20 February 2013

Perubahan Kita Borjuasi

 
~~ M. Syafi'ie
 

Awal perkembangan keilmuan filsafat yang salah satunya diawali dengan pernyataan Filosof Rasionalis Rene Descartes “Berfikir maka aku ada” (Cogito Ergo Sum), merupakan sebuah pernyataan yang menegaskan betapa eksistensi manusia ditaqdirkan untuk berfikir dan melakukan perubahan. Dengan berfikir manusia akan menemukan hakekat kemanusiaannya, hakekat kehidupannya, hakekat fungsional sosial serta meyakini  kewajiban-kewajiban terhadap lingkungan sekitarnya. Keberadaan pemikiran sebagai lambang aktifitas, hidup, dan bergerak senada dengan makna dari kehidupan itu sendiri yang secara terus menerus berubah bersesuaian dengan semangat zamannya. Perubahan dalam konteks kehidupan manusia sudah menjadi keniscayaan dan kepastian. Keberadaannya tidak dapat disangkal sama sekali, tinggal kemudian dibaca ulang terkait akselerasi perubahan-perubahan yang terjadi, apakah berjalan lamban, berlangsung sangat cepat ataukah terpuruk akibat sistem yang dibangun dalam kehidupan masyarakat.
Banyak kejadian sejarah yang dapat diambil hikmahnya memaknai perubahan itu sendiri. Misalkan, ketika zaman pra sejarah kita akan melihat betapa perubahan itu sangatlah berjalan lamban karena masyarakat belum bisa membaca ataupun menulis- mereka berpetualang dalam belantara rimba dan mencari makan dengan fungsionalisasi alat-alat seadanya seperti batu, kayu dan lain sebagainya. Era Yunani Kuno bisa dikatakan awal bagaimana masyarakat sudah berfikir untuk menata hidup sosialnya dan sudah mempercayai pentingnya sebuah kepemimpinan yang lebih modern- di Yunanilah teori demokrasi langsung telah dipraktekkan. Dunia Islam juga mengalami perubahan dalam tata sistemnya kira-kira abad ke-16 setelah berlangsungnya era pencerahan eropa dengan munculnya konsepsi nation state, dimana dunia Islam secara tidak sadar harus berbenah dan menyesuaikan dengan perubahan semangat zamannya. Termasuk Indonesia, tidak dapat disangkal dengan masyarakatnya yang komunal dan berkearifan lokal juga harus berubah menjadi bangsa kapital dan bermadzhab eropean dalam segala aspek utamanya dalam bangunan publik setelah sekian lama dijajah para kolonial sekitar tiga abad.
Perubahan telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia- apalagi keberadaan mereka tidak bisa dilepaskan sama sekali dari interaksi sosial (homo societies). Kerangka sosial inilah yang menjadi basis filosofis terjadinya perubahan-perubahan itu sendiri, dimana  setiap manusia bisa berdialog, sharing, ataupun minimal ngobrol ngarul kidul- sadar atau tidak proses itulah yang sangat mempengaruhi dan menyebabkan perubahan-perubahan kehidupan manusia baik dari cara berfikir, cara berbicara atau life style-nya ataupun bentuk lainnya yang berkorelasi dengan kedirian manusia.
Prosesi perubahan dapat dipastikan akan tetap berlangsung. Apalagi di era modern kekinian yang menjadikan dunia seperti halnya desa dunia yang tidak lagi ‘dibatasi’ oleh kewilayahan, teritorial, atau yang biasa kita katakan sebagai ruang dan waktu. Hubungan dunia kini menghilangkan batas-batas itu, apapun yang terjadi di Venezuela detik ini tidak ada alasan untuk tidak mengetahuinya karena beragam informasi dunia sudah tersediakan dengan baik tinggal kemauan manusianya mau mengetahui atau tidak. Perangkat yang sedemikian canggih melalui koran, televisi, internet atau banyak media lainnya yang cukup segar menyediakan beragam berita dan informasi.
Tata dunia yang sudah menghilangkan jarak, ruang dan waktu memastikan terjadinya percepatan terjadinya perubahan-perubahan dibelahan dunia. Contoh kecilnya, betapa revolusi yang dimulai januari 1977 dan menggulingkan tiran syah pahlevi tahun 1979 secara tidak langsung memepengaruhi terhadap gemeriak pemikiran gerakan mahasiswa Islam untuk melawan tiran Seoharto di tahun yang sama. Sehingga penetrasi yang dilakukan elit orba pada waktu itu dengan cara memenjarakan mahasiswa untuk terus berkutat di dunia kampus. Skenario elit rezim orde baru pada waktu dengan mengeluarkan kebijakan NKK/BKK tahun 1978 serta menjadikan pihak kampus sebagai bagian yang integral dari depertemen pendidikan pemerintah. Disinilah penetrasi gerakan mahasiswa sangat sistemik dilakukan pemerintah karena mahasiswa kemudian semakin merosot secara kwalitatif untuk beraktifitas di jalanan karena dipaksa untuk study oriented. Dan masih banyak percontohan kasuistik lainnya yang menandaskan satu relasi yang cukup dekat dan saling mempengaruhi terhadap tata dunia satu dengan lainnya.
Menanya ulang problem mendasar dari konstelasi perubahan, sebenarnya sejauhmana konteks perubahan yang terjadi memberikan satu dampak yang lebih baik terhadap kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik, sosial, keamanan, kemerdekaan serta lainnya yang mempengaruhi langsung ataupun tidak langsung terhadap masyarakat. Namun pengamatan penulis, konstelasi perubahan-perubahan kekinian cenderungnya lebih tepat dimaknai sebagai penjajahan, kolonialisasi dan imprealisasi karena perubahan yang dibangun tidak mendasarkan semangat pemerdekaan dan menghormati kearifan-kearifan yang berlangsung dalam satu komunitas masyarakat. Cenderungnya perubahan sekedar di konstruksikan atas satu perspektif “obyek” dari “truth claim” para pihak yang melakukan perubahan. Disinilah kritik besar dari paradigma perubahan itu sendiri yang seringnya kita katakan sebagai sesuatu yang ironis, picik, dehumanistik  dan terus beroperasi membunuh terhadap kulturasi sosial.

