02 June 2017

KONFLIK KEBEBASAN BERAGAMA DI PEKANBARU RIAU

Oleh : M. Syafi’ie

“Pemerintah sedang memelihara kekerasan.
Mengamankan aktor-aktor intoleran.
Pemerintah dan aparat keamaan menyaksikan kekerasan terjadi.”
(Zuhdi, Koordinator JAKFI Pekanbaru.
Korban Pemukulan)

A. Pendahuluan
Konflik kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Riau tak banyak terdengar. Hanya Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur dan Yogyakarta yang selalu menguat. Tapi tidak berarti kasus KBB tidak ada di Riau, pernah terjadi pengrusakan tempat ibadah, penyegelaan rumah ibadah Ahmadiyah dan penyekapan aktivis yang dituduh Syiah. 

 Artinya kasus KBB ada, tapi seperti tak terlihat akibat kuatnya suara kelompok eksklusif, dukungan politik eksklusif dan peran penegak hukum yang yang membiarkan kasus kekerasan terjadi. “Tidak ada yang mendukung kelompok agama yang jadi korban kekerasan berbasis agama di sini. Yang membela hanya Lembaga Bantuan Hukum. Juga beberapa mahasiswa, itu pun  tidak jelas,” ungkap Andi Wijaya, salah seorang pengacara kasus  KBB dari LBH Riau.[1]

28 April 2017

Pendampingan Difabel dan Sistem Hukum Yang Tidak Ideal

Oleh : Purwanti & M. Syafi’ie[1]

A. Pengantar
Tidak pernah terpikir awalnya, V akhirnya harus merasakan bagaimana kerasnya berproses di peradilan atas kasus yang menimpanya. V adalah korban pencabulan dan pemerkosasan oleh guru di sekolahnya. V merupakan seorang difabel ganda : tidak bisa mendengar, kesulitan  berbicara dan difabel mental intelektual. Umur kalendernya 22 tahun dan sudah terhitung dewasa, tetapi umur mental V baru 8 tahun dan terhitung umur mental anak-anak. Melihat V, yang terbaca adalah pribadi yang berperilaku anak-anak. Cara berfikir dan emosionalnya masih anak-anak. Hanya fisiknya yang terlihat dewasa.