20 February 2013

Selalu dengan Krisis : Renungan


~~ M. Syafi'ie


Saat ini, badanku begitu lelah seperti menyimpan rasa sakit tapi enggan dan sangat berat kuungkapkan. Tidak ingin aku larut dalam sakit yang menghinggapi badanku ini. Di saat yang sama, aku menemukan jiwaku juga tergeletak dalam ranjang renung panjang dan belum mendapatkan muaranya. Seakan jiwaku mengawang dalam ruang langit, beterbangan bersama malaikat-malaikat yang terus bertasbih.

Kudapatkan diriku sangat lelah, jiwa dan raga. Setiap saat tatkala aku membaca berbagai berita baik televisi, Koran ataupun mendengarkan radio, senantiasa kudapatkan informasi-informasi yang mengkerdilkan kemanusiaan, mempecundangi keadilan, dan mendorong atas penindasan-penindasan yang tiada henti. Ataupun realitas yang kulihat sendiri, dimana kaum kaya semakin kaya raya sedangkan kaum miskin semakin menderita dan tidak mendapatkan ruang untuk menaikkan pangkatnya : menjadi manusia yang bermartabat.
Kurasakan yang berhak untuk bermartabat ialah mereka yang mempunyai uang dan berkecukupan karena dengan kelihaian dan kecerdasannya mereka mampu menyekolahkan putra-putrinya, membelikannya kebutuhan-kebutuhan yang melebihi sekedar layak, dan perpenghidupan elit. Sedangkan mereka yang miskin semakin tidak jelas, tergusur dan tersingkir. Untuk makan hari ini saja, merekapun bingung harus makan apa? Berfikir makan untuk anak-anak mereka, mengobati sakit mereka dan kalau bisa menyekolahkan anak-anak mereka biar tidak sama dengan nasib mereka kekinian, tidak jelas pekerjaan dan hanya meminta-minta. Pendidikan adalah salah satu harapan dari penyelesaian krisis yang mereka hadapi saat ini.

Berkali-berkali telah dipesankan dalam buku-buku, mimbar ilmiah, pengajian-pengajian ataupun lainnya bahwa yang namanya pendidikan itu sangat penting dan fundamental bagi masa depan umat, sehingga seluruh umat manusia dari manapun harus berpendidikan dan menjadi manusia pembelajar. Pesan dan ultimatum inipun sesungguhnya telah disadari oleh kaum miskin, makanya mereka sangat menyesali terhadap nasib mereka. Mengapa mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka? Apa salah mereka? Takdirkah? Untuk menjawabnya mereka seringkali menggigit jari karena jalan pendidikan itu tertutup bagi kaum yang seperti mereka. Untuk makan hari ini saja susah apalagi akan berfikir menyekolahkan anak-anak yang biayanya jelas melebihi harga makanan hari-hari.

Hidup di negeri Indonesia ini seakan hidup di negeri dongeng. Sumber alam yang katanya melimpah dan dibangga banggakan, kok bisa banyak warganya yang busung lapar dan mati karena kelaparan. Ditengah maraknya para pejabat yang pamer kekayaan, selebritis yang pamer kemewahan, gemerlapnya hotel berbintang, bangunan-bangunan yang mencakar langit, mal-mal yang berhias lampu-lampu, mini-mini market yang bersih sampai sesak mobil-mobil di jalanan, tapi kenapa malah yang miskin melonjak tajam? Peminta-minta bertambah, pekerja seks komersial meningkat, pendidikan memahal, harga bahan pokok naik tajam, harga minyak yang tak terkontrol dan lain sebagainya.

Krisis demi krisis berjalan begitu saja tanpa pembenahan fundamental. Semuanya diselesaikan secara parsial dan temporer. Ironisnya penyelesaian yang ada malah menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih serius dan mengantarkan pada krisis yang berkepanjangan. Contohnya semisal untuk menuntaskan maraknya penyakit HIV maka solusinya kondomisasi, menyelesaikan krisis minyak maka jalan keluarnya konversi, krisis beras maka solusinya impor, krisis lembaga maka ciptakan lembaga baru lagi dan masih sangat banyak contoh-contoh lainnya yang menunjukkan political will penyelesaian krisis bangsa dilakukan secara serampangan dan tidak fundamental.

Kalau mengutip apa yang diungkapkan Adorno, kita harusnya mampu melakukan dialektika negatif yang kemudian mendorong kita untuk mengumandangkan slogan "Jangan", yang artinya dalam pengelolaan bangsa ini jangan sampai menggunakan logika-logika pokoknya dan sembarangan mengambil jalan keluar, melainkan harusnya mendasarkan atas kesadaran sejarah, kesadaran sosial, kesadaran berkebangsaan dan kesadaran bernegara. Sehingga krisis yang ada semestinya dielaborasi dan diselesaikan dengan keberanian dan kesadaran yang tinggi. Tanpa itu mustahil bangsa ini akan mampu keluar dari krisis panjangnya.

0 comments:

Post a Comment