20 February 2013

Pelanggaran HAM di Yogyakarta


~~ M. Syafi'ie

Seperti orang umum biasa menyebutnya, Yogyakarta ialah kota pelajar dan kerajaan. Dikenal sebagai kota pelajar karena di tempat ini berjibun ratusan sekolah, ratusan perguruan tinggi dan sekitar 20% penduduk produktifnya adalah pelajar. Kota ini juga menjadi tempat berlabuhnya para mahasiswa dari berbagai daerah. Selain itu, tempat ini juga dikenal sebagai kota istimewa karena dipimpin oleh seorang raja, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan dibantu Pangeran Pakualam. Kedua tokoh ini menjadi sentrum budaya dan kebijakan mayoritas masyarakat Yogyakarta, dipatuhi oleh para pemegang kebijakan daerah dan dihormati sebagai simbol keistimewaan.

Namun, walau daerah ini dikenal sebagai kota pelajar yang berjibun nuansa intelektualisme, kritisisme dan pergerakan tapi sebagian masyarakat Yogyakarta masih tidak rela jika pemimpinnya dikritik ataupun dibawa ke meja hukum salah satunya tercermin dalam kasus korupsi proyek telepon nirkabel Code Division Multiple Access (CDMA) lewat dana APBD DIY Rp 17 miliar. Sultan yang juga menjabat sebagai Gubernur DIY diduga terlibat sebagai pemangku kebijakan tapi karena pertimbangan politik akhirnya hanya bawahannya yaitu Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DIY Bambang Susanto Priyohadi yang diberhentikan secara tidak hormat oleh Presiden SBY. Kasus CDMA berakhir anti klimaks dan tidak ada pengawalan yang serius dari masyarakat.
Bahkan dengan berbagai pro kontra, Sri Sultan pada tahun 2009 mencalonkan diri sebagai kandidat calon presiden RI. Dia ingin menanggalkan baju kebesarannya sebagai raja dan Gubernur daerah istimewa Yogyakarta. Namun, rencana Sultan tidak berjalan lancar, pencalonannya sebagai calon Presiden ditolak oleh partai-partai besar. Keinginan menjadi calon presiden dan telah dideklarasikannya akhirnya macet sampai pada akhirnya mundur dari bursa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden RI. Kekalahan Sultan menjadi calon Presiden konon telah diprediksi sejak awal, pertama, Sultan tidak didukung secara total oleh masyarakatnya di Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat Yogyakarta sebagaimana survey malah lebih memfigurkan SBY sebagai Presiden. Kedua, sikap politik Sultan mencalonkan diri sebagai Presiden dianggap tidak komitmen untuk memegang sebagai raja di Yogyakarta. Sultan dianggap lebih mementingkan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib masyarakat yang riel di Yogyakarta.
Kegagalan Sultan menjadi calon Presiden semakin mempertegas dari sekian kritik sejumlah LSM dan para aktifis di Yogyakarta yang selama ini dilawan oleh pendapat sebagian besar masyarakat. Yogyakarta sudah tidak istimewa lagi karena pemimpin dan pemangku terpenting di daerah ini tidak lagi memperhatikan hak-hak masyarakatnya. Kemiskinan meningkat, penggusuran terjadi dimana-mana, tindakan tidak manusiawi selalu terjadi pada anak jalanan dan kelompok rentan, mal dan supermarket merajalela tanpa proteksi serta pasar tradisional yang semakin mati. Masyarakat Yogyakarta yang masih berkesadaran magis dan taat akhirnya mulai kritis. Sebagian merekapun kini melawan karena menjadi korban pelanggaran HAM sebagaimana kasus pasir besi dan penggusuran-penggusuran di banyak tempat.

Yogyakarta : Perselingkuhan Feodalisme, Penguasa dan Modal
Maraknya mal, supermarket dan penggusuran tidak menyurutkan suasana magis di Yogyakarta. Acara-acara seperti Tumplak Wajik, satu acara yang dihadiri oleh pembesar Keraton dilengkapi dengan sesajian, acara Garebek yang juga menjadi acara Sultan untuk berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur atas kemakmuran kerajaan, acara Sekaten yang diakhiri upacara Udhik-Udhik yaitu tradisi kraton menyebar uang logam (koin), dan masih banyak acara-acara kraton lainnya. Terlihat masyarakat tertumpah ruah mengikuti prosesi perayaan, seakan semakin menebalkan semangat magis dan candu masyarakat Yogyakarta.
