15 June 2022

Rethingking Komisi Nasional Disabilitas (KND): Kritik dan Idealita Lembaga Negara Independen

 ~~ M. Syafi'ie


Komisi Nasional Disabilitas (KND) adalah lembaga negara nonstruktural yang bersifat independen. Lembaga negara ini dibentuk untuk mengawal pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yang secara umum telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabiltitas. Namun demikian, keberadaan lembaga negara ini dipermasalahkan sangat serius oleh komunitas penyandang disabilitas karena lembaga ini dinilai berada di bawah kekuasaan pemerintahan, dikendalikan oleh Kementrian Sosial, dan dianggap tidak sejalan dengan konsepsi ideal lembaga negara independen.



A. Pendahuluan

Pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa kaum difabel hampir terjadi di semua lini.  Hak pendidikan, hak kesehatan, hak keadilan hukum, hak politik, hak bebas dari stigma negatif, hak aksesibilitas, hak atas layanan publik dan beberapa hak yang lain masih ditemukan bermasalah cukup serius. Difabel berada di garis kerentanan yang serius dibandingkan dengan kelompok-kelompok rentan yang lain. Difabel selalu beririsan dengan kemiskinan dan keterbelakangan, akibatnya posisi difabel berada di area yang sangat marginal dalam bangunan struktur sosial kemasyarakatan. 

Konteks kerentanan difabel mendorong pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dimana dalam pertimbangannya dikatakan bahwa sebagian besar difabel di Indonesia berada dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau/miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak-hak difabel. Untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi difabel menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan sebuah peraturan perundangan yang menjamin pelaksanaannya.  Dalam hal ini pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan juga telah meratifikasi Convention on The Rights of Persons With Disabilities (CRPD) lewat Undang-Undang No. 19 Tahun 2011.

Dalam perundang-undangan tentang penyandang disabiltias diatur dengan cukup baik cakupan hak yang melekat pada difabel dan menjadi tanggungjawab negara untuk memastikan pemenuhannya, antara lain hak hak hidup, hak bebas dari stigma, hak privasi, hak keadilan dan perlindungan hukum, hak pendidikan, hak pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, hak kesehatan, hak politik, hak keagamaan, hak keolahragaan, hak kebudayaan dan pariwisata, hak kesejahteraan sosial, hak aksesibilitas, hak pelayanan public, hak perlindungan dari bencana, hak habilitasi dan rehabilitasi, hak konsesi, hak pendataan, hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam kehidupan masyarakat, hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak berpindah tempat, hak bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaraan, penyiksaan dan eksploitasi, hak perempuan dengan disabilitas, serta hak anak dengan disabilitas.

Membaca jaminan hak yang diatur dalam perundang-undangan disabilitas, terlihat sudah sudah cukup memadai dan meliputi cakupan hak yang sedemikian luas baik dari sisi hak sipil dan politik, maupun dari sisi hak ekonomi, sosial dan budaya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengawal dan memastikan pemenuhan hak difabel yang sedemikian lengkap itu? Merujuk pada Undang-Undang 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ada beberapa cara yang digunakan antara lain : pemerintah pusat dan daerah wajib melakukan perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi tentang pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabiltitas yang kemudian dirumuskan dalam rencana induk (Pasal 27 ayat 1 dan 2); Pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di beberapa instiitusi; Pembentukan Mekanisme Koordinasi Nasional dan Daerah dalam rangka melaksanakan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (P4D); Pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND); Kerjasama Internasional untuk mendukung usaha memajukan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (P4D); Pemberian Penghargaan Perorangan, Badan Hukum, Lembaga Negara dan Penyedia Fasilitas Publik yang berjasa dalam Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (P4D), serta Pemberian sanksi yang berifat pidana terhadap perorangan yang melakukan tindakan yang berdampak pada bertambah, berkurang atau hilangnya hak-hak penyandang disabilitas. 

Salah satu yang menyita perhatian penulis ialah keberadaan Komisi Nasional Disabilitas (KND), dimana dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Komisi ini dikatakan sebagai lembaga non structural yang bersifat independen. Namun pada kenyataaanya, Komisi ini keuangannya melekat pada keuangan Kementrian Sosial, dan dalam menjalankan tugasnya KND dibantu oleh Sekretariat KND yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang notabene jabatan pimpinan tinggi pratama atau jabatan structural eselon II yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang sosial.

