18 November 2014
Rasa Cinta
Tuesday, November 18, 2014
No comments
~~~
M. Syafi’ie
Pilihan membutuhkan cinta. Termasuk memilih pasangan
dan menghadap Tuhan. Tanpa cinta, semua aktifitas akan terasa hambar, kosong
dan tak ada rasa. Cinta akan meneguhkan kehadiran dan kesungguhan. Karena itu,
cinta selalu dilekatkan dengan kesukaan, kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan. Kesukaan
sehari-hari, kita biasa menyebutnya sebagai hobby. Itulah cinta.
Hidup dalam Sunyi
Tuesday, November 18, 2014
No comments
~~~
M. Syafi’ie
Sebenarnya aku tak kuat berjibaku dengan
problem. Masalah-masalah yang muncul bisa saja membunuhku. Konflik kemunafikan,
masalah penghianatan, masalah pembunuhan. Semua itu bisa menyesakkan dadaku.
17 November 2014
Pemilu Tanpa Alat Bantu Coblos Bagi Difabel : Perspektif Penyelenggara Pemilu, Hukum dan HAM
Monday, November 17, 2014
No comments
~~~ M. Syafi'ie
PENDAHULUAN
Pemilu 2014 telah
berlalu. Para wakil rakyat telah resmi di lantik. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
juga telah usai dilaksanakan. Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik pusat dan
daerah telah bekerja dengan baik dalam penyelenggaraan pemilihan langsung tahun
2014 ini. Mungkin karena menggunakan sistem pemilihan langsung, berbagai elemen
masyarakat semuanya terlibat, antusias untuk mengenali calon-calon
pemimpinnnya, dan dalam banyak hal ada beberapa catatan yang layak untuk
diperbaiki demi kualitas pemilihan umum yang berkerakyatan [1]
dan substantif. [2]
Salah satu yang
menjadi catatan penting itu ialah terkait dengan pemenuhan hak pilih difabel. Lebih khusus lagi terkait penyediaan sarana
prasarana yang aksesibel, diantaranya ialah alat bantu coblos bagi difabel
netra. Kita tahu bahwa difabel (differently
able people) membutuhkan sarana prasarana yang spesifik dan meniscayakan desain
yang akses sesuai dengan difabilitasnya. Setidaknya ada beberapa kategori
difabilitas, meliputi : katagori
intelektual/kecerdasan, katagori gerak/mobilitas, katagori psikososial,
katagori sensorik, katagori komunikasi,
dan atau pun difabel yang berkatagori multiple
difabilitas. Dengan pengkatagorian sederhana tersebut, terbayang bahwa fasilitas sarana prasarana pemilihan umum
haruslah memperhatikan kebutuhan spesifik difabel. Sarana prasarana pemilihan
umum mesti menggunakan pendekatan universal
desain agar setiap orang tanpa
terkecuali bisa menggunakannya. [3]
Dalam konteks pemilihan umum, tidak terbantahkan bahwa
difabel yang ada di Indonesia adalah warga negara dan memiliki hak yang sama
dengan warga negara pada umumnya. Tidak ada pembenaran sedikit pun untuk mendiskriminasi
difabel dalam memilih. Konstitusi menegaskan bahwa hak pilih tidak terletak
pada kelompok, tetapi pada perorangan. Hak memilih melekat pada setiap manusia
yang menjadi warga negara Indonesia. Persoalannya, pada tiap perhelatan
pemilihan umum selalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Difabel tidak
difasilitasi sarana prasarana aksesibilitasnya dan berakibat pada peniadaan hak
pilih. Kartu memilih memang disediakan oleh penyelenggara pemilihan umum, tapi
dengan desain kartu yang tidak aksesibel, difabel kesulitan memilih; kesulitan menuju
tempat pemilihan, dan bahkan, sebagian difabel tidak bisa memilih karena tidak
dapat membedakan pilihannya. Hal ini salah satunya menimpa difabel netra yang
tidak difasilitasi alat bantu template.
