sadar atau tidak sangatlah mempengaruhi terhadap harmonisasi eksistensi kehidupan bahkan kerapkali menjadi penyebab terjadinya disintegrasi sosial kemasyarakatan. Dimana kepentingan subyektif yang berupa dogma, ideologi, ataupun teks-teks yang normatif seringkali menjadi sesuatu yang eksklusif yang tidak bisa diinterpretasi ulang sesuai dengan konteks obyektif yang terjadi. Posisi inilah yang kerapkali menimbulkan kesenjangan-kesenjangan dan ekses yang tidak memperhatikan kemanusiaan.
Sebenarnya disini bukanlah teks yang menyebabkan ekslufitas dan sukar untuk dibumikan dengan konteks yang ada. Penyebabnya bersumber dari personality yang memahami terhadap teks yang bersangkutan sehingga dalam perspektif ini menegaskan bahwa subyektifitas dan ekslufitas teks tergantung paradigma seseorang memaknai teks sebagai bagian dari agama, norma atau konteks yang bersangkutan.

Dalam memahami keberadaan teks terdapat banyak golongan yang kesemuannya mengambil dari prinsip-prinsip normatifitas. Ada yang menjadikan teks sebagai sentral dan paripurna. Yang menurut perspektif mereka keberadaan teks merupakan penuntun dan berlaku universal yang tidak akan berubah sesuai dengan konteks zaman yang ada. Tanpa berpretensi mengklasifikasikan umat terhadap pengelompokan tertentu biasanya kelompok ini seringkali disebut sebagai kelompok tekstualis. Yang paling menarik dari kelompok ini terdapatnya totalitas tafsir terhadap teks dan meyakininya sebagai satu-satunya kebenaran. Makanya klaim kelompok ini terhadap kelompok lain yang berbeda dengan tafsir dan keyakinan mereka dianggap sebagai komunitas yang ingkar atau kafir.

Dalam konteks ini terdapat banyak kritik terhadap paham tekstualis dan menempatkan mereka sebagai komunitas yang ekslusif, radikal dan keras. Pandangan terhadap kelompok ini bukan lagi sebagai satu stigma tapi sudah menjadi streotipe yang berupa pandangan dan keyakinan umum melihat kelompok ini. Persoalan mendasarnya terletak pada memaknai keberadaan agama, paham atau sebuah ajaran sebagai sebuah kebutuhan sosial yang mempunyai bangunan visi kemanusiaan. Ketika memahami ajaran sebagai teks yang baku dan anti terhadap konteks maka sejauhmana relevansi visi kemanusiaan dan keummatan itu terbangun?tidakkah untuk mengangkat terhadap derajat kemanusiaan itu harus memahami terhadap realitas yang ada, membumikannya dan mengangkat derajat mereka sebagai manusia yang bermartabat. Disinilah letak dari keniscayaan keberadaaan konteks sebagai realitas yang harus dihormati dan dipahami oleh teks-teks yang ada.

Sedangkan kelompok yang kedua menggunakan pendekatan liberalistik. Dimana metodologi yang mereka gunakan menghilangkan teks sebagai penentu dominan bahwa keberadaan teks tidak lain hanyalah sebagai doktrin yang fungsinya sebagai rujukan, masukan atau arahan dalam memahami konteks yang ada. Semboyan yang senantiasa dihidupkan dalam kelompok ini bahwa keberadaan agama sesungguhnya bukan untuk dirinya melainkan untuk mengangkat derajat kemanusiaan. Sehingga meniscayakan menomorduakan teks bahkan kalau bisa tidak usah teks karena sesungguhnya otomatis dengan keberadaan teks itu sudah mengeliminir terhadap kemerdekaan kemanusiaan yang akan diwujudkan. Problem teks sebenarnya konotasi dari problem bahasa dimana menurut Jacques Derrida, keberadaan bahasa dalam identitasnya sudah membatasi, mengurung, dan mengarahkan yang dengan kata lain merupakan wujud dari penindasan itu sendiri. Untuk itu kemudian keberadaan teks semestinya hanyalah dijadikan doktrin yang fungsinya sebagai alat untuk melihat konteks kemanusiaan yang ada.

Sedangkan kelompok yang ketiga merupakan kelompok moderat atau yang menengahi terhadap perbedaan tajam antara kelompok tekstual dengan kelompok liberal dimana mengupayakan mensejajarkan terhadap mana yang diutamakan antara keberadaan teks dan konteks. Kelompok ini memandang bahwa keberadaan teks itu sangat berfungsi untuk menterjemahkan pesan-pesan ketauhidan sebagai mediasi untuk membangun areal kemanusiaan. Sehingga keberadaan teks meniscayakan untuk dibongkar secara metodologis sehingga mampu menangkap perubahan-perubahan (konteks) masyarakat. Berbagai wahana dicoba untuk dilakukan yang salah satunya menggunakan metodologi usul fiqh guna menangkap konteks kemudian selanjutnya bisa diterjemahkan dalam konteks hukum kekinian. Tetapi banyak tokoh yang membongkar terhadap kelemahan dari usul fiqh yang digagas oleh Imam Syafiie, sebagaimana diungkapkan Abu Zyd bahwa usul fiqh yang digagas Imam Syafiie sebagai metodologi masih menempatkan teks sebagai sesuatu yang dominan sehingga dalam mewujudkan realitas kerapkali menciptakan tatanan yang kaku, tidak fleksibel dan berakibat pada terciptanya dehumanisasi yang berkelanjutan. Apalagi semenjak era Imam Syafiie di masa kerajaan Bagdad abad ke-12 dan kerajaan Cordova abad ke-15 serta mulai abad ke 15- abad ke 16 terbangun sistem ‘ditutupnya pintu ijtihad’. Terjadi krisis kepercayaan dan pemikiran ditingkatan masyarakat serta mengkultuskan terhadap ketokohan mujtahid sebelumnya Maliki, Hambali, Hanafi, Syafiie, Ahmad dan lainnya. Ketergerusan ini mengantarakan umat islam pada era kegelapan dan sekaligus ditandai dengan kebangkitan kristen Eropa (renaisance) dengan kekuatan keilmuan, sains dan tekhnologinya.

Yang menjadi masalah substansial disini, dunia Islam menjadi anti pemikiran dan pengkultusan terhadap tokoh berikut segala simboliknya. Sedangkan disisi yan lain kebangkitan renaisance di eropa merupakan tindak lanjut dari sejarah buruk hubugan agama kristen yang berafiliasi dengan negara membunuh terhadap pengetahuan. Sebelum terjadinya renaisance sekitar abad ke-19 di Eropa terdapat kasus yang begitu menghebohkan dan menghancurkan sakralitas institusi agama. Tokoh fisika dan astronomi Galilio Galilie (1616) yang dihukum gantung karena menyebarkan terhadap ajaran seorang Pastor Copernicus (1545) dimana ajarannya mengatakan bahwa Bumi berputar mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Ajaran yang disampaikan Galilio Galilie bertentangan dengan ajaran agama kristen katolik yang menganut teori Geo Sentrisme yang berpendapat bahwa bumi sebagai sentral dan karenanya matahari mengelilinginya. Kisah pertentangan antara agama yang berkonspirasi degnan negara dan membunuh terhadap perkembangan pengetahuan tersebut menyebabkan terjadinya sekularisme dan sekularisasi di segala bidang, dimana agama itu menjadi urusan privat dan dipisahkan dengan publik (state).

Persoalan tersebut semakin meruncing dimana agama khususnya Islam bertahan dengan ketertutupannya walaupun mulai berubah ketika abad ke-19 dimana pintu ijtihad dibuka kembali dan kreatifitas terus dikembangkan. Tokoh-tokoh dalam hal ini meliputu Rifaat Tantawi, Syibawaihi, Iqbal, Mohammad Abduh, AlAfghani dan banyak lainnya. Tapi sayangnya tradisi ijtihadiyah dalam Islam kemudian dalam perjalanannya kalah power dengan kemajuan sains dan pengetahuan yang ada di Eropa. Sehingga dalam proses yang seperti itu kekuatan Eropa lebih mendominasi terhadap tatanan dunia dan menimbulkan akibat sekularisasi dan sekularisme yang sangat hebat dalam tatanan dunia baik dalam pemikiran, life style, nation ataupun dalam hal keberagamaaan.

Dampak itu cukup terasa sebagaimana diungkapkan Mohammad Iqbal bahwa tatanan dunia termasuk konsepsi negara dalam memaknai demokrasi. Menurutnya demokrasi menghilangkan posisi transdensi agama sehingga yang terjadi kemudian yang kuat semakin kuat dan yang miskin semakin miskin serta terjadinya ketimpangan akibat pengkhiantan kemanusiaa yang bertameng dalam topeng demokrasi serta entitas nation lainnya yang notabene mengacu terhadap tata dunia Eropa (global) yang sekuler.

Metodologi Usul Fiqh yang digagas Imam Syafiie dalam keonteks diatas mendapatkan tantangan yang luar biasa dimana teks tidak sepenuhnya berpihak pada pengetahuan, kemanusiaa dan kebebasan. Muncullah kreatifitas-kreatifitas yang mencoba membongkar terhadap dogmatisme agama dan membumikan Islam sebagai motivator kemajuan dengan tetap menjadikan transdensi sebagai sprit perubahan. Metodologi tafsir terbaru adalah ilmu hermeneutik dan semantik yang secara general membongkar makna teks sebagai sebuah domain yang meliputi pengarang, pembaca, konteks situasi kondisi yang terjadi sekaligus pembongkaran bahasa sebagai manifes mewujudkan masyarakat yang berkeadilan.