Komisi Nasional Disabilitas (KND) pembentukannyta telah dimandatkan pada Pasal 134  Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan lebih teknis telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Keberadaan Komisi ini masih dipertanyakan dan dikritik oleh banyak pihak, utamanya komunitas difabel yang mempertanyakan independensi kelembagaan dan peran pentingnya untuk mengawal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak difabel yang telah diatur dengan sedemikian rupa dalam perundang-undangan terkait hak asasi manusia dan hak-hak difabel pada khususnya. Komunitas difabel mendesak revisi pengaturan tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) . Tulisan ini hendak mengkaji dua rumusalah masalah, pertama, bagaimana desain pengaturan Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Indonesia? Kedua, apa kritik mendasar dan idealita Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Indonesia?

B. Metode Penelitian

Tipologi penelitian ini ialah penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang kelembagaannya diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Pendekatan penelitian ialah perundang-undangan dan konseptual tentan lembaga independen. Sumber data primer ialah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas, sedangkan data sekunder merujuk pada literatur, jurnal, dan makalah yang terkati dengan obyek bahasan. Teknik pengambilan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan literatur terkait dengan lembaga negara independen. Analisis data bersifat kualitatif meliputi aktifitas pengklasifikasian data, editing, penyajian hasil data dalam bentuk narasi dan kemudian dilakukan pengambilan kesimpulan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

C. Lembaga Independen : Perkembangan Trias Politica

Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak, maka kebebasan akan terancam.  

Pembagian tiga fungsi kekuasaan di atas dikenal dengan konsep ini dikenal dengan trias politica, dimana kekuasaan suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur  kekuasaan politik melainkan harus dipisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda, yaitu lembaga legislatif yang lebih pada fungsi rule making, lembaga eksekutif yang lebih pada fungsi rule application, dan lembaga yudikatif yang lebih pada fungsi rule adjudication.

Konsepsi Trias politica dipandang sudah tidak relevan lagi saat ini, pertama, tidak mungkin mempertahankan ketiga organisasi hanya berurusan secara ekslusif dengan satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini memperlihatkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan tidak mungkin saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip check and balances. Kedua, perkembangan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial budaya serta pengaruh globalisme dan lokalisme menghendaki struktur organisasi negara yang lebih responsif, lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik untuk mencapai penyelenggaraan pemerintahan.

Perkembangan pemikiran di atas berpengaruh pada terciptanya struktur organisasi negara, termasuk fungsi-fungsi lembaga negara baru yang antara lain berupa Dewan (Council), Komisi (Commision), Komite (Committee), Badan (Board), atau otorita (authority). Lembaga-lembaga baru ini dikenal sebagai state auxiliary organs atau auxiliarty institutions yang fungsinya sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga ini ada yang disebut self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi regulative, administrative dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi perkembangannya dilakukan secara bersamaan oleh lembaga baru yang ada. Bahkan, ada lembaga negara yang disebut sebagai quasi non governmental organizations. 

Munculnya lembaga negara yang dalam tugasnya tidak secara jelas berada di posisi tiga lembaga trias politica para pakar menyebutnya dengan state auxiliary organs atau lembaga negara penunjang. Istilah yang paling umum digunakan  para pakar hukum tata negara ialah lembaga negara independen. Walaupun banyak juga pakar yang mempergunakan state auxiliary organs.  Sebagian ahli mengelompokkan lembaga independen semacam dalam ruang lingkup lembaga eksekutif, tetapi ada banyak pakar yang bersepakat menempatkan lembaga independen sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. 

Salah satu tokoh yang cukup jelas menyebut bahwa lembaga negara independent sebagai lembaga negara kekuasaan baru ialah Bruce Ackerman. Bruce dalam artikelnya yang berjudulnya The New Separation of Powers yang dimuat di Jurnal Harvard Law Review menuliskan pemisahan kekuasaan baru (the separation of power) yang memastikan keberadaan lembaga independent (independent agencies) sebagai cabang kekuasaan baru.  Perkembangan kelembagaan yang ada di Amerika memperlihatkan bahwa ada perkembangan praktik ketatanegaraan yang tidak lagi berlandaskan pada konsep trias politica yang diusung oleh Montesquieu. Dalam artikelnya Bruce Ackerman menulis, “… The American system contain (at least) five branches : house, senate, president, court, and independent agencies such as the Federal Reserve Board. Complexity is compounded by the wildering institutional dynamics of the American Federal System..” 