Monitoring pelaksanaan pemilihan umum 2014 yang dilakukan
oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Dfiabel (SIGAB) menemukan beberapa hal
penting, pertama, tidak pekanya
petugas KPPS dan berdampak pada ketidakjelasan perlakuan terhadap difabel, baik
dalam hal mendesain tempat pemilihan dan memperlakukan difabel. Banyak tempat
pemilihan tidak aksesibel bagi difabel. Kedua,
form C3 terabaikan. KPPS lebih memilih membantu pencoblosan difabel netra
sehingga tidak terjamin hak memilih yang bebas dan rahasia. Ketiga, Difabel harus merangkak ke
lokasi TPS karena tempat pemilihannya bertangga-tangga, licin, dan terdapat
selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan
yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara
tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, meja pencoblosan di
bilik suara tidak kokoh sedangkan pemilih yang difabel daksa tertentu
membutuhkan tumpuan berpengangan, serta desain kotak suara yang terlalu tingi
bagi pemilih difabel daksa. Kelima,
difabel kerap tersudutkan di lokasi pemilihan karena kerap menjadi tontonan.[4]
Potret pemenuhan hak memilih dan di pilih difabel dalam
pemilihan umum 2014 mesti menjadi catatan dan pembelajaran berharga bagi KPU/KPUD,
agar penyelenggaran pemilihan umum kedepannya tidak terjadi lagi perlakuan yang
diskriminatif. Apalagi, kita tahu bahwa persoalan difabel tidak hanya menimpa perorangan
saja, tetapi satu komunitas manusia yang sangat besar. Data Disabled Peoples’ International Asia Pasific
(DPIAP) menyatakan bahwa jumlah difabel dunia mencapai 665 juta orang lebih
atau 15% dari populasi penduduk dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah difabel
menurut data WHO telah mencapai 10% dari total jumlah penduduk Indonesia. Dengan
data yang ada, tidak ada pembenaran sedikit pun untuk menafikan hak politik difabel. Peniadaan hak pada satu manusia saja
sudah pelanggaran HAM, apalagi menimpa jutaan dan ratusan manusia? Ironis
tentunya. Berangkat dari konteks tersebut, tulisan ini hendak mendalami cara
pandang penyelenggara pemilihan umum terkait penyediaan alat bantu tuna
netra/template serta penyediaan sarana prasarana yang aksesibel dalam pemilu
tahun 2014. Tulisan ini juga hendak mengkaji Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD serta analisis hak asasi manusia
CARA PANDANG
PENYELENGGARA PEMILU
Dalam satu diskusi di
dunia online pada 25 Agustus 2014, Hadar Nafis Gumay mengatakan bahwa kebijakan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyediaan alat bantu adalah : ada alat bantu
coblos untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, satu untuk setiap tempat pemungutan suara (TPS)
seluruh Indonesia. Sedangkan untuk
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) tidak dapat disediakan oleh KPU karena ragam difabilitas yang
terlalu banyak dan alat bantu sulit dibuat karena banyaknya partai politik dan calon
legislatif persurat suaranya. Menurut Hadar Nafis, kalau satu TPS di lokasi
tertentu tidak tersedia alat bantu coblos untuk pemilihan anggota DPD dan Presiden dan Wakil
Presiden, kemungkinan terjadi karena distribusi yang tidak lancar.
Pernyataan Hadar Nafis Gumay
tentu mewakili KPU sebagai satu institusi negara.[5]
Menurutnya, penyediaan alat bantu bagi
difabel di Indonesia telah melewati pendiskusian di internal komisioner KPU
Pusat dan berdiskusi dengan kelompok disabilitas, intinya adalah KPU sulit
menyediakan alat bantu bagi difabel dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD sebab
peserta partai politik yang tidak sedikit, calon legislatif yang berbeda-beda,
daerah pemilihan (Dapil) yang banyak, serta pembuatan template braile yang
sulit. Akibat kondisi itu, KPU Pusat akhirnya memutuskan tidak menyediakan alat
bantu coblos bagi difabel untuk pemilihan DPR dan DPRD dan meminta segelintir
difabel di Jakarta untuk dipahami keputusannya.
