~~~M. Syafi'ie
“Manusia
hanya hidup dengan sekadar sepotong roti.
Manusia telah
memotong fitrah dan sejarahnya sebagai makhluk spritual dan bermoral. Manusia
hanya mengejar kehidupan yang bersifat lahiriyah,
permukaan dan mementingkan formalitas tanpa
substansi”
(Hossein
Nasr)
Pengantar
Pengasuhan
merupakan salah satu media tranformasi pendidikan, bahkan
pengasuhan berintegrasi dengan proses pendidikan itu sendiri, yang
saling terikat dan mempengaruhi antar satu dengan lainnya. Pengasuhan yang
tidak di bangun dengan sistem, manajemen dan tata kelola yang baik dan
futuristik akan berdampak pada kebingungan dan gagalnya anak didik untuk membangun
kehidupannya yang sedemikian kompleks dan tak berbentuk.
Alvin
Toffler memperkirakan bahwa kedepan umat manusia akan menghadapi gelombang
perubahan ketiga, yaitu transformasi dari gelombang kedua yang dicetuskan dari
revolusi industri menuju perubahan masyarakat yang super industrial. Umat
manusia akan menghadapi sejumlah lompatan yang terus menerus, akan menghadapi
pergolakan, perombakan dan restrukturisasi yang paling mendasar. Menurut Alvin,
dampak dari gelombang ketiga dipastikan akan menyentuh setiap orang, merusak
dan merobek-robek kehidupan berkeluarga, mengguncang ekonomi, melumpuhkan
sistem politik dan menghancurkan nilai-nilai yang berkembang lama.
Salah
satu persoalan itu ialah globalisasi,
yaitu satu sistem yang seringkali menawarkan mimpi-mimpi indah di masa depan,
walaupun globalisasi sesungguhnya ialah kolonialisasi yang berwajah baru.
Secara ekonomi, globalisasi merujuk pada reorganisasi sarana-sarana produksi,
penetrasi industri lintas negara, perluasan pasar uang, penjajahan barang
konsumsi dari dunia pertama ke dunia ketiga dan penggusuran penduduk lintas
negara. Sedangkan secara ideologi, globalisasi berarti liberalisasi perdagangan
dan investasi, deregulasi, privatisasi.
Globalisasi
tidak lain ialah ideologi neoliberalisme, dimana pemerintah harus membebaskan
campur tangannya terhadap perusahaan swasta, apapun akibat sosialnya, dalam
bentuk pemberian ruang bebas dan keterbukaan terhadap perdagangan internasional
dan investasi seperti AFTA maupun dalam bentuk kawasan pertumbuhan yang bebas
dari dari birokrasi negara. Pada
akhirnya globalisasi akan memperlihatkan satu arena pertarungan antara yang
kuat, setengah kuat, dan lemah, serta yang paling lemah, dan negara akan
kehilangan tanggungjawabnya karena dominasi negara akan beralih pada dominasi
perusahaan transnasional.
Situasi
dan kondisi di atas menjadi tantangan sangat serius bagi para pemangku
pengasuhan dan pendidikan. Sistem pengasuhan dan pendidikan saat ini tidak bisa
lagi dijalankan dengan pola dan manajemen yang klasikal, tetapi harus
direkonstruksi untuk menjawab tantangan-tantangan yang sedemikian kompleks. Lebih
dari itu, pengasuhan dan pendidikan harapannya tidak hanya sekedar proses
penanaman moral untuk membentengi dari ekses-ekses negatif globalisasi, tetapi
harus menjadi basis pembebasan (liberating
of basic) dari situasi pemiskinan, pembodohan, dan keterbelakangan sosial
dan ekonomi.
Tantangan
kompleks gelombang ketiga dan globalisasi di atas juga perlu disikapi oleh para
pemangku kebijakan di Akademi Kepolisian (AKPOL) Semarang. Sebagai satu
institusi pengasuhan dan pendidikan negara yang mempersiapkan aktor-aktor
pemimpin keamanan dan ketertiban di masa depan, sistem pengasuhan dan
pengaturannya harus diperbaiki untuk menjawab berbagai tantangan yang begitu
kompleks. Kekuatan negara tidak boleh dikalahkan oleh kekuatan swasta,
aktor-aktor negara harus lebih kuat, lebih berpengatahuan, lebih bermasyarakat
dan bertanggungjawab, tanpa kekuasaan dan kekuatan itu, negara betul-betul akan
dihisap dan tidak akan berdaya ketika berhadapan dengan korporasi yang
menggurita.