Saat ini, sudah banyak lembaga independent yang terbentuk, setidaknya ada sekitar lima ratus quasiautonomousnon-governmental organization di Inggris, lebih dari seratus lembaga negara bantu di Perancis, dan sekitar 40.000 enti publicci di Italia.   Di Amerika misalnya, lembaga independen memiliki banyak varian, antara lain : lembaga independent yang dianggap paling penting atau utama (major independent agencies) seperti CIA dan USAID; lembaga atau badan independent, korporasi atau quasi lembaga resmi lainnya (Other major independent agencies, corporations, and quasi official agencies) seperti American Red Croos dan State Justice Insititute; lembaga-lembaga regulasi independen lainnya (Independent regularatory agencies, quasi judicial agencies and other independent agencies) seperti Consumer Product Safety Commision dan Federal Home Loan Band Board; dan Korporasi, Komisi, dan Badan-Badan Independen lain (Other Independent agencies, Corporation, Committes) seperti Civil Rights Commision dan Corporation for National and Community Service.

Secara teoritis, kehadiran lembaga independen tidak lepas dari kehendak dan kebijakan negara,  dimana negara dengan kebijakan resminya membuat lembaga negara baru yang keberadaannya diharapkan bersifat independen dan bebas dari campur tangan kekuasaan. Lembaga negara independen keberadaannya lebih jauh diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan, dimana anggotanya biasanya diambil dari unsur masyarakat, diberi kekuasaan oleh negara secara untuk mengawasi tanggungjawab negara, kelembagaannya dibiayai oleh negara, dan anggotanya tidak harus menjadi pegawai negara. Keberadaan lembaga independen ini muncul untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yagn akuntabel, terpercaya dan independen.

Lembaga negara independen ini dibutuhkan antara lain dalam rangka penyediaan layanan yang bebas dari dari campur tangan politik; lembaga yang diharapkan berfungsi memberikan masukan dan nasehat kepada pemerintah secara independen; adanya kebutuhan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution);   serta adanya kebutuhan-kebutuhan fundamental lain yang berupa hadirnya aktor-aktor independen yang mengawasi kinerja pemerintahan, menampung keluhan-keluhan hak-hak warga negara, dan menyampaikannya secara independen kepada pemangku kebijakan sehingga penyelenggaraan layanan pemerintahan dapat berjalan maksimal, tidak diskriminatif, dan menjamin hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.

Dalam konteks lembaga nasional yang melindungi hak-hak asasi manusia, terdapat ketentuan internasional yang dikenal dengan Prinsip-Prinsip. Beberapa hal penting yang diatur dalam Prinsip Paris, pertama, kemandirian hukum. Penjelasannya ialah dasar pembentukan lembaga nasional HAM dan adanya jaminan independensi yang diberikan. Kedua, kemandirian anggota. Prinsip Paris menegaskan bahwa anggota lembaga nasional HAM bertanggungjawab untuk menentukan kebijakan, program, metode operasional, dan kegiatan lembaga, serta temuan, kesimpulan, dan rekomendasi ketika orang-orangnya menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, kemandirian operasional yang berarti lembaga nasional HAM mandiri dalam menentukan prioritas, program dan proyek kelembagaan sendiri.  

D. Desain Komisi Nasional Disabilitas 

Pada pasal 131 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dibentuk KND (Komisi Nasional Disabilitas) sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat independen. Redaksi lembaga nonstruktural dan bersifat independen menjadi catatan serius bagaimana lembaga negara Komisi Nasional Disabilitas ini semestinya dibentuk dan dapat menjalankan program dan agenda pengawasannya secara independen. Merujuk pada pandangan Jimly Asshiddiqie, Komisi Nasional Disabilitas dapat dikatagorikan sebagai Lembaga Negara dan Komisi Negara yang bersifat Independen berdasarkan konstitusi atau memiliki constitusional importance yang setara dengan Komnas HAM. Komisi Nasional Disabilitas mengawal isu hak asasi manusia yang secara umum dijamin dalam UUD 1945.

Pada Pasal 132 ayat (1) dinyatakan bahwa Komisi Nasional Disabilitas mempunyai tugas melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa hasil pemantauan, evaluasi dan advokasi dilaporkan kepada Presiden. Pada Pasal 133 dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Nasional Disabilitas menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu : 

1. Penyusunan rencana kegiatan KND dalam upaya pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas;

2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas

3. Advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas

4. Pelaksanaan kerja sama dalam penanganan penyandang disabilitas dengan pemangku kepentingan terkait

Ketentuan lebih detail dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No, 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Dalam Peratuan ditegaskan bahwa kedudukan KND bersifat independen, dan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Ketentuan cenderung membingungkan, kedudukan KND dinyatakan bersifat independen, tetapi berada di bawah Presiden. Ketentuan ini dengan kata lain sebenarnya menegaskan bahwa KND merupakan Komisi yang berada di lingkungan eksekutif (pemerintah). KND tidak bisa disamakan dengan Komnas HAM dimana kelembagaannya menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bersifat mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. 