Pernyataan Hadar Nafis mempertegas bahwa kesepakatan
internal KPU Pusat memang tidak menyediakan template dan alat bantu lain bagi
difabel untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD. Alasannya sederhana, karena
partai politik yang banyak, calon legislatif yang berbeda-beda di daerah, serta
penyediaan alat bantu coblos bagi difabel yang dinilai sulit. Akibatnya memang
sebagaimana kita ketahui, difabel mengalamai kesulitan mencoblos ketika
pemilihan umum legislative 2014, bahkan sebagian besar tidak dapat mencoblos
karena tidak terfasilitasinya sarana prasarana pemilihan yang aksesibel. Ribuan
pemilih difabel kehilangan hak suaranya.
Tidak disediakannya alat bantu tuna netra/template serta
sarana prasarana yang akses bagi difabel, sontak memancing keriuhan, khususnya
di internal komunitas difabel. Diskusi dan audiensi dengan KPU setempat terus
berlangsung dan mempertanyakan kebijakan KPU Pusat yang dinilai diskriminatif.
Di tengah persiapanan dan proses pemilihan umum yang telah berlangsung, KPU
Pusat seakan terkunci dan tidak dapat memenuhi tuntutan gerakan difabel untuk
menyediakan template dan sarana prasarana yang aksesibel. Nasrullah,
Komisioner BAWASLU Pusat mengatakan
bahwa Bawaslu sebenarnya telah memberitahukan beberapa tuntutan komunitas
difabel atas tidak terfasilitasinya template dan sarana prasarana yang
aksesibel. Forum Gerakan Relawan Sejuta Bawaslu dan forum Relawan Demokrasi (RELASI)
yang dibentuk KPU juga mendesakkan hal yang sama. Tetapi, desakan itu tidak
direspon dengan kebijakan nyata oleh KPU Pusat.
Bahkan, template dan sarana prasarana yang akesibel tidak mungkin
dipenuhi oleh KPU, mengingat proses pemilihan yang telah berlangsung. Dan, KPU
Pusat sendiri sepertinya ketakutan akan dipermasalahkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) karena sejak awal, KPU tidak menganggarkan pengadaan template dan
sarana lainnya bagi difabel.[6]
Menurut Nasrullah, tidak dipenuhinya template dan sarana
prasarana yang akses bagi difabel adalah persoalan yang sangat serius dan menciderai
demokrasi. Undang-Undang Pemilu memberikan hak pilih kepada setiap warga negara.
Tidak memandang apakah itu difabel dan atau difabel, semua warga negara berhak
untuk memilih. Hak memilih melekat kepada setiap warga negara, tidak untuk
kelompok tertentu saja. Sebenarnya, BAWASLU Pusat akan melakukan peneguran dan
memanggil secara resmi kepada KPU Pusat, tetapi teguran itu urung dilakukan
karena sebelumnya BAWASLU sudah mempermasalahkan KPU Pusat dalam kasus lain.
Jika teguran dan pemanggilan dalam kasus template dilakukan, teguran dalam
kasus ini terhitung sebagai teguran yang ketiga dan pasti akan mengganggu
proses pemilihan umum yang telah berlangsung pada waktu itu. [7]
Di tengah situasi ketiadaan dana untuk pengadaan template
untuk pemilihan anggota legislative : DPR dan DPRD, di beberapa daerah
berlangsung diskusi yang mengkritik kebijakan KPU dan meminta bagaimanapun caranya untuk
disediakan template agar hak pilih difabel bisa terpenuhi. Salah
satu diskusi itu berlangsung di Yogyakarta. Masukan untuk penyediaan template
langsung disampaikan ke KPU Provinsi DIY. Dan masukan dari komunitas difabel
tidak berjalan sia-sia, KPU Provinsi DIY dan KPU Kota Yogyakarta merespon
dengan cukup baik dan melakukan affirmasi dengan mengalokasikan dana pengadaan
template untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD di Provinsi Yogyakarta dan Kota
Yogyakarta.