Kekerasan Akan Memperkuat Kolonialisme Neoliberal
Pengasuhan
dan pendidikan yang masih memakai paradigma kekerasan sebagai jalan keluar
untuk menjawab berbagai tantangan masa depan tidaklah benar. Paradigma yang memakai kekerasan tidak lain merupakan
proses penghilangan kesadaran kritis seseorang dari sekedar kepentingan sesaat
dan sekaligus membenamkan nilai-nilai moral yang semestinya selalu dihidupkan
dalam proses pendidikan dan pengasuhan. Paradigma seperti itu juga sama halnya melestarikan
karakter kekerasan yang diciptakan oleh sistem neoliberalisme.
Pengasuhan
yang masih memakai paradigma kekerasan merupakan proses penciptaan terhadap apa
yang disebut Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan, yang dilatar belakangi
beberapa hal, pertama, adanya
kejenuhan dalam hidup sebagai akibat kesepian yang lahir dari modernitas. Kedua, pelarian diri dari masalah-masalah
karena telah tumpulnya hati nurani dan mendangkalnya pikiran yang kritis. Ketiga, tindakan kekerasan seseorang
akan lahir dari sistem yang totaliter. Dalam
hal ini ditegaskan bahwa kekerasan dalam pengasuhan dan pendidikan harus dihilangkan,
apalagi institusi pendidikannya dikelola oleh negara dan akan mencetak
aktor-aktor yang akan mengabdi dalam pelayanan publik negara. Kekerasan yang
dilakukan oleh aktor-aktor negara akan berpengaruh pada watak dan prilaku
kekerasan rakyatnya, karena prilaku kekuasaan mencerminkan aksi-aksi komunikasi
publik.
Strelisasi
pengasuhan dan pendidikan dari kekerasan dipertegas oleh Pengasuh Nawesea
English Pesantren Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D, beliau mengatakan :
“Tidak pantas
pengasuhan dan pendidikan saat ini dibangun dengan sistem yang penuh kekerasan.
Sistem yang seperti itu akan melahirkan
sebuah siklus kekerasan yang tidak akan pernah berhenti, kecuali sistem itu
diganti dan diperbaiki. Saya selalu berfikir, kalau suatu institusi pendidikan
dan pengasuhan masih menerapkan kekerasan untuk menjawab tantangan di masa
depan, itu bohong. Sistem seperti itu cuma akan melahirkan para pekerja
bangunan, tukang sapu dan para satpam”.
“Bagaimanapun
saya tidak sepakat dengan metode pendidikan yang menggunakan kekerasan, apalagi
pendidikan buat aktor-aktor aparat keamanan. Mereka akan menjadi pelayanan masyarakat,
mereka juga memiliki senjata. Bayangkan mereka setelah lulus jika dididik
secara keras…”
Pendapat
serupa juga diungkap oleh Ustads Habib Sulthoni, anggota Uswah dan guru di
Pondok Pesantren Wahid Hasyim, beliau mengatakan :
“Pondok kami
sudah menghentikan hukuman kekerasan fisik sebagai jalan keluar penyelesaian
persoalan. Kita sudah menstop cara-cara itu. Hukuman kekerasan bagi santri sama
halnya mendidik mereka untuk melakukan kekerasan serupa kepada santri-santri
yang lain, bila dia sudah senior atau dia menjadi pengurus nanti, pasti dia
akan mempraktekkan kekerasan serupa. Kalau dulu dia pernah digundul, ditampar
atau dipekerjakan membersihkan comberan, pasti dia akan mempraktekkan hal
serupa. Pendidikan seperti itu juga sudah tidak akan laku di masyarakat, bahkan
masyarakat akan kaget dengan hukuman yang penuh kekerasan. Bukan saatnya
pendidikan kekerasan dikembangkan saat ini di lembaga pendidikan”
Menurut
Ustads Habib Sulthoni, pilihan untuk menghentikan hukuman fisik yang penuh
kekerasan tidak lepas dari peran dan pesan pengasuh untuk mengedepankan
cara-cara yang baik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang hidup dalam
dunia santri. Selain itu, pihak pesantren sesungguhnya telah bersepakat dengan
orang tua santri untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka dengan baik.