Dalam menjalankan tugasnya, KND dibantu oleh  Sekretarian KND yang dipimpin oleh oleh Kepala Sekretariat yang notabene jabatan pimpinan tinggi pratama atau jabatan structural eselon II yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial atau Menteri Sosial (Mensos). Sekretariat KND bertugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada KND, secretariat berkedudukan di unit kerja kementrian sosial, dan lebih jauh tentang orgnisasi dan tata kerja Sekretariat KND akan diatur dalam Peraturan Menteri Sosial yang materi muatannya ditetapkan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara. 

Secara teknis untuk kelancaran pelaksanaan tugas  KND, Ketua KND dapat membentuk paling banyak 4 (empat) kelompok kerja yang berasal dari unsur Pemerintah, Akademisi, Profesional, Praktisi, OPD dan masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, kelompok kerja dikoordinasi dan difasilitas oleh Sekretariat KND, dan lebih jelas terkait anggota, tugas, dan tata kerja kelompok kerja KND diatur dalam dengan Peraturan KND.  

KND sebagaimana dikemukakan sebelumnya dinyatakan sebagai lembaga negara yang bersifat independen, dan tetapi berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, otomatis pengangkatan dan pemberhentian anggotanya dilakukan oleh Presiden.  Calon anggotanya dari unsur akademisi, praktisi, professional dan masyarakat yang dipilih melalui proses seleksi oleh panitia seleksi calon anggota KND. Panitia Seleksi sendiri merupakan wewenang Presiden, dimana dalam praktiknya mendelegasikan kepada Menteri Sosial untuk membentuk panitia seleksi atas usulan Ketua KND.  

Pemilihan calon anggota KND dinyatakan dilakukan secara transparan, professional, dan akuntabel dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat terkati dengan kelayakan. Selanjutnya, Panitia Seleksi menyampaikan kepada Menteri Sosial nama-nama calon anggota KND sebanyak 2 (dua) kali jumlah anggota KND yang dibutuhkan untuk dipilih. Anggota KND sendiri berjumlah 7 (tujuh) orang, yang terdiri dari 4 (empat) anggota berasal dari unsur disabilitas, dan 3 (tiga) anggota dari unsur non disabilitas.  Selanjutnya Menteri menyampaikan nama calon anggota KND kepada Presiden untuk memilihnya, kemudian melantik calon terpilih, dan para para anggota KND terpilih akan bertugas selama 5 (lima) tahun.

Secara umum, dalam melaksanakan tugasnya, KND bertanggungjawab kepada Presiden. Hasil pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dilaporkan kepada Presiden. KND menyampaikan laporan kinerja tahunan kepada Presiden secara berkala.  Pendanaan KND juga berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. 

Secara kelembagaan, KND dengan demikian lembaga independen yang berada di bawah kekuasaan eksekutif (Pemerintah), dalam hal ini sepenuhnya di bawah kendali Kementrian Sosial. KND ‘agak mirip tetapi tidak sama’ dengan Komnas Perempuan, dimana Komnas Perempuan merupakan lembaga independen, dibantu Sekretariat Jenderal dan Staf Sekretariat Jenderal yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan Komnas Perempuan, dan bertanggungjawab kepada Presiden di setiap akhir tahun dan akhir periode. Kewenangan, pera,  dan tugas-tugasnya masih lebih luas Komnas Perempuan, padahal Komnas Perempuan dibentuk berdasarkan dasar hukum Peraturan Presiden dan bukan Undang-Undang seperti KND. 

E. Kritik dan Idealita Komisi Nasional Disabiitas

Pengaturan kelembagaan Komisi Disabilitas (KND) direspon kritik oleh komunitas difabel. Kedudukan KND dinilai tidak sesuai dengan mandat awalnya yang dikehendaki sebagai lembaga nonstruktural dan independen. Lembaga Non structural (LNS) dimaknai sebagai lembaga negara yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintahan, dan independen dimaknai sebagai lembaga negara yang bekerja secara independen.

Persis setelah pengesahan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas, muncul petisi Organisasi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia yang mendesak untuk dilakukan direvisi terhadap pengaturan KND. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan Organisasi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia, yaitu : 

1. Pemerintah belum sepenuhnya memahami disabilitas sebagai bagian dari isu hak asasi manusia, karena KND dilekatkan secara kelembagaan kepada Kementrian Sosial yang tidak memiliki urusan di bidang hak asasi manusia. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015, urusan Kementrian Sosial terbatas kepada rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial dan penanganan fakir miskin.