Pribumisasi Islam ala Gus Dur, Obyektifikasi dan Strukturalisme Transdental ala Kuntowijoyo, Islam inklusif ala Nurcholis Madjid, Islam alternatif ala Jalaluddin Rahmat, ideologi intelektual Muslim ala Ali Syariati, Islam Publik dan Privat ala Dawam Rahardjo atau banyak lainnya bagi saya merupakan pemaknaan terhadap teks dan konteks yang ada sehingga dapat mencapai wujud kerahmatan dan penghormatan kemanusiaan sosial. Yang paling fundamental dan prinsip bagi saya bahwa pemikiran itu harus dihormati kalaupun ada kritik jangan sampai ada klaim yang mengarahkan pada pembunuhan pemikiran, perbedaan apalagi membunuh manusianya. Tindakan tersebut tidak lain merupakan watak yang buruk, sadis, anti kemanusiaan, dan karenanya pantas dilawan secara bersama-sama.

Sinetronisasi Gaya Hidup : Refleksi

~~  M. Syafi' ie

Seperti biasa, rumah saya ramai dengan tetangga yang menonton TV. Tapi malam ini menambah kesesakan keramaian itu, para tetangga berdatangan nonton TV, karena listrik yang disambungin tetangga pada mati. Rumahku jadi rame sekali, sedangkan saya tetap di dalam kamar dan menulis sesuatu yang perlu direnungkan.

Di luar kamar, terdengar suara riuh menyebut tokoh-tokoh sinetron walaupun sebagian besa mereka tidak mengerti pesan pembicaraan yang ada dalam televisi, yang penting bagi mereka ialah menonton. Saya tidak enak sebenarnya diam dikamar dan tidak ikut bareng-bareng meramaikan nonton sinetron, tapi diamkan saja perasaan saya ini karena posisi lagi "merenung dan berfikir".
Kudengar seorang Ibu menjelaskan kepada Ibu-ibu yang lain tentang pemahamannya terkait yang ia tonton dan pahami. Sebagian yang lain, mendengar dan geleng-geleng kepala, seraya mengucapkan "…Oh…begitu???". Sangat jelas dari suara-suara dan berkumpulnya mereka bahwa acara yang mereka tonton sangat bagus dan melebihi yang lain.

Berfikir ala Sinetron

Saya jadi teringat hari-hari kemarin dan sore tadi. Seorang teman laki-laki menelpon saya dan kebetulan saya mengangkat teleponnya ditengah-tengah tetangga yang berkumpul malam ini. Selesai menelpon, mereka rame-rame berucap kepada saya "lagi nelpon pacarnya ya?". Saya bergumam dan rada-rada kaget, apa yang mereka pikirkan tentang saya sebenarnya, setelah saya lama di kota?.

Pada hari-hari kemarinpun, saya masih ingat. Nenek saya yang biasa memberi nasehat, kemarin-kemarin mewanti-wanti saya jangan sampai kayak seperti yang di sinetron-sinetron. Mereka berpacaran, berpelukan, main telpon-telponan laki-laki dan wanita. Pokoknya hati-hati katanya. Wanti-wanti serupa begitu banyak saya dengarkan dari kemarin-kemarin, dan selalu saya dengar dan rasakan pesan-pesan yang disampaikan menjurus "sebagai tuduhan" menyamakan prilaku dan gaya hidup saya seperti yang di sinetron-sinetron.

Sebagai seorang yang belum pernah pacaran, dengan berbagai ungkapan yang menyamakan saya dengan gaya hidup orang-orang yang main dalam sinetron-sinetron, saya merasa diperas dan ditindas. Tidak adil rasanya mempersepsikan sesuatu tanpa kroscek terlebih dahulu. Apalagi menuduh sesuatu tanpa menghadirkan bukti-bukti yang bisa menjadi landasan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan.

Pada kondisi yang lain, saya melihat dan menilai banyak perubahan dari anak-anak kecil kekinian. ungkapan-ungakapan mereka meniru ala gaya film sinetron, gaya rambut mereka dimiripkan dengan gaya rambut bintang film sinetron, kerah baju, celana ataupun mereka dalam melakukan penilaian sesuatu, kerapkali saya lihat dan rasakan persis sebagaimana mainstrem persinetronan. Sebutan orang gaul atau tidak gaul, gagah atau tidak gagah, bertangunggungjawab atau tidak, ataupun penilaian lainnya telah menyandarkan pada logika-logika persinetronan.

Dalam renungan yang sementara ini penulis bisa hipotesa bahwa dunia persinetronan disadari atau tidak kekinian telah menjadi kamus, literatur dan rujukan yang niscaya dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam sinetron, mindset, ide ataupun ideologi telah dirasukkan secara sistemik dalam pemikiran masyarakat. Sehingga masyarakat yang kita lihat sebenarnya bukanlah mereka yang independen tetapi mereka yang telah menjadi diri yang lain sebagaimana rekayasa produser sinetron inginkan.

Quick Count dan Kepentingan Pasar

~~ M. Syafi'ie

Hari kamis, 9 April 2009 merupakan hari penting bagi rakyat Indonesia. Momen yang meriah dan ditunggu-tunggu karena di hari itu suara rakyat ditentukan. Bagi orang yang percaya demokrasi bahwa rakyat adalah penguasa dan penentu kebijakan maka di hari itulah suara rakyat betul-betul menentukan bagi keberlangsungan perjalanan negara Indonesia. Rakyat betul-betul dihargai dan suaranya dibeli oleh partai dan calon wakil rakyat. Suara rakyat dalam kondisi labil dan berada di atas angin.

Termasuk yang membuat meriah itu adalah lembaga-lembaga survey di Indonesia. Dengan metodologi masing-masing mereka membuat perhitungan dan prediksi bagi para kandidat yang akan mewarnai bagi penyelenggaraan kenegaraaan kedepan. Posisi perhitungan dan prediksi mereka dapat dibenarkan secara akademik dan dalam perspektif demokrasi keberadaan lembaga-lembaga survey adalah wujud kebebasan berekpresi dan kebebasan berpendapat yang telah dijamin dalam konstitusi.
Sebagai lembaga yang menggunakan kerangka ilmiah jelas pendekatan dan metodologi yang digunakan berbasis pada pengetahuan akademik. Kepercayaan pada lembaga survey samahalnya percaya pada logika akademik yang rasional, ilmiah dan metodologis. Penolakan pada keilmiahan yang metodologis sebagaimana lembaga-lembaga survey lakukan samahalnya menolak premis-premis logika yang telah berkembang sedemikian rupa dalam dunia kampus.

Cukup menarik perkembagan mutaakhir keberadaaan lembaga-lembaga survey di Indonesia. Hiruk pikuk pelaksanaan Pilkada di banyak tempat berbarengan dengan hiruk pikuk pertarungan lembaga-lembaga survey dalam menyajikan data temuannya. Salah satunya, pertarungan lembaga survey dalam Pilkada Jawa Timur. Kubu Kaji oleh mayoritas lembaga survey misalkan LSI Sjaiful Mujani, LSI Denny JA, Puskaptis Husin Yazid dan Pusdeham Unair menyatakan pasangan Kaji yang akan menang. Tapi itu dibantah tim survey internal Karsa yang mengakui dalam surveynya Kaji akan kalah. Dan ternyata mayoritas tim survey Pilkada Jawa Timur salah karena rekapitulasi KPUD akhirnya menyatakan bahwa pasangan Karsa yang memenangkan Pilkada.

Pertarungan antar sesama lembaga survey dan internal KPUD juga pernah terjadi ketika Pilkada Sumatera Selatan. Saat itu dua lembaga survei, yakni LSI Sjaiful Mujani dan LSI Denny JA menyatakan Alex Nurdin memenangkan pilkada mengalahkan Sjahrial Oesman. Sementara Puskaptis pimpinan Husin Yazid menyatakan sebaliknya. Pilkada Jawa Barat juga sama. Puskaptis dalam penghitungan cepat melansir bahwa pasangan Dani Setiawan-Iwan Sulanjana yang menang. Namun ternyata hasil penghitungan manual KPUD pasangan HADE yang memenangkan pilkada.

Pertarungan antar lembaga survey tersebut berlanjut hingga pelaksanaan pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan Kamis, 9 April 2009 kemarin. Lembaga-lembaga survey telah merilis temuan-temuannya lebih awal ketimbang penghitungan real count yang dilakukan oleh KPU. Para pihak yang bertarung dalam pemilihan legislatif akhirnya bersilang pendapat. Presiden SBY bersama Partai Demokrat mengatakan percaya dengan hasil survey karena metodologinya yang ilmiah. Megawati ketua umum PDI-P mengatakan bahwa dirinya ragu dengan temuan lembaga survey. Sedangkan PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar yang suaranya turun dan tidak masuk 5 besar menyatakan bahwa partainya seringkali dirugikan oleh temuan-temuan lembaga survey.

Silang pendapat terkait temuan quick count di lembaga survey tidak hanya ramai pada tingkatan elit partai tetapi juga ramai sekali di level rakyat. Berbagai media yang menyajikan data-data up-date dari lembaga survey berpengaruh luar biasa pada perang opini dan perang ingatan dalam ruang publik. Siapa yang dibesarkan dan merebut ruang opini dan ingatan dialah yang diuntungkan. Situasi yang masih kosong ini menjadi kampanye tersendiri di tengah masih kacaunya sistem pemilu.

Kampanye Citra

Sampai tulisan ini dibuat data pelanggaran yang masuk Bawaslu dalam pemilu legislatif sudah berkisar 570-an. Mulai surat suara yang tertukar, rakyat yang tidak masuk DPT, surat suara yang sudah dicontreng lebih dulu, surat suara kurang, surat suara yang tertukar antar daerah pemilihan, sampai pada pemungutan suara yang tidak dilakukan dalam bilik suara. Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi menandakan bahwa pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan menyimpan banyak persoalan termasuk mempertanyakan political will KPU yang menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pemilu legislatif tahun ini.

