08 October 2014

PENGASUHAN PERWIRA DI AKADEMI KEPOLISIAN


~~~M. Syafi'ie

“Manusia hanya hidup dengan sekadar sepotong roti.
Manusia telah memotong fitrah dan sejarahnya sebagai makhluk spritual dan bermoral. Manusia hanya mengejar kehidupan yang bersifat lahiriyah,
 permukaan dan mementingkan formalitas tanpa substansi”
(Hossein Nasr)

Pengantar

Pengasuhan merupakan salah satu media tranformasi pendidikan, bahkan pengasuhan berintegrasi dengan proses pendidikan itu sendiri, yang saling terikat dan mempengaruhi antar satu dengan lainnya. Pengasuhan yang tidak di bangun dengan sistem, manajemen dan tata kelola yang baik dan futuristik akan berdampak pada kebingungan dan gagalnya anak didik untuk membangun kehidupannya yang sedemikian kompleks dan tak berbentuk.

Alvin Toffler memperkirakan bahwa kedepan umat manusia akan menghadapi gelombang perubahan ketiga, yaitu transformasi dari gelombang kedua yang dicetuskan dari revolusi industri menuju perubahan masyarakat yang super industrial. Umat manusia akan menghadapi sejumlah lompatan yang terus menerus, akan menghadapi pergolakan, perombakan dan restrukturisasi yang paling mendasar. Menurut Alvin, dampak dari gelombang ketiga dipastikan akan menyentuh setiap orang, merusak dan merobek-robek kehidupan berkeluarga, mengguncang ekonomi, melumpuhkan sistem politik dan menghancurkan nilai-nilai yang berkembang lama.[1]

Salah satu  persoalan itu ialah globalisasi, yaitu satu sistem yang seringkali menawarkan mimpi-mimpi indah di masa depan, walaupun globalisasi sesungguhnya ialah kolonialisasi yang berwajah baru. Secara ekonomi, globalisasi merujuk pada reorganisasi sarana-sarana produksi, penetrasi industri lintas negara, perluasan pasar uang, penjajahan barang konsumsi dari dunia pertama ke dunia ketiga dan penggusuran penduduk lintas negara. Sedangkan secara ideologi, globalisasi berarti liberalisasi perdagangan dan investasi, deregulasi, privatisasi.[2]

Globalisasi tidak lain ialah ideologi neoliberalisme, dimana pemerintah harus membebaskan campur tangannya terhadap perusahaan swasta, apapun akibat sosialnya, dalam bentuk pemberian ruang bebas dan keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA maupun dalam bentuk kawasan pertumbuhan yang bebas dari dari birokrasi negara.[3] Pada akhirnya globalisasi akan memperlihatkan satu arena pertarungan antara yang kuat, setengah kuat, dan lemah, serta yang paling lemah, dan negara akan kehilangan tanggungjawabnya karena dominasi negara akan beralih pada dominasi perusahaan transnasional.[4]

Situasi dan kondisi di atas menjadi tantangan sangat serius bagi para pemangku pengasuhan dan pendidikan. Sistem pengasuhan dan pendidikan saat ini tidak bisa lagi dijalankan dengan pola dan manajemen yang klasikal, tetapi harus direkonstruksi untuk menjawab tantangan-tantangan yang sedemikian kompleks. Lebih dari itu, pengasuhan dan pendidikan harapannya tidak hanya sekedar proses penanaman moral untuk membentengi dari ekses-ekses negatif globalisasi,[5] tetapi harus menjadi basis pembebasan (liberating of basic) dari situasi pemiskinan, pembodohan, dan keterbelakangan sosial dan ekonomi.

Tantangan kompleks gelombang ketiga dan globalisasi di atas juga perlu disikapi oleh para pemangku kebijakan di Akademi Kepolisian (AKPOL) Semarang. Sebagai satu institusi pengasuhan dan pendidikan negara yang mempersiapkan aktor-aktor pemimpin keamanan dan ketertiban di masa depan, sistem pengasuhan dan pengaturannya harus diperbaiki untuk menjawab berbagai tantangan yang begitu kompleks. Kekuatan negara tidak boleh dikalahkan oleh kekuatan swasta, aktor-aktor negara harus lebih kuat, lebih berpengatahuan, lebih bermasyarakat dan bertanggungjawab, tanpa kekuasaan dan kekuatan itu, negara betul-betul akan dihisap dan tidak akan berdaya ketika berhadapan dengan korporasi yang menggurita.