Muhammad Farid, Komisioner KPU Provinsi DIY mengatakan bahwa
pengadaan template untuk pemilihan anggota DPRD adalah kebijakan afirmatif.
Dana pengadaannya diambilkan dari alokasi dana pengadaan alat peraga. Secara
kegunaan, pasti ada persoalan karena pengadaan alat peraga berbeda dengan pengadaan
template. Farid menduga bahwa tindakan KPUD Provinsi DIY akan dipermasalahkan
oleh BPK. Tapi KPU Provinsi DIY sudah bulat untuk realokasi dana untuk template
dan kalau dipersolkan oleh BPK mereka akan katakan detail kebutuhan dan
tuntutan yang dilakukan oleh komunitas difabel. Kalau tuntutan itu tidak
dipenuhi, KPUD Provinsi DIY akan dicap tidak memenuhi hak pilih warga negara.
Bagaimanapun, template harus disediakan.[8]
Persoalan serius mengapa template disediakan karena KPU
Pusat sejak awal tidak menganggarkannya. Sejak pembahasan awal dana untuk
pengadaan template dan sarana prasarana tidak ada. Ketika proses pemilu telah
berlangsung dan banyak komunitas difabel yang menuntut, baru tersadarkan akan
pentingnya template bagi hak pilih difabel. Menurut Farid, mungkin KPU Pusat
khilaf dan lupa terhadap kebutuhan difabel atas hak pilihnya. Akibatnya, KPUD
merasakan dampaknya dengan adanya kebingungan untuk pengadaan template. Pada konteks yang lain, KPU Pusat mungkin
ketakutan kepada BPK dan KPK yang kemungkinan akan mempersoalkan pengeluaran
dana yang tidak ada jaminan hukumnya sejak awal.
SUBSTANSI
HUKUM
Di antara alasan yang dikemukakan beberapa anggota KPU atas tidak
disediakannya template dan sarana prasarana yang aksesibel bagi difabel adalah
akibat mandat Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR,DPD dan DPRD yang tidak jelas. Bawaslu sebagai institusi pengawas pelanggaran
pemilu juga berpendapat serupa : sulit mempermasalahkan KPU dalam hal
penyediaan alat bantu coblos, mengingat bahasa Undang-Undangnya sendiri masih
kabur.
Bila kita membaca Undang-Undang No. 8 tahun 2012, khususnya
BAB IX yang mengatur perlengkapan suara, pada Pasal 141 disebutkan bahwa KPU
bertanggungjawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta kebutuhan
pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara. Sedangkan
pelaksana pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara
diserahkan kepada Sekretaris Jenderal KPU, Sekretaris KPU Provinsi, dan
Sekretaris KPU Kabupaten/Kota. Tahap ini
bila merujuk pada Pasal 4 termasuk di
tahapan awal, yaitu perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan
Pelaksanaan Pemilu. Sebab setelah itu, aka nada tahapan pemutaakhiran data pemilih dan penyusunan
daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan Peserta
Pemilu, penetapan jumlah kursi dan
penetapan daerah pemilihan, pencalonan anggota DPR, DPR dan DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota, masa kampanye pemilu, masa tenang, pemungutan dan
penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pengucapan sumpah/janji anggota
DPR, DPD dan DPRD.
Undang-Undang No. 8 tahun 2012 pada pasal 142 ayat (1) juga
menjelaskan bahwa perlengkapan suara meliputi : kotak suara, surat suara,
tinta, bilik pemungutan suara, segel, alat untuk mencoblos pilihan dan tempat
pemungutan suara. Bila kita membaca penjelasan Pasal ini, semua diterangkan
jelas. Kecuali tentang ‘alat bantu untuk mencoblos pilihan’, dalam penjelasan
diterangkan bahwa maksud dari frase
tersebut adalah alat bantu berupa paku, bantalan dan meja.
Pada Pasal 142 ayat (2)
juga ditambahkan,, “Selain perlengkapan
pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan,
kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan
suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya”. Dalam penjelasan Pasal
ini diterangkan bahwa yang dimaksud ‘dukungan perlengkapan lain’ meliputi sampul kertas,
tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda pengenal petugas keamanan TPS/TPSLN, tanda
pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem/perekat, kantong plastik, ballpoint,
gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor
kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan alat bantu tunanetra.