Di banyak tempat akibat beberapa pelanggaran dilakukan pemilihan ulang. Misalkan di Kupang, Lampung, dan beberapa tempat lainnya didesak untuk dilakukan pemilihan kembali karena terdapat banyak pelanggaran yang terjadi. Situasi ini menyebabkan ketidakpastian dan kekosongan akibat banyaknya desakan-desakan yang berkembang di masyarakat. Satu sisi yang lain kita telah melihat para elit politik telah terfragmentasi dengan sedemikian rupa. Partai yang dimenangkan lembaga-lembaga survey dikerumuni. Suasana ketidakpastian dan belum finalnya penghitungan KPU ada aktor dan kelompok yang sangat nyata diuntungkan.

Mengutip Robertus Robert dalam perang ingatan maka mereka yang menguasai ruang publik dialah yang menjadi pemenangnya. Disinilah sebenarnya poin penting keberadaan lembaga survey dalam pelaksanaan quick count pemilihan legislatif. Ia memfungsikan dirinya melakukan kampanye, like and dislike dan merebut ingatan publik. Ruang yang masih kosong dan masih dilakukan pemilihan ulang di banyak tempat tentu akan menguntungkan mereka yang menang dalam pertarungan perebutan politik citra.

Pikiran diatas bukanlah domain hukum yang penuh dengan kepastian. Melainkan lebih domain politik dan psikis. Quick count yang dilakukan lembaga-lembaga survey, didukung oleh kekuatan media yang massif dan kekuatan politik berintegrasi dalam merebut hati nurani. Menarik ruang-ruang psikis rakyat yang labil. Apalagi untuk saat ini, sudah biasa mengatakan bahwa lembaga survey dalam melakukan beberapa surveinya apalagi quick count didanai oleh partai dan donatur tertentu. Sehingga metodologi ilmiah yang digunakan telah terbeli dan mengikuti pesanan. Konteks ini kembali mengingatkan kita pada polemik hukum antara KPU dan Lembaga-lembaga Survey yang kemudian berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Polemik KPU dan lembaga-lembaga survey di Indonesia bermula dari dari UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam pasal 245 ayat 1 Undang-Undang tersebut berbunyi ”Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU”. Ayat 2 berbunyi ”Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang”. Ayat 3 berbunyi bahwa ”Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara”. Ayat 4 berbunyi bahwa ”Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu”. Dan kemudian pada ayat 5 dipertegas bahwa pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu.

Berdasarkan pada pasal 245 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu tersebut akhirnya KPU mengeluarkan Peraturan KPU No. 40 tahun 2008 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. KPU mengatur secara ketat aturan main lembaga survey dan pelaksanaan quick count. Ketentuan tersebut bisa dibaca pada Bab IV tentang Survey dan Jajak Pendapat dan Bab V tentang Penghitungan Cepat Hasil Pemilu yang biasa kita kenal dengan quick count.

Salah satu aturan yang kita bisa baca adalah terkait registrasi/pendaftaran pelaksanaan survey kepada KPU dan KPUD, kelengkapan profil lembaga survey, tidak melakukan pengumuman hasil survey di masa tenang, tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu, menyertakan metodologi dan sumber biaya yang digunakan dalam melakukan survey.

Pengaturan KPU yang agak ketat terhadap lembaga survey tentunya ada alasan fakta di lapangan. Banyak pihak mempertanyakan independensi lembaga survey dan dampak publik pasca pelaksanaan jajak pendapat, survey dan quick count. Dampak publik yang sangat terlihat adalah Pilkada Jawa Timur. Kubu Kaji dalam Pilkada tahap pertama tidak bisa terima keputusan KPUD, salah satu landasannya adalah hasil lembaga-lembaga survey. Pilkada tahap kedua dan dimenangkan Karsa tetap mengukuhkan keyakinan publik kubu Kaji bahwa kemenangan Karsa tidaklah legitimate dan merupakan pemilihan yang cacat di negara demokrasi.

Kondisi ini tentunya juga terjadi di beberapa Pilkada yang problem antara temuan survey yang berbeda dengan penghitungan manual KPU. Pikiran publik seringkali dikacaukan oleh lembaga-lembaga survey yang melakukan secara quick count. Apalagi kondisi di lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Dengan logika tidak utuh rakyat gampang marah, melakukan demonstrasi, pengrusakan dan bentrok antar kelompok yang berseberangan. Situasi lapangan inilah yang menjadi latar belakang KPU mengatur secara agak ketat terhadap lembaga survey. Sebagaimana diungkap anggota KPU Endang Sulastri bahwa registrasi itu diwajibkan untuk melindungi masyarakat sebab sejumlah kalangan mengeluhkan independensi lembaga survei yang ada di Indonesia.

Namun, peraturan KPU No. 40 tahun 2008 tidak berlaku secara hukum karena Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa ayat dalam pasal Undang-Undang Pemilu setelah diajukan uji materi oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI). Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal 245, Pasal 282, serta Pasal 307, UU. No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 28 J sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Pemilu menghalangi masyarakat untuk mendapat informasi secepat-cepatnya mengenai hasil pemilu. Pelarangan quick count juga mengkriminalisasi hak konstitusionalitas warga negara Indonesia.

Secara teks yuridis putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi benar adanya. Kebebasan berpendapat dan hak atas hidup sebagaimana telah dijamin UUD 1945 akan terganggu dengan Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU. Namun secara konteks mungkin berbeda. Independensi, donasi dan akibat publik quick count yang menjadi ajang kampanye tersembunyi kelompok-kelompok tertentu. Tentunya kondisi ini menciderai demokrasi yang telah berubah borjuakrasi.

(Dimuat di Majalah Mahkamah Konstitusi)

Media, Pengaburan dan Tugas Umat

~~  M. Syafi'ie

Bulan-bulan ini kita disuguhkan dengan pemberitaan yang banyak, mulai dari bentrok mahasiswa, banjir, hiruk pikuk pemilu 2009 sampai dengan pemilihan Presiden Amerika Serikat McCain dan Barrack Hussain Obama. Dari sekian berita yang ada dan cukup menyita perhatian publik khususnya diinternal umat Islam ialah eksekusi Amrozy Cs dan pernikahan Syekh Puji.

Eksekusi Amrozy Cs menjadi perbincangan luas karena kasus mereka seakan diambangkan dan ditunda terus menerus untuk dieksekusi oleh Kejaksaan Agung. Padahal mereka bertanggungjawab atas pemboman di Bali dan menewaskan dua ratus orang lebih. Sampai pada situasi dimana Amrozy Cs seakan menjadi korban dan digelari umat Islam menjadi pejuang Islam dengan sebutan syuhada’. Satu “titel” yang sangat sakral, didambakan dan bahkan menjadi tujuan hidup setiap pribadi muslim. Mati syahid dalam ajaran Islam ganjarannya jelas Surga.
Kasus Syekh Puji, mengemparkan karena beberapa hal, pertama, Dia itu seorang Syekh yang namanya merupakan pangggilan terhadap keturunan Nabi Muhammad SAW, atau gelar bagi seorang guru besar tasawuf dan thariqot. Kedua, Syekh Puji dikenal khalayak sebagai seorang yang kaya raya, pengasuh pesantren dan kemana-mana pakai mobil mewah. Ketiga, Syekh Puji dengan alasan perusahaannya, akan menikahi bocah-bocah belia, selain Ulfa yang berumur 12 tahun, Syekh Puji akan menikahi bocah yang umurnya 9 dan 7 tahun. Belum lagi niatnya tercapai menikahi bocah yang umurnya 9 dan 7 tahun, Syekh Puji banyak digugat aktifis perempuan karena terbukti melanggar tiga Undang-Undang sekaligus meliputi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak, dan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, termasuk melanggar Konvensi Jenewa tentang Hak Anak-anak.

Sosok Amrozy Cs yang menjadi pahlawan dan Syekh Puji yang bernasib malang menjadi perbincangan serius ditengah-tengah publik. Berita mereka mengalahkan peristiwa-peristiwa lain yang lebih serius, soal kemiskinan. Diakui atau tidak, umat Islam yang menjadi penduduk terbesar di Indonesia secara serius diarahkan pada pemikiran yang tunggal. Mereka dihipnotis untuk melupakan masalah serius yang menimpa negara ini. Bayangkan, sampai saat ini sesungguhnya masyarakat dalam kondisi menderita dan semakin melarat karena kebutuhan-kebutuhan publik yang semakin tidak terjangkau. Sebelum Indonesia terperosok ke dalam krisis ekonomi 1997, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan masih 22,5 juta, tahun 2007 sudah mencapai 37,17 juta. Tahun 2008 ini dan kedepan sangat mungkin terjadi peningkatan disebabkan dunia global sedang mengalami krisis finansial dan dimungkinkan terjadi depresi ekonomi dunia.

Pemerintah Indonesia jelas panik karena krisis yang terjadi kalau tidak diantisipasi besar kemungkinan akan terulangnya sejarah tumbangnya Soeharto Mei tahun 1998. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai kenaikan BBM, sumber daya alam yang telah dikuasai asing, pendidikan yang di privatisasikan, menumpuknya pengangguran sampai dengan massifnya premanisme jalanan. Cerita semua itu merupakan akibat dari negara Indonesia ini yang sudah tidak lagi bergerak di atas pijakan konstitusi. Melainkan sudah bermadzhab atas sistem neo liberalisme. Negara ini telah menyimpang dari gagasan para founding fathers Soekarno dan Hatta. Aras kebijakannya terintegrasi dengan kapitalisme global. Programnya banyak diintervensi, khususnya paket kebijakan ekonominya yang borjuasi dan menciptakan kesenjangan sosial.

