18 November 2014

Rasa Cinta



~~~ M. Syafi’ie

Pilihan membutuhkan cinta. Termasuk memilih pasangan dan menghadap Tuhan. Tanpa cinta, semua aktifitas akan terasa hambar, kosong dan tak ada rasa. Cinta akan meneguhkan kehadiran dan kesungguhan. Karena itu, cinta selalu dilekatkan dengan kesukaan, kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan. Kesukaan sehari-hari, kita biasa menyebutnya sebagai hobby. Itulah cinta.

Hidup dalam Sunyi

~~~ M. Syafi’ie

Sebenarnya aku tak kuat berjibaku dengan problem. Masalah-masalah yang muncul bisa saja membunuhku. Konflik kemunafikan, masalah penghianatan, masalah pembunuhan. Semua itu bisa menyesakkan dadaku.

17 November 2014

Pemilu Tanpa Alat Bantu Coblos Bagi Difabel : Perspektif Penyelenggara Pemilu, Hukum dan HAM


~~~ M. Syafi'ie 


PENDAHULUAN

Pemilu 2014 telah berlalu. Para wakil rakyat telah resmi di lantik. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden juga telah usai dilaksanakan. Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik pusat dan daerah telah bekerja dengan baik dalam penyelenggaraan pemilihan langsung tahun 2014 ini. Mungkin karena menggunakan sistem pemilihan langsung, berbagai elemen masyarakat semuanya terlibat, antusias untuk mengenali calon-calon pemimpinnnya, dan dalam banyak hal ada beberapa catatan yang layak untuk diperbaiki demi kualitas pemilihan umum yang berkerakyatan [1] dan substantif. [2]

Salah satu yang menjadi catatan penting itu ialah terkait dengan pemenuhan hak pilih difabel.  Lebih khusus lagi terkait penyediaan sarana prasarana yang aksesibel, diantaranya ialah alat bantu coblos bagi difabel netra. Kita tahu bahwa difabel (differently able people) membutuhkan sarana prasarana yang spesifik dan meniscayakan desain yang akses sesuai dengan difabilitasnya. Setidaknya ada beberapa kategori difabilitas, meliputi : katagori intelektual/kecerdasan, katagori gerak/mobilitas, katagori psikososial, katagori sensorik,  katagori komunikasi, dan atau pun difabel yang berkatagori multiple difabilitas. Dengan pengkatagorian sederhana tersebut, terbayang bahwa  fasilitas sarana prasarana pemilihan umum haruslah memperhatikan kebutuhan spesifik difabel. Sarana prasarana pemilihan umum mesti menggunakan pendekatan universal desain agar  setiap orang tanpa terkecuali bisa menggunakannya. [3]

Dalam konteks pemilihan umum, tidak terbantahkan bahwa difabel yang ada di Indonesia adalah warga negara dan memiliki hak yang sama dengan warga negara pada umumnya. Tidak ada pembenaran sedikit pun untuk mendiskriminasi difabel dalam memilih. Konstitusi menegaskan bahwa hak pilih tidak terletak pada kelompok, tetapi pada perorangan. Hak memilih melekat pada setiap manusia yang menjadi warga negara Indonesia. Persoalannya, pada tiap perhelatan pemilihan umum selalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Difabel tidak difasilitasi sarana prasarana aksesibilitasnya dan berakibat pada peniadaan hak pilih. Kartu memilih memang disediakan oleh penyelenggara pemilihan umum, tapi dengan desain kartu yang tidak aksesibel, difabel kesulitan memilih; kesulitan menuju tempat pemilihan, dan bahkan, sebagian difabel tidak bisa memilih karena tidak dapat membedakan pilihannya. Hal ini salah satunya menimpa difabel netra yang tidak difasilitasi alat bantu template.