Acara-acara kraton walaupun sudah mengeropos tapi masih diminati sebagian masyarakat saat ini. Acara-acara tersebut walau terkesan ritual tetapi tanpa disadari didalamnya mengandung magis dan menyulap kepercayaan masyarakat pada Kraton. Pemimpin Kraton seakan tidak bisa disentuh, agung dan bebas dari kritik. Masyarakat tidak sadar apa arti penting dari sebuah kerajaan?, apa arti penting dari pemegang kebijakan?, apa relasinya dengan penumpukan uang?, dan tidak bertanya soal relevansi kekuasaan dan tingkat kekerasan, kemiskinan dan begitu maraknya penggusuran di Yogyakakarta?. Ritualitas dan kepercayaan magis seakan telah terbangun untuk membungkam kesadaran dan fakta-fakta penindasan yang terjadi setiap saat.
Guntur Narwaya Direktur Resist Book, Rabu, 21 April 2010 mengatakan, kehebatan pemimpin Yogyakarta mengubur penindasannya karena ia ditopang oleh kekuatan maha besar yaitu sistem kerajaan dan mitos-mitos Kraton yang selalu dijaga dan didesakkan pada masyarakat.  Kesadaran masyarakat akhirnya lumpuh dan rapuh. Padahal saat ini masyarakat itu sesungguhnya sedang vis a vis berhadapan dengan kekuatan Kraton dan para pemegang kebijakan di Yogyakarta. Coba kita lihat bagaimana praktek pelanggaran HAM di Pasir Besi dan bagaimana pembangunan Ambarukmo Mall itu dilakukan. Praktek-praktek itu menegaskan betapa pemimpin di Yogyakarta ini sudah berselingkuh dengan pemodal.
Dalam kasus penggusuran yang terjadi di banyak tempat, salah satunya di Bantul kemarin memang kita lihat Sultan tidak banyak bicara. Padahal dia semestinya berbicara karena banyak masyarakat yang tersiksa akibat kebijakan Bupati Bantul itu. Tapi Sultankan diam. Mengapa diam, karena dia tidak akan berbicara kalau dia belum dirugikan. Kalau dia dirugikan, pasti dia akan berbicara pada Golkar dan kelompok-kelompok lainnya. Artinya penggusuran, pembangunan mall dan kasus pasir besi pihak Kraton pasti dapat keuntungan. Dalam sejarah kita bisa baca, bagaimana setelah perjanjian Meja Bundar pihak kesultanan dapat konpensasi puluhan perusahaan. Sri Sultan IX dan X dapat konpensasi. Mengapa mereka dapat?, karena mereka menjadi alat dari legalisasi satu konsensi soal penguasaan asing di Indonesia.
Belum lagi kita berbicara soal tanah Sultan Ground. Tanah-tanah masyarakat Yogyakarta dimiliki Sultan. Masyarakat menggunakan tanah itu atas belas kasih Sultan. Menjadi sangat wajar apabila segala kekerasan yang menimpa masyarakat kecil terkait penggusuran dan lain sebagainya mereka tidak mempunyai kekuatan, karena Sultan berkuasa atas hajat hidup masyarakat. Berkuasa sekali dia. Dalam banyak sengketa terkait tanah sudah bisa dipastikan bahwa Sultan akan memenangkan perkaranya. Masyarakat kecil hanya menjadi korban, tidak berdaya dan selalu dikalahkan oleh kekuatan yang lebih besar.
Guntur menambahkan, Yogyakarta sekarang tidak ada bedanya dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain. Semua daerah relatif sama dalam konteks melakukan kekerasan dan pemiskinan pada rakyatnya. Apalagi daerah-daerah itu mempunyai poin penting dalam banyak hal, baik itu sekedar legitimasi, justifikasi dan ataupun legalisasi dalam kontek masuknya modal besar. Di Yogyakarta termasuk di dalamnya. Ketika CGI dan pemerintah Indonesia berniat hutang besar, Pemimpin Yogyakarta ialah salah satu yang menyiapkan ruang untuk CGI. Bahkan Sultan menegaskan Yogyakarta ialah salah satu yang berniat berhutang. Pertemuan itu dilaksanakan di Yogyakarta kalau tidak salah tahun 2003. Kaum gerakan, cukup besar pada waktu menolak pertemuan itu. Sultan tidak ada tanggapan dan menjadi bagian dari CGI itu.