Kekerasan Akan Memperkuat Kolonialisme Neoliberal

Pengasuhan dan pendidikan yang masih memakai paradigma kekerasan sebagai jalan keluar untuk menjawab berbagai tantangan masa depan tidaklah benar. Paradigma  yang memakai kekerasan tidak lain merupakan proses penghilangan kesadaran kritis seseorang dari sekedar kepentingan sesaat dan sekaligus membenamkan nilai-nilai moral yang semestinya selalu dihidupkan dalam proses pendidikan dan pengasuhan. Paradigma  seperti itu juga sama halnya melestarikan karakter kekerasan yang diciptakan oleh sistem neoliberalisme.

Pengasuhan yang masih memakai paradigma kekerasan merupakan proses penciptaan terhadap apa yang disebut Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan, yang dilatar belakangi beberapa hal, pertama, adanya kejenuhan dalam hidup sebagai akibat kesepian yang lahir dari modernitas. Kedua, pelarian diri dari masalah-masalah karena telah tumpulnya hati nurani dan mendangkalnya pikiran yang kritis. Ketiga, tindakan kekerasan seseorang akan lahir dari sistem yang totaliter.[6] Dalam hal ini ditegaskan bahwa kekerasan dalam pengasuhan dan pendidikan harus dihilangkan, apalagi institusi pendidikannya dikelola oleh negara dan akan mencetak aktor-aktor yang akan mengabdi dalam pelayanan publik negara. Kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor negara akan berpengaruh pada watak dan prilaku kekerasan rakyatnya, karena prilaku kekuasaan mencerminkan aksi-aksi komunikasi publik.[7]

Strelisasi pengasuhan dan pendidikan dari kekerasan dipertegas oleh Pengasuh Nawesea English Pesantren Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D, beliau mengatakan :

“Tidak pantas pengasuhan dan pendidikan saat ini dibangun dengan sistem yang penuh kekerasan.  Sistem yang seperti itu akan melahirkan sebuah siklus kekerasan yang tidak akan pernah berhenti, kecuali sistem itu diganti dan diperbaiki. Saya selalu berfikir, kalau suatu institusi pendidikan dan pengasuhan masih menerapkan kekerasan untuk menjawab tantangan di masa depan, itu bohong. Sistem seperti itu cuma akan melahirkan para pekerja bangunan, tukang sapu dan para satpam”.

“Bagaimanapun saya tidak sepakat dengan metode pendidikan yang menggunakan kekerasan, apalagi pendidikan buat aktor-aktor aparat keamanan. Mereka akan menjadi pelayanan masyarakat, mereka juga memiliki senjata. Bayangkan mereka setelah lulus jika dididik secara keras…”[8]


Pendapat serupa juga diungkap oleh Ustads Habib Sulthoni, anggota Uswah dan guru di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, beliau mengatakan :

“Pondok kami sudah menghentikan hukuman kekerasan fisik sebagai jalan keluar penyelesaian persoalan. Kita sudah menstop cara-cara itu. Hukuman kekerasan bagi santri sama halnya mendidik mereka untuk melakukan kekerasan serupa kepada santri-santri yang lain, bila dia sudah senior atau dia menjadi pengurus nanti, pasti dia akan mempraktekkan kekerasan serupa. Kalau dulu dia pernah digundul, ditampar atau dipekerjakan membersihkan comberan, pasti dia akan mempraktekkan hal serupa. Pendidikan seperti itu juga sudah tidak akan laku di masyarakat, bahkan masyarakat akan kaget dengan hukuman yang penuh kekerasan. Bukan saatnya pendidikan kekerasan dikembangkan saat ini di lembaga pendidikan”[9]

