~~~ M. Syafi'ie
Potret kekerasan yang yang menyertai demonstrasi akhir Agustus hingga awal September 2025 menyalakan kekhawatiran perihal hak atas rasa aman yang telah dijamin konstitus. Kekerasan oleh siapa pun tidak dapat dibenarkan, baik tindakan oleh masyarakat sipil ataupun tindak kekerasan dari aparat keamanan negara. Karena itu, salah satu tanggungjawab negara (state responsibility) dalam hak asasi manusia adalah kewajiban melindungi (protect) berupa kewajiban untuk memastikan tidak terjadinya pelanggaran hak berupa kekerasan oleh pihak ketiga seperti individu dan korporasi.
Ada beberapa pendekatan keamanan yang diterapkan suatu negara untuk menjamin hak atas rasa aman setiap orang. Hingga saat ini, telah terjadi pergeseran-pergeseran paradigmatik, dan yang mutaakhir ialah paradigma keamanan manusia (human security), dimana jaminan keamanan suatu negara digantungkan pada kondisi aman manusianya, tidak dengan cara penertiban, pengamanan berlebihan, apalagi dengan cara-cara militeristik dimana manusia kerap terancam dan mengalami ketakutan karena pendekatannya yang menekankan pertempuran, perang, dan senjata.
Pergeseran Paradigma
Pemenuhan hak atas rasa aman tidak bisa dilepaskan dari diskursus ketahanan nasional yang menjadi materi pembelajaran kewarganegaran (citizenship). Menurut Suradinata, ketahanan nasional ialah suatu kondisi dinamis suatu negara yang berisi keuletan dan ketangguhan dalam mengembangkan kekuatan nasional untuk menghadapi segala ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negara. Karena itu, ketahanan nasional bersifat objektif dan bisa berubah secara dinamis tergantung pada tata kelola pemerintahan, kondisi masyarakat dan manusianya.
Paradigma konvensional terkait pengelolaan ketahanan dan keamanan setidaknya ada tiga, pertama, pengelolaan pertahaan dan keamanan yang bertumpu pada kekuatan fisik militer dan politik kekuasaan. Kedua, pengelolaan pertahanan dan keamanan bertumpu pada penyelenggaraan kesejahteraan dan kemakmuran sosial. Ketiga, pengelolaan pertahanan dan keamanan bertumpu pada kekuatan fisik militer dan kesejahteraan sosial. Ketiga paradigma ini terlihat saling melengkapi dan saling koreksi, teapi pada kenyataannya ketiga pendekatan ini tidak cukup ideal untuk menjamin hak atas aman masyarakat yang persoalan dan tantangannya semakin kompleks dan tidak tunggal.
Salah satu laboratoriumnya ialah sejarah rezim orde baru. Pemerintahan waktu itu begitu kuat didukung oleh ABRI dan kesejahteraan sosial relatif dijaga dengan memasukkanya ke dalam kebijakan pembangunan yang ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tetapi, pemerintahan yang bertumpu pada kekuataan militer di era orde baru akhirnya ditumbangkan oleh gerakan masyarakat sipil setelah beberapa dekade terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan potret kekuatan militer yang sangat menakutkan. Wajah permukaan memperlihatkan stabilitas nasional, tetapi masyarakat merasakan ketakutan dari sekian kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Merujuk pada catatan sejarah, pemerintahan yang dijalankan dengan pijakan kekuatan militer yang berlebihan umumnya terjebak pada label negara teror (state terrorism), baik teror oleh negara terhadap warganya sendiri karena dianggap sebagai musuh, ataupun teror terhadap negara-negara lain yang dianggap lemah. Kondisi ini terjadi antara lain di di Israel, Amerika, Rusia, Myanmar, Sudan, dan Kamboja. Pendekatan keamanan dan ketertiban yang dilakkan dengan kekerasan, serta pendekatan militer dengan kekuatan senjatanya agak sulit diterima akal akan dapat mengantarkan jaminan hak atas rasa masyarakat. Secara internasional, pendekatan senjata mustahil akan mengantarkan pada penciptaan perdamaian dan kesetaraan antar negara, alih-alih untuk mewujudkan hak atas rasa aman masyarakat. Senjata tidak lebih sebagai ladang industri dan basis dari penciptaan pertikaian abadi.
Keamanan Manusia
Kebijakan yang layak dikembangkan dunia saat ini adalah paradigma keamanan manusia (human security). Mahbub Ul-Haq mengatakan bahwa istilah keamanan manusia dicetuskan sebagai upaya untuk memberi jaminan agar manusia dapat hidup lebih beradab dan terhargai harkat dan martabatnya sebagai manusia. Persoalan terbesar dari konflik masyarakat tidak lepas dari persoalan masyarakat dan manusia-manusia didalamnya, antara lain diakibatkan dari kemiskinan, ketidakadilan politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya yang tidak ramah pada penghargaan kemanusiaan.
Pada sisi yang lain, umat manusia saat ini dihadapkan pada kenyataan dari begitu banyaknya ancaman non militer, seperti kekerasan yang didorong oleh konflik etnis, kaum sipil bersenjata, kerusakan lingkungan, penyakit menular, hingga persoalan teknologi yang mengancam hak atas rasa aman masyarakat. Salah satu yang saat ini kerap didiskusikan ialah keberadaan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelegent (AI) yang secara langsung dan tidak langsung memberi kemudahan kepada manusia dan pada sisi yang lain diprediksi akan mendorong pengangguran massal.
Bagi Indonesia sendiri, masyarakat sebenarnya sedang mengalami situasi yang tidak baik-baik saja karena ada begitu banyak faktor eksternal yang sulit dikendalikan, seperti biaya hidup yang berat, pajak yang semakin tinggi, dan pada sisi yang lain setiap saat menyaksikan perilaku dan kebijakan penguasa yang kerap menyimpang. Situasi masyarakat yang tidak baik-baik saja ini memperlihatkan bahwa sudah ada gejala perihal ketidakamanan manusia, dan situasi ini mendorong frustasi sosial dan dapat meletus sewaktu-waktu. Kalau tidak ditangani dengan metode yang tepat, rasa tidak aman dan frustasi sosial akan mendorong gelombang demonstrasi yang lebih besar.
Karena itu, Pemerintah sudah selayaknya belajar untuk menghidupkan pendekatan keamanan manusia dengan menghindari segala hal yang dapat memicu frustasi dan kebencian publik akibat tindakan dan kebijakannya yang tidak berkeadilan sosial. Pada sisi yang lain, pemerintah selayaknya menghindari pendekatan keamanan yang mengandalkan cara-cara penghancuran saat merespon masyarakat yang menyuarakan pendapatnya. Kalau pendekatan penghancuran itu tetap dilakukan, pemerintah sejatinya mengulangi sejarah gelap rezim orde baru dan dalam banyak banyak akan menjadi stimulan kritik dan gelombang perlawanan masyarakat pada penguasanya. (Kedaulatan Rakyat, 11 Oktober 2025)






