20 February 2013

Idea dan Aktifis Mahasiswa

 
~~ M. Syafi'ie
 
Max Weber pernah mengungkapkan bahwa gagasan atau ide sangatlah penting bagi seseorang, dengan bermodalkan gagasan atau ide suatu perubahan dapat diwujudkan minimal tersiarkan dan terwacanakan. Hal tersebut membutuhkan pelatihan dan pembiasaan sehingga otak kita senantiasa akan terstimulus untuk senantiasa berfikir dan memunculkan banyak hal berkaitan dengan arahan perubahan. Dalam perspektif inilah bagaimana sebenarnya kedewasaan berfikir dan kedewasaan bertindak merupakan lahir dari rekayasa sosial yang terus menerus mendesakkan pada pribadi kita untuk menemukan solusi dan dituntut untuk menyelesaikan problem-problem yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Organisasi merupakan sebuah medium yang sangat vital dan signifikan untuk mengantarkan pada pelatihan dan pembiasaan tersebut. Dunia dialektik yang berupa diskusi, berdebat bahkan semua hal yang berupa pematangan proses berfikir menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi. Hal tersebut penting bagi pembentukan karakater (carakcter building) individu, utamanya mahasiswa karena komunitas ini merupakan komunitas intelektual yang nota bene kehidupannya berkohesi dan turut bertanggungjawab terhadap konstelasi realitas sosial yang silih berganti. Mewujudkan satu tata nilai intelektualisme dan membuang jauh segala muatan realitas yang dapat dikonotasikan pada unsur homo homini lupus.
Kata intelektual mempunyai arti cendikiawan, intelegensia, kecerdasan yang bersumber dari akal pikiran dan manusia terpelajar. Dalam konteks inilah seorang intelektual dan komunitas intelektual meniscayakan dirinya untuk senantiasa mempertajam pemikirannya. Menjadi sangat penting bagi madzhab Weberian arti sebuah ideas atau gagasan karena dengan bermodalkan kekuatan ide dan gagasan tersebut seseorang akan mempunyai arahan, tujuan dan cita-cita hidup. Termasuk eksistensi ideologi yang dalam perspektif Ali Syariati merupakan syarat fundamental bagi seorang intelektual, dimana ideologi tersebut menjadi pengantar seseorang untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Menjadi pembela terhadap terciptanya tatanan yang berkeadilan dan berkemanusiaan sebagai wujud pengabdian keilmuannya. Disini sangat jelas bahwa sesungguhnya ideas yang berupa gagasan, pendapat dan pemikiran-pemikiran yang bersumber dari rasionalitas merupakan syarat yang sangat awal mengantarkan manusia untuk mempunyai keyakinan dan pedoman dalam hidupnya. Ideas dalam perspektif ini menjadi wahana terkonstruksinya idealisme.

Hal penting yang perlu mendapatkan apresiasi bahwa organisasi saat ini sadar atau tidak sadar mempuyai peran yang sangat besar bagi pembentukan karakter individual yang berupa pencerahan pemikiran. Dalam hal ini organisasi dapat dikatakan sebagai medium yang sangat kuat dalam upaya pembebasan dan pemerdekaan seseorang dari perangkap doktrin dan dogma yang menggurita yang kesannya memenjara manusia untuk berimprovisasi dan bergerak aktif. Organisasi merupakan tempat belajar yang sangat efektif dan strategis bagaimana sebuah karakter pemimpin dan karakter ideas betul-betul dibangun dalam rekayasa sosiologis organisasi. Dalam dunia organisasi seseorang dituntut berfikir keras untuk menemukan solusi terhadap dunia sekitarnya minimal harus berfikir dan berlatih kuat belajar berbicara di dalam forum sehigga mampu menyampaikan segala ide atau gagasannya terhadap yang lainnya. Tuntutan harus berfikir tersebut seseorang akan senantiasa didewasakan menghadapi segala permasalahan yang dihadapinya, senantiasa akan tenang dan strategis menyelesaikannya. Karenanya organisasi dapat dikatakan merupakan sarana peningkatan pengetahuan, peningkatan jati diri, peningkatan keberanian dan peningkatan-peningkatan lainnya sehingga mampu mewujudkan pribadi yang aktif, progresif dan kreatif.


Organisasi mahasiswa merupakan satuan komunitas ideas dan pembentukan karakter tinggal sejauh mana mau belajar, berproses dan totalitas dalam mengambil hikmah dalam organisasi. Sebagaimana diungkapkan di atas bahwa ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari organisasi pembelajaran untuk menjadi seseorang yang mandiri, berani mengambil keputusan, kreatif, progresif dan sikap tidak mau kenal lelah untuk melakukan perjuangan. Bagi organisasi kemahasiswaan tidaklah semata berorentasi pada penguatan-penguatan skill dan tujuan-tujuan yang praktis, instan dan pragmatis melainkan lebih jauh merupakan kerinduan untuk menciptakan suatu tatanan sosial yang berkeadilan, berkemanusiaan dan tanpa penindasan-penindasan. Karena organisasi mahasiswa merupakan komunitas intelektual, suatu basis komunitas yang melandaskan pada ilmu pengetahuan.