Mereka percaya bahwa pesantren akan mengantarkan mereka menjadi manusia yang
baik untuk masyarakatnya kelak. Artinya bila ada pelanggaran hukum, kemudian
mereka langsung dihukum fisik ataupun sampai dipulangkan tentu itu satu masalah
yang tidak diinginkan bersama. Orang tua santri pasti malu dan kecewa dengan
pesantren. Kita mendidik dan memperingatkan mereka tahap lebih tahap.
Demikian
juga pengasuhan dan pendidikan di Akademi Kepolisian (AKPOL) Semarang yang
berangsur telah mengurangi kadar kekerasannya. Tuntutan masyarakat untuk
memisahkan institusi Polri dan TNI, dan mengembalikan polisi untuk berwatak
sipil secara tidak langsung telah mengubah juga pola pengasuhan dan pendidikan
di institusi ini, hal itu dituturkan oleh Rika, Amuka dan Zaki, alumni Akademi
Kepolisian Semarang Tahun 2004 s/d 2007, yaitu :
“Kami
merasakan pengasuhan dan pendidikan yang kami alami sudah tidak menggunakan
kekerasan lagi. Kalaupun ada seperti tamparan ketika pelanggaran keras ataupun
hukuman fisik, itu kita anggap sebagai latihan fisik dan olah raga, tidak
semata sebagai kekerasan. Kami menikmatinya sebagai latihan mental. Bayangkan
mas.. kita ini memang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan menghadapi medan
yang seringkali penuh dengan kekerasan”
“Kita tidak
boleh lemah dan harus kuat secara fisik. Mental dan pikiran kami juga harus
kuat. Kata senior-senior kami, pendidikan dan pengasuhan yang kami rasakan saat
ini lebih enak, berbeda dengan pengasuhan dan pendidikan Akpol dulu, waktu itu katanya sangat keras. Itu wajar,
karena Polri memang masih gabung dengan tentara.
Dalam pendidikan seperti itu, mereka memang dipersiapkan menghadapi musuh dan
peperangan.”
Secara
lambat laun, pengasuhan dan pendidikan telah berubah di Akademi Kepolisian
(Akpol) di Semarang, walaupun belum sepenuhnya tapi perubahan itu perlu
diapresiasi. Instrumen hukum kepolisian juga telah mengalami
perubahan-perubahan, termasuk di dalamnya memuat aturan tentang hak asasi
manusia dan pemolisian masyarakat. Sudah saatnya berubah tanpa menghilangkan
penguatan mental, kedisiplinan dan ketegasannya. Sampai pada suatu saat, dimana
para polisi akan memilih jalan penyelesaian yang rasional dan argumentatif,
ketimbang penyelesaian yang memakai nalar kekerasan yang selalu berbuntut.
Mendidik Disiplin dan Ketegasan melalui
Pemerkuatan Ilmu
Doktrin
yang banyak kita temukan mengatakan bahwa disiplin dan ketegasan tidak akan
tercapai tanpa menggunakan alat kekerasan. Doktrin ini masih berlaku dalam dunia
pengasuhan dan pendidikan, untuk mendorong murid agar disiplin dan tegas maka
tindakan-tindakan fisik menjadi pilihannya. Dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat, kita juga akan banyak menemukan pikiran dan prilaku seperti ini,
tidak adakah cara yang lain?, jawabannya ada yaitu dengan hukuman ilmiah.
Prof
K. Yudian Wahyudi, pengasuh Nawesea English Pesantren dan Dekan Syariah UIN
Sunan Kalijaga, mengatakan :
“Saya
mengajarkan kepada santri tidak ada kekeraan, tapi mereka harus disiplin.
Setiap ada tugas mereka harus bertanggungjawab memenuhinya. Saya tidak mau tahu
bagaimana dan dimana mereka akan belajar, tapi harus memenuhi kewajibannya.