Menanggapi tersebut di atas ada dua hal, pertama, walaupun penulis tidak menafikan berita Amrozy Cs dan Syekh Puji merupakan satu berita yang penting. Namun, berita yang ada itu merupakan satu cara media untuk mengkaburkan masalah “musuh bersama” negara ini. Penting untuk mengetahui relasi media, kuasa dan kapital yang hidup di negara ini. Kedua, kalau berita tersebut ditempatkan sebagai pandangan dan prilaku umat Islam di Indonesia, tentunya ada kritik mendasar tentang keberagamaan umat Islam saat ini.

Media yang Elit

Pemberitaan yang dimunculkan banyak media saat ini telah mengarah pada pendistorsian masalah. Prinsip check and balance dalam media banyak dilupakan sehingga berita yang hadir dipastikan bias dan mengarah pada satu pokok pikiran yang tidak cerdas. Berita tentang Amrozy Cs yang menjadi pahlawan Syuhada’ dan menjadi fiqur sebagian umat Islam mungkin bisa menjadi contoh dari media yang yang tidak bertanggungjawab itu. Tujuan kebenaran yang diharapkan muncul akhirnya kabur. Hak-hak hukum ratusan korban yang luka-luka dan meninggal dunia menjadi kabur akibat prilaku media yang tidak bertanggungjawab. Bahkan, harapan untuk menjerakan prilaku “pemboman” tidak berhasil efektif.

Selain di atas, media yang ada saat ini sesungguhnya berusaha mengkuburkan persoalan publik yang fundamental di negara ini. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi untuk tidak mengatakan hilang tidak mendapatkan porsi yang memadai untuk diberitakan. Kalaupun ada, pemberitaannya diarahkan kepada kepentingan tertentu. Kasus pelanggaran hak asasi manusia di Tanjung Priok, DOM di Aceh, pembunuhan ribuan orang di Timor-timor, Penembakan Misterius, kasus Semanggi, korban komando Jihad dan penguakan para aktifis yang masih hilang sampai saat ini. Bahkan Surya Paloh pemilik Metro TV dalam forum FPPI mengultimatum untuk melupakan dan menutup kesalahan-kesalahan masa lalu.

Media seakan mengubur pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru. Secara sistematik berita yang diporsikan besar ialah berita yang sporadis terjadi dan sifatnya entertain. Tidak banyak menyentuh secara serius terhadap kepentingan kekuasaan dan pemilik modal. Kekuatan para kaum kapital yang berjejaring dengan kekuasaan saat ini seakan asyik mengarahkan dan mengkaburkan persoalan. Suara agung media nampak terperangkap dalam bangunan hegemoni yang tidak berpihak publik. Tidak ada kritik media yang tajam dan obyektif, media bergerak dalam area yang subyektif mendukung kekuasaan dan pemilik modal.

Suara riuh dan tangisan para korban pelanggaran tidak banyak diungkap, bahkan sengaja dikubur dan dijadikan peristiwa biasa. Korban dampak kenaikan BBM, korban privatisasi pendidikan, korban PHK, penganggur yang bertambah, gizi buruk yang meningkat sampai seribu kisah penggusuran-pengusuran di banyak daerah. Contoh paling nampak yang dapat kita saksikan sampai saat ini ialah para korban lumpur Lapindo. Di antara mereka masih ratusan orang yang masih belum mendapatkan hak-haknya. Mereka masih tiduran di jalanan dan di rumah pengungsian. Sayangnya, media tidak lagi peduli pada mereka untuk disuarakan bahkan oleh media yang dimiliki group Bakrie, berita tragis mereka dikubur dan didesain menjadi cerita yang indah.

Kalau dulu di era Orde Baru musuh yang ditakutkan media ialah penguasa otoriter. Saat ini tantangannya berbeda sama sekali. Kekuasaan “seolah” memberikan kebebasan penuh media, tetapi jejaring kekuasaan yaitu para pemilik modal telah menguasai media. Watak elit dan keberpihakan media kepada kekuasaan dan pemodal sangat jelas terbaca dari program-program yang dimunculkan. Sampai pada skenario reportase, setting isu, pembawa acara sampai dengan pembicara-pembicaranya juga yang berkomplot dengan penindasan itu.

Akhirnya arah untuk menyuguhkan obyektifitas kebenaran menjadi sangat hampa. Pembodohan dengan mensimpangsiurkan fakta merupakan berita hari-hari. Rekayasa-rekayasa kekuasan dan pemodal semakin canggih. Menyaksikan itu semua, seakan negara Indonesia ini tidak lagi menjadi negara publik (ripublica) melainkan telah menjadi negara yang dimiliki, diatur dan dijalankan oleh privat-privat yang satu warna.

Tugas umat Islam
Pemberitaan media yang konspiratif dan berpihak penguasa dan pemodal, sebagai umat terbesar di Indonesia semestinya umat Islam menyadari peran perjuangannya. Statistik nasional masih menempatkan umat Islam 88 persen sebagai mayoritas penduduk di Indonesia. Umat Islam sesungguhnya mempunyai posisi tawar yang sangat kuat untuk mengarahkan perubahan negara ini kepada dunia yang mensejahterakan. Sehinggga harus mengetahui musuh bersama yang harus diperangi setiap saat.

Musuh bersama itu ialah pemiskinan dan pembodohan yang dilakukan penguasa negara. Teologi pembebasan yang dikumandangkan Rosulullah di negara arab tidak terlepas dari konteks ini. Jangan bayangkan di negara arab ketika Rosulullah berdakwah sudah hidup sistem sosial yang beradab. Melainkan, sesungguhnya disana Rosulullah langsung berhadap- hadapan dengan satu era dari sebuah sistem yang jahiliyyah. Satu era yang oleh sejarawan disebut sebagai zaman yang gelap gulita (dzulumat). Sistem yang berjalan saat itu ialah hilangnya martabat kemanusiaan. Jual beli orang sudah menjadi kebiasaan, atau dikenal banyak orang dengan sistem perbudakan.

Sistem yang dijalankan di Arab awal bertumpu pada kekuasaan uang. Maindset bahwa uang mengalahkan segalanya hidup subur di masyarakat. Teologi yang dikembangkan Rosulullah kalau dikaji lebih jauh sebenarnya bermaksud memberontak terhadap sistem kapitalisme saat itu. Metodologi pembebasan yang digunakan Rosulullah ialah “basis pengetahuan dan ketauhidan” sebagaimana disebutkan Al-Qur’an di surat pertama turun Al-Alaq ayat 1-5. Tokoh Syafiie Maarif menyebut metodologi ini sebagai modal serius bagi perwujudan pencerahan Islam di Arab dan di dunia. Pengetahuan merupakan basis manusia untuk mengetahui kemanusiaan dan relasi sosialnya. Pengetahuan akan mendorong seseorang untuk menjadi intelektual yang terpanggil. Sedangkan ketauhidan menjadi basis pemerdekaan manusia dari segala bentuk penindasan di muka bumi.

Dalam konteks pemerdekaan, Islam mengajarkan untuk melawan dari segala bentuk tirani yang memiskinkan. Salah satu peringatan Rosulullah “kadzal faqru al-yakuna Kufron” yang artinya bahwa teramat dekat orang yang fakir terhadap kekufuran. Hadist ini menegaskan bahwa sesungguhnya tindakakan kufur yang terjadi massif saat ini semisal kekerasan, premanisme, pencurian, dan sampai jual beli tubuh untuk kepentingan uang tentunya disebabkan kemiskinan atau kebodohan yang sistematik. Agama Islam mengajarkan bahwa kekafiran harus dilawan dan diperangi.

Berangkat dari pemikiran di atas, semestinya umat Islam mulai mengevaluasi tentang pola keberagamaannya saat ini. Bahwa umat Islam tidak hidup dalam ruang privat melainkan hidup dalam ruang publik. Teologi pembebasan itu harus ditempatkan dalam ruang publik, yang menempatkan rakyat sebagai bagian dari sistem politik negara. Kemiskinan dan kebodohan itu sesungguhnya tidak terjadi bim salabim, melainkan diakibatkan dari kerangka kerja dari sistem negara yang memihak kaum elit dan borjuasi. Umat Islam harus belajar untuk kritis terhadap kepentingan-kepentingan kekuasaan dan modal yang bermain disekitarnya. Harus ada suara yang lebih kencang untuk diwacanakan dan didesakkan kepada publik. Berita massif yang terjadi pada eksekusi Amrozy Cs, Syekh Puji, dan banyak berita lainnya lebih banyak merupakan rekayasa dan taktik pemodal dan penguasa untuk mengaburkan permasalahan mendasar negara ini, berupa tingkat kesenjangan sosial dan kemiskinan yang semakin tinggi.