Berkaitan dengan keberadaan organisasi kemahasiswaan maka satu hal yang biasa dipersipkan oleh banyak pihak berkaitan dengan keterlibatan mereka di organisasi adalah penyebutan denga istilah "aktifis mahasiswa". Satu terma yang memposisikan mahasiswa sebagai pribadi yang aktif, bergerak, maju dan tidak pasif. Istilah dan sebutan yang tepat untuk disandangkan buat mereka yang mengabdikan hidupnya untuk masa depan dan demi tercapainya sebuah cita-cita.

Sampai saat ini menurut saya masih menarik terma tersebut untuk dipergunakan. Tinggal perlu dianalisa sejauhmana peran dan posisi aktifis mahasiswa saat ini memberikan satu sumbangsih perubahan (change) untuk sosialnya. Dan sebenarnya siapakah yang disebut aktifis dan bukan aktifis itu? Karena klasifikasi tersebut menarik untuk kemudian diperbincangkan sehingga kita berhak mengklaim aktifis yang sejati dan bukan aktifis-aktifisan.


Saya pernah mendengar dari satu pembicara di suatu forum yang katanya melakukan penelitian sekitar dunia keaktifisan, bahwa aktifis itu menurut dia terbagi menjadi tiga klasifikasi. Pertama, aktifis kuliah dimana hidupnya semasa mahasiswa diabdikan untuk kuliah dan tidak untuk yang lain. Pekerjaannya kos dan kampus dan pekerjaannya sekedar belajar dan belajar sedangkan yang lain tidak menarik untuk diikuti karena akan menghambat laju ke akedemisan. Kedua, aktifis hura-hura dimana pekerjaannya tidak lain sekedar jalan-jalan dan yang penting enjoy dan senang. Bagi kelompok ini dunia mahasiswa merupakan sarana yang paling ideal untuk bersenang-bersenang karena masa mahasiswa merupakan masa transisi menuju tua. Setelah menjadi mahasiwa tidak ada kata lain selain menjadi dewasa dan tua. Sedangkan yang ketiga, aktifis yang total di organisasi dan kuliah sekedarnya. Kelompok ketiga ini percaya bahwa menjadi mahasiswa memang harus jadi pejuang, total dan kuliah tidak menjadi fundamen penentu kesuksusesan. Kelompok ini percaya bahwa organisasi merupakan sarana yang ideal pembentukan identitas dan jati diri sebagai manusia. Dan kata pembicara yang saya dengar pada waktu itu, kelompok ketiga ini yang ternyata lebih banyak sukes. Sejauh pengamatan dan pemikiran saya, klasifikasi tersebut masih layak untuk dipertanyakan akurasinya karena masih banyak model aktifis yang ada di kampus dan eksistensi mereka mempengaruhi terhadap konfigurasi individu-individu mahasiswa khususnya pasca kuliah.


Yang paling urgen untuk didiskusikan dalam konteks keaktifisan mahasiswa menurut saya adalah mengkorelasikan mahasiswa sebagai satu entitas intelektual dengan peran dan posisinya dalam wilayah sosial sekitarnya. Karena dalam pandangan saya seorang aktifis mahasiswa integral dengan intelektualitasnya. Aktifis mahasiswa adalah intelektual maka kalau peran dan posisi keaktifisan mahasiswa melepaskan diri dari unsur dan elemen intelektualitas maka disaat itu pula peran dan posisi keaktifisannya tidak ada. Aktifis mahasiswa dalam pemikiran saya adalah aktifis intelektual, dimana muara keaktifisan bersumber pada kecintaan pada ruang-ruang dialektik, kecendikiaan, intelegensia, kebijaksanaan dan mempergunakan ketajaman berfikir dalam menyelesaikan berbagai masalah.


Konteks aktifis intelektual dengan relasi sosial lingkungannya adalah terletak pada keberadaan ruang-ruang keterpanggilan dari hati aktifis mahasiswa bersangkutan untuk memperbaiki kondisi sosialnya dan menggantinya dengan wajah intelelektualisme yang bermuatan nilai kebajikan, dialektik, kecerdasaan, hikmah, mauidzah hasanah dan dialogis.


Dari ungkapan diatas, saya sebenarnya cuma ingin mengatakan bahwa organisasi itu sangatlah penting dan fundamental sebagai upaya pembentukan karakter (caracter building) bagi individu khususnya mahasiswa sebagai komunitas yang diberi peran agen of change. Perubahan itu membutuhkan komitmen, kejujuran, keberanian dan integritas moral. Hal tersebut meniscayakan untuk dilatih dan direkayasa dengan penguatan-pengutan tradisi-tradisi ilmiah, dialektik dan dialogis. Dan terakhir percayalah bangsa indonesia yang kita cintai ini didirikan oleh para tokoh organisatoris; Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lainnya. Saya yakin bahwa hal itu akan terjadi sampai kapanpun!

0 comments:

Post a Comment