Monitoring pelaksanaan pemilihan umum 2014 yang dilakukan oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Dfiabel (SIGAB) menemukan beberapa hal penting, pertama, tidak pekanya petugas KPPS dan berdampak pada ketidakjelasan perlakuan terhadap difabel, baik dalam hal mendesain tempat pemilihan dan memperlakukan difabel. Banyak tempat pemilihan tidak aksesibel bagi difabel. Kedua, form C3 terabaikan. KPPS lebih memilih membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak memilih yang bebas dan rahasia. Ketiga, Difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya bertangga-tangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh sedangkan pemilih yang difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, serta desain kotak suara yang terlalu tingi bagi pemilih difabel daksa. Kelima, difabel kerap tersudutkan di lokasi pemilihan karena kerap menjadi tontonan.[4]

Potret pemenuhan hak memilih dan di pilih difabel dalam pemilihan umum 2014 mesti menjadi catatan dan pembelajaran berharga bagi KPU/KPUD, agar penyelenggaran pemilihan umum kedepannya tidak terjadi lagi perlakuan yang diskriminatif. Apalagi, kita tahu bahwa persoalan difabel tidak hanya menimpa perorangan saja, tetapi satu komunitas manusia yang sangat besar. Data Disabled Peoples’ International Asia Pasific (DPIAP) menyatakan bahwa jumlah difabel dunia mencapai 665 juta orang lebih atau 15% dari populasi penduduk dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah difabel menurut data WHO telah mencapai 10% dari total jumlah penduduk Indonesia. Dengan data yang ada, tidak ada pembenaran sedikit pun untuk menafikan hak politik  difabel. Peniadaan hak pada satu manusia saja sudah pelanggaran HAM, apalagi menimpa jutaan dan ratusan manusia? Ironis tentunya. Berangkat dari konteks tersebut, tulisan ini hendak mendalami cara pandang penyelenggara pemilihan umum terkait penyediaan alat bantu tuna netra/template serta penyediaan sarana prasarana yang aksesibel dalam pemilu tahun 2014. Tulisan ini juga hendak mengkaji Undang-Undang No.  8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD serta analisis hak asasi manusia

CARA PANDANG PENYELENGGARA PEMILU

Dalam  satu diskusi di dunia online pada 25 Agustus 2014, Hadar Nafis Gumay mengatakan bahwa kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyediaan alat bantu adalah : ada alat bantu coblos untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, satu untuk setiap tempat pemungutan suara (TPS) seluruh Indonesia.  Sedangkan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak dapat disediakan oleh KPU karena ragam difabilitas yang terlalu banyak dan alat bantu sulit dibuat karena banyaknya partai politik dan calon legislatif persurat suaranya. Menurut Hadar Nafis, kalau satu TPS di lokasi tertentu tidak tersedia alat bantu coblos untuk  pemilihan anggota DPD dan Presiden dan Wakil Presiden, kemungkinan terjadi karena distribusi yang tidak lancar.

Pernyataan Hadar Nafis Gumay  tentu mewakili KPU sebagai satu institusi negara.[5]  Menurutnya, penyediaan alat bantu bagi difabel di Indonesia telah melewati pendiskusian di internal komisioner KPU Pusat dan berdiskusi dengan kelompok disabilitas, intinya adalah KPU sulit menyediakan alat bantu bagi difabel dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD sebab peserta partai politik yang tidak sedikit, calon legislatif yang berbeda-beda, daerah pemilihan (Dapil) yang banyak, serta pembuatan template braile yang sulit. Akibat kondisi itu, KPU Pusat akhirnya memutuskan tidak menyediakan alat bantu coblos bagi difabel untuk pemilihan DPR dan DPRD dan meminta segelintir difabel di Jakarta untuk dipahami keputusannya.

Pernyataan Hadar Nafis mempertegas bahwa kesepakatan internal KPU Pusat memang tidak menyediakan template dan alat bantu lain bagi difabel untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD. Alasannya sederhana, karena partai politik yang banyak, calon legislatif yang berbeda-beda di daerah, serta penyediaan alat bantu coblos bagi difabel yang dinilai sulit. Akibatnya memang sebagaimana kita ketahui, difabel mengalamai kesulitan mencoblos ketika pemilihan umum legislative 2014, bahkan sebagian besar tidak dapat mencoblos karena tidak terfasilitasinya sarana prasarana pemilihan yang aksesibel. Ribuan pemilih difabel  kehilangan hak suaranya.

