27 July 2025

SEJARAH NEGARA TEROR

 ~~ M. Syafi'ie

Teror terhadap warga yang bersuara kritis semakin tidak terkendali. Terbaru ialah teror terhadap FY penulis opini di salah satu media nasional yang mengkritisi pengangkatan jenderal TNI dalam jabatan sipil. Setelah mendapat teror, FY meminta media yang memuat tulisannya agar menghapus. Penghapusan tulisan diberitakan atas rekomendasi Dewan Pers juga dan dilakukan demi menjaga kesalamatan penulis.

Peristiwa yang juga menguat ialah teror terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi salah satu pemohon judicial review UU TNI ke Mahkamah Konstitusi; penarikan lagu band Sukatani yang mengkritik praktik bayar-bayar oleh aparat penegak hukum; pemaksaaan permintaan maaf terhadap siswa di Bogor yang mengkritik terhadap kegiatan Makan Bergizi Gratis (MBG), dan penangkapan mahasiswa ITB karena membuat meme Presiden Jokowi dan Prabowo.

Apa yang terjadi yang pada FY dan peristiwa lain yang hampir serupa merupakan keprihatinan di tengah UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani; jaminan atas hak untuk mengeluarkan pendapat; serta jaminan atas hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Teror dan intimidasi yang terjadi seperti meruntuhkan terhadap bangunan konstitusional yang selayaknya dijaga dan dijunjung tinggi. Kedaulatan rakyat dihilangkan dengan tindakan represi dan intimidasi.

Negara Teror

Keprihatinan terhadap teror yang terjadi mungkin agak ringan kalau terjadi level horizontal, dimana warga yang di intimidasi oleh warga yang lain dapat meminta pertolongan terhadap aparat negara, tetapi persoalannya sangat serius jika pelaku teror adalah dari aparat negara sendiri. Apa yang terjadi pada FY dan beberapa kasus di atas, pelakunya diyakini adalah aparat negara yang notabene dibayar oleh pajak warga untuk menjaga hak atas rasa aman dan membebaskan warganya dari ketakutan untuk berpendapat.

Pertanyaannya, bisakah negara menjadi state terorisme kepada warganya sendiri, padahal selayaknya negara bertugas menjaga hak atas rasa aman? Dalam beberapa studi ternyata sangat mungkin negara menjadi pelalu teror. Negara jika tidak diawasi akan mudah menggunakan kekerasan terhadap warga sipil yang dilakukan secara acak dengan tujuan intimidasi atau menciptakan ketakutan agar tercapai suatu tujuan politik kekuasaannya. Teror bisa dilakukan oleh negara terhadap negara yang lain seperti yang terjadi pada negara Israel pada negara Palestina, atau teror negara terhadap warganya sendiri seperti yang terjadi di Myanmar.

Rohingya di Myanmar adalah contoh paling jelas dari begitu kejamnya state terorisme yang berlangsung, dimana pemerintahan yang berkuasa melakukan genosida secara terbuka terhadap warganya sendiri karena alasan ras (ciri-ciri fisik) dan agama. Secara ras, etnis Rohingya dianggap berbeda ciri-ciri fisiknya dibanding dengan mayoritas penduduk Myanmar. Secara agama, etnis Rohingya sebagian besar beragama Islam, sedang penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha. Kondisi tersebut jadi alasan teror, pengusiran paksa, dan pemerintahan aktif melakukan genosida.  

Selain Myanmar, tercatat ada beberapa negara yang dianggap aktif melakukan teror terhadap warganya dengan alasan yang beragam : perbedaan politik, ideologi, etnis, agama, penguasaan tanah, dan seterusnya. Alasan pemicu bisa sangat beragam tapi intinya adalah negara yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan cara intimidasi atau menciptakan ketakutan yang didalamnya memiliki motif politik tertentu. Negara Indonesia tercatat melakukan teror yang cukup massif terjadi di era rezim orde baru, dimana ada begitu banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara antara lain kasus Waduk Kedungombo, Nipah, pembredelan media massa, DOM di Aceh, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priuk, Talangsari, penghilangan orang secara paksa, Trisaksi (Semanggi I dan II), dan beberapa kasus yang lain.