2. Pemerintah belum sepenuhnya memahami Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 yang membentuk Komisi Nasional Disabilitas (KND) sebaga lembaga yang independent dan non structural, yang bertugas melaksanakan pemantauan, evaluasi dan advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dengan dilekatkan pada Kementrian Sosial, maka KND akan terbatas menjalankan tugasnya, terutama apabila terkait dengan kinerja dari Kementrian Sosial yang justru saat ini banyak mendapat kritik dari organisasi penyandang disabilitas, karena masih melihat disabilitas dari pendekatan belas kasih (charity based). KND juga berpotensi terjerat dalam konflik kepentingan dengan Kementrian Sosial yang pekerjaannya akan sering sekali menjadi sasaran evaluasi, pemantauan, dan advokasi sebagai tugas KND.

3. Pemerintah keliru menafsirkan bahwa KND ini adalah bagian dari tugas koordinasi yang diemban oleh Kementrian Sosial dalam Pasal 129 UU No. 8/2016. KND dalam UU No. 8/2016  telah diatur secara tersendiri di Bab VI, yaitu sebagai lembaga independent dan non structural yang memiliki tugasnya sendiri, dan justru bergerak di luar pemerintah untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dengan begitu, secara pendanaan berdasar pada Pasal 135 ayat (2) UU No. 8/2016, KND mendapatkan anggaran dari APBN yang tidak harus bersumber dari Kementrian Sosial. Justru Pemerintah harus mendukung pembentukan KND yang terbebas dari konflik kepentingan yang akan menghambat pelaksanaan tugas dan fungsinya.

4. Pengisian anggota KND tidak memberikan kesempatan penuh bagi penyandang disabailitas karena membatasi peluang dengan hanya sudah menetapkan jatah anggota KND dari penyandang disabilitas sebanyak 4 dari total 7 orang. Hal itu menutup peluang anggota KND seluruhnya berasal dari penyandang disabilitas, padahal yang utama dalam Pasal 33 ayat (3) UN CRPD adalah mengutamakan keterlibatan penyandang disabilitas dalam pelaksanaan pengawasan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam suatu negara

5. Pemilihan panitia seleksi dan penunjukan anggota KND untuk pertama kalinya tidak melibatkan organisasi penyandang disabilitas yang beresiko menganggu independensi dan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas dari panitia seleksi dan anggota KND tersebut

6. Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) dibentuk secara tertutup dan minim partisipasi penyandang disabilitas sebagai stakeholder utama. Pembentukan yang minimi transparansi informasi menjadikan masyarakat penyandang disabilitas tidak mengetahui apa yang sedang dibahas dan bagaimana pertimbangan dari pemilihan berbagai ketentuan yang saat ini tercantum dalam Perpres KND

7. Proses pembentukan Perpres KND yang tidak membuka partisipasi secara penuh bagi penyandang disabilitas, bahkan tidak ada uji publik atas Rancangan Perpres KND ini kepada penyandang disabilitas, bertentangan dengan mandat Pasal 4 UN CRPD yang mewajibkan pemerintah untuk berkonsultasi secara erat dan intensif dengan masyarakat penyadang disabilitas melalui organisasi yang mewakilinya setiap kali pemerintah akan membuat peraturan dan kebijakan yang terkait dengan penyandang disabilitas

8. Proses penerbitan Perpres KND juga tidak menerapkan prinsip “nothing about us without us” yang sejak diberlakukannya CRPD di negara-negara anggota PBB prinsip ini selalu didorong untuk terus diimplementasikan. Prinsip ini memberikan makna bahwa para penyandang disabilitas yang paling memahami persoalan apa yagn mereka hadapi, dan bagaimana cara menyelesaikannya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Organisasi Penyandang Disabilitas seluruh Indonesia menyampaikan tuntutan kepada Presiden, pertama, agar Presiden merevisi Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND) dengan poin-poin revisi, yaitu :

1. Menjadikan Komisi Nasional Disabilitas sebagai lembaga yang berbasis pada hak asasi manusia sesuai dengan mandate UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan tidak melekatkan KND kepada Kementrian Sosial, tetapi melekatnya kepada Kementrian atau Lembaga yang melaksanakan urusan di bidang hak asasi manusia, diantaranya Kementrian Hukum dan HAM dan Komnas HAM

2. Memperluas tingkat partisipasi dan representasi penyandang disabilitas sebagai anggota KND dengan menambah jumlah anggota KND dari penyandang disabilitas sekurang-kurangnya 5 orang

3. Menambahkan ketentuan yang menyebutkan secara ekplisit bahwa Ketua dan Wakil Ketua KND adalah Penyandang Disabilitas

4. Menambahkan pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam proses pemilihan Panitia Seleksi (Pansel) Pemilihan Anggota KND

5. Menambahkan pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam proses pengusulan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota KND untuk pertama kalinya.