Membaca Pasal 142
ayat (1) dan (2) dengan keterangannya, maka sangat jelas bahwa alat bantu tuna
netra atau template mestinya disediakan untuk pemilihan DPR dan DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota. Memang,dalam Pasal tidak disebutkan secara terang
tentang fasilitas alat bantu tuna netra atau template, tapi dalam penjelasan
Undang-Undang cukup terang terbaca. Karena itu, perihal penyediaan alat bantu
tuna netra atau template, jelas KPU tidak mematuhi perintah Undang-Undang.
Dalam konteks
penyediaan sarana prasarana aksesibel yang lebih luas, seperti penyediaan
penterjemah bagi tuna rungu, tempat pemungutan suara yang mesti ada rampa,
jarak antar kotak suara yang harus lebar, tinggi meja yang tidak terlalu
tinggi, dan kebutuhan aksesibilitas lainnya memang tidak disebutkan dalam
penjelasan Undang-Undang, tapi jika KPU Pusat sejak awal punya keberpihakan dan
political will, tafsir Pasal 142 ayat
(2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 sebenarnya bisa
digunakan agar hak pilih difabel dapat terpenuhi dengan benar, khususnya untuk
menjamin kerahasiaan hak pilih difabel dimana di saat pemilihan biasanya selalu
didampingi petugas atau keluarga, menjamin keamanan difabel sehingga perlu
desain pemilihan yang aksesibel, serta
mendukung proses kelancaran pemilihan dengan adanya standar pelayanan
yang layak bagi difabel.
Namun demikian,
sampai dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
dilangsungkan, KPU tidak memperbaiki keputusannya untuk menyediakan alat bantu
tuna netra/template dan mendorong pengadaan sarana prasarana yang aksesibel.
Kritik komunitas difabel terhadap KPU tidak didengarkan dengan benar. Karena
itu, sangat beralasan jika pemantauan yang dilakukan SIGAB sebagaimana
dikemukan sebelumnya menemukan begitu banyak pelanggaran yang menimpa difabel di beberapa daerah.
Sampai saat
inipun, dimana pemilihan umum telah usai, didorong keprihatinan atas
diskriminasi difabel dengan tidak disediakannya template, beberapa orang yang
mengalami difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu
sedang mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun
2012 ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya ialah mempermasalahkan Pasal 142 ayat
(2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat tidak dapat
memilihnya difabel netra di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.[9]
PELANGGARAN HAM
Tidak disediakannya template bagi difabel netra ketika
pemilihan DPR dan DPRD serta tidak disediakannya sarana prasarana aksesibel
bagi difabel dalam pemilu, tidak semata dibaca sebagai ketiadaan perspektif
anggota KPU terhadap difabilitas dan atau pengingkaran anggota KPU terhadap perintah
Pasal 142 ayat (2) yang memandatkan penyediaan alat bantu tuna netra, lebih
dari itu, tindakan KPU adalah satu pelanggaran hak asasi manusia, berupa
penghilangan hak pilih difabel akibat hilangnya tanggungjawab penyelenggara
pemiihan umum.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang
HAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya. Konstitusi Indonesia, lewat Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Membaca ketentuan ini,
maka cukup tegas bahwa hak pilih dalam pemilihan umum melekat pada setiap
orang, tidak untuk satu golongan dan atau kelompok tertentu. Karena itu, sarana
prasarana pemilihan umum semestinya universal desain.[10]
Jika dalam pemenuhan hak pilih terjadi diskriminasi,
dimana sarana prasarana yang difasilitasi penyelenggara pemilihan umum tidak terdesain secara universal, dan
berakibat hilangnya hak pilih seseorang, dalam kasus ini jelas KPU telah
melanggar HAM. Kita tahu bahwa pelanggaran HAM adalah titik tolak dari ada dan
atau tidak adanya tanggungjawab negara. Political
will penyelenggara negara adalah salah satu ukurannya. Jika penyelangara
negara tidak memiliki kemauan dan keinginan (unwilling)
untuk memenuhi tanggungjawabnya, disitulah pelanggaran HAM terjadi.[11]
Secara umum, konsep
hak asasi manusia menggunakan dua
pendekatan, pertama, individu manusia
adalah pemangku hak (right holder). Kedua,
negara adalah pemangku kewajiban (right
bearer). Setidaknya ada tiga kewajiban yang melekat dengan negara, pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect). Kewajiban ini
mengacu pada kewajiban negara untuk tidak melakukan intervensi pada hak dan
kebebasan seseorang. Dalam hal ini, negara harus bersifat pasif dan tidak ikut
campur kaitannya dengan pilihan hak politik. Kedua, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect). Kewajiban ini mensyaratkan tindakan aktif
negara, dimana negara berkewajiban memastikan tidak terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia oleh individu pribadi.