Kekerasan negara oleh orde baru tidak lepas dari konfigurasi politik saat itu yang tunggal (homogen) dan monolitik. Menurut Alfred Stepan,  karakter tunggal dan monolitik terjadi pada tingkat negara (state) dan masyarakat (society). Pada level negara terlihat solidnya semua unsur yang ada dalam negara sehingga berakaternya tunggal dan tidak ada check and balances, sedangkan pada level masyarakat, terlihat kondisi pengendalian, penundukan, dan pengarahan pada agenda kepentingan politik kekuasaan tertentu. Kondisi monolitik tersebut mendorong state terorisme yang begitu luas dimana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif baik secara fisik maupun mental yang kemudian membungkam terhadap kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul masyarakat. 

Menjaga Demokrasi

Alasan penting mengapa kita prihatin terhadap teror yang menimpa warga dan bahkan tekananan terhadap media massa karena situasi tersebut terjadi cukup serius di masa lampau, dan menjadi luka sejarah yang begitu menyakitkan sehingga dilakukanlah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya menegaskan perihal kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, dan ada  jaminan hak asasi manusia yang menjadi pijakan warga dari segala tindakan dan kebijakan penguasa yang berpotensi melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Jaminan konstitusional tersebut relatif cukup baik mengiringi proses demokratisasi pasca jatuhnya rezim orde baru. Pemerintahan di era reformasi telah silih berganti dan terjadi pasang surat tarik menarik kepentingan kekuasaan dan warga negara. Suara warga negara dan pers di era awal dan pertengahan reformasi masih didengarkan, kekuasaan yang menyimpang masih terkritisi, tetapi di periode dua penguasa terakhir konfigurasi kekuasaan menjauh dari semangat negara hukum dan demokrasi

Teror yang terjadi pada FY yang notabene seorang penulis, dan atau terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi pemohon judicial review ke Mahkamah Konstitusi merupakan pukulan telak betapa penguasa dan aparatnya tidak serius belajar pada sejarah, dimana negara ini pernah jatuh pada lubang otoriterianisme dimana penguasa lewat aparat yang terkomando pernah menjadi aktor teror yang bengis pada warganya sendiri, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat) karena hukum lewat konfiguasi politiknya semata mendukung kepentingan kekuasaan yang otoriter.  

Konon, terdapat tiga pandangan dalam melihat gerak sejarah, pertama, pandangan yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang bersifat linear, sejarah bergerak menuju ke arah yang lebih maju. Kedua, pandangan yang melihat gerak sejarah tidak selalu maju, tapi kadang terjadi proses kemunduran saat berada pada tahap kemajuan. Ketiga, pandangan yang melihat gerak sejarah bergerak secara berputar seperti siklus yang melingkar. Dalam pembacaan ini, negara Indonesia saat ini seperti mengalami siklus berputar itu, dimana kekuasaan cenderung monolitik, dukungan aparat keamanan dan partai yang kuat, warga dan media massa ironisnya dikendalikan. Tentu kita tidak ingin seperti itu, gerak sejarah Indonesia selayaknya linear, bergerak ke arah yang lebih maju, yaitu negara yang demokratis, humanis dan tidak meneror warganya sendiri. (Terbit di Koran Kompas, 3 Juni 2025)


PENDIDIKAN DASAR GRATIS

~~ M. Syafi'ie

Biaya pendidikan menjadi pertimbangan utama setiap orang tua ketika akan menyekolahkan anaknya. Pertimbangan tersebut bahkan dimulai sejak sekolah tingkat dasar. Berkat orang tua yang percaya bahwa pendidikan adalah pintu kebaikan dan kesuksesan anak di masa depan, biaya pendidikan yang mahal tetap dilaluinya, walaupun kadang berhutang demi biaya pendidikan anak. Ketika kondisi ekonomi orang tua sulit, anak-anak biasa menjadi korban dan kemudian putus sekolah.

Tahun ajaran 2024/2025, Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat  angka putus sekolah jenjang Sekolah Dasar (SD) sebanyak 38.540 siswa (0,16%), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 12.210 siswa (0,12%), Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 6.716 siswa (0,13%), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 9.391 siswa (0,19%). Data anak putus sekolah jika dilacak ternyata terjadi di setiap tahun ajaran, alasan berhenti sangat beragam, tapi faktor kondisi ekonomi selalu menjadi alasan utama. 