6. Menambahkan pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam proses pembentukan Peraturan Menteri tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KND

7. Menambahkan ketentuan bahwa rekomendasi KND wajib dijalankan oleh Kementrian/Lembaga yang menjadi sasaran rekomendasi tersebut.

8. Memastikan proses pemilihan anggota Komisi Nasional Disabilitas dilakukan secara terbuka dan mengedepankan akuntabilitas dan independensi dari panitia seleksi

Kedua, menuntut agar Presiden memerintahkan Menteri Terkait untuk menunda pelaksanaan Peraturan Presiden No. 68 tentang Komisi Nasional Disabilitas karena adanya petisi dari Organisasi Penyandang Disabilitas seluruh Indonesia ini.

Merujuk pada kritik Organisasi Penyandan Disabilitas Seluruh Indonsia di atas terlihat kekecewaan mendalam komunitas difabel terhadap metode dan substansi pengaturan Komisi Nasional Disabiltas. Secara kelembagaan, komunitas difabel mengharapkan Komisi Nasional Disabilitas berkedudukan secara independen, tidak di bawah kendali kementrian, khususnya Kementrial Sosial yang notabene dinilai tidak bukan kementrian yang mengurusi hak asasi manusia, dan pada sisi yang lain berharap organisasi KND dapat bekerja untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap tanggungjawab pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Secara ideal, KND semestinya dibentuk seperti kelembagaan Komnas HAM,  yaitu menjadi lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara yang lannya, dan fungsinya pun diperbesar yaitu fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa kaum difabel. Saat ini, KND hanya melaksanakan tugas pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak kaum difabel.

Merujuk pada struktur kelembagaan Komnas HAM, KND semestinya dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang memberikan layanan administratif dalam pelaksanaan kegiatan. Sekretaris Jenderal bukan anggota Komnas HAM, tetapi dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil yang tentu memiliki kualifiasi, diusulkan dalam Sidang Paripurna Komnas HAM dan kemudian ditetapkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara. Anggota Komnas HAM juga dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.

Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM juga ditentukan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Laporan tahunan Komnas HAM terkait fungsi, tugas dan wewenangnya serta kondisi hak asasi manusia dan perkara yang ditangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat Ripublik Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung. Model laporan ini memperlihatkan bahwa Komnas HAM merupakan lembaga mandiri yang setara dengan lembaga negara lainnya, temuannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan lembaga negara yang lain, dan pendanaannya pun berasal dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Komnas HAM sebagai lembaga negara independen mendekati model kelembagaan yang patut dicontoh, dimana posisi kelembagaannya setara dengan lembaga negara yang lain baik lembaga negara eksekutif, legislatif dan yudikatif; pemilihan keanggotaannya memperlihatkan model keterwakilan ragam civiel society; dan Komnas HAM sejalan dengan Prinsip-Prinsip Paris yang mengatur tentang Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi Manusia, dimana institusi nasional HAM seharusnya diberikan kewenangan untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia, memiliki kewenangan menyampaikan pendapat, rekomendasi, usulan dan laporan mengenai hal-hal menyangkut perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia kepada pemerintah, parlemen, dan badan-badan yang berwenang, serta konteks jaminan kemandirian lembaga dan keanekaragamaan anggotanya.  

E. Penutup 

Komisi Nasional Disabilitas (KND) merupakan lembaga nonstruktural yang bersifat independen yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Sekretariat KND yang secara struktrual pemerintahan setara dengan jabatan eselon II di Kementrian Sosial (Kemensos). KND melaporkan kepada Presiden terkait hasil pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Kritik mendasar terhadap lembaga ini terletak pada metode, kelembagaan, dan substansi pengaturan KND yang notabene berada di bawah kendali Kementrian Sosial (Kemensos). Lembaga ini dinilai tidak akan cukup independen dalam melakukan pengawasan dan evalusi terhadap  tanggungjawab pemerintah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Keberadaan KND berpotensi terjerat dalam konflik kepentingan dengan Kementrian Sosial yang dalam pekerjaannya akan sering menjadi sasaran evaluasi, pemantauan dan advokasi KND.