Ketiga, kewajiban untuk memenuhi (obligation
to fulfill). Hak asasi manausia dalam hal ini mengacu pada kewajiban negara
untuk mengambil langkah legislative, administrative, judicial dan kebijakan
praktis untuk memastikan hak-hak seseorang
yang menjadi warga negara negara dapat terpenuhi hingga pencapaian maksimal.[12] Selain
tiga bentuk kewajiban, dalam implementasinya negara juga memiliki kewajiban
untuk mengambil langkah-langkah terhadap realisasai pemenuhan HAM. Di antara
langkah-langkah itu ialah langkah untuk menjamin (to guarantee), untuk meyakini (to
ensure), untuk mengakui (to
recognize), untuk berusaha (to
undertake), dan untuk meningkatkan (to
promote).[13]
Membaca secara secara singkat konsep HAM, terbaca dengan jelas bahwa sikap KPU dengan
tidak menyediakan template ketika pemilihan DPR dan DPRD serta sarana prasarana
yang aksesibel dalam pemilu adalah satu tindakan yang tidak dibenarkan sama
sekali. Alasan bahwa sulit membuat template dan sarana prasarana aksesibel
adalah alasan yang terlalu dibuat-buat dan apologis. Sikap KPU juga ironis di
tengah pemerintah Indonesia yang meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) lewat
Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Kovenan ini jelas menentang penidaaan hak
memilih dan dipilih bagi seseorang.[14]
Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) lewat
Undang-Undang No. 19 tahun 2011. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini juga
sangat tegas menolak segala bentuk diskriminasi kepada difabel atas nama apapun,
termasuk diskriminasi di sektor hak memilih dan dipilih.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa alat
bantu coblos atau template bagi difabel netra dan sarana prasarana aksesibel
dalam pemilihan umum adalah satu hal yang mesti difasilitasi. Tidak dipenuhinya
sarana prasarana tersebut akan berdampak pada absennya difabel untuk memilih.
Artinya, sarana prasarana aksesibel tersebut bersifat integratif dan tidak
terpisahkan dengan proses penyaluran hak memilih difabel.
Sikap KPU Pusat yang tidak menyediakan template ketika
pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan Kapaten/Kota serta tidak
membuat kebijakan terkait penyediaan sarana prasarana aksesibel bagi difabel
adalah persoalan yang sangat serius. Akibatnya, banyak difabel dalam pemilu
2014 yang tidak dapat melaksanakan hak pilihnya. Difabel dipaksa oleh sistem
untuk tidak memilih. Menurut Undang-Undang
No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD, khususnya
Pasal 142 ayat (2), template atau alat
bantu bagi difabel netra, jelas mesti difasilitasi keberadaanya. Keterangan
Pasal 142 ayat (2) jelas menerangkan tentang ketentuan ini. Sarana prasarana
yang aksesibel sebenarnya juga bisa difasilitasi oleh KPU dengan tafsir Pasal
142 ayat (2), tetapi KPU memang sejak
awal sepertinya tidak memiliki perspektif difabilitas dan tidak mempunyai
keberpihakan kepada difabel.
