25 September 2025
TEGURAN OHCHR
Thursday, September 25, 2025
No comments
~~ M. Syafi'ie
Gelombang aksi masyarakat setelah tewasnya Affan Kurniawan cukup meluas. Amarah masyarakat tidak terbendung akibat kecewa terhadap perilaku pejabat dan kebijakan yang tidak berkeadilan. Aksi tidak terkendali, berakibat perusakan dan penjarahan rumah pejabat bermasalah. Tindakan aparat keamanan yang dijalankan Polri dan TNI cenderung juga berlebihan dalam merespon frustasi massa aksi : penggunaan gas air mata, pemukulan dengan kekerasan yang berakit luka dan meninggal, hingga penangkapan massal.
Situasi yang tidak menentu mengundang keprihatinan, salah satunya datang dari Office of the United Nations High Commisioner for Human Rights (OHCHR) lewat Juru Bicara Revina Shamdasani yang mengatakan bahwa PBB memantau serangkaian kekerasan yang terjadi dalam gelombang demostrasi. PBB menyerukan investigasi yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaaan pelanggaran HAM, termasuk penggunaan kekuatan aparat keamanan. OHCHR PBB menekankan pentingnya dialog untuk mengatasi kekhawatiran pubik, dan meminta aparat keamanan untuk menjunjung tinggi hak berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi.
Tanggapan pemerintah setelah mendengar teguran dari OHCHR cenderung reaktif. Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai misalnya mengatakan bahwa Indonesia telah mengambil langkah-langkah lebih cepat tiga hari dari juru bicara OHCHR dan mengklaim bahwa pemerintah menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, berkumpul dan penegakan hukum yang sesuai aturan dan standar HAM. Respon ini cukup problematik sebenarnya, karena menyembunyikan fakta empiris berupa penggunaan gas air mata oleh aparat yang dinilai berlebihan, penggunaan kekerasan yang menyebabkan luka-luka hingga kematian, dan yang mutaakhir ialah penangkapan massal terhadap masyarakat yang kapasitasnya menyuarakan pendapat atas persoalan penyelenggaraan pemerintahan yang belum berkeadilan.
Tanggapan liar lain mempertanyakan, menggapa OHCHR melakukan intervensi terhadap pemerintahan Indonesia, seakan melegitimasi mantan Kepala BIN AM Hendropriyono yang mengatakan bahwa ada campur tangan di balik kericuhan demo di DPR. Pihak asing diyakini menggerakkan dari luar, dan pihak luar mempunyai kaki tangan di dalam negeri. Pernyataan ini seperti menghilangkan kesadaran bahwa negara Indonesia adalah bagian dari organisasi PBB, bahkan pemerintah Indonesia telah meratifikasi ragam instrumen hukum atau perundang-undangan internasional hak asasi manusia. Tindakan ratifikasi Indonesia dapat dimaknai sebagai tindakan formal, dimana suatu negara menyatakan persetujuannya untuk terikat secara hukum pada satu perjanjian internasional.
Tanggungjawab Negara
Salah satu instrumen hukum HAM internasional yang telah diratifikasi ialah The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) lewat Undang-Undang No. 12 Tahun 2005. Kovenan ini mengatur dua klasifikasi hak, pertama, hak kategori non derogable rights yaitu hak yang bersifat absolut dan pemenuhannya tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun oleh negara, antara lain hak hidup dan hak bebas dari penyiksaan. Kedua, hak kategori derogable rights yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dengan alasan tertentu, antara lain hak kebebasan berkumpul secara damai, kebebasan berserikat, menyatakan pendapat atau berekspresi.
Konsep utama pemenuhannya ialah pemerintah tidak boleh aktif untuk mencampuri hak-hak sipil dan politik setiap orang, antara lain tentu saja hak kebebasan berkumpul dan berpendapat. Hak sipil dan politik terkatagori negatif rights yang berarti bahwa hak dan kebebasan yang dijamin akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi dan minus. Sebaliknya, jika negara aktif melakukan intervensi maka akan berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia.
Karena itu, sangat wajar jika OHCHR PBB menegur pemerintah, di tengah Indonesia yang sudah meratifikan ICCPR, dan sisi yang lain terlihat tindakan aparat keamanan yang berlebihan melakukan intervensi pembatasan terhadap kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi. Bahkan, terkini terjadi kriminalisasi masyarakat yang menyuarakan pendapatnya. Kondisi yang tidak sejalan dengan cara berfikir hukum HAM ini tentu akan berlanjut pada pengawasan internasional, baik lewat mekanisme berdasar perjanjian (the treaty based mechanism) salah satunya oleh Komite HAM dan atau berdasar Piagam (the charcer based mechanism) oleh Dewan HAM PBB. (Koran Kedaulatan Rakyat, 13 September 2025)
Subscribe to:
Comments (Atom)