Tidak disediakannya alat bantu tuna netra/template serta sarana prasarana yang akses bagi difabel, sontak memancing keriuhan, khususnya di internal komunitas difabel. Diskusi dan audiensi dengan KPU setempat terus berlangsung dan mempertanyakan kebijakan KPU Pusat yang dinilai diskriminatif. Di tengah persiapanan dan proses pemilihan umum yang telah berlangsung, KPU Pusat seakan terkunci dan tidak dapat memenuhi tuntutan gerakan difabel untuk menyediakan template dan sarana prasarana yang aksesibel. Nasrullah, Komisioner  BAWASLU Pusat mengatakan bahwa Bawaslu sebenarnya telah memberitahukan beberapa tuntutan komunitas difabel atas tidak terfasilitasinya template dan sarana prasarana yang aksesibel. Forum Gerakan Relawan Sejuta Bawaslu dan forum Relawan Demokrasi (RELASI) yang dibentuk KPU juga mendesakkan hal yang sama. Tetapi, desakan itu tidak direspon dengan kebijakan nyata oleh KPU Pusat.  Bahkan, template dan sarana prasarana yang akesibel tidak mungkin dipenuhi oleh KPU, mengingat proses pemilihan yang telah berlangsung. Dan, KPU Pusat sendiri sepertinya ketakutan akan dipermasalahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  karena  sejak awal, KPU  tidak menganggarkan pengadaan template dan sarana lainnya bagi difabel.[6]

Menurut Nasrullah, tidak dipenuhinya template dan sarana prasarana yang akses bagi difabel adalah persoalan yang sangat serius dan menciderai demokrasi. Undang-Undang Pemilu memberikan hak pilih kepada setiap warga negara. Tidak memandang apakah itu difabel dan atau difabel, semua warga negara berhak untuk memilih. Hak memilih melekat kepada setiap warga negara, tidak untuk kelompok tertentu saja. Sebenarnya, BAWASLU Pusat akan melakukan peneguran dan memanggil secara resmi kepada KPU Pusat, tetapi teguran itu urung dilakukan karena sebelumnya BAWASLU sudah mempermasalahkan KPU Pusat dalam kasus lain. Jika teguran dan pemanggilan dalam kasus template dilakukan, teguran dalam kasus ini terhitung sebagai teguran yang ketiga dan pasti akan mengganggu proses pemilihan umum yang telah berlangsung pada waktu itu. [7]

Di tengah situasi ketiadaan dana untuk pengadaan template untuk pemilihan anggota legislative : DPR dan DPRD, di beberapa daerah berlangsung diskusi yang mengkritik kebijakan KPU  dan meminta bagaimanapun caranya untuk disediakan template agar hak pilih difabel bisa terpenuhi.   Salah satu diskusi itu berlangsung di Yogyakarta. Masukan untuk penyediaan template langsung disampaikan ke KPU Provinsi DIY. Dan masukan dari komunitas difabel tidak berjalan sia-sia, KPU Provinsi DIY dan KPU Kota Yogyakarta merespon dengan cukup baik dan melakukan affirmasi dengan mengalokasikan dana pengadaan template untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD di Provinsi Yogyakarta dan Kota Yogyakarta.

Muhammad Farid, Komisioner KPU Provinsi DIY mengatakan bahwa pengadaan template untuk pemilihan anggota DPRD adalah kebijakan afirmatif. Dana pengadaannya diambilkan dari alokasi dana pengadaan alat peraga. Secara kegunaan, pasti ada persoalan karena pengadaan alat peraga berbeda dengan pengadaan template. Farid menduga bahwa tindakan KPUD Provinsi DIY akan dipermasalahkan oleh BPK. Tapi KPU Provinsi DIY sudah bulat untuk realokasi dana untuk template dan kalau dipersolkan oleh BPK mereka akan katakan detail kebutuhan dan tuntutan yang dilakukan oleh komunitas difabel. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, KPUD Provinsi DIY akan dicap tidak memenuhi hak pilih warga negara. Bagaimanapun, template harus disediakan.[8]

Persoalan serius mengapa template disediakan karena KPU Pusat sejak awal tidak menganggarkannya. Sejak pembahasan awal dana untuk pengadaan template dan sarana prasarana tidak ada. Ketika proses pemilu telah berlangsung dan banyak komunitas difabel yang menuntut, baru tersadarkan akan pentingnya template bagi hak pilih difabel. Menurut Farid, mungkin KPU Pusat khilaf dan lupa terhadap kebutuhan difabel atas hak pilihnya. Akibatnya, KPUD merasakan dampaknya dengan adanya kebingungan untuk pengadaan template.  Pada konteks yang lain, KPU Pusat mungkin ketakutan kepada BPK dan KPK yang kemungkinan akan mempersoalkan pengeluaran dana yang tidak ada jaminan hukumnya sejak awal.