Selain itu, sikap KPU Pusat dengan tidak menyediakan
template dan sarana prasarana yang aksesibel juga dapat terkatagori sebagai
pelanggaran HAM. KPU sebagai penyelenggara negara mestinya bertanggungjawab
atas pemenuhan hak pilih difabel dengan menyediakan semua kebutuhan mendasar
untuk kepentingan pemungutan suara bagi difabel, tapi tanggungjawab itu tidak
ada. KPU berada dalam posisi tidak ada kemauan dan keinginan (unwilling) untuk memfasilitasi template
dan sarana prasarana yang akses bagi difabel.
[1] Pemilhan
berkerakyatan penting untuk diungkapkan, mengingat ketika tulisan ini
dibuat, DPR RI sudah mengesahkan UU
Pilkada baru dan menghapuskan pemilihan kepala daerah secara langsung. Karena
gejolak rakyat yang menggugat kebijakan DPR yang dinilai telah
mengembalikan sistem demokrasi ke era Orde
baru dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, akhirnya Presiden SBY mengeluarkan
PERPU yang isinya mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun demikian,
diskusi tentang Pilkada Langsung masih menjadi topic yang hangat sampai saat
ini.
[2] Pemilihan umum
substantif adalah pemilihan yang menghendaki kondisi demokrasi sebagai media
yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial, keadilan, keamanan dan
perdamaian. Pemilihan substantif ini adalah antitesa dari proses demokrasi yang
sekedar procedural. Baca Zamrotin K. Susilo dan Papang Hidayat,
Negara Nir-Akuntabilitas : Demokrasi dan Marginalisasi Hak-Hak Korban, dalam
Banget Silitonga (edtor), Kratos Minus
Demos : Demokrasi Indonesia Catatan dari Bawah, Penerbit Obor dan Bakumsu,
Jakarta, 2012, hlm 48-50
[3] Universal desaian adalah satu pendekatan
desain untuk menghasilkan fasilitas dan juga produk bagi semua orang (sebagai
pengguna) secara umum, tanpa batasan fisik, rentang usia, dan juga jenis
kelamin. Pendekatan universal desain meniscayakan suatu fasilitas maupun produk
akan mengalami kompromi sehingga semua orang sebagai user dapat diakomodasi kebutuhannya dalam beraktivitas, tanpa
mengeksklusifkan sebagian orang. Yusita
Kusumarini dan Tri Noviyanto Puji Utomo, Konsep Desain Kamar Mandi Bertema “Accessible Restroom” 2007 : Analisis Penerapan Konsep Universal Desain
pada Sayembara Perancangan, ITB J. Vis. Art & Des. Vol. 2, No. 1,
2008, hlm 87
[4] Lihat di http://www.solider.or.id/2014/04/21/catatan-atas-sejumlah-cacat-pemilu-2014. Diakses pada 6
Oktober 2014
[5] Kaitannya dengan tulisan ini, penulis
sebenarnya telah berkirim sms dan membuat janji dengan beberapa komisioner KPU
Pusat. Kepentingannya tentu adalah
mengkonfirmasi perihal mengapa template dan sarana prasarana aksesibel bagi difabel
tidak disediakan. Sampai dengan tulisan ini di tulis, penulis tidak berhasil
bertemu dengan dengan komisioner KPU Pusat. Janji yang telah ditentukan untuk
wawancara tapi gagal karena tidak ada respon. Beruntung ada konfirmasi via
online dari Hadar Nafis Gumay terkait alasan mengapa template tidak disediakan
oleh KPU. Selain itu, lewat surat Nomor 287/KPU/IV/2014 perihal Informasi
Pendamping dan Alat Bantu bagi Tuna netra, KPU menyatakan bahwa alasan tidak
dibuatnya template braille dalam
Pemilihan Umum Legislatif 2014 adalah karena secara teknis sulit dilakukan
karena lebar kolom nama anggota DPR atau DPD dalam bentuk huruf braille
[6] Wawancara
Nasrullah, Komisioner BAWASLU Pusat pada
15 September 2014
[7] Ibid
[8] Hal senada juga