Prinsipnya mereka harus belajar. Jika mereka tidak memenuhi tugas, saya akan
memberikan sanksi dua kali lipat tugas kepada mereka. Jika tidak bisa sepuluh
mereka saya kasih tiga puluh dan seterusnya. Sanksi seperti ini tidak ada
kekerasan fisik tapi akan mengajarkan mereka untuk bertanggungjawab dan lebih
disiplin mencari ilmu”
“Kita ini
sudah saatnya hijrah dari tradisi yang “wayangan, instan dan ngaceng” menuju
regularity dan continuity. Ini sangat penting, karena banyak mahasiswa saat ini
yang ingin meraih sesuatu dengan instan, kebut satu malam dan semangat
seketika, lalu mati alias ngaceng. Mental-mental kayak gini tidak benar. Kita harus
mendesain pendidikan dan pengasuhan dengan kedisiplinan dan ketegasan, tapi
caranya tidaklah dengan kekerasan fisik. Hukuman fisik di pesantren seperti
membersihkan comberan, itu berarti mengajarkan santri untuk menjadi pembantu di
masa depan”
Pendapat
Prof. K. Yudian Wahyudi ialah kritik tajam dari pola dan sistem penghukuman
yang ada di lingkungan pesantren yang masih sangat tradisional. Pola dan sistem
lama sepertinya sudah harus ditinggalkan, dan diganti dengan penghukuman yang
lebih mendidik, ilmiah dan tetap memperkuat mental tanggungjawab, disiplin dan
tegas. Menurut Yudian, tantangan masa depan santri sangatlah kompleks, mereka
harus kuat secara ilmu dan iman. Tanpa ilmu mereka akan tersingkir dari peta
sejarah, itu pasti.
Mengajarkan hal ini tidaklah mudah, butuh kerja keras, semangat yang tinggi,
penyadaran, kedisiplinan, tanggungjawab dan ketegasan.
Demikian
halnya pengasuhan di Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Ustads Habib Masduki,
mengatakan :
“Di pesantren
ini santri tidak terkekang, yang penting mereka mengaji. Kalau mereka melanggar
sanksinya cukup dipanggil, dikasih surat peringatan dan yang terakhir kalau
sudah sangat parah mereka bisa dikeluarkan. Hukuman kepada merekapun tidak ada
hukuman fisik tapi lebih bersifat edukasi”
“Tidak adanya
hukuman fisik disini memang telah menjadi komitmen dari pengasuh. Beliau tidak
mau pesantren dikotori dengan praktek-praktek kekerasan. Karena itu, pengurus
kemudian memperkuat pada sanksi yang sifatnya edukasi. Misalkan yang paling
ampuh itu soal sanksi penilaian sekolah sampai dengan kenaikan kelas. Itu cukup
membuat santri jera dan kemudian kembali disiplin untuk belajar”
Hal
serupa dipertegask oleh ustads Habib Sulthoni, anggota Uswah dan guru di Pondok
Pesantren Wahid Hasyim, yaitu :
"Kita telah berubah, dulu pesantren terkenal dengan
hukuman-hukuman seperti digundul, dipekerjakan di comberan dan ataupun
ditampar, sekarang tidak lagi. Hukuman yang kita lakukan sekarang bersifat
pengetahuan dan ilmu. Kalau ada santri yang melanggar, hukumannya mengaji atau
menghafal qawaidul fiqhiyah”
“ Pesantren
kami juga berbeda dengan Hasyim Asyari dan Pandanaran yang lebih pada
pemerkuatan hafalan Al-Qur’an, kita memperkuat dalam segi metodologi penemuan
hukumnya, atau dikenal dengan usul fiqh. Karena itu, kita biasa dengan tradisi kritis
terhadap hadist-hadist yang cenderung diskriminatif. Kita kaji secara
metodologis dengan menghadirkan para pembicara yang ahli dibidangnya. Santri
sangat antusias dan tercerahkan”
Pernyataan
ustads Habib Sulthoni mempertegas tradisi ilmu di Pondok Pesantren Wahid
Hasyim. Teks-teks agama yang bias, dianalisa dengan menggunakan metodologi
penemuan hukum dan dibimbing oleh para ahli di bidangnya. Pondok pesantren
akhirnya menjadi hidup dan membangkitkan semangat kemanusiaan di era destruksi
globalisasi saat ini. Abd A’la mengatakan hari ini pesantren dituntut untuk
menyikapi realitas kehidupan sebagai persoalan kemanusiaan. Pesantren dituntut
untuk mencari akar permasalahan yang menimbulkan, langsung atau tidak, proses
kehancuran umat manusia. Ilmu
menjadi alat yang kuat untuk menjadi pijakan tranformasi ajaran-ajaran agama
(Islam) sehingga menjadi media pembebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan ataupun penindasan umat
manusia kontemporer.
