20 February 2013

Quick Count dan Kepentingan Pasar

~~ M. Syafi'ie

Hari kamis, 9 April 2009 merupakan hari penting bagi rakyat Indonesia. Momen yang meriah dan ditunggu-tunggu karena di hari itu suara rakyat ditentukan. Bagi orang yang percaya demokrasi bahwa rakyat adalah penguasa dan penentu kebijakan maka di hari itulah suara rakyat betul-betul menentukan bagi keberlangsungan perjalanan negara Indonesia. Rakyat betul-betul dihargai dan suaranya dibeli oleh partai dan calon wakil rakyat. Suara rakyat dalam kondisi labil dan berada di atas angin.

Termasuk yang membuat meriah itu adalah lembaga-lembaga survey di Indonesia. Dengan metodologi masing-masing mereka membuat perhitungan dan prediksi bagi para kandidat yang akan mewarnai bagi penyelenggaraan kenegaraaan kedepan. Posisi perhitungan dan prediksi mereka dapat dibenarkan secara akademik dan dalam perspektif demokrasi keberadaan lembaga-lembaga survey adalah wujud kebebasan berekpresi dan kebebasan berpendapat yang telah dijamin dalam konstitusi.
Sebagai lembaga yang menggunakan kerangka ilmiah jelas pendekatan dan metodologi yang digunakan berbasis pada pengetahuan akademik. Kepercayaan pada lembaga survey samahalnya percaya pada logika akademik yang rasional, ilmiah dan metodologis. Penolakan pada keilmiahan yang metodologis sebagaimana lembaga-lembaga survey lakukan samahalnya menolak premis-premis logika yang telah berkembang sedemikian rupa dalam dunia kampus.

Cukup menarik perkembagan mutaakhir keberadaaan lembaga-lembaga survey di Indonesia. Hiruk pikuk pelaksanaan Pilkada di banyak tempat berbarengan dengan hiruk pikuk pertarungan lembaga-lembaga survey dalam menyajikan data temuannya. Salah satunya, pertarungan lembaga survey dalam Pilkada Jawa Timur. Kubu Kaji oleh mayoritas lembaga survey misalkan LSI Sjaiful Mujani, LSI Denny JA, Puskaptis Husin Yazid dan Pusdeham Unair menyatakan pasangan Kaji yang akan menang. Tapi itu dibantah tim survey internal Karsa yang mengakui dalam surveynya Kaji akan kalah. Dan ternyata mayoritas tim survey Pilkada Jawa Timur salah karena rekapitulasi KPUD akhirnya menyatakan bahwa pasangan Karsa yang memenangkan Pilkada.

Pertarungan antar sesama lembaga survey dan internal KPUD juga pernah terjadi ketika Pilkada Sumatera Selatan. Saat itu dua lembaga survei, yakni LSI Sjaiful Mujani dan LSI Denny JA menyatakan Alex Nurdin memenangkan pilkada mengalahkan Sjahrial Oesman. Sementara Puskaptis pimpinan Husin Yazid menyatakan sebaliknya. Pilkada Jawa Barat juga sama. Puskaptis dalam penghitungan cepat melansir bahwa pasangan Dani Setiawan-Iwan Sulanjana yang menang. Namun ternyata hasil penghitungan manual KPUD pasangan HADE yang memenangkan pilkada.

Pertarungan antar lembaga survey tersebut berlanjut hingga pelaksanaan pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan Kamis, 9 April 2009 kemarin. Lembaga-lembaga survey telah merilis temuan-temuannya lebih awal ketimbang penghitungan real count yang dilakukan oleh KPU. Para pihak yang bertarung dalam pemilihan legislatif akhirnya bersilang pendapat. Presiden SBY bersama Partai Demokrat mengatakan percaya dengan hasil survey karena metodologinya yang ilmiah. Megawati ketua umum PDI-P mengatakan bahwa dirinya ragu dengan temuan lembaga survey. Sedangkan PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar yang suaranya turun dan tidak masuk 5 besar menyatakan bahwa partainya seringkali dirugikan oleh temuan-temuan lembaga survey.

Silang pendapat terkait temuan quick count di lembaga survey tidak hanya ramai pada tingkatan elit partai tetapi juga ramai sekali di level rakyat. Berbagai media yang menyajikan data-data up-date dari lembaga survey berpengaruh luar biasa pada perang opini dan perang ingatan dalam ruang publik. Siapa yang dibesarkan dan merebut ruang opini dan ingatan dialah yang diuntungkan. Situasi yang masih kosong ini menjadi kampanye tersendiri di tengah masih kacaunya sistem pemilu.

Kampanye Citra

Sampai tulisan ini dibuat data pelanggaran yang masuk Bawaslu dalam pemilu legislatif sudah berkisar 570-an. Mulai surat suara yang tertukar, rakyat yang tidak masuk DPT, surat suara yang sudah dicontreng lebih dulu, surat suara kurang, surat suara yang tertukar antar daerah pemilihan, sampai pada pemungutan suara yang tidak dilakukan dalam bilik suara. Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi menandakan bahwa pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan menyimpan banyak persoalan termasuk mempertanyakan political will KPU yang menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pemilu legislatif tahun ini.