Menurut Ustads Habib Sulthoni, pilihan untuk menghentikan hukuman fisik yang penuh kekerasan tidak lepas dari peran dan pesan pengasuh untuk mengedepankan cara-cara yang baik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang hidup dalam dunia santri. Selain itu, pihak pesantren sesungguhnya telah bersepakat dengan orang tua santri untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka dengan baik. Mereka percaya bahwa pesantren akan mengantarkan mereka menjadi manusia yang baik untuk masyarakatnya kelak. Artinya bila ada pelanggaran hukum, kemudian mereka langsung dihukum fisik ataupun sampai dipulangkan tentu itu satu masalah yang tidak diinginkan bersama. Orang tua santri pasti malu dan kecewa dengan pesantren. Kita mendidik dan memperingatkan mereka tahap lebih tahap.[10]

Demikian juga pengasuhan dan pendidikan di Akademi Kepolisian (AKPOL) Semarang yang berangsur telah mengurangi kadar kekerasannya. Tuntutan masyarakat untuk memisahkan institusi Polri dan TNI, dan mengembalikan polisi untuk berwatak sipil secara tidak langsung telah mengubah juga pola pengasuhan dan pendidikan di institusi ini, hal itu dituturkan oleh Rika, Amuka dan Zaki, alumni Akademi Kepolisian Semarang Tahun 2004 s/d 2007, yaitu :

“Kami merasakan pengasuhan dan pendidikan yang kami alami sudah tidak menggunakan kekerasan lagi. Kalaupun ada seperti tamparan ketika pelanggaran keras ataupun hukuman fisik, itu kita anggap sebagai latihan fisik dan olah raga, tidak semata sebagai kekerasan. Kami menikmatinya sebagai latihan mental. Bayangkan mas.. kita ini memang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan menghadapi medan yang seringkali penuh dengan kekerasan”

“Kita tidak boleh lemah dan harus kuat secara fisik. Mental dan pikiran kami juga harus kuat. Kata senior-senior kami, pendidikan dan pengasuhan yang kami rasakan saat ini lebih enak, berbeda dengan pengasuhan dan pendidikan Akpol dulu,  waktu itu katanya sangat keras. Itu wajar, karena  Polri memang masih gabung dengan tentara. Dalam pendidikan seperti itu, mereka memang dipersiapkan menghadapi musuh dan peperangan.”[11]

Secara lambat laun, pengasuhan dan pendidikan telah berubah di Akademi Kepolisian (Akpol) di Semarang, walaupun belum sepenuhnya tapi perubahan itu perlu diapresiasi. Instrumen hukum kepolisian juga telah mengalami perubahan-perubahan, termasuk di dalamnya memuat aturan tentang hak asasi manusia dan pemolisian masyarakat. Sudah saatnya berubah tanpa menghilangkan penguatan mental, kedisiplinan dan ketegasannya. Sampai pada suatu saat, dimana para polisi akan memilih jalan penyelesaian yang rasional dan argumentatif, ketimbang penyelesaian yang memakai nalar kekerasan yang selalu berbuntut.

Mendidik Disiplin dan Ketegasan melalui Pemerkuatan Ilmu

Doktrin yang banyak kita temukan mengatakan bahwa disiplin dan ketegasan tidak akan tercapai tanpa menggunakan alat kekerasan. Doktrin ini masih berlaku dalam dunia pengasuhan dan pendidikan, untuk mendorong murid agar disiplin dan tegas maka tindakan-tindakan fisik menjadi pilihannya. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, kita juga akan banyak menemukan pikiran dan prilaku seperti ini, tidak adakah cara yang lain?, jawabannya ada yaitu dengan hukuman ilmiah.