Tradisi
ilmu kita harapkan juga berkembang di Akademi Kepolisian Semarang. Tantangan
kepolisian di masa depan sangatlah kompleks, kemampuan ilmu dan pengetahuan
figur polisi di masa depan sangatlah dibutuhkan. Sebagaimana ungkapan Zaki
salah satu alumnus Taruna tahun 2004, “Kita
dididik untuk menghadapi banyak hal di masa depan, kemampuan kami harus matang,
dan bisa memberikan jawaban di tengah berbagai kesulitan yang dihadapi
masyarakat”.
Secara implisit ungkapan ini mengatakan bahwa polisi dimasa depan harus unggul
secara pengetahuan dan bisa menjawab persoalan-persoalan yang yang selalu
berkembang di masyarakat.
Pendidikan Berbasis Gender
Diskriminasi
gender seringkali menjadi persoalan serius dalam ruang-ruang publik. persoalan
itu, juga sering terjadi dalam pengasuhan dan pendidikan. Perempuan selalu
ditempatkan di nomor dua, disubordinasi di bawah laki dan seringkali
dimarginalkan dalam ruang-ruang publik. Perempuan selalu menjadi korban, dibuat
tidak berdaya bahkan harus mengikuti sistem yang sebenarnya dibangun untuk kehidupan
laki-laki. Dalam konteks ini, posisi dan derajat laki-laki dan perempuan
akhirnya tidak setara, tidak imbang dan saling mengalahkan.
Pesantren
sebagai salah satu pengasuhan dan pendidikan Islam seringkali mendapatkan
perhatian soal praktek kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan,
walaupun beberapa pesantren menolak telah melakukan praktek diskriminasi gender
karena pada dasarnya tidak ada pembedaan dalam akses antara laki-laki dan
perempuan di pesantren. Ustads Habib Sulthoni menuturkan :
“Laki-laki
dan perempuan adalah setara. Tidak ada pembedaan keduanya sebagai manusia yang
bermartabat, keduanya harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai manusia yang
sama. Walaupun keduanya saya akui mempunyai perbedaan secara tabi’I, perempuan
sifatnya halus sedangkan kalau laki-laki lebih kasar”
“ Di pondok
Wahid Hasyim tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. semuanya mempunyai hak
yang sama. Dipondok kami, pancak silat, tenis dan sepakbola yang biasanya
dilekatkan dengan laki-laki, perempuan juga diberi hak yang sama. Mereka boleh
melakukan itu tidak ada larangan. Apa yang dilakukan laki-laki, perempuan
mempunyai hak yang sama”
“Termasuk
juga dalam pendidikan. Laki-laki dan perempuan digabung dalam satu ruangan.
Mereka mempunyai hak yang sama untuk bertanya, untuk mendebat dan lainnya.
Tidak ada diskriminasi terhadap perempuan di pondok kami. Kita semua sudah
biasa mengkaji secara kritis ayat-ayat dan hadist-hadist yang mendiskriminasi
perempuan”
Pernyataan
Habib menegaskan bahwa pendidikan dan pengasuhan sudah seharusnya menghilangkan
diskriminasi laki-laki dan perempuan. Keduanya harus ditempatkan sebagai
manusia yang bermartabat dan mendapatkan porsi yang seimbang, baik materi,
pemateri dan ataupun pengasuhnya. Demikian juga di Akademi Kepolisian, sebagai
satu institusi publik, sudah semestinya, pengasuhan yang bersifat kewanitaan
diberikan porsi yang memadai bagi para Taruni. Rika, Taruni tahun 2004-2007
mengungkapkan :
“Pola
pengasuhan yang diterapkan kepada kami secara umum sama dengan pola pengasuhan
para Taruna, walaupun setiap satu bulan kita pasti ada kegiatan yang khusus
terkait dengan para wanita. Kita tetap diajarkan untuk tetap menjadi seorang
wanita, tetap tegas walaupun tidak kemayu seperti perempuan umumnya. Kita tidak
mau juga kalau harus seperti para polisi laki-laki, kita polisi perempuan. Tapi
kegiatan yang bersifat kewanitaan itu berada diluar akademik..”