Korban Bencana Selalu Jadi Korban

~~ M. Syafi' ie

Sepanjang 2010 sampai 2011 saat ini, masyarakat Indonesia belum bisa dilepaskan dari  gempuran  bencana alam yang selalu hadir setiap saat. Bencana alam terjadi silih berganti dan selalu tidak mengerti betapa berat beban penderitaan para korban bencana. Bagi sebagian korban, kadang terucap “betapa Tuhan tidak adil, memberikan beban kepada makhluknya, ditengah beban yang selalu menghimpit sehari-hari”. Ungkapan itu ialah sebentuk ekspresi kegelisahan dan gugatan terhadap ketidakadilan yang datang bertubi-tubi, membebani pundak dan pikiran mereka. Tidak sedikit dari para korban bencana alam itu, yang mengalami stres berat dan tidak bisa hidup normal. Jiwa dan pikiran para korban tidak kuat menahan penderitaan yang bagi mereka abnormal.
Bencana alam memang identik dengan abnormalitas. Ia tidak terpikir dan tidak terperkirakan. Ketika bencana alam terjadi, barulah peristiwa itu dianggap sebagai sesuatu yang normal dan diperbincangkan oleh para ilmuan, khususnya dari kalangan pejabat pemerintahan. Situasi ini, seakan membenarkan thesis bahwa pengetahuan itu terbatas dan tanggungjawab negara juga terbatas sehingga tidak mungkin bisa melampaui kehendak alam yang seringkali abnormal. Persoalannya terletak pada sejauhmana pemerintah sebagai penanggungjawab kenegaraan, memperioritaskan anggarannya untuk mendorong para ilmuan dan pekerja sosial untuk melakukan penelitian, advokasi dan monitoring terhadap situasi alam dan masyarakat yang seringkali menghadapi bencana.
Penelitian kebencanaan sangat terkait dengan urgensi pendidikan tentang kebencanaan. Pendidikan merupakan upaya strategis untuk menyadarkan masyarakat, dari tidak paham menjadi paham, pendidikan merupakan upaya membangkitkan nalar kritis masyarakat sehingga mampu membaca berbagai varian dari tanda-tanda yang terjadi, alam sama dengan obyek lainnya yang juga mempunyai simbol-simbol kunci yang menjelaskan tentang apa, mengapa dan kapan bencana akan terjadi. Alam dan sistemnya mempunyai disiplin ilmunya sendiri, dan itu harus digali dan didorong untuk diajarkan kepada masyarakat. Pendidikan tentang alam dan  kebencanaan, otomatis juga akan mengajarkan kepada masyarakat untuk  selalu mencintai dan menyayangi alam, bukan malah menjauhinya karena dampak traumatik yang timbul saat bencana terjadi.
Upaya-upaya tranformasi lewat penelitian, pendidikan, advokasi dan monitoring sangat fundamental dilakukan mengingat wilayah Indonesia sekali lagi tidak bisa lepas dari bencana alam. Kita tidak akan lupa betapa silih bergantinya bencana alam terjadi, mulai Tsunami, Gempa, Banjir, Gunung Meletus, Angin Puting Beliung, dan beberapa lainnya. Bencana-bencana itu terus-menerus terjadi secara bergantian di dIndonesia, setiap detik, setiap menit, setiap hari, setiap bulan dan bertahun-tahun. Namun sayangnya, pemerintah tidak serius untuk melakukan antisipasi dan tindakan preventif. Pemerintah lebih disibukkan dengan persoalan-persoalan polemik politik, pergantian Menteri, dan debat simpang siur penegakan hukum, padahal kondisi bencana alam, sistemik  dan meluas terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah seakan berjibaku dengan prioritasnya sendiri, sedangkan masyarakat juga harus memikul bebannya sendiri tanpa perlindungan dan pemenuhan hak-hak dari negara. Situasi ini diperparah dengan masih hidupnya pikiran sempit bahwa pemerintah tidak bisa dipersalahkan atas bencana alam yang terjadi, karena bencana alam kehadirannya dinilai alami dan tidak ada kaitannya dengan tanggungjawab pemerintah.

Bencana Seiring Dengan Kehilangan
Ilustrasi di atas memperlihatkan betapa masyarakat korban bencana selalu menjadi korban atas minimalisnya political will pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat yang diantaranya ialah hak atas informasi dan hak atas pendidikan yang kemudian berdampak pada lemahnya pengetahuan masyarakat atas situasi dan kondisi bencana. Kalaupun ada program pemerintah terkait penyadaran tentang kebencanaan, itupun tidak maksimal dan sekedar formalitas. Hal itu terbukti tidak adanya hasil yang jelas dari program pemerintah tentang sadar bencana. Ketika bencana terjadi, masyarakat selalu menjadi korban, mulai dari kematian, cacat, luka-luka, kemacetan, tidak adanya penampungan yang representatif, kehilangan benda-benda berharga dan banyak lagi lainnya. Inilah akibat dari miskinnya komitmen struktural pemerintah sehingga manajemen kultural masyarakat terkait kebencanaan terlihat awut-awutan dan serba kacau.
Kita biasa membayangkan, betapa kerugian materil dan immateril akibat bencana alam sangatlah dahsyat, melebihi dari bencana-bencana sosial lainnya. Bencana di Aceh misalkan  Bappenas (2005) memperkirakan sekitar 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami di Aceh mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Demikian juga bencana di Mentawai, nilai kerusakan dan kerugian pada sektor infrastruktur akibat bencana gempa yang diikuti tsunami pada 25 Oktober 2010  itu ditaksir mencapai Rp 19,16 miliar. Sedangkan total kerusakan dan kerugian ditimbulkan tsunami yang melanda Pulau Sikakap, Mentawai, juga ditaksir mencapai total Rp 348,92 miliar. Bencana di Mentawai juga menyebabkan korban tewas 509 orang, 17 orang luka berat, 21 orang hilang dan 11.425 orang luka-luka.
Demikian juga bencana di Yogyakarta. Potensi kerugian akibat gempa bumi 5,9 pada Skala Richter (SR) yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 lalu sangat besar, meliputi kerusakan insfrastruktur, rumah-rumah, dan macetnya roda perekonomian yang diperkirakan mencapai Rp 29,2 triliun dan telah menewaskan lebih dari enam ribu orang. Sedangkan dampak letusan gunung Merapi sebagaimana dirilis oleh Bapenas diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 4,23 triliun. Kerusakan dan kerugian yang cukup besar terjadi di empat kabupaten yaitu Magelang, Boyolali, Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta. Ratusan orang luka-luka dan meninggal juga terjadi.
Jumlah kerugian dan korban di atas merupakan data materil yang terhitung. Lain lagi jumlah  kerugian yang immateril, keberadaannya tidak bisa dijumlah tapi kedahsyatan kesedihannya dapat dirasakan oleh para korban. Kerugian immateril goncangannya pasti lebih hebat dari kerugian materil, bagi banyak orang, harta betapapun sulitnya masih bisa dicari, tapi tidak dengan jiwa. Orang tua yang kehilangan anak yang dicintainya dan atau anak yang kehilangan orang tuanya, seorang istri yang kehilangan suami yang dicintainya dan atau sebaliknya, pasti sangat sedih. Kesengsaraan mereka tidak akan bisa ditutupi dengan uang. Butuh terapi terus menerus untuk mengembalikan jiwa mereka yang goncang. Situasi ini melukiskan, betapa bencana alam sangat berdampak pada identitas kemanusiaan setiap orang. Bencana alam selalu beriringan dengan rasa kehilangan.

Korban Bencana Terus Menjadi Korban
Peristiwa bencana alam selalu tidak berpihak kepada korban. Bukan semata sebab bencana alamnya, tetapi lebih pada hilangnya tanggungjawab pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dalam banyak kasus bencana alam di Indonesia, kita sudah terbiasa diperlihatkan dengan situasi dan kondisi chaos dan tanpa kendali. Masyarakat di daerah bencana kocar-kacir. Tidak sedikit masyarakat yang harus menjadi korban tabrakan, luka-luka sampai harus mati akibat situasi chaos dari hiruk pikuk bencana yang terjadi. Pemerintah selalu tidak siap, tidak siaga dan tidak memaksimalkan langkah-langkah preventif dalam menangani bencana yang terjadi. Pemerintah selalu abai dan lalai untuk melindungi masyarakatnya yang terkena bencana.
Masyarakat korban bencana juga sudah terbiasa menghadapi kebingungan untuk mencari tempat pengungsian. Di banyak daerah tempat pengungsian khusus untuk korban bencana alam belumlah dibangun. Ketika peristiwa bencana terjadi, masyarakat berhamburan dan tidak terkoordinasi dengan baik. Para korban seringkali lari ke tempat pengungsian luar daerah, yang kemudian berdampak pada hilangnya hak-hak baik, diantaranya hak mendapatkan bantuan makanan pokok, baju, alat-alat rumah tangga dan beberapa lainnya. Distribusi konsumsi akhirnya hanya terfokus di beberapa tempat saja, sedangkan masyarakat yang tidak terdata, mereka harus berjibaku menanggung bebannya sendiri, atau harus menggantung sama bantuan orang lain yang seringkali tidak memadai. Masalahnya lagi, pemerintah membiarkan masyarakat terpencar-pencar dan tidak melakukan pendataan secara serius. Bantuan-bantuan yang datang akhirnya hanya menumpuk di gudang kantor-kantor pemerintah.
Salah satu contohnya gempa bumi tahun 2006 dan erupsi merapi di Yogyakarta tahun 2010. Gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei, jam 05.55 WIB dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter itu memang diluar dugaan. Masyarakat berhamburan dan muncul simpang siur akan adanya Tsunami. Masyarakat yang panik dan tidak ada kepastian informasi harus berlarian dan menaiki motor dan mobil yang kemudian memadatkan jalanan. Banyak korban luka-luka, tabrakan dan bahkan ada yang meninggal akibat kepanikan yang timbul. Masalahnya lagi, tidak ada tempat khusus pengungsian yang dibuat pemerintah pada waktu itu. Demikian halnya ketika erupsi merapi terjadi. Masyarakat berhamburan dan tidak terkoordinasi dengan baik. Peristiwa Gempa dan Erupsi Merapi di Yogyakarta memperlihatkan betapa lemahnya sistem informasi, teknologi dan penampungan yang tidak layak. Situasi ini sekali lagi memperlihatkan betapa tidak siapnya pemerintah untuk melindungi masyarakatnya yang rawan akan bencana.
Bencana lain yang sering dirasakan masyarakat para korban ialah  pencurian. Hampir ketika bencana alam terjadi di Indonesia, dapat dipastikan pula pencurian marak. Ketika gempa bumi pada Mei 2006 terjadi di Yogyakarta, masyarakat korban bencana banyak yang kehilangan harta benda mereka baik sepeda motor, hewan ternak, emas dan barang-barang berharga lainnya. Demikian juga ketika bencana erupsi merapi, pencurian masih terjadi disana-sini, walaupun banyak yang digagalkan oleh aparat militer dan kepolisian. Maraknya pencurian di daerah bencana, juga memperlihatkan betapa lemahnya perlindungan terhadap hak-hak milik para korban bencana, sehingga pencurian sangat mudah terjadi.
Persoalan lainnya yang juga sering terjadi pada korban, sebagaimana kasus erupsi merapi ialah tindakan kasar dan pemaksaan aparat keamanan baik polisi dan militer. Tindakan paksa dan kasar memang diperbolehkan ketika bencana terjadi, tapi bagaimanapun tindakan dengan pendekatan pemaksaan dan kasar hakekatnya tidak manusiawi. Oleh karena itu, aparat keamanan seharusnya juga terlatih secara metodologis bagaimana menggunakan pendekatan-pendekatan yang berkearifan lokal dan dapat diterima oleh masyarakat. Penanganan korban bencana tidak bisa digerakkan secara serampangan, membabi buta dan menafikan harkat martabat manusia. Paradigma penanganan bencana alam yang serba mendadak saatnya diubah menjadi penanganan yang sistematis dan visioner, baik sebelum, proses dan pasca bencana.