Prof K. Yudian Wahyudi, pengasuh Nawesea English Pesantren dan Dekan Syariah UIN Sunan Kalijaga, mengatakan :

“Saya mengajarkan kepada santri tidak ada kekeraan, tapi mereka harus disiplin. Setiap ada tugas mereka harus bertanggungjawab memenuhinya. Saya tidak mau tahu bagaimana dan dimana mereka akan belajar, tapi harus memenuhi kewajibannya. Prinsipnya mereka harus belajar. Jika mereka tidak memenuhi tugas, saya akan memberikan sanksi dua kali lipat tugas kepada mereka. Jika tidak bisa sepuluh mereka saya kasih tiga puluh dan seterusnya. Sanksi seperti ini tidak ada kekerasan fisik tapi akan mengajarkan mereka untuk bertanggungjawab dan lebih disiplin mencari ilmu”

“Kita ini sudah saatnya hijrah dari tradisi yang “wayangan, instan dan ngaceng” menuju regularity dan continuity. Ini sangat penting, karena banyak mahasiswa saat ini yang ingin meraih sesuatu dengan instan, kebut satu malam dan semangat seketika, lalu mati alias ngaceng. Mental-mental kayak gini tidak benar. Kita harus mendesain pendidikan dan pengasuhan dengan kedisiplinan dan ketegasan, tapi caranya tidaklah dengan kekerasan fisik. Hukuman fisik di pesantren seperti membersihkan comberan, itu berarti mengajarkan santri untuk menjadi pembantu di masa depan”[12]

Pendapat Prof. K. Yudian Wahyudi ialah kritik tajam dari pola dan sistem penghukuman yang ada di lingkungan pesantren yang masih sangat tradisional. Pola dan sistem lama sepertinya sudah harus ditinggalkan, dan diganti dengan penghukuman yang lebih mendidik, ilmiah dan tetap memperkuat mental tanggungjawab, disiplin dan tegas. Menurut Yudian, tantangan masa depan santri sangatlah kompleks, mereka harus kuat secara ilmu dan iman. Tanpa ilmu mereka akan tersingkir dari peta sejarah, itu pasti.[13] Mengajarkan hal ini tidaklah mudah, butuh kerja keras, semangat yang tinggi, penyadaran, kedisiplinan, tanggungjawab dan ketegasan.

Demikian halnya pengasuhan di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Ustads Habib Masduki, mengatakan :[14]

“Di pesantren ini santri tidak terkekang, yang penting mereka mengaji. Kalau mereka melanggar sanksinya cukup dipanggil, dikasih surat peringatan dan yang terakhir kalau sudah sangat parah mereka bisa dikeluarkan. Hukuman kepada merekapun tidak ada hukuman fisik tapi lebih bersifat edukasi”

“Tidak adanya hukuman fisik disini memang telah menjadi komitmen dari pengasuh. Beliau tidak mau pesantren dikotori dengan praktek-praktek kekerasan. Karena itu, pengurus kemudian memperkuat pada sanksi yang sifatnya edukasi. Misalkan yang paling ampuh itu soal sanksi penilaian sekolah sampai dengan kenaikan kelas. Itu cukup membuat santri jera dan kemudian kembali disiplin untuk belajar”

Hal serupa dipertegask oleh ustads Habib Sulthoni, anggota Uswah dan guru di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, yaitu :[15]

"Kita telah  berubah, dulu pesantren terkenal dengan hukuman-hukuman seperti digundul, dipekerjakan di comberan dan ataupun ditampar, sekarang tidak lagi. Hukuman yang kita lakukan sekarang bersifat pengetahuan dan ilmu. Kalau ada santri yang melanggar, hukumannya mengaji atau menghafal qawaidul fiqhiyah”

“ Pesantren kami juga berbeda dengan Hasyim Asyari dan Pandanaran yang lebih pada pemerkuatan hafalan Al-Qur’an, kita memperkuat dalam segi metodologi penemuan hukumnya, atau dikenal dengan usul fiqh. Karena itu, kita biasa dengan tradisi kritis terhadap hadist-hadist yang cenderung diskriminatif. Kita kaji secara metodologis dengan menghadirkan para pembicara yang ahli dibidangnya. Santri sangat antusias dan tercerahkan”

Pernyataan ustads Habib Sulthoni mempertegas tradisi ilmu di Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Teks-teks agama yang bias, dianalisa dengan menggunakan metodologi penemuan hukum dan dibimbing oleh para ahli di bidangnya. Pondok pesantren akhirnya menjadi hidup dan membangkitkan semangat kemanusiaan di era destruksi globalisasi saat ini. Abd A’la mengatakan hari ini pesantren dituntut untuk menyikapi realitas kehidupan sebagai persoalan kemanusiaan. Pesantren dituntut untuk mencari akar permasalahan yang menimbulkan, langsung atau tidak, proses kehancuran umat manusia. [16] Ilmu menjadi alat yang kuat untuk menjadi pijakan tranformasi ajaran-ajaran agama (Islam) sehingga menjadi media pembebas dari belenggu  kebodohan, kemiskinan dan ataupun penindasan umat manusia kontemporer.[17]

Tradisi ilmu kita harapkan juga berkembang di Akademi Kepolisian Semarang. Tantangan kepolisian di masa depan sangatlah kompleks, kemampuan ilmu dan pengetahuan figur polisi di masa depan sangatlah dibutuhkan. Sebagaimana ungkapan Zaki salah satu alumnus Taruna tahun 2004, “Kita dididik untuk menghadapi banyak hal di masa depan, kemampuan kami harus matang, dan bisa memberikan jawaban di tengah berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat”.[18] Secara implisit ungkapan ini mengatakan bahwa polisi dimasa depan harus unggul secara pengetahuan dan bisa menjawab persoalan-persoalan yang yang selalu berkembang di masyarakat.