Penuturan
Rika secara tidak langsung mengharapkan bahwa pengasuhan dan pendidikan di
Akademi Kepolisian menambahkan kegiatan-kegiatan yang khusus bagi para Taruni,
demikian juga terkait dengan pola pengasuhan dan pendidikan di bangku akademik,
semestinya juga mengakomodasi karakter pembelajaran yang cocok bagi kaum
perempuan.
Perbaikan kondisi dan situasi di atas sangat penting untuk menghindari apa yang
Satjipto Rahardjo ungkapkan bahwa sejarah kepolisian ialah sejarah dunia
laki-laki, terutama kaitannya pada sifat kekerasan yang melekat pada pekerjaan
pemolisian.
Bermitra Dengan Masyarakat
Kemitraan
polisi dengan masyarakat menjadi program pilihan kepolisian nasional pasca
reformasi. Program ini dikenal dengan Pemolisian Masyarakat (Polmas) yang
instrumen hukumnya meliputi SKEP 737/2005 tentang Kebijakan dan Strategi
Penerapan Model Polmas serta PERKAP No. 7/2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi
dan Implementasi Polmas. Setidaknya, upaya ini merupakan strategi untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat yang selama ini selalu mempersamakan
antara polisi dan militer. Padahal keduanya secara fungsional berbeda sama
sekali.
Situasi
di atas meniscayakan terhadap lembaga pengasuhan dan pendidikan Akademi
Kepolisian (Akpol), untuk membangun sistem sehingga para Taruna dan Taruni akan
mempunyai kemampuan bermitra dengan masyarakat. Tidak cukup dengan sekedar
mengajarkan konsepsi Pemolisian Masyarakat (Polmas) di ruang kuliah, tetapi
selalu mengupayakan program-program yang akan mendekatkan hati dan pikiran para
Taruna dan Taruni kepada masyarakat. Sebab, tugas utama polisi sebagai
pengayom, pelindung dan pelayanan masyarakat, tidak bisa hanya diajarkan di
ruang-ruang kelas, tapi harus diajarkan secara simpatik dan terlibat dalam
masyarakat.
Secara
umum, Akademi Kepolisian telah melangsungkan program-program yang berkaitan
dengan pemerkuatan kemitraan dengan masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh
Zaki, Rika dan Amuka, yaitu :
“ Sewaktu
kami menimba ilmu di Akademi Kepolisian kami telah menerima pembelajaran soal
konsep-konsep Polmas di bangku akademik. Kami juga diajarkan dilapangan terkait
keberadaan FKPM-FKPM dan bagaimana tugas dan fungsi mereka. Selama pengasuhan
di Semarang, diantara kita juga biasa diminta untuk menjadi khatib Jum’at,
demikian juga pada saat Romadhan”
“Kita juga
ada program pesiar, dimana setiap hari Sabtu dan Minggu kami pulang kampung.
Program ini juga ada kaitannya dengan penerapan Polmas, kita bertemu dengan
orang tua, masyarakat sekitar bahkan dengan pacar. Polmas itu luas sekali kita
dapat praktekkan”
Program
Taruna-Taruni yang telah dilangsungkan selama dalam pengasuhan Akpol di atas
sudah cukup bagus dalam memberikan perspektif tentang Polmas dan
kemasyarakatan. Program-program itu perlu diperkuat dan selalu ditingkatkan
kedepannya, termasuk salah satunya memperkuat keterlibatan Taruna-Taruni dalam
kegiatan-kegiatan sosial seperti pengajian, sholat lima waktu di masjid
masyarakat dan memperbanyak kerja bakti bersama masyarakat sekitar.
Sebagai
perbandingan ialah kemitraan sosial yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Wahid
Hasyim. Santri-santri di Pondok ini dikirim untuk mengajar TK-TK di daerah-daerah
binaan, mengajar ngaji, menjadi khatib jum’at, mengisi ceramah mingguan di
masyarakat dan selalu melibatkan masyarakat dalam beberapa program pesantren.