Idealnya, KND dibebentuk seperti kelembagaan Komnas HAM atau malah menjadi bagian kelembagaan Komnas HAM. Model kelembagaan Komnas HAM sejalan dengan Prinsip-Prinsip Berkenaan dengan Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi Manusia atau dikenal dengan Prinsip Paris, yang didalamnya memastkan kemadirian lembaga dan keanekaragaman anggotanya. Kelembagaan KND saat ini tidak sejalan dengan Prinsip kelembagaan institusi HAM yang independen. 


Daftar Pustaka

Alder, John, Constitusional and Administrative Law, The Macmillan Press, London, 1989

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

Fakih, Mansour, Panggil Saja Kami Kaum Difabel, dalam Jalan Lain : Manifesto Intelektual Organik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011

Mahfud, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Cetakan Kesepuluh, Depok, 2020

Meny, Yves dan Andrew Knapp, Government and Politic in Western Europe : Britain, France, Italy, Germany, Oxford University Press, 1998

Salim, Ishak dan M. Syafi’ie (Editor), Hidup dalam Kerentanan : Narasi Kecil Keluarga Difabel, SIGAB, Yogyakarta, 2015

Syafari Firdaus, Muhammad, dkk, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia : Sebuah Panduan, Komnas HAM, Jakarta, 2007

Syafi’ie, M, dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, Cetakan Kedua, SIGAB, Yogyakarta, 2016

Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

Widijantoro, Johannes, dkk, Analisis Putusan Difabel Berhadapan dengan Hukum, SIGAB, Yogyakarta, 2019

SAHRDC, Komnas HAM dan Prinsip-Prinsip Paris : Sebuah Gugatan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001


Sumberhttps://law.uii.ac.id/blog/2021/12/03/quo-vadis-lembaga-negara-independen/

Benturan Pemenuhan Hak Konstitusional di Era Pandemi

 ~~ M. Syafi'ie


Hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat fundamental bagi keberadaan manusia. Hak asasi manusia memiliki sejarah yang sangat panjang dan melekat dengan gagasan negara hukum yang mengalami perkembangan terus menerus. Pada abad ke-19 dengan munculnya konsep rechtstaat Frederick Julius Stahl sudah menyatakan bahwa unsur negara hukum antara lain: pertama, perlindungan hak asasi manusia. Kedua, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan untuk mejamin hak- hak. Ketiga, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undngan. Keempat, peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada saat yang tidak terlampau jauh muncul konsep A.V Dicey tentang negara hukum (rule of law) yang lahir dan tumbuh di negara Anglo Saxon. Menurut A.V Dicey unsur-unsur hukum meliputi: pertama, supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang tidak boleh dihukum kalau melanggar hukum. Kedua, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Ketiga, terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh konstitusi) serta keputusan-keputusan pengadilan.



Pengakuan jaminan hak asasi manusia dalam negara hukum terus mengalami perkembangan yang cukup memadai, dari mulai negara hukum, negara hukum modern pada abad ke-20, sampi dengan dengan saat ini. Kita dapat menyaksikan betapa jaminan hak asasi manusia selalu ditemukan dalam dokumen konstitusi, tidak terkecuali dalam UUD 1945. Konstitusi sendiri merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak bagi sebuah negara. Konstitusi umum secara memberikan gambaran tentang dan penjelasa tentang lembaga-lembaga negara dan juga ditemukan penjelasan tentang posisi hak dan kewajiban warga negara. Konstitusi bisa dikatakan sebagai bagian dari social contract antara rakyat dan penguasa. 

Konstitusi sangat dibutuhkan dalam suatu negara, setidaknya dengan dua alasan, pertama, agar penyelenggaraan negara tidak didasarkan pada kehendak individu atau kelompok tertentu tanpa adanya rujukan bersama yang telah menjadi konsensus bersama suatu negara. Kedua, konstitusi menjadi aturan dasar yang mengatur persoalan fundamental yang menjadi sendi berdirinya suatu negara. UUD 1945 secara umum memuat beberapa hal penting, pertama, kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa. Kedua, dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik. Ketiga, suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara. Keempat, deskripsi yang menyangkut tentang hak asasi manusia.

Muatan hak asasi manusia dalam UUD 1945 pasca reformasi bisa dikatakan sudah sangat mengakomodasi hak-hak yang diatur di dunia internasional. UUD 1945 pasca reformasi mengalami amandemen sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002. Perubahan UUD 1945 pasca amandemen mengalami perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan perlindungan HAM di Indonesia. Pasal tentang HAM terletak pada bab tersendiri yaitu Bab XA, di dalamnya terdapat 26 butir ketentuan yang menjamin terhadap pemenuhan HAM.

