15 June 2022

Benturan Pemenuhan Hak Konstitusional di Era Pandemi

 ~~ M. Syafi'ie


Hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat fundamental bagi keberadaan manusia. Hak asasi manusia memiliki sejarah yang sangat panjang dan melekat dengan gagasan negara hukum yang mengalami perkembangan terus menerus. Pada abad ke-19 dengan munculnya konsep rechtstaat Frederick Julius Stahl sudah menyatakan bahwa unsur negara hukum antara lain: pertama, perlindungan hak asasi manusia. Kedua, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan untuk mejamin hak- hak. Ketiga, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undngan. Keempat, peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada saat yang tidak terlampau jauh muncul konsep A.V Dicey tentang negara hukum (rule of law) yang lahir dan tumbuh di negara Anglo Saxon. Menurut A.V Dicey unsur-unsur hukum meliputi: pertama, supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang tidak boleh dihukum kalau melanggar hukum. Kedua, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Ketiga, terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh konstitusi) serta keputusan-keputusan pengadilan.



Pengakuan jaminan hak asasi manusia dalam negara hukum terus mengalami perkembangan yang cukup memadai, dari mulai negara hukum, negara hukum modern pada abad ke-20, sampi dengan dengan saat ini. Kita dapat menyaksikan betapa jaminan hak asasi manusia selalu ditemukan dalam dokumen konstitusi, tidak terkecuali dalam UUD 1945. Konstitusi sendiri merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak bagi sebuah negara. Konstitusi umum secara memberikan gambaran tentang dan penjelasa tentang lembaga-lembaga negara dan juga ditemukan penjelasan tentang posisi hak dan kewajiban warga negara. Konstitusi bisa dikatakan sebagai bagian dari social contract antara rakyat dan penguasa. 

Konstitusi sangat dibutuhkan dalam suatu negara, setidaknya dengan dua alasan, pertama, agar penyelenggaraan negara tidak didasarkan pada kehendak individu atau kelompok tertentu tanpa adanya rujukan bersama yang telah menjadi konsensus bersama suatu negara. Kedua, konstitusi menjadi aturan dasar yang mengatur persoalan fundamental yang menjadi sendi berdirinya suatu negara. UUD 1945 secara umum memuat beberapa hal penting, pertama, kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa. Kedua, dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik. Ketiga, suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara. Keempat, deskripsi yang menyangkut tentang hak asasi manusia.

Muatan hak asasi manusia dalam UUD 1945 pasca reformasi bisa dikatakan sudah sangat mengakomodasi hak-hak yang diatur di dunia internasional. UUD 1945 pasca reformasi mengalami amandemen sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002. Perubahan UUD 1945 pasca amandemen mengalami perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan perlindungan HAM di Indonesia. Pasal tentang HAM terletak pada bab tersendiri yaitu Bab XA, di dalamnya terdapat 26 butir ketentuan yang menjamin terhadap pemenuhan HAM.

Substansi hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejauh ini tidak ada masalah, karena norma-norma tersebut memang digali dari norma hak asasi manusia yang diakusi secar internasional dan hak-hak tersebut melekat kepada harkat dan martabat manusia. Jack Donnely menyebut bahwa hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat, atau hanya berdasarkan hukum positif, melainkan karena semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Namun demikian, penulis menemukan potensi benturan pemenuhan hak-hak yang diatur dalam konstitusi, dalam ruang dan waktu tertentu. Salah satunya terjadi saat ini, yaitu dimasa pandemi Covid-19. Kita tahu bahwa pandemi ini berkaitan dengan kesehatan, dan berelasi dengan hak-hak kesehatan dan hak setiap orang untuk mendapat layanan kesehatan sebagaimana diatur pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Untuk kepentingan kesehatan, dibuatlah beberapa kebijakan dan peraturan antara lain: Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, serta Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). 

Selain itu, Pasal 59 ayat (3) UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Permenkes No. 9 tahun 2020 menyatakan bahwa pembatasan dalam memberlakukan PSBB paling sedikit meliputi: a) peliburan sekolah dan tempat kerja; b) pembatasan kegiatan keagamaan; c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum; e) pembatasan moda transportasi; dan f) pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan, disertai ancaman sanksi bagi yang melanggar. Dalam konteks hak kesehatan dan layanan kesehatan di atas, benturan pemenuhan konstitusional terjadi pada hak kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat (Pasal 28E ayat 3), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2), hak bebas memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai ajaran agama (Pasal 28E ayat 1), dan hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1).

Di masa pandemi Covid-19, fokus pemerintah cenderung pada penanganan Covid-19, dan dalam konteks hukum hak asasi pendekatan ini dapat dibenarkan secara hukum sebagaiman diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang dikenal dengan konsep derogasi (pengurangan). Derogasi (derogation) dimaknai sebagai peluang negara untuk mengabaikan kewajiban memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia pada masa darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Derogasi hak asasi manusia merupakan mikanisme yang disediakan hukum internasional bagi sebuah negara yang mengalami situasi darurat untuk mengambil tindakan yang dinilai melanggar HAM, dan apabila derogasi tidak dilaukan maka dikhawatirkan akan terjadi kerusakan yang lebih parah.

Secara teknis, kebijakan pengurangan HAM boleh dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan pengumuman secara resmi nasonal terlebih dahulu. Konteks ini sebenarnya telah dilakukan dalam kasus Pandemi Covid-19, dimana kasus tersebut telah ditetapkan sebagai kasus darurat kesehatan dan dikatagorikan sebagai bencana non alam. Pembatasan pun dilakukan salah satunya dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB).

Catatan penting dari penanganan Covid-19 sebenarnya lebih pada posisi pemerintah yang seperti kebingunan dalam pemenuhan hak, yaitu antara pemenuhan hak atas kesehatan dan hak hidup pada satu sisi, dan pada sisi yang lain pemenuhan hak politik dengan tetap menyelenggarakan Pilkada langsung secara serentak, pemenuhan hak ekonomi dengan membuka secara bebas pembatasan sosial berskala besar.

Dampak dari kebingungan pemerintah ini akhirnya kasus Covid-19 terus meningkat dan tidak terkendali. Selama ini, masyarakat menyaksikan tumpang tindih penanganan Covid-19, antara lain : pemerintah cenderung fokus pada persoalan ekonomi, padahal krisis utama terjadi di sektor kesehatan, data pelacakan (tracing) pasien positif Covid-19 cenderung minim, penanganan Covid-19 tenggelam dikalahkan oleh hiruk pikuk politik, pengesahan peraturan kontra produktif seperti revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konsitusi, dan pengesahan RUU Cipta Kerja yang memancing gejolak dan kerumunan yang massif, serta pemerintah yang sibuk dengan tarik menarik penanganan Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah, diantaranya terlihat pola vis a vis di DKI Jakarta.

Berangkat dari pemikiran di atas, memang benar terjadi benturan pemenuhan hak konstitusional di era pandemi covid-19, namun demikian pengarusutmaaan pemenuhan hak atas kesehatan dapat dibenarkan menurut standar hukum hak asasi manusia internasional sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik. Substansi problemnya terletak pada sikap pemerintah yang cenderung ambivalen dan mengutamakan hak lain seperti hak politik dan hak ekonomi sehingga berdampak pada meningkatkannya kasus Covid-19 dan membuka pintu pelanggaran hak atas kesehatan yang lebih mendalam.

Sumber : https://law.uii.ac.id/prosiding-webinar-nasional-berseri-htn-oktober-2021/



0 comments:

Post a Comment