SUBSTANSI HUKUM

Di antara alasan yang dikemukakan beberapa anggota KPU atas tidak disediakannya template dan sarana  prasarana yang aksesibel bagi difabel adalah akibat mandat Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD yang tidak jelas. Bawaslu sebagai institusi pengawas pelanggaran pemilu juga berpendapat serupa : sulit mempermasalahkan KPU dalam hal penyediaan alat bantu coblos, mengingat bahasa Undang-Undangnya sendiri masih kabur.

Bila kita membaca Undang-Undang No. 8 tahun 2012, khususnya BAB IX yang mengatur perlengkapan suara, pada Pasal 141 disebutkan bahwa KPU bertanggungjawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara. Sedangkan pelaksana pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara diserahkan kepada Sekretaris Jenderal KPU, Sekretaris KPU Provinsi, dan Sekretaris KPU Kabupaten/Kota.  Tahap ini bila merujuk pada  Pasal 4 termasuk di tahapan awal, yaitu perencanaan  program  dan anggaran serta penyusunan peraturan Pelaksanaan Pemilu. Sebab setelah itu, aka nada tahapan  pemutaakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan Peserta Pemilu, penetapan jumlah kursi  dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan anggota DPR, DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, masa kampanye pemilu, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD dan DPRD. 

Undang-Undang No. 8 tahun 2012 pada pasal 142 ayat (1) juga menjelaskan bahwa perlengkapan suara meliputi : kotak suara, surat suara, tinta, bilik pemungutan suara, segel, alat untuk mencoblos pilihan dan tempat pemungutan suara. Bila kita membaca penjelasan Pasal ini, semua diterangkan jelas. Kecuali tentang ‘alat bantu untuk mencoblos pilihan’, dalam penjelasan diterangkan bahwa maksud  dari frase tersebut adalah alat bantu berupa paku, bantalan dan meja.

Pada Pasal  142 ayat (2) juga ditambahkan,, “Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya”. Dalam penjelasan Pasal ini diterangkan bahwa yang dimaksud ‘dukungan perlengkapan lain’ meliputi sampul kertas, tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda pengenal petugas keamanan TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem/perekat, kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan alat bantu tunanetra.

Membaca Pasal 142 ayat (1) dan (2) dengan keterangannya, maka sangat jelas bahwa alat bantu tuna netra atau template mestinya disediakan untuk pemilihan DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Memang,dalam Pasal tidak disebutkan secara terang tentang fasilitas alat bantu tuna netra atau template, tapi dalam penjelasan Undang-Undang cukup terang terbaca. Karena itu, perihal penyediaan alat bantu tuna netra atau template, jelas KPU tidak mematuhi perintah Undang-Undang.

Dalam konteks penyediaan sarana prasarana aksesibel yang lebih luas, seperti penyediaan penterjemah bagi tuna rungu, tempat pemungutan suara yang mesti ada rampa, jarak antar kotak suara yang harus lebar, tinggi meja yang tidak terlalu tinggi, dan kebutuhan aksesibilitas lainnya memang tidak disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang, tapi jika KPU Pusat sejak awal punya keberpihakan dan political will, tafsir Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 sebenarnya bisa digunakan agar hak pilih difabel dapat terpenuhi dengan benar, khususnya untuk menjamin kerahasiaan hak pilih difabel dimana di saat pemilihan biasanya selalu didampingi petugas atau keluarga, menjamin keamanan difabel sehingga perlu desain pemilihan yang aksesibel, serta  mendukung proses kelancaran pemilihan dengan adanya standar pelayanan yang layak bagi difabel.

Namun demikian, sampai dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dilangsungkan, KPU tidak memperbaiki keputusannya untuk menyediakan alat bantu tuna netra/template dan mendorong pengadaan sarana prasarana yang aksesibel. Kritik komunitas difabel terhadap KPU tidak didengarkan dengan benar. Karena itu, sangat beralasan jika pemantauan yang dilakukan SIGAB sebagaimana dikemukan sebelumnya menemukan begitu banyak pelanggaran  yang menimpa difabel di beberapa daerah.