Pertanyaannya, dimana peran pemerintah untuk biaya pendidikan gratis atau cuma-cuma yang selama ini dkampanyekan? Secara normatif, negara telah memiliki UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diman pada Pasal 34 dinyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya pendidikan wajib belajar minimal pada pada jenjang pendidikan dasar tanpat memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Merujuk pada jaminan normatif di atas, pemerintah telah memiliki landasan hukum untuk alokasi anggaran agar akses pendidikan dapat tidak dipungut biaya, gratis atau cuma-cuma minimal pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan dasar sendiri Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Lewat regulasi ini, tidak ada alasan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk merumuskan program aksi beserta anggarannya agar sekolah pendidikan dasar dapat digratiskan dan berdampak pada tiadanya anak putus sekolah karena kondisi ekonomi.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Selama ini, pemerintah bisa dikatakan telah melakukan langkah-langkah berupa perumusan program dan anggaran untuk mendukung mandat Undang-Undang terkait pendidikan gratis lewat APBN dan APBD yang tersedia. Namun demikian, program dan anggaran tersebut masih tersentralisasi di lembaga pendidikan yang dijalankan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sedangkan anak-anak didik yang sekolah di lembaga swasta atau yang dikelola oleh masyarakat tidak mendapatkan sentuhan anggaran. 

Akibatnya memang cukup serius. Anak-anak yang sekolah di lembaga swasta, khususnya dalam hal ini di jenjang pendidikan dasar (SD/MI/sederajat dan SMP/MTs/sederajat) biayanya sangat mahal. Sedangkan biaya sekolah yang dikelola Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah relatif terjangkau, dan bahkan di beberapa daerah sudah berhasil pada level gratis. Kondisi ini memperlihatkan ketidakadilan, apalagi kuota di sekolah negeri kerap penuh, jauh dari tempat tinggal, dan memaksa anak didik mendaftar di sekolah swasta yang biayanya sangat mahal.

Situasi perlakuan yang tidak adil kepada sekolah swasta yang kering dari bantuan dana negara dan berakibat pada anak didik yang putus sekolah, mendorong Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Network Education Watch Indonesia) dan 3 (tiga) pemohon atas Fathiyah, Novianisa, dan Riris Risma Ajiningrum melaukan uji meteri Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemohon mempermasalahkan frasa “wajib belajar minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Menurut para pemohon, pasal terkait pendidikan gratis di jenjang pendidikan dasar tersebut tidak hanya berlaku untuk siswa di sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta yang dikelola oleh masyarakat.

Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”. Putusan ini menegaskan bahwa biaya untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI/sederajat dan SMP/MTs/sederajat) harus bebas pungutan atau gratis.

Pemenuhan Bertahap

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding) setelah putusan dibacakan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Artinya, pemerintah harus tunduk pada putusan tersebut dan berkewajiban memperbaiki tata kelola program dan anggaran pada jenjang pendidikan dasar yang selama ini hanya difokuskan untuk sekolah negeri. Anak yang sekolah di lembaga swasta juga berhak untuk program pendidikan gratis dari pemerintah, baik pemerintahan tingkat pusat ataupun daerah.

Pendidikan gratis jenjang pendidikan dasar yang diperluas untuk sekolah swasta tentu akan membutuhkan anggaran yang cukup besar, tetapi secara konsepsi kebijakan, pemenuhan hak pendidikan ini setidaknya bersandar pada 3 (tiga) dasar, pertama, kewajiban pemerintah untuk mengambi langkah-langkah (undertakes to take steps). Dalam hal ini, pemerintah harus melakukan langkah dan upaya untuk pemenuhan pendidikan gratis, baik memperbaiki aturan, mempersiapkan program, sampai pada level menyiapkan anggaran. Kedua, memaksimal sumber daya negara yang tersedia (to the maximum of tis available resources). Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan alokasi anggaran yang maksimal untuk biaya pendidikan anak didik. Ketiga, mencapa secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak (to achieving progressively the full realization of the rights). Dalam hal ini, pemenuhan pendidikan gratis harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran sampai akhirnya biaya pendidikan akan betul-betul gratis dan cuma-cuma. Ketiga konsep ini merujuk pada kesepakatan hukum internasional yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang Indonesia ratifikasi lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Pemenuhan hak pendidikan gratis bagi anak didik di jenjang  pendidikan dasar, baik sekolah negerti atau swasta sudah selayaknya dilakukan. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah yang terukur dengan melakukan harmonisasi aturan, pendiskusian program, serta alokasi ketersediaan anggaran APBN dan APBD  agar pendidikan gratis secepatnya dapat terpenuhi di semua sekolah. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi penegas bahwa pemerintah wajib hadir di tengah persoalan biaya pendidikan yang semakin tak terjangkau. (Dimuat di Koran Jawa Pos, 29 Mei 2025)