Artinya mitologi Yogyakarta sebagai daerah istimewa sudah terbantahkan sejak lama. Bahkan sejak dahulu kala. Praktek perselingkuhan antara pemimpin negara dan modal itu sudah terjadi. Apalagi dalam konteks Yogyakarta, kesultanan terlibat dalam proses legitimasi penguasaan pasar dan modal di daerah ini. Kraton lebih menjadi pendukung akses penguasaan pasar dan modal dibandingkan akses rakyatnya atas sumber-sumber daya yang ada. Mitologi Kraton sebagai pelindung sekarang sudah keropos, terbukti banyak masyarakat yang dulu katanya menjadi pendukung Kraton sekarang tidak lagi. Hanya daerah Bantul saja yang terasa masih kuat dukungannya kepada Sultan.
Hal yang sama juga diakui oleh Dian Yanuardi dalam artikelnya Kapitalisme dan Feodalisme Yogyakarta, menurutnya, kasus Yogyakarta sebutan yang paling tepat adalah kapitalisme-feodal. Istilah ini merujuk pada perkawinan antara modus produksi kapitalisme dengan modus produksi feodal yang tetap kukuh di Yogyakarta. Feodalisme adalah suatu modus produksi dimana kepenguasaan tanah yang luas yang dimiliki oleh kelompok aristokrat maupun bangsawan—dengan suatu jenis modus produksi kapitalisme yang dijalankan di sekitar keluarga kerajaan kesultanan. Perkawin-mawinan dua modus produksi ini menjadi unik, sebab selain tidak menghancurkan sendi-sendi feodalisme, kapitalisme justru tumbuh subur dan berkolaborasi dengan feodalisme yang secara terus-menerus berupaya untuk memperkuat posisinya melalui undang-undang keistimewaan. Keduanya menjadi modus produksi sehingga tetap hidup kukuh, dan saling ber-koeksistensi.
. Sejak awal masa kelahirannya formasi sosial di Yogyakarta selalu ditandai oleh adanya dua modus produksi yang masing-masing berdiri kokoh dan kuat: kapitalisme kolonial dan feodalisme. Tetapi, alih-alih menghancurkan sendi-sendi feodalisme, kapitalisme pada masa kolonial malah menggantungkan keberadaannya pada feodalisme. Beberapa peneliti masalah pertanian di Jawa selalu memperhatikan dua aspek tersebut sebagai sumber dari masalah proletarisasi masyarakat Jawa. Di masa Sistem Tanam Paksa, meski Yogyakarta dan Surakarta pada dasarnya tidak memberlakukan sistem tersebut, tetapi karena raja-raja di daerah tersebut melihat keuntungan besar dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, maka mereka juga tertarik untuk memasuki bisnis itu. Belanda tidak melarang usaha-usaha pihak kerajaan tersebut, malah memberikan toleransi dengan cara membantu tenaga kerja dan kredit perbankan. Modus kapitalisme-feodal yang dilakukan oleh sejumlah raja-raja di Jawa, utamanya Yogyakarta tahun 1918, adalah dengan tetap memelihara sistem feodal sebagai sistem sosialnya, jelas Dian.
Pendapat Guntur Narwaya dan Dian Yanuardi di atas  menjelaskan bahwa praktek kekerasan dan pelanggaran HAM di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari aktor kerajaan. Sistem feodalisme sengaja diciptakan bukannya untuk menjadi pengayom masyarakat tetapi lebih cenderung sebagai penguatan kesadaran magis masyarakat sehingga perselingkuhan kuasa dan modal tidak tersentuh oleh nalar-nalar kritis masyarakat. Dalam konteks kasus-kasus mutaakhir di Yogyakarta seperti penggusuran, kasus pasir besi, kriminalisasi Tukijo (aktivis PPLP) terkait kasus pencemaran nama baik akibat meminta pertanggungjawaban pendataan tanah,  maraknya mall, supermarket, semakin tergusurnya pasar tradisional dan pedagang-pedagang kecil dan tingkat kemiskinan yang masih kuat, itu semua ialah dampak dari perselingkuhan feodalisme, penguasa daerah dan para pemodal. Masyarakat terlanggar dengan sedemikian rupa hak-haknya.