Perubahan Artifisial
Jargon-jargon perubahan sangatlah sering kita dengarkan baik dari pidato Josh Wolker Bush, perlawanan Hugo Chaves, petuah Susilo Bambang Yudoyono sampai pada nyanyian semacam pengemis yang juga mendambakan perubahan nasib. Perubahan itupun kerapkali terekspresikan lewat lagunya Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Slank ataupun lainnya yang menyuarakan perubahan dari berbagai media. Bahkan bayi kecil yang baru lahir juga mempunyai impian untuk berubah dari yang mulanya sekedar kedap-kedip menjadi bayi yang bebas kemudian bisa berjalan, berbicara dan seterusnya. Perubahan menjadi detak jantung kemanusiaan untuk lebih baik dan mapan.
Namun sesungguhnya memaknai perubahan tidak cukup dengan memakai simbolik, jargon ataupun kata-kata bernarasi puitis melainkan perubahan yang semestinya dibangun atas satu kekuatan filosofis sehingga perubahan menjadi lebih membumi, obyektif, memerdekakan dan memanusiakan manusia. Tradisi perubahan kekinian dibangun atas muara yang sangat artifisial, dangkal, material dan politik. Perubahan seperti ini memang berkembang sudah sekian lama khususnya semenjak renaisance eropa yang nota bene dibangun atas fondasi sistem yang sekular. Maka semenjak bangsa eropa melakukan pelayaran untuk mendapatkan rempah-rempah yang dikomandoi oleh Napoleon Bonaparte ke belahan dunia secara tidak langsung pelayaran mereka mempunyai misi harta, kekuasaan juga tentunya membawa misi suci agama mereka yang nota bene sudah tervirusi oleh nilai sekularisme.
Apalagi membincangkan perubahan era globalisasi kekinian. Dimana secara sadar dibentuk atas akumulasi satu kekuatan keilmuan, sains dan teknologi eropa yang kapitalistik sekularistik. Sehingga kemudian berdampak secara langsung terhadap tata nilai sosial masyarakat yang merupakan obyek dan konsumerator dari perkembangan sains dan teknologi yang bergerak sangat cepat. Masyarakat secara sadar dibentuk menjadi robot penikmat, terhalusinasi dan berfikir instan dalam menyelesaikan setiap problem sosial. Walaupun demikian, penulis tidak mau bernostalgia dengan romantisme sistem klasik sehingga kemudian melahirkan sikap eksklusifisme. Perkembangan sains dan tekhnologi sangatlah dirasakan manfaatnnya bagi kehidupan sosial kultural tapi tidak sedikit juga menimbulkan prilaku kekerasan, kedzaliman bahkan kejahiliyyahan modern.
Dampak langsung dari perubahan-perubahan kontemporer semakin menghilangnya tradisi kearifan, tradisi penghormatan, tergerusnya nilai spiritualitas yang termaktub dalam pesan-pesan agama, dan cenderungnya hidup dalam ruang yang pragmatis, borjuis, dan material kekuasaan. Sebagaimana dapat dipastikan, karena perubahan tidak dibangun atas satu muatan filosofis dan paradigmatik menyebabkan perubahan-perubahan yang terjadi menjadi sekedar simbolik, artifisial, dan tidak memberikan dampak yang lebih baik dari konteks obyek yang dituntut untuk dirubah dan diperbaiki- kecuali secara terus menerus berkelindan dalam areal penindasan, saling menyalahkan, penghianatan, kebohongan dan tradisi cepat lupa. Konteks perubahan kekinian melahirkan dampak apatisme, ketidakpercayaan terhadap jargon perubahan dan melabelkan setiap momentum perubahan menjadi sekedar seremonial dan konspirasi elit borjuasi.