Pendidikan Berbasis Gender

Diskriminasi gender seringkali menjadi persoalan serius dalam ruang-ruang publik. persoalan itu, juga sering terjadi dalam pengasuhan dan pendidikan. Perempuan selalu ditempatkan di nomor dua, disubordinasi di bawah laki dan seringkali dimarginalkan dalam ruang-ruang publik. Perempuan selalu menjadi korban, dibuat tidak berdaya bahkan harus mengikuti sistem yang sebenarnya dibangun untuk kehidupan laki-laki. Dalam konteks ini, posisi dan derajat laki-laki dan perempuan akhirnya tidak setara, tidak imbang dan saling mengalahkan.[19]
Pesantren sebagai salah satu pengasuhan dan pendidikan Islam seringkali mendapatkan perhatian soal praktek kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, walaupun beberapa pesantren menolak telah melakukan praktek diskriminasi gender karena pada dasarnya tidak ada pembedaan dalam akses antara laki-laki dan perempuan di pesantren. Ustads Habib Sulthoni menuturkan :[20]

“Laki-laki dan perempuan adalah setara. Tidak ada pembedaan keduanya sebagai manusia yang bermartabat, keduanya harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai manusia yang sama. Walaupun keduanya saya akui mempunyai perbedaan secara tabi’I, perempuan sifatnya halus sedangkan kalau laki-laki lebih kasar”

“ Di pondok Wahid Hasyim tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. semuanya mempunyai hak yang sama. Dipondok kami, pancak silat, tenis dan sepakbola yang biasanya dilekatkan dengan laki-laki, perempuan juga diberi hak yang sama. Mereka boleh melakukan itu tidak ada larangan. Apa yang dilakukan laki-laki, perempuan mempunyai hak yang sama”

“Termasuk juga dalam pendidikan. Laki-laki dan perempuan digabung dalam satu ruangan. Mereka mempunyai hak yang sama untuk bertanya, untuk mendebat dan lainnya. Tidak ada diskriminasi terhadap perempuan di pondok kami. Kita semua sudah biasa mengkaji secara kritis ayat-ayat dan hadist-hadist yang mendiskriminasi perempuan”

Pernyataan Habib menegaskan bahwa pendidikan dan pengasuhan sudah seharusnya menghilangkan diskriminasi laki-laki dan perempuan. Keduanya harus ditempatkan sebagai manusia yang bermartabat dan mendapatkan porsi yang seimbang, baik materi, pemateri dan ataupun pengasuhnya. Demikian juga di Akademi Kepolisian, sebagai satu institusi publik, sudah semestinya, pengasuhan yang bersifat kewanitaan diberikan porsi yang memadai bagi para Taruni. Rika, Taruni tahun 2004-2007 mengungkapkan :

“Pola pengasuhan yang diterapkan kepada kami secara umum sama dengan pola pengasuhan para Taruna, walaupun setiap satu bulan kita pasti ada kegiatan yang khusus terkait dengan para wanita. Kita tetap diajarkan untuk tetap menjadi seorang wanita, tetap tegas walaupun tidak kemayu seperti perempuan umumnya. Kita tidak mau juga kalau harus seperti para polisi laki-laki, kita polisi perempuan. Tapi kegiatan yang bersifat kewanitaan itu berada diluar akademik..”

