Debat Perdana
Capres-Cawapres 2019 yang diselenggarakan KPU telah dilaksanakan. Hiruk pikuknya
masih terasa sampai saat ini. Salah satu materi hak asasi manusia yang dibahas
adalah terkait dengan difabel. Capres-Cawapres Urut 1 (satu) menjelaskan bahwa sejak disahkannya Undang-Undang
No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pendekatan dalam melihat
difabel sudah berbeda, dari yang awalnya charity
(belas kasih) ke arah hak asasi manusia, adanya penyamaan bonus bagi atlet
difabel dan non difabel dalam event Asian Para Games 2018, dan masih adanya
problem penghormatan sosial kepada difabel. Sedangkan Capres Cawapres Urut 2 (dua) lebih mencontohkan figur Zulfan Dewantara, sosok difabel yang dinilai sukses menciptakan
lapangan kerja dan menjadi mentor bisnis online.
Tempo debat yang
singkat, dan tidak diprioritaskannya isu difabel bagi para kandidat, berdampak
pada bahasan difabel yang hanya berkutat di area yang permukaan. Tidak ada
ulasan yang utuh dalam melihat persoalan struktural dan kultural difabel dan
bagaimana strategi dan program para kandidat untuk membenahi problem yang akut.
Karena itu, debat perdana Capres-Cawapres hanya menyampaikan sedikit pesan yang
sangat permukaan, di tengah gundukan dan lapis problem yang menimpa kaum
difabel di negara ini.
Problem
Struktural dan Kultural
Di dunia nyata, kita
sangat mudah menemukan bagaimana peminggiran kaum difabel yang terjadi cukup
sistemik. Di level struktural, kita masih menemukan peraturan, kebijakan dan
aktor pemangku kebijakan yang secara langsung dan tidak langsung diskriminatif
kepada difabel. Diantaranya terkait regulasi persyaratan jasmani dan rohani
dalam rekruetmen tenaga kerja yang mengakibatkan banyak difabel tidak lolos tes
administratif kesehatan; Pasal 433 buku 1 KUH Perdata yang menempatkan sebagian
difabel sebagai orang yang tidak cakap hukum, tetapi dalam prakteknya hampir
semua difabel dianggap tidak cakap hukum dalam membuat perjanjian hubungan keperdataan,
serta aturan hukum KUHAP yang digunakan para penegak hukum sudah tidak cukup
dijadikan dasar bagaimana difabel yang berhadapan dengan hukum semestinya
diproses dan diadili secara fair.
Problem yang tidak
kalah penting adalah aktor struktural pemerintahan yang umumnya masih belum
bisa berinteraksi dan melayani difabel dengan selayaknya. Akibatnya, banyak program
dan kebijakan yang dikeluarkan pemangku kebijakan tidak tepat dan secara
langsung terkatagori diskriminatif. Salah satu
program yang tergambar ialah terkait dengan pembangunan sarana prasarana
publik yang setiap tahun pasti diadakan, baik pembangunan kantor pemerintahan
atau pun fasilitas jalan publik. Setiap sarana prasarana yang dibangun umumnya
tidak aksesibel sebab partisipasi difabel dalam pengambilan dan pelaksanaan program
sangat lemah, dan pada sisi yang lain tidak banyak pemangku kebijakan yang
memahami hambatan-hambatan dasar difabel.
Sektor problem yang
tidak kalah akut terjadi di level kultural, di mana kita masih menemukan
praktek penghinaan kepada kelompok difabel dengan sebutan kecacatan; pelecehan
berupa kekerasan, pemerkosan, dan tindak asusila yang proses hukumnya belum
adil; pengabaian terhadap penyelesaian kasus hukum karena kesaksian difabel
berhadapan dengan hukum yang dianggap lemah, sampai dengan kekerasan berupa
pemasungan yang umumnya menimpa difabel skizofrenia.
Secara umum bisa kita
katakan bahwa pelanggaran hak difabel terhimpit dari problem struktural berupa
hilangnya pemahaman dan kesadaran dasar pemangku kebijakan bagaimana negara
seharusnya memenuhi hak-hak kaum difabel, dan pada sisi yang lain difabel termarginalkan
dalam lingkungan sosial terus menerus terjadi.
Pasca
Debat
Setelah perhelatan
debat pertama yang menegangkan itu, hal penting yang perlu ditagih kepada para
Capres dan Cawapres adalah harapan untuk menarasikan lebih detail
hambatan-hambatan utama difabel di semua sektor
hak dan kemudian menjelaskan
terobosan produktif program-program yang harapannya dapat menyelesaikan problem
existing yang menimpa kaum difabel saat ini.
Untuk menarasikan
hambatan-hambatan utama yang terjadi, penting rasanya para kandidat
Capres-Cawapres 2019 untuk mendengar, menjaring aspirasi komunitas, dan
melibatkan aktivis difabel untuk mendiskusikan problem utama difabel dengan
lebih serius. Pelibatan penuh aktivis difabel sangat penting agar para kandidat
tidak kehilangan basis sosial dan menjadikan isu ini hanya sebagai pemanis di
saat musim kampanye.
Dimuat
di Koran Kedaulatan Rakyat, 1 Februari 2019
x
No comments:
Post a Comment