Selalu Ada Janji-Janji Manis
Satu hal yang selalu memilukan bagi para korban bencana ialah hadirnya janji-janji manis pemerintah tetapi selalu berakhir dengan pembohongan-pembohongan. Janji terbaru bagi para korban bencana merapi misalkan, pemerintah telah menjanjikan akan membeli ternak-ternak yang meninggal akibat erupsi merapi dan akan secepatnya membuatkan shelter atau tempat hunian sementara bagi para korban bencana. Janji-janji pemerintah sebagaimana diungkapkan langsung oleh Presiden SBY itu, sampai saat ini masing belum jelas dan penuh dengan kesimpang siuran informasi dari pemerintah. Masyarakat yang kecewa akhirnya melakukan demontstrasi beberapa waktu yang lalu di kantor Kabupaten Sleman, kantor Gubernur DIY, kantor DPRD DIY dan kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Janji serupa juga pernah terjadi terhadap para korban bencana gempa bumi di Yogyakarta, Mei 2006. Dimana pemerintah yang diwakili Jusuf Kalla pada saat itu menjanjikan uang sebagai jatah hidup (Jadup/living cost) sebesar 30 Juta untuk masing-masing keluarga yang mengalami kerusakan total. Namun sayangnya, janji-janji yang dibuat pemerintah saat itu berubah-ubah dan penuh dengan ketidakpastian. Masyarakat pada saat itu juga melakukan demonstrasi sebagai bagian dari protes karena janji-janji manis pemerintah tidak kunjung ditepati. Jatah hidup (living cost) yang dijanjikan pada masyarakat korban gempa pada waktu berlangsung lamban dan tidak merata, sehingga melahirkan pergesekan-pergesekan di internal masyarakat sendiri.
Janji-janji manis pemerintah juga terjadi di lokasi-lokasi bencana yang lain, seperti Mentawai dan Wasior Papua. Korban bencana Mentawai saat ini misalkan mengaku pesimistis dan tidak percaya pada janji-janji pemerintah. Mereka sama dengan masyarakat Yogyakarta yang dijanjikan uang santunan dan akan dibangunkan rumah-rumah hunian oleh pemerintah. Tapi sayangnya, mereka saat ini mengaku kecewa karena pemerintah ternyata tidak kunjung menurunkan uang santunan yang pasti dan pendirian rumah hunian yang juga simpang siur. Di tengah ketidakpercayaan kepada pemerintah, mereka akhirnya membangun rumah sendiri dengan biaya yang seadanya. Demikian juga para korban banjir Wasior Papua. Mereka harus hidup dengan harapan-harapan yang tidak kunjung datang dari pemerintah. Janji-janji manis pemerintah yang ternyata berakhir dengan kebohongan, setidaknya menjadi beban fisik dan psikis tambahan bagi para korban bencana alam di Indonesia.

Korupsi Dana Bencana
Titik nadir dehumanisasi dari peristiwa bencana alam di Indonesia ialah ketika para pejabat pemerintah masih doyan mengkorupsi dana yang nota bene merupakan hak para korban bencana alam. Para pejabat pemerintah sudah biasa menjadikan ladang bencana alam sebagai pengkayaan diri sendiri dan kelompoknya. Mereka menari-nari di atas penderitaan masyarakat yang lapar dan menderita lahir maupun bathin akibat bencana. Catatan  ICW menyebutkan bahwa titik rawan korupsi dana bantuan bencana meliputi tahap tanggap darurat, tahap rehabilitasi, dan tahap rekonstruksi lokasi bencana. Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi ladang yang sangat basah untuk terjadinya praktek korupsi bencana alam.
Emerson Yuntho Wakil ICW misalkan menuliskan, sampai saat ini sudah tercatat sekitar 27 kasus korupsi dana bantuan pasca tsunami telah masuk ke pengadilan dengan nilai Rp 29,6 miliar yang terjadi di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. Demikian juga laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penyimpangan dana bencana tsunami di Aceh dan Nias. BPK dalam laporannya tahun 2005 juga mengungkapkan tentang adanya potensi penyimpangan dana bantuan untuk tsunami di Aceh dan Nias yang mencapai lebih dari Rp 150 miliar. Menurut Yuntho, potensi korupsi di daerah bencana sangatlah besar, karena pemerintah memang menganggarkan dana yang besar. Informasi terbaru, saat ini DPR telah menyetujui pencairan dana sebesar Rp 150 miliar untuk tiga wilayah yang dilanda bencana di Indonesia, yaitu Wasior Papua, Merapi Yogyakarta-Jateng dan di Mentawai, Sumatera Barat. Bahkan pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana dalam APBN tahun 2011 sebesar Rp 4,9 triliun.
Korupsi dana bencana alam juga tercium ketika gempa di Yogyakarta. Sebagaimana disuarakan oleh beberapa LSM, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana alam di Yogyakarta berlangsung cepat dengan berbagai aliran dana yang masuk lewat pemerintahan Desa. Siaran pers sejumlah LSM meliputi LBH, Forum LSM, LOS DIY, Lembaga Advokasi Yogyakarta, Idea dan beberapa lainnya mengatakan bahwa masyarakat korban gempa bumi, baik yang masuk kategori rumahnya rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan hampir tidak ada yang menerima dana rehabilitasi dan rekonstruksi (dakon) secara utuh. Dana yang semestinya menjadi hak masyarakat dipotong dari sifatnya yang ringan sampai berat (puluhan ribu, ratusan ribu hingga jutaan). Alasan yang digunakan untuk melakukan pemotongan dakon salah satunya ialah dengan alasan kearifan lokal yang kadang tidak jelas maksud dan tujuannya. Para aparat desa bisanya mengatakan hasil potongan digunakan untuk membangun fasilitas umum di desa seperti perbaikan jalan, membuat pagar bumi dan membangun balai desa yang rusak.
            Korupsi dana bencana alam masih terus menjadi tren sampai saat ini di beberapa daerah yang terjadi bencana. Investigasi dan penegakan hukumnya sangat sulit karena mengait dengan aparatus yang paling dekat dengat masyarakat korban bencana alam sendiri. Namun demikian, saat ini sudah ada beberapa kasus korupsi bencana alam yang sudah masuk ke meja KPK di Jakarta, seperti telah ditetapkannya Bupati Nias Binahati B. Baeha sebagai tersangka dan desakan ICW dan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng untuk mengusut korupsi dana bencana Gempa di Klaten, Jawa Tengah. Keberanian beberapa LSM untuk melakukan advokasi dan monitoring serta eksistensi KPK yang baik, setidaknya menjadi penerang ditengah krisis perlindungan pemerintah terhadap para korban bencana alam di Indonesia saat ini.

Pelanggaran HAM di Yogyakarta


~~ M. Syafi'ie

Seperti orang umum biasa menyebutnya, Yogyakarta ialah kota pelajar dan kerajaan. Dikenal sebagai kota pelajar karena di tempat ini berjibun ratusan sekolah, ratusan perguruan tinggi dan sekitar 20% penduduk produktifnya adalah pelajar. Kota ini juga menjadi tempat berlabuhnya para mahasiswa dari berbagai daerah. Selain itu, tempat ini juga dikenal sebagai kota istimewa karena dipimpin oleh seorang raja, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan dibantu Pangeran Pakualam. Kedua tokoh ini menjadi sentrum budaya dan kebijakan mayoritas masyarakat Yogyakarta, dipatuhi oleh para pemegang kebijakan daerah dan dihormati sebagai simbol keistimewaan.