Sampai saat inipun, dimana pemilihan umum telah usai, didorong keprihatinan atas diskriminasi difabel dengan tidak disediakannya template, beberapa orang yang mengalami difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu sedang mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya ialah mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat tidak dapat memilihnya difabel netra di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.[9]

PELANGGARAN HAM

Tidak disediakannya template bagi difabel netra ketika pemilihan DPR dan DPRD serta tidak disediakannya sarana prasarana aksesibel bagi difabel dalam pemilu, tidak semata dibaca sebagai ketiadaan perspektif anggota KPU terhadap difabilitas dan atau pengingkaran anggota KPU terhadap perintah Pasal 142 ayat (2) yang memandatkan penyediaan alat bantu tuna netra, lebih dari itu, tindakan KPU adalah satu pelanggaran hak asasi manusia, berupa penghilangan hak pilih difabel akibat hilangnya tanggungjawab penyelenggara pemiihan umum.

Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Konstitusi Indonesia, lewat Pasal  28I ayat (2)  UUD 1945 juga menegaskan  bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Membaca ketentuan ini, maka cukup tegas bahwa hak pilih dalam pemilihan umum melekat pada setiap orang, tidak untuk satu golongan dan atau kelompok tertentu. Karena itu, sarana prasarana pemilihan umum semestinya universal desain.[10]

Jika dalam pemenuhan hak pilih terjadi diskriminasi, dimana sarana prasarana yang difasilitasi penyelenggara pemilihan umum  tidak terdesain secara universal, dan berakibat hilangnya hak pilih seseorang, dalam kasus ini jelas KPU telah melanggar HAM. Kita tahu bahwa pelanggaran HAM adalah titik tolak dari ada dan atau tidak adanya tanggungjawab negara. Political will penyelenggara negara adalah salah satu ukurannya. Jika penyelangara negara tidak memiliki kemauan dan keinginan (unwilling) untuk memenuhi tanggungjawabnya, disitulah pelanggaran HAM terjadi.[11]

Secara umum, konsep hak asasi manusia  menggunakan dua pendekatan, pertama, individu manusia adalah pemangku hak (right holder). Kedua,  negara adalah pemangku kewajiban (right bearer). Setidaknya ada tiga kewajiban yang melekat dengan negara, pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect). Kewajiban ini mengacu pada kewajiban negara untuk tidak melakukan intervensi pada hak dan kebebasan seseorang. Dalam hal ini, negara harus bersifat pasif dan tidak ikut campur kaitannya dengan pilihan hak politik. Kedua, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect). Kewajiban ini mensyaratkan tindakan aktif negara, dimana negara berkewajiban memastikan tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh individu pribadi.  Ketiga, kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill). Hak asasi manausia dalam hal ini mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil langkah legislative, administrative, judicial dan kebijakan praktis untuk memastikan hak-hak  seseorang yang menjadi warga negara negara dapat terpenuhi hingga pencapaian maksimal.[12] Selain tiga bentuk kewajiban, dalam implementasinya negara juga memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah terhadap realisasai pemenuhan HAM. Di antara langkah-langkah itu ialah langkah untuk menjamin (to guarantee), untuk meyakini (to ensure), untuk mengakui (to recognize), untuk berusaha (to undertake), dan untuk meningkatkan (to promote).[13]

Membaca secara secara singkat konsep HAM,  terbaca dengan jelas bahwa sikap KPU dengan tidak menyediakan template ketika pemilihan DPR dan DPRD serta sarana prasarana yang aksesibel dalam pemilu adalah satu tindakan yang tidak dibenarkan sama sekali. Alasan bahwa sulit membuat template dan sarana prasarana aksesibel adalah alasan yang terlalu dibuat-buat dan apologis. Sikap KPU juga ironis di tengah pemerintah Indonesia yang meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) lewat Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Kovenan ini jelas menentang penidaaan hak memilih dan dipilih bagi seseorang.[14] Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) lewat Undang-Undang No. 19 tahun 2011. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini juga sangat tegas menolak segala bentuk diskriminasi kepada difabel atas nama apapun, termasuk diskriminasi di sektor hak memilih dan dipilih.

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa alat bantu coblos atau template bagi difabel netra dan sarana prasarana aksesibel dalam pemilihan umum adalah satu hal yang mesti difasilitasi. Tidak dipenuhinya sarana prasarana tersebut akan berdampak pada absennya difabel untuk memilih. Artinya, sarana prasarana aksesibel tersebut bersifat integratif dan tidak terpisahkan dengan proses penyaluran hak memilih difabel.