Substansi hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejauh ini tidak ada masalah, karena norma-norma tersebut memang digali dari norma hak asasi manusia yang diakusi secar internasional dan hak-hak tersebut melekat kepada harkat dan martabat manusia. Jack Donnely menyebut bahwa hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat, atau hanya berdasarkan hukum positif, melainkan karena semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Namun demikian, penulis menemukan potensi benturan pemenuhan hak-hak yang diatur dalam konstitusi, dalam ruang dan waktu tertentu. Salah satunya terjadi saat ini, yaitu dimasa pandemi Covid-19. Kita tahu bahwa pandemi ini berkaitan dengan kesehatan, dan berelasi dengan hak-hak kesehatan dan hak setiap orang untuk mendapat layanan kesehatan sebagaimana diatur pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Untuk kepentingan kesehatan, dibuatlah beberapa kebijakan dan peraturan antara lain: Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, serta Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). 

Selain itu, Pasal 59 ayat (3) UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Permenkes No. 9 tahun 2020 menyatakan bahwa pembatasan dalam memberlakukan PSBB paling sedikit meliputi: a) peliburan sekolah dan tempat kerja; b) pembatasan kegiatan keagamaan; c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum; e) pembatasan moda transportasi; dan f) pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan, disertai ancaman sanksi bagi yang melanggar. Dalam konteks hak kesehatan dan layanan kesehatan di atas, benturan pemenuhan konstitusional terjadi pada hak kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat (Pasal 28E ayat 3), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2), hak bebas memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai ajaran agama (Pasal 28E ayat 1), dan hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1).

Di masa pandemi Covid-19, fokus pemerintah cenderung pada penanganan Covid-19, dan dalam konteks hukum hak asasi pendekatan ini dapat dibenarkan secara hukum sebagaiman diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang dikenal dengan konsep derogasi (pengurangan). Derogasi (derogation) dimaknai sebagai peluang negara untuk mengabaikan kewajiban memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia pada masa darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Derogasi hak asasi manusia merupakan mikanisme yang disediakan hukum internasional bagi sebuah negara yang mengalami situasi darurat untuk mengambil tindakan yang dinilai melanggar HAM, dan apabila derogasi tidak dilaukan maka dikhawatirkan akan terjadi kerusakan yang lebih parah.

Secara teknis, kebijakan pengurangan HAM boleh dilakukan oleh suatu negara dengan melakukan pengumuman secara resmi nasonal terlebih dahulu. Konteks ini sebenarnya telah dilakukan dalam kasus Pandemi Covid-19, dimana kasus tersebut telah ditetapkan sebagai kasus darurat kesehatan dan dikatagorikan sebagai bencana non alam. Pembatasan pun dilakukan salah satunya dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB).

Catatan penting dari penanganan Covid-19 sebenarnya lebih pada posisi pemerintah yang seperti kebingunan dalam pemenuhan hak, yaitu antara pemenuhan hak atas kesehatan dan hak hidup pada satu sisi, dan pada sisi yang lain pemenuhan hak politik dengan tetap menyelenggarakan Pilkada langsung secara serentak, pemenuhan hak ekonomi dengan membuka secara bebas pembatasan sosial berskala besar.

Dampak dari kebingungan pemerintah ini akhirnya kasus Covid-19 terus meningkat dan tidak terkendali. Selama ini, masyarakat menyaksikan tumpang tindih penanganan Covid-19, antara lain : pemerintah cenderung fokus pada persoalan ekonomi, padahal krisis utama terjadi di sektor kesehatan, data pelacakan (tracing) pasien positif Covid-19 cenderung minim, penanganan Covid-19 tenggelam dikalahkan oleh hiruk pikuk politik, pengesahan peraturan kontra produktif seperti revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konsitusi, dan pengesahan RUU Cipta Kerja yang memancing gejolak dan kerumunan yang massif, serta pemerintah yang sibuk dengan tarik menarik penanganan Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah, diantaranya terlihat pola vis a vis di DKI Jakarta.

Berangkat dari pemikiran di atas, memang benar terjadi benturan pemenuhan hak konstitusional di era pandemi covid-19, namun demikian pengarusutmaaan pemenuhan hak atas kesehatan dapat dibenarkan menurut standar hukum hak asasi manusia internasional sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik. Substansi problemnya terletak pada sikap pemerintah yang cenderung ambivalen dan mengutamakan hak lain seperti hak politik dan hak ekonomi sehingga berdampak pada meningkatkannya kasus Covid-19 dan membuka pintu pelanggaran hak atas kesehatan yang lebih mendalam.

Sumber : https://law.uii.ac.id/prosiding-webinar-nasional-berseri-htn-oktober-2021/