~~~ M. Syafi'ie
Jika syariah
dipahami secara benar,
maka
keberadaan syariah akan berjalan dengan semangat pluralism.
Namun sayang,
fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam banyak kasus telah menafikan adanya
pluralism dalam masyarakat Indonesia
(Yudi Latif)
Pendahuluan
Aceh terletak di kawasan paling
ujung utara pulau Sumatera, provinsi
paling barat Negara Indonesia. Aceh dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah Utara
dan Timur, provinsi Sumatera Utara di sebelah
Selatan dan dibatasi Samudera Indonesia di sebelah Barat. Secara
geografis, Aceh dikelilingi oleh perairan, satu-satunya hubungan darat hanyalah
dengan Sumatera Utara. Karena itu, Aceh memiliki ketergantungan kerjasama
dengan pemerintahan Sumatera Utara ketika berkaitan jalur darat.
Pemerintahan
Aceh sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh (NAD), tapi semenjak 9
Agustus 2001 diubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pergantian nama daerah ini
terjadi sejak keluar Peraturan Gubernur No 49 pada tanggal 7 April 2009. Aceh
merupakan salah satu Provinsi yang ada di Indonesia dan dinilai memiliki
keunikan dan keistimewaan. Provinsi Aceh lahir pada tanggal 26 Mei 1959 dan
memiliki keistimewaan dalam hal pendidikan, adat-istiadat, dan dalam agama.
Salah satu keistimewaan Aceh karena
perannya yang begitu besar semenjak dahulu kala. Sejak abad ke-16 dan ke-17, Aceh memiliki peran politik
dan ekonomi yang sangat strategis di
kepulauan Nusantara. Aceh juga tercatat sebagai tempat kerajaan dengan
sektor perdagangannya sangat kuat dan pangsa pasarnya sangat strategis
karena berhubungan langsung dengan laut
Turki, Timur Tengah, India dan Timur Jauh.
Sebagai daerah kesultanan yang kuat dan
posisi wilayahnya yang strategis, Aceh selalu berpotensi untuk dijajah sejak
dulu. Salah satu yang bertekad menjajah itu adalah Belanda. Pada tahun 1873,
Belanda menyatakan perang dengan kesultanan Aceh, tetapi peperangan yang
berlangsung selama tiga dekade, Belanda tidak berhasil menaklukkan kesultanan
Aceh. Sentimen anti Belanda, mendorong pemuka agama di Aceh membangun aliansi
dengan Jepang, jauh sebelum Jepang menjajah Negara Indonesia.
Pasca
Indonesia merdeka, dan Aceh mendeklarasikan diri untuk menjadi bagian Negara
kesatuan, Aceh dalam perjalanannya penuh dengan kekecewaan dan perlawanan
terhadap pemerintahan pusat. Salah satu kekecewaan itu adalah karena Aceh tidak
diberikan hak istimewa, yaitu berupa hak untuk mengontrol bidang pendidikan,
agama dan hukum adat. Pada tahun 1953 pasca kemerdekaan, Daud Beureuh memempin
perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai Darul Islam. Gerakan yang dipimpin Daud Beureuh ini adalah
menuntut hak untuk mendirikan Negara Islam, dan tidak bermotif untuk
memerdekakan diri.
Perlawanan
itu berlanjut, setelah tahun 1971 pemerintahan Soeharto menemukan minyak dan
gas di Aceh, dieksplorasi dan tetapi tidak dibarengi dengan keadilan distribusi
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan Aceh. Kekecewaan itu diperkuat
dengan hak-hak lain yang tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, dan rezim
Soeharto pada sisi yang lain menerapkan operasi militer untuk menumpas
perlawanan rakyat Aceh. Akhirnya pada tahun 1974 berdirilah Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan di Tiro. Tapi, pemerintah bergerak cepat
dan melakukan operasi pembunuhan dan pemenjaraan terhadap sejumlah pimpinan
GAM. Pada tahun 1979, Hasan di Tiro melarikan diri ke luar negeri,dan
mendirikan pemerintahan Aceh di pengasingan. Aceh menjadi tempat yang
mengerikan karena dijadikan wilayah Daerah Operasi Militer (DOM).
Peta
politik Aceh dan pemerintahan pusat akhirnya berubah setelah Soeharto jatuh
tahun 1998. Kebijakan DOM akhirnya dicabut, tapi kebangkitan GAM kembali dibuat
kebijakan intensifikasi operasi militer. Konflik itu akhirnya bermuara pada
perundingan damai antara organisasi rakyat Aceh, salah satunya adalah GAM
dengan pemerintahan pusat. Perundingan beberapa kali gagal, tapi pada tahun 2005 dilakukan perundingan di
Helsinki dan dianggap sebagai perundingan yang mendamaikan antar pihak yang
sebelumnya selalu berakhir deadlock. Salah satu muatan perundingan damai di
Aceh adalah pemberian otonomi khusus. Di antara otonomi khusus itu dinyatakan
bahwa pemerintahan Aceh berwenang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk
pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dan menyelenggarakan kehidupan adat
yang bersendikan agama Islam. Sejak
pemerintahan khusus Aceh terbentuk pada tahun 2001, pemerintahan Aceh telah
mengeluarkan berbagai qanun.
Dan, diantara qonun itu mengatur perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan,
dan itu menjadi muara bagaimana nuansa agama dan konflik beragama dan berkeyakinan di provinsi Aceh
saat ini.