Penuturan Rika secara tidak langsung mengharapkan bahwa pengasuhan dan pendidikan di Akademi Kepolisian menambahkan kegiatan-kegiatan yang khusus bagi para Taruni, demikian juga terkait dengan pola pengasuhan dan pendidikan di bangku akademik, semestinya juga mengakomodasi karakter pembelajaran yang cocok bagi kaum perempuan. [21] Perbaikan kondisi dan situasi di atas sangat penting untuk menghindari apa yang Satjipto Rahardjo ungkapkan bahwa sejarah kepolisian ialah sejarah dunia laki-laki, terutama kaitannya pada sifat kekerasan yang melekat pada pekerjaan pemolisian.[22]

Bermitra Dengan Masyarakat

Kemitraan polisi dengan masyarakat menjadi program pilihan kepolisian nasional pasca reformasi. Program ini dikenal dengan Pemolisian Masyarakat (Polmas) yang instrumen hukumnya meliputi SKEP 737/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Polmas serta PERKAP No. 7/2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Polmas. Setidaknya, upaya ini merupakan strategi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang selama ini selalu mempersamakan antara polisi dan militer. Padahal keduanya secara fungsional berbeda sama sekali.[23]

Situasi di atas meniscayakan terhadap lembaga pengasuhan dan pendidikan Akademi Kepolisian (Akpol), untuk membangun sistem sehingga para Taruna dan Taruni akan mempunyai kemampuan bermitra dengan masyarakat. Tidak cukup dengan sekedar mengajarkan konsepsi Pemolisian Masyarakat (Polmas) di ruang kuliah, tetapi selalu mengupayakan program-program yang akan mendekatkan hati dan pikiran para Taruna dan Taruni kepada masyarakat. Sebab, tugas utama polisi sebagai pengayom, pelindung dan pelayanan masyarakat, tidak bisa hanya diajarkan di ruang-ruang kelas, tapi harus diajarkan secara simpatik dan terlibat dalam masyarakat.

Secara umum, Akademi Kepolisian telah melangsungkan program-program yang berkaitan dengan pemerkuatan kemitraan dengan masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Zaki, Rika dan Amuka, yaitu :

“ Sewaktu kami menimba ilmu di Akademi Kepolisian kami telah menerima pembelajaran soal konsep-konsep Polmas di bangku akademik. Kami juga diajarkan dilapangan terkait keberadaan FKPM-FKPM dan bagaimana tugas dan fungsi mereka. Selama pengasuhan di Semarang, diantara kita juga biasa diminta untuk menjadi khatib Jum’at, demikian juga pada saat Romadhan”

“Kita juga ada program pesiar, dimana setiap hari Sabtu dan Minggu kami pulang kampung. Program ini juga ada kaitannya dengan penerapan Polmas, kita bertemu dengan orang tua, masyarakat sekitar bahkan dengan pacar. Polmas itu luas sekali kita dapat praktekkan”

Program Taruna-Taruni yang telah dilangsungkan selama dalam pengasuhan Akpol di atas sudah cukup bagus dalam memberikan perspektif tentang Polmas dan kemasyarakatan. Program-program itu perlu diperkuat dan selalu ditingkatkan kedepannya, termasuk salah satunya memperkuat keterlibatan Taruna-Taruni dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pengajian, sholat lima waktu di masjid masyarakat dan memperbanyak kerja bakti bersama masyarakat sekitar.