Di banyak tempat akibat beberapa pelanggaran dilakukan pemilihan ulang. Misalkan di Kupang, Lampung, dan beberapa tempat lainnya didesak untuk dilakukan pemilihan kembali karena terdapat banyak pelanggaran yang terjadi. Situasi ini menyebabkan ketidakpastian dan kekosongan akibat banyaknya desakan-desakan yang berkembang di masyarakat. Satu sisi yang lain kita telah melihat para elit politik telah terfragmentasi dengan sedemikian rupa. Partai yang dimenangkan lembaga-lembaga survey dikerumuni. Suasana ketidakpastian dan belum finalnya penghitungan KPU ada aktor dan kelompok yang sangat nyata diuntungkan.

Mengutip Robertus Robert dalam perang ingatan maka mereka yang menguasai ruang publik dialah yang menjadi pemenangnya. Disinilah sebenarnya poin penting keberadaan lembaga survey dalam pelaksanaan quick count pemilihan legislatif. Ia memfungsikan dirinya melakukan kampanye, like and dislike dan merebut ingatan publik. Ruang yang masih kosong dan masih dilakukan pemilihan ulang di banyak tempat tentu akan menguntungkan mereka yang menang dalam pertarungan perebutan politik citra.

Pikiran diatas bukanlah domain hukum yang penuh dengan kepastian. Melainkan lebih domain politik dan psikis. Quick count yang dilakukan lembaga-lembaga survey, didukung oleh kekuatan media yang massif dan kekuatan politik berintegrasi dalam merebut hati nurani. Menarik ruang-ruang psikis rakyat yang labil. Apalagi untuk saat ini, sudah biasa mengatakan bahwa lembaga survey dalam melakukan beberapa surveinya apalagi quick count didanai oleh partai dan donatur tertentu. Sehingga metodologi ilmiah yang digunakan telah terbeli dan mengikuti pesanan. Konteks ini kembali mengingatkan kita pada polemik hukum antara KPU dan Lembaga-lembaga Survey yang kemudian berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Polemik KPU dan lembaga-lembaga survey di Indonesia bermula dari dari UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam pasal 245 ayat 1 Undang-Undang tersebut berbunyi ”Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU”. Ayat 2 berbunyi ”Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang”. Ayat 3 berbunyi bahwa ”Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara”. Ayat 4 berbunyi bahwa ”Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu”. Dan kemudian pada ayat 5 dipertegas bahwa pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu.

Berdasarkan pada pasal 245 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu tersebut akhirnya KPU mengeluarkan Peraturan KPU No. 40 tahun 2008 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. KPU mengatur secara ketat aturan main lembaga survey dan pelaksanaan quick count. Ketentuan tersebut bisa dibaca pada Bab IV tentang Survey dan Jajak Pendapat dan Bab V tentang Penghitungan Cepat Hasil Pemilu yang biasa kita kenal dengan quick count.

Salah satu aturan yang kita bisa baca adalah terkait registrasi/pendaftaran pelaksanaan survey kepada KPU dan KPUD, kelengkapan profil lembaga survey, tidak melakukan pengumuman hasil survey di masa tenang, tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu, menyertakan metodologi dan sumber biaya yang digunakan dalam melakukan survey.

Pengaturan KPU yang agak ketat terhadap lembaga survey tentunya ada alasan fakta di lapangan. Banyak pihak mempertanyakan independensi lembaga survey dan dampak publik pasca pelaksanaan jajak pendapat, survey dan quick count. Dampak publik yang sangat terlihat adalah Pilkada Jawa Timur. Kubu Kaji dalam Pilkada tahap pertama tidak bisa terima keputusan KPUD, salah satu landasannya adalah hasil lembaga-lembaga survey. Pilkada tahap kedua dan dimenangkan Karsa tetap mengukuhkan keyakinan publik kubu Kaji bahwa kemenangan Karsa tidaklah legitimate dan merupakan pemilihan yang cacat di negara demokrasi.

Kondisi ini tentunya juga terjadi di beberapa Pilkada yang problem antara temuan survey yang berbeda dengan penghitungan manual KPU. Pikiran publik seringkali dikacaukan oleh lembaga-lembaga survey yang melakukan secara quick count. Apalagi kondisi di lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Dengan logika tidak utuh rakyat gampang marah, melakukan demonstrasi, pengrusakan dan bentrok antar kelompok yang berseberangan. Situasi lapangan inilah yang menjadi latar belakang KPU mengatur secara agak ketat terhadap lembaga survey. Sebagaimana diungkap anggota KPU Endang Sulastri bahwa registrasi itu diwajibkan untuk melindungi masyarakat sebab sejumlah kalangan mengeluhkan independensi lembaga survei yang ada di Indonesia.

Namun, peraturan KPU No. 40 tahun 2008 tidak berlaku secara hukum karena Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa ayat dalam pasal Undang-Undang Pemilu setelah diajukan uji materi oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI). Menurut Mahkamah Konstitusi, pasal 245, Pasal 282, serta Pasal 307, UU. No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 28 J sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Pemilu menghalangi masyarakat untuk mendapat informasi secepat-cepatnya mengenai hasil pemilu. Pelarangan quick count juga mengkriminalisasi hak konstitusionalitas warga negara Indonesia.

Secara teks yuridis putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi benar adanya. Kebebasan berpendapat dan hak atas hidup sebagaimana telah dijamin UUD 1945 akan terganggu dengan Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU. Namun secara konteks mungkin berbeda. Independensi, donasi dan akibat publik quick count yang menjadi ajang kampanye tersembunyi kelompok-kelompok tertentu. Tentunya kondisi ini menciderai demokrasi yang telah berubah borjuakrasi.

(Dimuat di Majalah Mahkamah Konstitusi)

0 comments:

Post a Comment