diungkap Rani, Komisioner KPUD Kota Yogyakarta. Menurutnya, pengadaan template
murni affirmasi sebagai tuntutan dari komunitas difabel. Wawancara Farid pada Agustus 2014. Pernyataan
Rani terungkap dalam diskusi bulanan
kantor SIGAB, yaitu pada 19 September 2014
[9] Ringkasan
Permohonan Perkara Nomor 62/PUU-XII/2014 tentang Perlindungan Hak
Konstitusional Penyandang Disabilitas Tuna Netra dalam Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
[10] Prinsip universal
desain, meliputi, pertama, Equitable Use. Desain yang dapat digunakan
secara wajar oleh semua orang dengan variasi kemampuannya dan tidak
menstigmakan penggunanya. Kedua, Flexibility in Use. Desain yang
fleksibel dan dapat mengakomodasi kebutuhan aktivitas semua orang (sebagai
pengguna) secara umum, tanpa batasan fisik, rentang usia, dan juga jenis
kelamin. Ketiga, Simple and Intuitive Use. Desain yang cara
penggunaannya mudah dimengerti, tanpa tuntutan pengalaman penggunaan,
pengetahuan, dan kemampuan bahasa tertentu. Keempat, Perceptible
Information. Desain yang mengkomunikasikan atau mengakomodasikan informasi
dengan efektif kepada pengguna, dan dekat dengan kondisi ambang dan atau kemampuan
sensor pengguna. Kelima, Tolerance for Error . Desain yang meminimalkan
dampak dan konsekuensi kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan dari
tindakan yang keliru. Keenam, Low Physical Effort. Desain yang dapat
digunakan secara efisien dan nyaman dengan usaha kekuatan fisik minimal (tidak
melelahkan). Ketujuh, Size and Space for Approach and Use. Desain dengan
terapan ukuran dan ruang yang mudah untuk pencapaian, dan dapat digunakan tanpa
batasan ukuran, postur, dan mobilitas pengguna. Baca Molly Follete Story, The Universal Design File: Designing for
People of All Ages and Abilities. North Carolina State University , 1998, hlm
34-35, dalam Yusita Kusumarini dan Tri Noviyanto Puji Utomo, Konsep ... Op. Cit, hlm 87-88
[11] Muhammad Syafari
Firdaus, dkk, Pembangunan Berbasis Hak
Asasi Manusia : Sebuah Panduan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007), hlm 7
[12] Eko Riyadi dkk, Vulnereble Groups : Kajian dan Mekanisme
Perlindungannya, Pusham UII,
Yogyakarta, 2012, hlm 21-25
[13] Muhammad Syafari
Firdaus, dkk, Pembangunan Berbasis…Op.
Cit, hlm 8
[14] Baca Karl Josef
Partsch, Kebebasan Beragama, Berekspresi
dan Kebebasan Berpolitik, dalam Ifdhal Kasim (Editor), Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Elsam, Jakarta, 2001, hlm 298-300
Eksistensi Kelompok Rentan dan PIlkada Langsung
Monday, November 17, 2014
No comments
~~~ M. Syafi’ie
Baru sepuluh tahun rakyat merasakan dapat memilih pemimpin daerahnya secara langsung. Tepatnya setelah disahkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam rentang waktu sepuluh tahun itu, rakyat telah diakui eksistensi dan bargaining politiknya oleh para calon pemimpin daerah. Tanpa dukungan rakyat, mustahil calon pemerintah daerah akan terpilih. Rakyat pun merasakan dampaknya : pemimpin daerah yang betul-betul mengabdi dan melayani rakyat bermunculan, sarana prasarana publik sedikit banyak terbenahi, hak-hak dasar rakyat diperhatikan dengan baik. Penghukuman rakyat terhadap pemimpin daerah yang hanya janji dan tidak berbuat untuk rakyat pun terjadi : rakyat tak memilihnya kembali. Pendidikan politik kerakyatan terbangun dengan sendirinya.
Subscribe to:
Posts (Atom)