Hal ini sesuai dengan ungkapan ustads Habib, yaitu :
“Kami
mempunyai desa binaan sekitar 26 daerah. Kami dalam satu minggu mengirimkan
santri-santri kami sekitar tiga kali untuk mengajar anak-anak di TK di
daerah-daerah itu. Kami mengajari mereka iqra’ dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Kami juga menjadwal para santri senir untuk memberikan pengajian kepada
masyarakat di daerah itu, termasuk mengisi khutbah pada Jum’at dan beberapa
program lainnya”
“Jadi
kegiatan kami selalu ada di masyarakat dan kami tidak mengisolasi diri hidup
dengan mereka. Kami telah dididik untuk terbiasa hidup bermitra dan mengabdi kepada
masyarakat secara ikhlas. Bahkan, kami selalu melibatkan masyarakat kalau ada
kegiatan-kegiatan apapun di Pondok Pesantren, termasuk ketika ada lomba-lomba,
anak-anak yang ada di masyarakat itu, kebanyakan ikut berpartisipasi dan
memeriahkan acara yang ada di Pondok Pesantren”
Mendengar
ungkapan ustads Habib menegaskan bahwa sudah tidak ada sekat apapun antara
Pondok Pesantren dengan masyarakat. Keduanya saling terikat dan berintegrasi,
persis seperti pernyataan Abd A’la yang mengatakan bahwa pemberdayaan
masyarakat di Indonesia sama sekali tidak dilepaskan dari peran-peran
pesantren. Sebab sejak kemunculannya, memang tidak dapat dilepaskan dari peran
masyarakat. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Kehadiran pesantren dengan pengabdiannya yang
begitu fenomenal ini penting untuk dikontekstualisasi dengan eksistensi Polisi
sebagai aktor-aktor abdi negara yang secara konstitusional antara tugasnya telah
ditegaskan yaitu sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Saran Untuk Perduptar
Peraturan
Kehidupan Taruna-Taruni atau disingkat dengan “Perduptar” sangatlah penting
untuk dikaji. Tidak semata karena melihatnya sebagai aturan yang berisi seruan
dan larangan, tetapi yang lebih penting dari itu ialah apakah aturan-aturan
“Perduptar” itu dapat memberikan perspektif yang bisa menjawab berbagai
tantangan yang akan dihadapi para Taruna dan Taruni di masa depan. Bukankah
peraturan tidak semata aturan, tetapi sebenarnya ia adalah alat dari
rekayasa-rekayasa sosial untuk menjawab problem-problem yang hidup di
masyarakat.
Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial mendatangkan
tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi oleh polisi. Apabila kita berdiri
di penghujung abad 20 menjelang abad 21 ini, kita akan mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi telah terbukti memainkan peranan yang menentukan
dalam merombak wajah serta kehidupan dunia masa sebelumnya. Keduanya tidak
hanya menghasilkan barang-barang yang merombak kualitas kehidupan manusia,
melainkan juga menata kehidupan sosial, politik serta ekonomi umat manusia.
Lalu
bagaimanakah dengan muatan “Perduptar” saat ini?, bisakah
aturan itu menjawab tantangan yang begitu kompleks itu? .. penuturan beberapa
responden menjelaskan bahwa sistem, pola, manajemen dan pengaturan terkait
pengasuhan dan pendidikan di Akademi Kepolisian semestinya sedikit banyak harus
dirombak, dan diubah untuk disesuaikan dengan paradigma dan aturan hukum
kepolisian pasca reformasi dan berbagai tantangan zaman yang tidak lagi tradisional.
Berikut ialah beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan bagi
perbaikan Perduptar kedepan, yaitu :
1. Perlu diubah paradigma hukuman yang selalu berbentuk
fisik menjadi hukuman yang sifatnya ilmiah, seperti menghafal, menulis dan hukuman
membaca buku. Hukuman ilmiah penting untuk memperkuat Taruna-Taruni dalam hal
pengetahuan dan bisa mengubah paradigma polisi militer menjadi paradigma polisi
Sipil.
2. Pengasuhan perlu diperkuat perspektif gendernya,
seperti, pengasuh yang tidak didominasi laki-laki dan kegiatan pengasuhan yang
seimbang antara sifatnya yang laki-laki dan sifatnya yang perempuan.
Keseimbangan pengasuhan penting sehingga antara laki-laki dan perempuan
sederajat dalam fitrahnya.
3. Perduptar perlu
disederhanakan sehingga menjadi aturan yang aplikatif, simple dan bisa hidup
dalam pikiran para Taruna-Taruni. Aturan yang terlampau banyak akan berpengaruh
pada pikiran dan tindakan para anak asuh.