Sikap KPU Pusat yang tidak menyediakan template ketika pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan Kapaten/Kota serta tidak membuat kebijakan terkait penyediaan sarana prasarana aksesibel bagi difabel adalah persoalan yang sangat serius. Akibatnya, banyak difabel dalam pemilu 2014 yang tidak dapat melaksanakan hak pilihnya. Difabel dipaksa oleh sistem untuk tidak memilih. Menurut Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD, khususnya Pasal 142 ayat  (2), template atau alat bantu bagi difabel netra, jelas mesti difasilitasi keberadaanya. Keterangan Pasal 142 ayat (2) jelas menerangkan tentang ketentuan ini. Sarana prasarana yang aksesibel sebenarnya juga bisa difasilitasi oleh KPU dengan tafsir Pasal 142 ayat  (2), tetapi KPU memang sejak awal sepertinya tidak memiliki perspektif difabilitas dan tidak mempunyai keberpihakan kepada difabel.

Selain itu, sikap KPU Pusat dengan tidak menyediakan template dan sarana prasarana yang aksesibel juga dapat terkatagori sebagai pelanggaran HAM. KPU sebagai penyelenggara negara mestinya bertanggungjawab atas pemenuhan hak pilih difabel dengan menyediakan semua kebutuhan mendasar untuk kepentingan pemungutan suara bagi difabel, tapi tanggungjawab itu tidak ada. KPU berada dalam posisi tidak ada kemauan dan keinginan (unwilling) untuk memfasilitasi template dan sarana prasarana yang akses bagi difabel.



[1] Pemilhan berkerakyatan penting untuk diungkapkan, mengingat ketika tulisan ini dibuat,  DPR RI sudah mengesahkan UU Pilkada baru dan menghapuskan pemilihan kepala daerah secara langsung. Karena gejolak rakyat yang menggugat kebijakan DPR yang dinilai telah mengembalikan  sistem demokrasi ke era Orde baru dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, akhirnya Presiden SBY mengeluarkan PERPU yang isinya mengembalikan lagi pemilihan kepala  daerah secara langsung. Namun demikian, diskusi tentang Pilkada Langsung masih menjadi topic yang hangat sampai saat ini.
[2] Pemilihan umum substantif adalah pemilihan yang menghendaki kondisi demokrasi sebagai media yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial, keadilan, keamanan dan perdamaian. Pemilihan substantif ini adalah antitesa dari proses demokrasi yang sekedar procedural. Baca  Zamrotin K. Susilo dan Papang Hidayat, Negara Nir-Akuntabilitas : Demokrasi dan Marginalisasi Hak-Hak Korban, dalam Banget Silitonga (edtor), Kratos Minus Demos : Demokrasi Indonesia Catatan dari Bawah, Penerbit Obor dan Bakumsu, Jakarta, 2012,  hlm 48-50
[3]  Universal desaian adalah satu pendekatan desain untuk menghasilkan fasilitas dan juga produk bagi semua orang (sebagai pengguna) secara umum, tanpa batasan fisik, rentang usia, dan juga jenis kelamin. Pendekatan universal desain meniscayakan suatu fasilitas maupun produk akan mengalami kompromi sehingga semua orang sebagai user dapat diakomodasi kebutuhannya dalam beraktivitas, tanpa mengeksklusifkan sebagian orang.  Yusita Kusumarini dan Tri Noviyanto Puji Utomo, Konsep Desain Kamar Mandi Bertema “Accessible Restroom” 2007  : Analisis Penerapan Konsep Universal Desain pada Sayembara Perancangan, ITB J. Vis. Art & Des. Vol. 2, No. 1, 2008,  hlm 87
[5]  Kaitannya dengan tulisan ini, penulis sebenarnya telah berkirim sms dan membuat janji dengan beberapa komisioner KPU Pusat. Kepentingannya tentu  adalah mengkonfirmasi perihal mengapa template dan sarana prasarana aksesibel bagi difabel tidak disediakan. Sampai dengan tulisan ini di tulis, penulis tidak berhasil bertemu dengan dengan komisioner KPU Pusat. Janji yang telah ditentukan untuk wawancara tapi gagal karena tidak ada respon. Beruntung ada konfirmasi via online dari Hadar Nafis Gumay terkait alasan mengapa template tidak disediakan oleh KPU. Selain itu, lewat  surat  Nomor 287/KPU/IV/2014 perihal Informasi Pendamping dan Alat Bantu bagi Tuna netra, KPU menyatakan bahwa alasan tidak dibuatnya template braille dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 adalah karena secara teknis sulit dilakukan karena lebar kolom nama anggota DPR atau DPD dalam bentuk huruf braille