Konsep dan Fakta Pelanggaran HAM di Yogyakarta
Konsep hak asasi manusia di Indonesia pasca reformasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hak-hak asasi baik sifatnya sipil-politik ataupun ekonomi, sosial dan budaya serta dimensi HAM lainnya telah terkonstisionalisasi dalam perundang-undangan. Termasuk dalam UUD 1945 sendiri mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Termasuk dalam UU No. 32 tahun 2004 ditegaskan bahwa pemerintah daerah sesuai asas otonomi dan tugas pembantuannya, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatiakan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerahnya.
Basis hak asasi manusia sangat tegas, UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No, 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik dan UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Aturan-aturan tersebut menegaskan bahwa pemerintah disebut sebagai pemangku kewajiban sedangkan masyarakat sebagai pemangku hak. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahanan Yogyakarta yang secara kultural tunduk dalam kuasa feodal Kraton, menjadi kewajiban dari mereka untuk aktif memenuhi hak-hak masyarakatnya, terutama hak atas ekonomi. Namun sebagaimana laporan LBH Yogyakarta katakan, kondisi kemiskinan dan pengangguran di Yogyakarta masih menjadi momok yang sangat menakutkan. Sepanjang tahun 2009 saja diperkirakan penduduk miskin di Yogyakarta masih 622. 000 orang, jauh diatas target pemerintah yang akan menurunkan penduduk miskin sebesar 574. 000 orang. Sedangkan angka pengangguran tercatat cukup tinggi ada sekitar 139. 4000 orang.
Menurut Irsyad Tamrin Direktur LBH Yogyakarta (27/2/2010) mengatakan, pelanggaran HAM di Yogyakarta cukup massif terutama tahun 2009. Dalam kasus pelanggaran hak sipil dan politik, pada tahun 2009 tidak kurang dari 17 kasus yang terjadi dengan jumlah korban sekitar 3000-an orang, meliputi pelanggaran hak kebebasan berpendapat, hak untuk mendapatkan keadilan (fair trial), rehabilitasi korban pelanggaran HAM masa lalu, korupsi dan kekerasan aparat negara. Aktor Pelanggarnya dominan ialah polisi dan satpol PP. seperti kasus pembubaran forum Sri Bintang Pamungkas yang mencoba mengkonsolidasi golongan putih, pembubaran guru sejarah di salah satu Prawirotaman, penangkapan aktifis pasir besi, penghilangan suara ketika pemilu, penggerukan dan meludahi anak jalanan. Satpol PP yang paling beringas di Yogyakarta itu ada di daerah Sleman. Mengapa mereka beringas, karena Satpol di sana direkrut bukan mereka yang terdidik tapi latar belakang mereka adalah preman. Sehngga ketika menyelesaikan masalah di lapangan mereka kasar sekali. Mestinya kebijakan rekruetmen Satpol ini diperbaiki kedepan sehingga keberadaan mereka tidak menambah masalah dalam penyelesaian kebijakan di Yogyakarta.
Sedangkan dalam kasus pelanggaran HAM dalam konteks ekonomi, sosial dan budaya di Yogyakarta juga cukup massif. Kasusnya meliputi pelanggaran hak buruh terutama outsorsing, hak atas perumahan, hak atas pendidikan pendidikan dan beberapa lainnya. Aktor Pelanggaran hak dalam kasus ialah Pemda dan Pengusaha. Pemerintah tidak serius dalam memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. pemerintah seakan lepas tanggungjawab dalam beberapa kasus. Sedangkan disisi yang lain kita melihat bagaimana kuasa modal semakin merajalela, dan hebatnya mereka tidak tersentuh hukum. Semestinya pemerintah bertindak ketika ada kasus buruh, pendidikan dan lainnya. Pemerintah di Yogyakarta sebenarnya sudah paham ada aturan-aturan HAM tapi mereka tidak komitmen terhadap aturan itu. sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM selalu terjadi. Makanya tugas kelompok sipil di daerah-daerah ini ialah mengawal instumen-instrumen HAM biar dilaksanakan oleh pemerintah. Kita tidak cukup sekedar punya aturan, jelas Irsyad.