Sebagai perbandingan ialah kemitraan sosial yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Santri-santri di Pondok ini dikirim untuk mengajar TK-TK di daerah-daerah binaan, mengajar ngaji, menjadi khatib jum’at, mengisi ceramah mingguan di masyarakat dan selalu melibatkan masyarakat dalam beberapa program pesantren. Hal ini sesuai dengan ungkapan ustads Habib, yaitu : [24]

“Kami mempunyai desa binaan sekitar 26 daerah. Kami dalam satu minggu mengirimkan santri-santri kami sekitar tiga kali untuk mengajar anak-anak di TK di daerah-daerah itu. Kami mengajari mereka iqra’ dan ilmu-ilmu agama lainnya. Kami juga menjadwal para santri senir untuk memberikan pengajian kepada masyarakat di daerah itu, termasuk mengisi khutbah pada Jum’at dan beberapa program lainnya”

“Jadi kegiatan kami selalu ada di masyarakat dan kami tidak mengisolasi diri hidup dengan mereka. Kami telah dididik untuk terbiasa hidup bermitra dan mengabdi kepada masyarakat secara ikhlas. Bahkan, kami selalu melibatkan masyarakat kalau ada kegiatan-kegiatan apapun di Pondok Pesantren, termasuk ketika ada lomba-lomba, anak-anak yang ada di masyarakat itu, kebanyakan ikut berpartisipasi dan memeriahkan acara yang ada di Pondok Pesantren”

Mendengar ungkapan ustads Habib menegaskan bahwa sudah tidak ada sekat apapun antara Pondok Pesantren dengan masyarakat. Keduanya saling terikat dan berintegrasi, persis seperti pernyataan Abd A’la yang mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat di Indonesia sama sekali tidak dilepaskan dari peran-peran pesantren. Sebab sejak kemunculannya, memang tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat.[25]  Kehadiran pesantren dengan pengabdiannya yang begitu fenomenal ini penting untuk dikontekstualisasi dengan eksistensi Polisi sebagai aktor-aktor abdi negara yang  secara konstitusional antara tugasnya telah ditegaskan yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Saran Untuk Perduptar

Peraturan Kehidupan Taruna-Taruni atau disingkat dengan “Perduptar” sangatlah penting untuk dikaji. Tidak semata karena melihatnya sebagai aturan yang berisi seruan dan larangan, tetapi yang lebih penting dari itu ialah apakah aturan-aturan “Perduptar” itu dapat memberikan perspektif yang bisa menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi para Taruna dan Taruni di masa depan. Bukankah peraturan tidak semata aturan, tetapi sebenarnya ia adalah alat dari rekayasa-rekayasa sosial untuk menjawab problem-problem yang hidup di masyarakat.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial mendatangkan tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi oleh polisi. Apabila kita berdiri di penghujung abad 20 menjelang abad 21 ini, kita akan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah terbukti memainkan peranan yang menentukan dalam merombak wajah serta kehidupan dunia masa sebelumnya. Keduanya tidak hanya menghasilkan barang-barang yang merombak kualitas kehidupan manusia, melainkan juga menata kehidupan sosial, politik serta ekonomi umat manusia.[26]

Lalu bagaimanakah dengan muatan “Perduptar” saat ini?,[27] bisakah aturan itu menjawab tantangan yang begitu kompleks itu? .. penuturan beberapa responden menjelaskan bahwa sistem, pola, manajemen dan pengaturan terkait pengasuhan dan pendidikan di Akademi Kepolisian semestinya sedikit banyak harus dirombak, dan diubah untuk disesuaikan dengan paradigma dan aturan hukum kepolisian pasca reformasi dan berbagai tantangan zaman yang tidak lagi tradisional. Berikut ialah beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan bagi perbaikan Perduptar kedepan, yaitu :

1.     Perlu diubah paradigma hukuman yang selalu berbentuk fisik menjadi hukuman yang sifatnya ilmiah, seperti menghafal, menulis dan hukuman membaca buku. Hukuman ilmiah penting untuk memperkuat Taruna-Taruni dalam hal pengetahuan dan bisa mengubah paradigma polisi militer menjadi paradigma polisi Sipil.
2.     Pengasuhan perlu diperkuat perspektif gendernya, seperti, pengasuh yang tidak didominasi laki-laki dan kegiatan pengasuhan yang seimbang antara sifatnya yang laki-laki dan sifatnya yang perempuan. Keseimbangan pengasuhan penting sehingga antara laki-laki dan perempuan sederajat dalam fitrahnya.
3.      Perduptar perlu disederhanakan sehingga menjadi aturan yang aplikatif, simple dan bisa hidup dalam pikiran para Taruna-Taruni. Aturan yang terlampau banyak akan berpengaruh pada pikiran dan tindakan para anak asuh.