[6] Wawancara Nasrullah, Komisioner BAWASLU Pusat  pada 15 September 2014
[7] Ibid
[8] Hal senada juga diungkap Rani, Komisioner KPUD Kota Yogyakarta. Menurutnya, pengadaan template murni affirmasi sebagai tuntutan dari komunitas difabel.  Wawancara Farid pada Agustus 2014. Pernyataan Rani  terungkap dalam diskusi bulanan kantor SIGAB, yaitu pada 19 September 2014
[9] Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 62/PUU-XII/2014 tentang Perlindungan Hak Konstitusional Penyandang Disabilitas Tuna Netra dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
[10] Prinsip universal desain, meliputi, pertama, Equitable Use. Desain yang dapat digunakan secara wajar oleh semua orang dengan variasi kemampuannya dan tidak menstigmakan penggunanya. Kedua, Flexibility in Use. Desain yang fleksibel dan dapat mengakomodasi kebutuhan aktivitas semua orang (sebagai pengguna) secara umum, tanpa batasan fisik, rentang usia, dan juga jenis kelamin. Ketiga, Simple and Intuitive Use. Desain yang cara penggunaannya mudah dimengerti, tanpa tuntutan pengalaman penggunaan, pengetahuan, dan kemampuan bahasa tertentu. Keempat, Perceptible Information. Desain yang mengkomunikasikan atau mengakomodasikan informasi dengan efektif kepada pengguna, dan dekat dengan kondisi ambang dan atau kemampuan sensor pengguna. Kelima, Tolerance for Error . Desain yang meminimalkan dampak dan konsekuensi kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan dari tindakan yang keliru. Keenam, Low Physical Effort. Desain yang dapat digunakan secara efisien dan nyaman dengan usaha kekuatan fisik minimal (tidak melelahkan). Ketujuh, Size and Space for Approach and Use. Desain dengan terapan ukuran dan ruang yang mudah untuk pencapaian, dan dapat digunakan tanpa batasan ukuran, postur, dan mobilitas pengguna. Baca Molly Follete Story, The Universal Design File: Designing for People of All Ages and Abilities. North Carolina State University ,  1998,  hlm 34-35, dalam Yusita Kusumarini dan Tri Noviyanto Puji Utomo, Konsep ... Op. Cit, hlm 87-88
[11] Muhammad Syafari Firdaus, dkk, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia : Sebuah Panduan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta,  2007), hlm 7
[12] Eko Riyadi dkk, Vulnereble Groups : Kajian dan Mekanisme Perlindungannya,  Pusham UII, Yogyakarta, 2012,  hlm 21-25
[13] Muhammad Syafari Firdaus, dkk, Pembangunan Berbasis…Op. Cit, hlm 8
[14] Baca Karl Josef Partsch, Kebebasan Beragama, Berekspresi dan Kebebasan Berpolitik, dalam Ifdhal Kasim (Editor), Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Elsam,  Jakarta, 2001, hlm 298-300

Eksistensi Kelompok Rentan dan PIlkada Langsung



~~~ M. Syafi’ie 

Baru sepuluh tahun rakyat merasakan dapat memilih pemimpin daerahnya secara langsung. Tepatnya setelah disahkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Dalam rentang waktu sepuluh tahun itu, rakyat telah diakui eksistensi dan bargaining politiknya oleh para calon pemimpin daerah. Tanpa dukungan rakyat, mustahil calon pemerintah daerah akan terpilih. Rakyat pun merasakan dampaknya : pemimpin daerah yang betul-betul mengabdi  dan melayani rakyat bermunculan, sarana prasarana publik sedikit banyak terbenahi, hak-hak dasar rakyat diperhatikan dengan baik. Penghukuman rakyat terhadap pemimpin daerah yang hanya janji dan tidak berbuat untuk rakyat pun terjadi : rakyat tak memilihnya kembali. Pendidikan politik kerakyatan terbangun dengan sendirinya.