Kondisi yang ironis ini, menandakan terhadap kematian dan kejumudan sistem yang menjadi bagian masyarakat dan mendorong terhadap arus perubahan itu sendiri. Baik itu ideologi, nilai agama, pendidikan, negara dan lainnya. Inilah titik nadir dari kehancuran peradaban kemanusiaan dimana semuanya sudah tidak jelas arah pemihakannya pada keadilan universal. Dan karenanya, penulis terus teringat dengan pernyataan Karl Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu dan negara tidak lain merupakan penjelmaan dari kelas elit borjuis. Dimana dalam operasionalnya keduanya seringnya berkonspirasi dan melakukan penindasan-penindasan terhadap sosial masyarakat. Contoh dalam konteks ini cukuplah banyak sekali, mulai dari kasusnya Galilie Galilio yang dihukum mati karena melawan tiran agama krisitani, sebagian ulama’ klasik yang dipenjara akibat mengembangkan pemikirannnya dan berlawanan dengan madzhab khilafah sebagaimana era Abbasiyah dahulu, Mohammad Abduh ketika di Mesir, pengusiran dan pengrusakan terhadap rumah-rumah penganut Ahmadiyah di Lombok, Perda untuk “wanita malam” di Tangerang, Perda pelarangan jilbab di Monokwari dan masih banyak lainnya.
Ironisasi dari perubahan-perubahan kekinian yang terjebak pada arus instan, paragmatis dan material kekuasaan semakin menambah terhadap apatisme dan terbunuhnya harapan bangunan peradaban kedepan. Semakin memperkuat terhadap terjadinya perang saudara, perpecahan, permusuhan, kekerasan dan kokohnya sistem dehumanistik dalam areal sosial masyarakat. Termasuk janji perubahan itu sendiri yang kemudian akan hanya terjebak pada ranah simbolik, parsial, kepentingan dan  kolonialistik dengan gaya yang serupa walaupun tidak persis sama.
Mengharapkan perubahan yang betul-betul punya identitas substantik sangatlah sulit rasanya. Karena memaknai dari rekayasa perubahan itu sendiri tidaklah lepas sama sekali dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat. Secara alamiah manusia sebenarnya sudah dibentuk dan dikonstruksikan paradigmanya atas satu kuasa kultural dan struktural masyarakat. Tradisi yang paling sederhana misalkan cara duduk, cara berpakaian, cara makan, cara berbicara dan lain sebagainya- tidak lain merupakan contoh konstruksi paradigmatik sosial, tetapi kita melupakan dan tidak bertanya secara kritis terhadap diri sendiri ataupun kehidupan sosial apa makna substansial dari cara duduk bersila, cara berpakaian memakai kancing dan cara makan dengan menggunakan memakai tangan kanan dan lain sebagainya. Semuanya berlangsung alamiah tanpa ada pertanyaan radikal dan filosofis.
Secara struktural, biasanya kalau pejabat itu diniscayakan memakai baju yang masuk celana, memakai sepatu, dasi, rambut pendek dan lain sebagainya- tetapi kita tidak bertanya apa fungsinya, berpengaruh tidak terhadap aktifitas dan komitmen kerja, dan mempertegas tidak untuk tidak terjadinya korupsi. Kebijakan seperti itu belumlah kita pertanyakan secara kritis dan epistimologis. Makanya sangat apatis rasanya untuk mengharapkan perubahan pada tingkatan kemasyarakatan kecuali sekedar perubahan yang artifisial, dangkal dan tidak memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan sosial. Perubahan yang paling kecil saja kita sudah melupakannya apalagi mengobralkan perubahan yang besar seperti mengganti rezim, masuk sistem dan mengganti elit dengan jiwa muda yang segar dan berwawasan sosial ataupun jargon-jargon perubahan lainnya. Tradisi dan struktural kita memang tidak dibentuk atas satu kuasa perubahan filosofis melainkan sebenarnya direkayasa untuk menjadi penghamba, pembenar, pelegitimasi, dan menjadi komplotan elit borjuasi materil yang sama???. Naudzubillah Min Dalik!

0 comments:

Post a Comment