Namun, walau daerah ini dikenal sebagai kota pelajar yang berjibun nuansa intelektualisme, kritisisme dan pergerakan tapi sebagian masyarakat Yogyakarta masih tidak rela jika pemimpinnya dikritik ataupun dibawa ke meja hukum salah satunya tercermin dalam kasus korupsi proyek telepon nirkabel Code Division Multiple Access (CDMA) lewat dana APBD DIY Rp 17 miliar. Sultan yang juga menjabat sebagai Gubernur DIY diduga terlibat sebagai pemangku kebijakan tapi karena pertimbangan politik akhirnya hanya bawahannya yaitu Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DIY Bambang Susanto Priyohadi yang diberhentikan secara tidak hormat oleh Presiden SBY. Kasus CDMA berakhir anti klimaks dan tidak ada pengawalan yang serius dari masyarakat.
Bahkan dengan berbagai pro kontra, Sri Sultan pada tahun 2009 mencalonkan diri sebagai kandidat calon presiden RI. Dia ingin menanggalkan baju kebesarannya sebagai raja dan Gubernur daerah istimewa Yogyakarta. Namun, rencana Sultan tidak berjalan lancar, pencalonannya sebagai calon Presiden ditolak oleh partai-partai besar. Keinginan menjadi calon presiden dan telah dideklarasikannya akhirnya macet sampai pada akhirnya mundur dari bursa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden RI. Kekalahan Sultan menjadi calon Presiden konon telah diprediksi sejak awal, pertama, Sultan tidak didukung secara total oleh masyarakatnya di Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat Yogyakarta sebagaimana survey malah lebih memfigurkan SBY sebagai Presiden. Kedua, sikap politik Sultan mencalonkan diri sebagai Presiden dianggap tidak komitmen untuk memegang sebagai raja di Yogyakarta. Sultan dianggap lebih mementingkan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib masyarakat yang riel di Yogyakarta.
Kegagalan Sultan menjadi calon Presiden semakin mempertegas dari sekian kritik sejumlah LSM dan para aktifis di Yogyakarta yang selama ini dilawan oleh pendapat sebagian besar masyarakat. Yogyakarta sudah tidak istimewa lagi karena pemimpin dan pemangku terpenting di daerah ini tidak lagi memperhatikan hak-hak masyarakatnya. Kemiskinan meningkat, penggusuran terjadi dimana-mana, tindakan tidak manusiawi selalu terjadi pada anak jalanan dan kelompok rentan, mal dan supermarket merajalela tanpa proteksi serta pasar tradisional yang semakin mati. Masyarakat Yogyakarta yang masih berkesadaran magis dan taat akhirnya mulai kritis. Sebagian merekapun kini melawan karena menjadi korban pelanggaran HAM sebagaimana kasus pasir besi dan penggusuran-penggusuran di banyak tempat.

Yogyakarta : Perselingkuhan Feodalisme, Penguasa dan Modal
Maraknya mal, supermarket dan penggusuran tidak menyurutkan suasana magis di Yogyakarta. Acara-acara seperti Tumplak Wajik, satu acara yang dihadiri oleh pembesar Keraton dilengkapi dengan sesajian, acara Garebek yang juga menjadi acara Sultan untuk berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur atas kemakmuran kerajaan, acara Sekaten yang diakhiri upacara Udhik-Udhik yaitu tradisi kraton menyebar uang logam (koin), dan masih banyak acara-acara kraton lainnya. Terlihat masyarakat tertumpah ruah mengikuti prosesi perayaan, seakan semakin menebalkan semangat magis dan candu masyarakat Yogyakarta.
Acara-acara kraton walaupun sudah mengeropos tapi masih diminati sebagian masyarakat saat ini. Acara-acara tersebut walau terkesan ritual tetapi tanpa disadari didalamnya mengandung magis dan menyulap kepercayaan masyarakat pada Kraton. Pemimpin Kraton seakan tidak bisa disentuh, agung dan bebas dari kritik. Masyarakat tidak sadar apa arti penting dari sebuah kerajaan?, apa arti penting dari pemegang kebijakan?, apa relasinya dengan penumpukan uang?, dan tidak bertanya soal relevansi kekuasaan dan tingkat kekerasan, kemiskinan dan begitu maraknya penggusuran di Yogyakakarta?. Ritualitas dan kepercayaan magis seakan telah terbangun untuk membungkam kesadaran dan fakta-fakta penindasan yang terjadi setiap saat.
Guntur Narwaya Direktur Resist Book, Rabu, 21 April 2010 mengatakan, kehebatan pemimpin Yogyakarta mengubur penindasannya karena ia ditopang oleh kekuatan maha besar yaitu sistem kerajaan dan mitos-mitos Kraton yang selalu dijaga dan didesakkan pada masyarakat.  Kesadaran masyarakat akhirnya lumpuh dan rapuh. Padahal saat ini masyarakat itu sesungguhnya sedang vis a vis berhadapan dengan kekuatan Kraton dan para pemegang kebijakan di Yogyakarta. Coba kita lihat bagaimana praktek pelanggaran HAM di Pasir Besi dan bagaimana pembangunan Ambarukmo Mall itu dilakukan. Praktek-praktek itu menegaskan betapa pemimpin di Yogyakarta ini sudah berselingkuh dengan pemodal.
Dalam kasus penggusuran yang terjadi di banyak tempat, salah satunya di Bantul kemarin memang kita lihat Sultan tidak banyak bicara. Padahal dia semestinya berbicara karena banyak masyarakat yang tersiksa akibat kebijakan Bupati Bantul itu. Tapi Sultankan diam. Mengapa diam, karena dia tidak akan berbicara kalau dia belum dirugikan. Kalau dia dirugikan, pasti dia akan berbicara pada Golkar dan kelompok-kelompok lainnya. Artinya penggusuran, pembangunan mall dan kasus pasir besi pihak Kraton pasti dapat keuntungan. Dalam sejarah kita bisa baca, bagaimana setelah perjanjian Meja Bundar pihak kesultanan dapat konpensasi puluhan perusahaan. Sri Sultan IX dan X dapat konpensasi. Mengapa mereka dapat?, karena mereka menjadi alat dari legalisasi satu konsensi soal penguasaan asing di Indonesia.
Belum lagi kita berbicara soal tanah Sultan Ground. Tanah-tanah masyarakat Yogyakarta dimiliki Sultan. Masyarakat menggunakan tanah itu atas belas kasih Sultan. Menjadi sangat wajar apabila segala kekerasan yang menimpa masyarakat kecil terkait penggusuran dan lain sebagainya mereka tidak mempunyai kekuatan, karena Sultan berkuasa atas hajat hidup masyarakat. Berkuasa sekali dia. Dalam banyak sengketa terkait tanah sudah bisa dipastikan bahwa Sultan akan memenangkan perkaranya. Masyarakat kecil hanya menjadi korban, tidak berdaya dan selalu dikalahkan oleh kekuatan yang lebih besar.
Guntur menambahkan, Yogyakarta sekarang tidak ada bedanya dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain. Semua daerah relatif sama dalam konteks melakukan kekerasan dan pemiskinan pada rakyatnya. Apalagi daerah-daerah itu mempunyai poin penting dalam banyak hal, baik itu sekedar legitimasi, justifikasi dan ataupun legalisasi dalam kontek masuknya modal besar. Di Yogyakarta termasuk di dalamnya. Ketika CGI dan pemerintah Indonesia berniat hutang besar, Pemimpin Yogyakarta ialah salah satu yang menyiapkan ruang untuk CGI. Bahkan Sultan menegaskan Yogyakarta ialah salah satu yang berniat berhutang. Pertemuan itu dilaksanakan di Yogyakarta kalau tidak salah tahun 2003. Kaum gerakan, cukup besar pada waktu menolak pertemuan itu. Sultan tidak ada tanggapan dan menjadi bagian dari CGI itu.
Artinya mitologi Yogyakarta sebagai daerah istimewa sudah terbantahkan sejak lama. Bahkan sejak dahulu kala. Praktek perselingkuhan antara pemimpin negara dan modal itu sudah terjadi. Apalagi dalam konteks Yogyakarta, kesultanan terlibat dalam proses legitimasi penguasaan pasar dan modal di daerah ini. Kraton lebih menjadi pendukung akses penguasaan pasar dan modal dibandingkan akses rakyatnya atas sumber-sumber daya yang ada. Mitologi Kraton sebagai pelindung sekarang sudah keropos, terbukti banyak masyarakat yang dulu katanya menjadi pendukung Kraton sekarang tidak lagi. Hanya daerah Bantul saja yang terasa masih kuat dukungannya kepada Sultan.
Hal yang sama juga diakui oleh Dian Yanuardi dalam artikelnya Kapitalisme dan Feodalisme Yogyakarta, menurutnya, kasus Yogyakarta sebutan yang paling tepat adalah kapitalisme-feodal. Istilah ini merujuk pada perkawinan antara modus produksi kapitalisme dengan modus produksi feodal yang tetap kukuh di Yogyakarta. Feodalisme adalah suatu modus produksi dimana kepenguasaan tanah yang luas yang dimiliki oleh kelompok aristokrat maupun bangsawan—dengan suatu jenis modus produksi kapitalisme yang dijalankan di sekitar keluarga kerajaan kesultanan. Perkawin-mawinan dua modus produksi ini menjadi unik, sebab selain tidak menghancurkan sendi-sendi feodalisme, kapitalisme justru tumbuh subur dan berkolaborasi dengan feodalisme yang secara terus-menerus berupaya untuk memperkuat posisinya melalui undang-undang keistimewaan. Keduanya menjadi modus produksi sehingga tetap hidup kukuh, dan saling ber-koeksistensi.
. Sejak awal masa kelahirannya formasi sosial di Yogyakarta selalu ditandai oleh adanya dua modus produksi yang masing-masing berdiri kokoh dan kuat: kapitalisme kolonial dan feodalisme. Tetapi, alih-alih menghancurkan sendi-sendi feodalisme, kapitalisme pada masa kolonial malah menggantungkan keberadaannya pada feodalisme. Beberapa peneliti masalah pertanian di Jawa selalu memperhatikan dua aspek tersebut sebagai sumber dari masalah proletarisasi masyarakat Jawa. Di masa Sistem Tanam Paksa, meski Yogyakarta dan Surakarta pada dasarnya tidak memberlakukan sistem tersebut, tetapi karena raja-raja di daerah tersebut melihat keuntungan besar dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, maka mereka juga tertarik untuk memasuki bisnis itu. Belanda tidak melarang usaha-usaha pihak kerajaan tersebut, malah memberikan toleransi dengan cara membantu tenaga kerja dan kredit perbankan. Modus kapitalisme-feodal yang dilakukan oleh sejumlah raja-raja di Jawa, utamanya Yogyakarta tahun 1918, adalah dengan tetap memelihara sistem feodal sebagai sistem sosialnya, jelas Dian.
Pendapat Guntur Narwaya dan Dian Yanuardi di atas  menjelaskan bahwa praktek kekerasan dan pelanggaran HAM di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari aktor kerajaan. Sistem feodalisme sengaja diciptakan bukannya untuk menjadi pengayom masyarakat tetapi lebih cenderung sebagai penguatan kesadaran magis masyarakat sehingga perselingkuhan kuasa dan modal tidak tersentuh oleh nalar-nalar kritis masyarakat. Dalam konteks kasus-kasus mutaakhir di Yogyakarta seperti penggusuran, kasus pasir besi, kriminalisasi Tukijo (aktivis PPLP) terkait kasus pencemaran nama baik akibat meminta pertanggungjawaban pendataan tanah,  maraknya mall, supermarket, semakin tergusurnya pasar tradisional dan pedagang-pedagang kecil dan tingkat kemiskinan yang masih kuat, itu semua ialah dampak dari perselingkuhan feodalisme, penguasa daerah dan para pemodal. Masyarakat terlanggar dengan sedemikian rupa hak-haknya.

