Kontestasi politik semakin
tidak mengenal batas baik-buruk, layak atau tidak layak, benar atau salah.
Kampanye politik yang memperebutkan simpati publik kerap dilakukan dengan
cara-cara yang tidak sepantasnya. Salah satu yang menjadi korban dari aktifitas
politik adalah anak-anak, sebagian mereka dilibatkan dalam aktifitas dukung
mendukung calon, dan harus mendengarkan ragam pendapat tim sukses yang umumnya
berisi ujaran kebencian yang dilontarkan kepada pihak lawan. Anak-anak secara
langsung atau tidak langsung telah menjadi korban dan membayakan untuk interaksi
sosial mereka kedepannya.
x
x
Terkait Pemilihan
Presiden 2019, Koran Harian ini telah memberitakan bahwa Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) setidaknya telah mendapat 6 (enam) pengaduan, pertama, video anak Pramuka yang
menyerukan tagar #2019GantiPresiden. Kedua,
pelibatan kampanye anak dalam program kegiatan #Deklarasi gerakan emak-emak dan
anak minum susu (emas) pada Rabu, 24 Oktober, di Stadion Klender, Jakarta
Timur. Ketiga, penyalahgunaan anak
untuk kepentingan politik kelompok tertentu saat aksi 2 November di Jakarta
Pusat. Anak naik panggung dan menyerukan pilih pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden nomor urut 2 dan tinggalkan nomor urut 1. Keempat, perang tagar #2019GantiPresiden dan #Dia lagi sibuk
bekerja yang juga melibatkan anak-anak saat acara CFD di Jakarta. Kelima, deklarasi 20 pondok pesantren
dukung Jokowi 2 periode yang mengatasnamakan
kelompok Santri Militan Jokowi alias Samijo dengan dengan melibatkan
anak-anak di Banten. Keenam, foto
anak yang mencoret gambar Presiden Jokowi dan menodongkan senjata tajam pada
leher gambar tersebut.
Pengaduan pelibatan
anak ke KPAI memang baru ada 6 (enam), tetapi kalau ditelusuri lebih jauh di media
sosial dan ragam aktivitas di kantong-kantong tim sukses masing-masing kandidat
calon presiden dan wakil presiden, maka akan terang benderang betapa pelibatan
anak cenderung massif dan tidak terkontrol. Situasi ini menandakan bahwa
kontestasi politik pemilihan Presiden 2019 sangat tidak ramah kepada anak,
setidaknya mengulang dari kesalahan penyelenggaraan pemilihan umum dan
pemilihan kepala daerah masa lalu yang juga mengorbankan hak-hak anak.
Hak
Anak dan Tugas Pemangku Kewajiban
Dalam UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia
dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar anak-anak di masa depan
mampu bertanggungjawab untuk keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosialnya. Anak-anak adalah tunas,
potensi, generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran
strategis, dan sifat khusus yang wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan
yang tidak manusiawi.
Undang-Undang ini menyatakan
bahwa yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan makna perlindungan
anak dimaknai sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
Begitu pentingnya
perlindungan anak, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban
untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai
dengan tugas dan tanggungjawabnya. Dalam kontestasi politik yang saling
menjatuhkan dan hoax yang merajalela, maka para pemangku kewajiban untuk proses
penyelenggaraan pemilu dan pemangku kewajiban yang secara spesifik bertugas
mengawasi dan melindungi hak anak harus saling bekerjasama mencegah pelanggaran
hak anak dalam aktivitas politik.
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), serta Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) dan KPAI pada sisi yang lain harus
bersatu dan menghukum pihak-pihak yang melibatkan anak dalam kegiatan politik
praktis. Tanggungjawab ini bersifat imperatif
karena secara legal, Pasal 15 huruf a UU No. 35 tahun 2014 sangat tegas menyatakan
bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam
kegiatan politik.
Undang-Undang
Perlindungan ini juga sangat tegas melarang memperlakukan anak secara
diskrimintatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik secara materil
maupun moril yang menghambat fungsi sosialnya; melarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran; serta larangan
merekrut anak atau memperalat anak untuk kepentingan militer/ atau lainnya dan
membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Sanksinya berat dan bersifat pidana.
Pelanggaran hak anak nyata
terjadi. Sudah saatnya KPU, BAWASLU, KEMENPPA, KPAI, serta Pihak Kepolisian bekerjasama
dan menghentikan pelibatan anak dalam perseteruan politik praktis.
Terbit
di Koran Jawa Pos 21 November 2018
No comments:
Post a Comment