17 November 2014

Eksistensi Kelompok Rentan dan PIlkada Langsung



~~~ M. Syafi’ie 

Baru sepuluh tahun rakyat merasakan dapat memilih pemimpin daerahnya secara langsung. Tepatnya setelah disahkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Dalam rentang waktu sepuluh tahun itu, rakyat telah diakui eksistensi dan bargaining politiknya oleh para calon pemimpin daerah. Tanpa dukungan rakyat, mustahil calon pemerintah daerah akan terpilih. Rakyat pun merasakan dampaknya : pemimpin daerah yang betul-betul mengabdi  dan melayani rakyat bermunculan, sarana prasarana publik sedikit banyak terbenahi, hak-hak dasar rakyat diperhatikan dengan baik. Penghukuman rakyat terhadap pemimpin daerah yang hanya janji dan tidak berbuat untuk rakyat pun terjadi : rakyat tak memilihnya kembali. Pendidikan politik kerakyatan terbangun dengan sendirinya.

Namun, proses demokratisasi yang menuju daulat rakyat itupun seketika tercerabut  oleh sikap ambivalen pemerintah SBY-Boediono dan kehendak sepihak koalisi neo orde baru yang menguasai panggung politik. Tepatnya pada sidang paripurna DPR tanggal 25 September 2014, pemilihan kepala daerah secara langsung itu dicabut dan diganti kembali dengan pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sontak, aktifis hak asasi manusia, rakyat dan pegiat demokrasi terhenyak dengan sikap politik para wakil rakyat dan pemerintah yang cara pandangnya begitu mundur dan tidak menghargai sejarah dan capaian-capaian progresif kepemimpinan daerah yang terwujud lewat pemililhan kepala daerah secara langsung.

Secara historis, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memandatkan pemilihanan kepala daerah secara langsung, lahir dari kritik yang cukup tajam terhadap kegagalan partai politik dan para wakilnya di parlemen dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Partai politik dan para wakilnya lebih banyak memperhatikan dan memperebutkan kepentingan paragmatis di area kekuasaan. Kepentingan dan pemenuhan hak-hak kerayakyatan ditinggalkannya. Pemilihan kepala daerah secara langsung dan pentingnya calon independen ialah antitesa dari bangunan sistem politik di masa lalu yang sangat elitis dan paragmatis. Gagasan pemilihan langsung dalam konteks ini tidak diragukan adalah anak kandung dari perjuangan reformasi.

Salah satu alasan mengapa pemilihan kepala daerah secara langsung mesti dipertahankan adalah berkait dengan ‘bergaining’ dan ‘eksistensi’ kelompok rentan. Di antara mereka adalah orang-orang miskin, difabel, perempuan, masyarakat adat, buruh migrant, LGBT, anak-anak dan kelompok minoritas.  Dalam suasana politik yang serba elitis dan paragmatis, komunitas rentan tidak diakui keberadaannya. Tetapi, dalam suasana pemilihan langsung, kelompok rentan mempunyai tawaran dan diakui eksistensinya. Kelempok rentan, dalam suasana pemilihan langsung biasa dengan dengan menawarkan gagasan, membuat kontrak politik dan secara langsung mereka dapat mendengar visi misi para calon pemimpin daerah dan membacaa track record integritas keberpihakannya.

Contoh menarik misalkan terjadi di komunitas difabel. Dalam pemilihan umum kemarin, terjadi proses bargaining politik yang cukup baik, dimana komunitas difabel melakukan kontrak politik dengan para calon Wakil Rakyat dan melakukan kontrak politik dengan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Komunitas difabel meminta jaminan kontraktual dimana jika para calon terpilih menjadi pemimpin, mereka akan memperjuangkan pemenuhan hak-hak difabel. Di banyak tempat, geliat gerakan difabel menguat dan cukup diperhitungkan oleh para calon pemimpin daerah.

Proses politik yang berlangsung progresif di internal difabel, setidaknya ‘mungkin’ terjadi di internal komunitas rentan yang lainnya. Setidaknya, dalam masa kampanye dan penyampaian visi, misi dan janji politik, komunitas rentan dapat menentukan pilihannya yang terbaik. Dan, suasana pilihan pemimpin terbaik bagi rakyat dan komunitas rentan itu tidak akan muncul kalau proses pemilihan kepempinan daerah kembali dialihkan kepada DPRD. Eksistensi rakyat dan komunitas rentan  akan pudar digantikan dengan kepentingan partai politik dan kepentingan anggota DPRD yang umumnya paragmatis. Kepemimpinan daerah selanjutnya akan terbangun dengan nuansa yang elitis, semakin jauh dari perjuangan kerakyatan.

0 comments:

Post a Comment