Alvin Toffler, Gelombang Ketiga, PT. Pantja Simpati,
Jakarta, 1990, hlm 23-25
Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan : Sejarah, Metode,
Praksis dan Isinya, LKiS, Yogyakarta, 2000, hlm xiii-xiv
Mansur Fakih, Pesantren Mau Kemana? “Makalah pada
acara Semiloka Pengembangan Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Pesantren (Ponpes
An-Nuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, 3-4 Maret 2003), hlm 3
Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2006, hlm 7-8
Ahmad Syafiie Maarif, Rekonsiliasi
Epistimologi Dalam Pendidikan Islam : Sebuah Keniscayaan, dalam Moh.
Shofan, Pendidikan Berpradigma Profetik :
Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, IRCiSoD,
Yogyakarta, 2004, hlm 5
Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat,
Galang Press, Yogyakarta, 2004, hlm 112
Wawancara Prof. K. Yudian
Wahudi, Ph.D, Sabtu, 11 Desember 2010, pada
jam 07.00-09.00 WIB
Wawancara Ustad Habib Sulthoni,
Kamis, 16 Desember 2010, jam 15. 00 – 16. 00 WIB
Wawancara Rika, Amuka dan Rizki
di Polres Sleman pada Rabu, 15 Desember 2010, pada jam 09. 00 – 11. 00 WIB
Wawancara Prof. K. Yudian
Wahudi, Ph.D, pada Sabtu, 11 Desember 2010, pada jam 07. 00 – 09. 00 WIB
Wawancara ustads Habib Masduki,
pada Jumat, 10 Desember 2010, pada jam
09. 00 – 10. 00 WIB
Wawancara Ustad Habib Sulthoni, pada Kamis, 16 Desember 2010, pada jam
15. 00 – 16. 00 WIB
Abd A’la, Pembaharuan … op. cit, hlm 31
Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi,
Mizan, Bandung, 1991, , hlm 229
Wawancara Rika, Amuka dan Rizki
di Polres Sleman pada Rabu, 15 Desember 2010, pada jam 09. 00 – 11. 00 WIB
Siti Ruhaini Dzuhayatin dan Tim
Pusham UII, Perempuan dan Isu Keamanan,
Pusham UII, The Asia Foundation dan Danida, Yogyakarta, 2008, hlm 10
Wawancara Ustad Habib Sulthoni,
pada Kamis, 16 Desember 2010, pada jam 15. 00 – 16. 00 WIB
Dalam kesempatan wawancara
dengan Rika, periset ditunjukkan foto seorang Taruni yang baru lulus oleh
Amuka, sambil mengatakan “seperti inilah
foto Taruni yang baru lulus, rambut pendek, formal, tegak lurus dan serius
banget.Tapi lambat laun, sikap yang ada dalam foto itu pasti akan berubah,
karena sifat kewanitaan bagaimanapun telah melekat pada seorang perempuan”
Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil : Perspektif Hukum,
Sosial, dan Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm 108
Wawancara ustads Habib Masduki,
pada Jumat, 10 Desember 2010, pada jam 09. 00 – 10. 00 WIB
Abd A’la, Pembaharuan … op. cit, hlm 47
Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil …. op. cit, hlm 7-8
Zaki, Amuka dan Rika, mantan
Taruna-Taruni 2004-2007 mempunyai pandangan yang relatif sama tentang
“Perduptar”. Amuka mengatakan “muatannya sudah bagus, tinggal dilaksanakan
secara konsekwen, karena saya rasakan aturan-aturan itu seringkali menjadi
aturan yang mati”. Rika juga menambahkan “..yang perlu diperbaiki kedepan ialah pola dan manajemen penyadaran
terhadap para Taruna-Taruni, sebab para Taruna-Taruni masih belum memahaminya
secara utuh”. Zaki lebih
elaboratif mengatakan “Saya mendukung perubahan-perubahan Perduptar biar
lebih manusiawi, sekarang apa sih yang tidak berubah, Undang-Undang saja
berubah karena zamannya memang sudah kompleks dan laju globalisasi kencang.
Perduptar memang perlu diperbaiki, disesuaikan dengan fungsi dan tugas-tugas
polisi yang pasca reformasi telah mengalami banyak perubahan. Saya usul kalau
ada perubahan di Perduptar, mungkin muatan dan nilai-nilai Pancasila lebih
detail diturunkan serius dan tegas, sehingga karakter kebangsaan kita tidak
akan luntur”.
0 comments:
Post a Comment