Hal yang sama ditambahkan oleh Syamsudin Ketua Bidang EKOSOB LBH Yogyakarta (29/4/2010) Ia mengatakan bahwa sepanjang tahun 2009 berdasarkan pengaduan masyarakat ke LBH Yogyakarta problem penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya walaupun mengalami penurunan dari segi jumlah kasus dan korban tetapi dari segi kwalitas penanganan dari pemerintah DIY mengalami penurunan. Banyak pengaduan dari masyarakat yang masuk ke LBH Yogyakarta yang mendasarkan rekomendasinya dari pemerintah. Seakan-akan pemerintah sengaja melepaskan tanggungjawabnya kepada masyarakat. Pada tahun 2009 pengaduan masyarakat terkait hak-hak ekosob didominasi oleh pelanggaran hak atas pekerjaan. Ini tidak jauh berbeda dari tahun 2008 yang lalu. Jumlah kasus pelanggaran hak ekosob yang masuk LBH pada tahun 2009 berjumlah 56 kasus dengan jumlah korban mencapai kurang lebih 442 orang dan 42 KK. Kasus-kasus tersebut meliputi pelanggaran hak atas pekerjaaan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan hak atas pendidikan.
Sedangkan pada tahun 2010 kasus yang sudah masuk sudah ada puluhan kasus pelanggaran hak yang dilanggar. Salah satunya kasus hak atas pekerjaan yang meliputi standar upah minimum, soal tidak dikasih pesangon dan lainnya, ada kasus hak atas perumahan seperti warga diusir dari rumahnya dan dia tidak tahu kemana akan pergi, serta kasus-kasus pelanggaran hak lainnya. Di Yogyakarta memang pelanggaran HAM cukup massif dan banyak sekali, relatif sama dengan kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah disini masih belum paham terhadap tugas-tugasnya. Bahkan dalam beberapa kasus yang semestinya pemerintah memfasilitasi terhadap akses masyarakat tapi faktanya mereka lari dari tanggungjawabnya. Pemerintah disini sudah terbiasa dengan hal itu.
Menurut Syamsudin, hak atas tempat tinggal dan pertanian itu sudah diatur dengan jelas di Undang-Undang Agraria. Tidak ada yang diistimewakan. Di Yogyakarta aneh karena ada sultan ground, dimana tanah-tanah dimiliki Sultan. Jelas Sultan, Pakualam dan keluarga mereka diistimewakan. Nah, sekarang yang menghadapi masalah penggusuran ialah masyarakat di pesisir pasir besi Kulonprogo. Sebagaimana kita ketahui tempat itu memang mempunyai kelebihan biji besi. Pemerintah daerah yang dalam hal ini ialah Sultan dan Pakualam ingin mengeksplorasi pasir besi disana. Akhirnya mereka menggandeng investor asing dari Australia. Padahal tanah yang akan diekplorasi itu sudah menjadi tempat penduduk dan menjadi lahan penghidupan para petani daerah pesisir. Kalau tempat itu digusur sudah pasti mereka akan kehilangan segalanya.
Bayangkan masyarakat disana sudah tinggal lama bahkan katanya ketika Belanda ada di Indonesia, mereka sudah bertempat tinggal disitu.  Modusnya jelas, perampasan tanah dari rakyat oleh penguasa daerah dengan kepentingan investasi dan modal asing. Jadi perbincangan relasi penguasa, feodalisme dan modal itu sungguh terjadi di Yogyakarta. Perselingkuhan mereka berakibat nyata pada penindasan rakyat dalam kasus pasir besir Kulonprogo itu. Bahkan salah satu aktifis Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo (PPLP) Tukijo sekarang ada di meja hukum karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik akibat dia meminta pertanggungjawaban pendataan tanah disana di Kulonprogo, jelas Syamsuddin.
Apa yang diungkap oleh Irsyad Thamrin dan Syamsudin dari LBH Yogyakarta sekali lagi menegaskan bahwa Yogyakarta hari tidak ada bedanya dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Papua dan Surabaya dalam praktek pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah daerah dengan sokongan kekuasaan Kraton terlihat semakin aktif melakukan tindakan kekerasan dan diskriminasi kepada warganya. Kehebatan Yogyakarta dibandingkan dengan daerah lain ialah terletak pada strategi pembungkaman suara kritis masyarakatnya. Feodalisme dan ritus-ritus mistis Yogyakarta berhasil menjadikan masyarakatnya hanya sekedar berkesadaran magis. Walau saat ini sebagian mereka sudah sadar akan hak-haknya yang telah dilanggar.

0 comments:

Post a Comment