Konsep dan Fakta Pelanggaran HAM di Yogyakarta
Konsep hak asasi manusia di Indonesia pasca reformasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hak-hak asasi baik sifatnya sipil-politik ataupun ekonomi, sosial dan budaya serta dimensi HAM lainnya telah terkonstisionalisasi dalam perundang-undangan. Termasuk dalam UUD 1945 sendiri mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Termasuk dalam UU No. 32 tahun 2004 ditegaskan bahwa pemerintah daerah sesuai asas otonomi dan tugas pembantuannya, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatiakan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerahnya.
Basis hak asasi manusia sangat tegas, UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No, 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik dan UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Aturan-aturan tersebut menegaskan bahwa pemerintah disebut sebagai pemangku kewajiban sedangkan masyarakat sebagai pemangku hak. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahanan Yogyakarta yang secara kultural tunduk dalam kuasa feodal Kraton, menjadi kewajiban dari mereka untuk aktif memenuhi hak-hak masyarakatnya, terutama hak atas ekonomi. Namun sebagaimana laporan LBH Yogyakarta katakan, kondisi kemiskinan dan pengangguran di Yogyakarta masih menjadi momok yang sangat menakutkan. Sepanjang tahun 2009 saja diperkirakan penduduk miskin di Yogyakarta masih 622. 000 orang, jauh diatas target pemerintah yang akan menurunkan penduduk miskin sebesar 574. 000 orang. Sedangkan angka pengangguran tercatat cukup tinggi ada sekitar 139. 4000 orang.
Menurut Irsyad Tamrin Direktur LBH Yogyakarta (27/2/2010) mengatakan, pelanggaran HAM di Yogyakarta cukup massif terutama tahun 2009. Dalam kasus pelanggaran hak sipil dan politik, pada tahun 2009 tidak kurang dari 17 kasus yang terjadi dengan jumlah korban sekitar 3000-an orang, meliputi pelanggaran hak kebebasan berpendapat, hak untuk mendapatkan keadilan (fair trial), rehabilitasi korban pelanggaran HAM masa lalu, korupsi dan kekerasan aparat negara. Aktor Pelanggarnya dominan ialah polisi dan satpol PP. seperti kasus pembubaran forum Sri Bintang Pamungkas yang mencoba mengkonsolidasi golongan putih, pembubaran guru sejarah di salah satu Prawirotaman, penangkapan aktifis pasir besi, penghilangan suara ketika pemilu, penggerukan dan meludahi anak jalanan. Satpol PP yang paling beringas di Yogyakarta itu ada di daerah Sleman. Mengapa mereka beringas, karena Satpol di sana direkrut bukan mereka yang terdidik tapi latar belakang mereka adalah preman. Sehngga ketika menyelesaikan masalah di lapangan mereka kasar sekali. Mestinya kebijakan rekruetmen Satpol ini diperbaiki kedepan sehingga keberadaan mereka tidak menambah masalah dalam penyelesaian kebijakan di Yogyakarta.
Sedangkan dalam kasus pelanggaran HAM dalam konteks ekonomi, sosial dan budaya di Yogyakarta juga cukup massif. Kasusnya meliputi pelanggaran hak buruh terutama outsorsing, hak atas perumahan, hak atas pendidikan pendidikan dan beberapa lainnya. Aktor Pelanggaran hak dalam kasus ialah Pemda dan Pengusaha. Pemerintah tidak serius dalam memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. pemerintah seakan lepas tanggungjawab dalam beberapa kasus. Sedangkan disisi yang lain kita melihat bagaimana kuasa modal semakin merajalela, dan hebatnya mereka tidak tersentuh hukum. Semestinya pemerintah bertindak ketika ada kasus buruh, pendidikan dan lainnya. Pemerintah di Yogyakarta sebenarnya sudah paham ada aturan-aturan HAM tapi mereka tidak komitmen terhadap aturan itu. sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM selalu terjadi. Makanya tugas kelompok sipil di daerah-daerah ini ialah mengawal instumen-instrumen HAM biar dilaksanakan oleh pemerintah. Kita tidak cukup sekedar punya aturan, jelas Irsyad.
Hal yang sama ditambahkan oleh Syamsudin Ketua Bidang EKOSOB LBH Yogyakarta (29/4/2010) Ia mengatakan bahwa sepanjang tahun 2009 berdasarkan pengaduan masyarakat ke LBH Yogyakarta problem penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya walaupun mengalami penurunan dari segi jumlah kasus dan korban tetapi dari segi kwalitas penanganan dari pemerintah DIY mengalami penurunan. Banyak pengaduan dari masyarakat yang masuk ke LBH Yogyakarta yang mendasarkan rekomendasinya dari pemerintah. Seakan-akan pemerintah sengaja melepaskan tanggungjawabnya kepada masyarakat. Pada tahun 2009 pengaduan masyarakat terkait hak-hak ekosob didominasi oleh pelanggaran hak atas pekerjaan. Ini tidak jauh berbeda dari tahun 2008 yang lalu. Jumlah kasus pelanggaran hak ekosob yang masuk LBH pada tahun 2009 berjumlah 56 kasus dengan jumlah korban mencapai kurang lebih 442 orang dan 42 KK. Kasus-kasus tersebut meliputi pelanggaran hak atas pekerjaaan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan hak atas pendidikan.
Sedangkan pada tahun 2010 kasus yang sudah masuk sudah ada puluhan kasus pelanggaran hak yang dilanggar. Salah satunya kasus hak atas pekerjaan yang meliputi standar upah minimum, soal tidak dikasih pesangon dan lainnya, ada kasus hak atas perumahan seperti warga diusir dari rumahnya dan dia tidak tahu kemana akan pergi, serta kasus-kasus pelanggaran hak lainnya. Di Yogyakarta memang pelanggaran HAM cukup massif dan banyak sekali, relatif sama dengan kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah disini masih belum paham terhadap tugas-tugasnya. Bahkan dalam beberapa kasus yang semestinya pemerintah memfasilitasi terhadap akses masyarakat tapi faktanya mereka lari dari tanggungjawabnya. Pemerintah disini sudah terbiasa dengan hal itu.
Menurut Syamsudin, hak atas tempat tinggal dan pertanian itu sudah diatur dengan jelas di Undang-Undang Agraria. Tidak ada yang diistimewakan. Di Yogyakarta aneh karena ada sultan ground, dimana tanah-tanah dimiliki Sultan. Jelas Sultan, Pakualam dan keluarga mereka diistimewakan. Nah, sekarang yang menghadapi masalah penggusuran ialah masyarakat di pesisir pasir besi Kulonprogo. Sebagaimana kita ketahui tempat itu memang mempunyai kelebihan biji besi. Pemerintah daerah yang dalam hal ini ialah Sultan dan Pakualam ingin mengeksplorasi pasir besi disana. Akhirnya mereka menggandeng investor asing dari Australia. Padahal tanah yang akan diekplorasi itu sudah menjadi tempat penduduk dan menjadi lahan penghidupan para petani daerah pesisir. Kalau tempat itu digusur sudah pasti mereka akan kehilangan segalanya.
Bayangkan masyarakat disana sudah tinggal lama bahkan katanya ketika Belanda ada di Indonesia, mereka sudah bertempat tinggal disitu.  Modusnya jelas, perampasan tanah dari rakyat oleh penguasa daerah dengan kepentingan investasi dan modal asing. Jadi perbincangan relasi penguasa, feodalisme dan modal itu sungguh terjadi di Yogyakarta. Perselingkuhan mereka berakibat nyata pada penindasan rakyat dalam kasus pasir besir Kulonprogo itu. Bahkan salah satu aktifis Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo (PPLP) Tukijo sekarang ada di meja hukum karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik akibat dia meminta pertanggungjawaban pendataan tanah disana di Kulonprogo, jelas Syamsuddin.
Apa yang diungkap oleh Irsyad Thamrin dan Syamsudin dari LBH Yogyakarta sekali lagi menegaskan bahwa Yogyakarta hari tidak ada bedanya dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Papua dan Surabaya dalam praktek pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah daerah dengan sokongan kekuasaan Kraton terlihat semakin aktif melakukan tindakan kekerasan dan diskriminasi kepada warganya. Kehebatan Yogyakarta dibandingkan dengan daerah lain ialah terletak pada strategi pembungkaman suara kritis masyarakatnya. Feodalisme dan ritus-ritus mistis Yogyakarta berhasil menjadikan masyarakatnya hanya sekedar berkesadaran magis. Walau saat ini sebagian mereka sudah sadar akan hak-haknya yang telah dilanggar.