[1] Alvin Toffler, Gelombang Ketiga, PT. Pantja Simpati, Jakarta, 1990, hlm 23-25
[2] Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan : Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, LKiS, Yogyakarta, 2000, hlm xiii-xiv
[3] Mansur Fakih, Pesantren Mau Kemana? “Makalah pada acara Semiloka Pengembangan Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Pesantren (Ponpes An-Nuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, 3-4 Maret 2003), hlm 3
[4] Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2006,  hlm 7-8
[5] Ahmad Syafiie Maarif,  Rekonsiliasi Epistimologi Dalam Pendidikan Islam : Sebuah Keniscayaan, dalam Moh. Shofan, Pendidikan Berpradigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, IRCiSoD, Yogyakarta, 2004, hlm 5
[6] Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat, Galang Press, Yogyakarta, 2004, hlm 112
[7] Ibid, hlm 62
[8] Wawancara Prof. K. Yudian Wahudi, Ph.D, Sabtu, 11 Desember 2010, pada  jam 07.00-09.00 WIB
[9] Wawancara Ustad Habib Sulthoni, Kamis, 16 Desember 2010, jam 15. 00 – 16. 00 WIB
[10] Ibid
[11] Wawancara Rika, Amuka dan Rizki di Polres Sleman pada Rabu, 15 Desember 2010, pada jam 09. 00 – 11. 00 WIB
[12] Wawancara Prof. K. Yudian Wahudi, Ph.D, pada Sabtu, 11 Desember 2010, pada jam 07. 00 – 09. 00 WIB
[13] Ibid
[14] Wawancara ustads Habib Masduki, pada Jumat, 10 Desember 2010, pada  jam 09. 00 – 10. 00 WIB
[15]  Wawancara Ustad Habib Sulthoni, pada Kamis, 16 Desember 2010, pada jam 15. 00 – 16. 00 WIB
[16] Abd A’la, Pembaharuan … op. cit, hlm 31
[17] Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991, , hlm 229
[18] Wawancara Rika, Amuka dan Rizki di Polres Sleman pada Rabu, 15 Desember 2010, pada jam 09. 00 – 11. 00 WIB
[19] Siti Ruhaini Dzuhayatin dan Tim Pusham UII, Perempuan dan Isu Keamanan, Pusham UII, The Asia Foundation dan Danida, Yogyakarta, 2008, hlm 10
[20] Wawancara Ustad Habib Sulthoni, pada Kamis, 16 Desember 2010, pada jam 15. 00 – 16. 00 WIB
[21] Dalam kesempatan wawancara dengan Rika, periset ditunjukkan foto seorang Taruni yang baru lulus oleh Amuka, sambil mengatakan “seperti inilah foto Taruni yang baru lulus, rambut pendek, formal, tegak lurus dan serius banget.Tapi lambat laun, sikap yang ada dalam foto itu pasti akan berubah, karena sifat kewanitaan bagaimanapun telah melekat pada seorang perempuan”
[22] Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil : Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm 108
[23] Ibid, hlm 56-57
[24] Wawancara ustads Habib Masduki, pada Jumat, 10 Desember 2010, pada jam 09. 00 – 10. 00 WIB
[25] Abd A’la, Pembaharuan … op. cit, hlm 47
[26] Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil …. op.  cit, hlm 7-8
[27] Zaki, Amuka dan Rika, mantan Taruna-Taruni 2004-2007 mempunyai pandangan yang relatif sama tentang “Perduptar”.  Amuka mengatakan “muatannya sudah bagus, tinggal dilaksanakan secara konsekwen, karena saya rasakan aturan-aturan itu seringkali menjadi aturan yang mati”. Rika juga menambahkan “..yang perlu diperbaiki kedepan ialah pola dan manajemen penyadaran terhadap para Taruna-Taruni, sebab para Taruna-Taruni masih belum memahaminya secara utuh”. Zaki  lebih elaboratif  mengatakan  “Saya mendukung perubahan-perubahan Perduptar biar lebih manusiawi, sekarang apa sih yang tidak berubah, Undang-Undang saja berubah karena zamannya memang sudah kompleks dan laju globalisasi kencang. Perduptar memang perlu diperbaiki, disesuaikan dengan fungsi dan tugas-tugas polisi yang pasca reformasi telah mengalami banyak perubahan. Saya usul kalau ada perubahan di Perduptar, mungkin muatan dan nilai-nilai Pancasila lebih detail diturunkan serius dan tegas, sehingga karakter kebangsaan kita tidak akan luntur”.

0 comments:

Post a Comment