Nuansa dan
Konflik Kaagamaan di Aceh
Di Aceh, ada istilah
terkenal ‘agama ngon adat lagee zat ngon
sifeut’ yang berarti ‘Islam dan budaya lokal atau adat tidak bisa
dipisahkan’. Berbagai jenis adat dan budaya Aceh telah mengalami proses
islamisasi, dan antara keduanya saling menguatkan. Di antara budaya itu adalah
budaya meudamee (rekonsiliasi), suloh (al-sulh), kebiasaan deyeut (membayar diyat), Uleu beumate ranteng bek patah-kuah beu
leumak u bek beukah (ular harus mati, ranting kayu jangan sampai patah)
sebagai perlambang penyelesaian win win
solution. Masih banyak konsep Islam lainnya yang diadopsi dalam dialektika
masyarakat Aceh.
Sebagai satu nilai yang
berakar dari budaya lokal, Aceh memiliki kebudayaan yang plural. Bahkan, kata
Aceh konon bermakna plural. Aceh adalah singkatan dari A=Arab, C=China,
E=Eropa, dan H=Hindustan. Kata-kata itu melambangkan pluralitas dan keragaman
di Aceh. Suasana itu yang diungkap Yudi Latif, bahwa di Aceh sejarah kehidupan
sosialnya terkenal dengan nuansa yang harmonis, tidak ada pembakaran
rumah-rumah ibadah, minim kerusuhan bernuansa agama dan secara statistik, Aceh
adalah masyarakat yang pluralis.
Ada dua hal yang tidak bisa dipisah dari sejarah Aceh, pertama, orang-orang
yang hidup di Aceh berasal dari berbagai suku dan etnik. Kedua, sejarah
mencatat bahwa Sultan memiliki kebijakan
untuk mengkatagorikan warganya dalam berbagai kaum dan itu menjadi tindakan
yang meleburkan kemajemukan suku dan etnis di Aceh.
Aceh yang dibesarkan dengan
sejarahnya yang pluralis, tetapi lika-liku perjalanan pula yang mengubahnya.
Berbagai konflik dan perlawanan yang pernah dilewati masyarakat Aceh selama
berabad-abad, baik dengan Belanda, pemerintah Indonesia di era rezim orde lama
dan orde baru, sampai dengan era reformasi dan masyarakat Aceh diberikan
kewenangan otonomi khusus saat ini, Aceh seperti memulai hidup baru. Transisi
dari sejarah yang lama telah hilang, dan saat ini sedang membangunnya kembali.
Salah satu yang di bangun pemerintahan
Aceh saat ini adalah menata kembali kehidupan sosialnya sesuai dengan syariat
Islam.
Dalam sejarahnya, syariah Islam di Aceh tidak begitu berpolemik, bahkan Islam
berhasil memadu dengan adat istiadat. Tapi saat ini berbeda, Aceh dominan
kekuatann politiknya, mayoritas mengkontrol minoritas, dan kehidupan beragama
dan berkeyakinan didorong untuk berwajah tunggal.
Madzhab fiqh pun saat ini dalam tata kelola pemerintahan Aceh ditunggalkan,
yaitu madzhab syafiiyah.
Salah satu lembaga yang
ditugaskan pemerintah Aceh untuk menjaga dan menegakkan syariat Islam adalah
Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU).
Lembaga ini menjadi mitra pemerintah Aceh dalam penentuan kebijakan daerah
terutama yang berkaitan dengan syariat Islam.
Selain sebagai mitra pemerintah, MPU juga menjadi mitra legislatif, dimana
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh diharuskan untuk meminta saran dan pertimbangan
MPU ketika akan membuat satu aturan.
Sedangkan terkait dengan kepolisian, MPU ditempatkan sebagai badan independen
yang wajib memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan kebijakan di bidang keamanan, tugas
fungsional kepolisian, ketertiban dan ketentraman masyarakat serta bidang
pendidikan kepolisian. Dan, kepolisian wajib memperhatikan dengan
sungguh-sungguh pertimbangan dan fatwa MPU.
Terkait dengan pelaksanaan
syariat Islam, telah diterbitkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11
tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam. Pada Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Setiap
orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat”.
Pada ayat 2 berbunyi “Setiap orang
dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat”. Pada ayat 3 berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar
dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam”. Dan pada Pasal
6 dinyatakan “Bentuk-bentuk paham atau
aliran yang sesat ditetapkan melalui fatwa MPU”.
Setiap pelanggaran qanun syariat Islam, lembaga pengawas, penyidik dan
penuntutnya dikenal dengan Wilayatul Hisbah,
dan kasusnya nanti akan diperiksa dan diputus oleh lembaga Mahkamah Syar’iyah.
Transisi Aceh telah dimulai,
dan dengan otonomi khusus yang seumur jagung itu konflik bernuansa agama
beberapa kali bermunculan. Dalam laporan The Wahid Institute tahun 2012,
konflik bernuansa agama di Aceh menempati rangking kedua dengan 22 kasus
setelah Jawa Barat yang kasusnya mencapai
43 dan rangking ketiga ditempati Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan
jumlah 25 kasus konflik agama.
Data serupa tapi berbeda diungkap oleh Setara Institute, konflik agama di Aceh
pada tahun 2012 menempati rangking ketiga dengan jumlah 36 kasus, rangking
pertama ditempati Jawa Barat dengan jumlah 76 kasus, sedangkan rangking kedua
ditempati Jawa Timur dengan jumlah 42 kasus.
Konflik bernuansa agama yang
terjadi di Aceh terjadi dan membesar setelah peristiwa Tsunami tahun 2004.
Sampai saat ini kasus konflik bernuansa agama di Aceh minim penyelesaian dan
seakan kasus itu dibiarkan begitu saja. Kasus tahun 2012 dan sebelumnya masih
sengkarat, dan pada tahun 2013 ini, kasus kekerasan bernuansa agama terus
terjadi. Eskalasi konflik itu muncul akibat beragam motif : mulai dari
munculnya fatwa MPU terkait sesat dan atau menjurus sesat, ketidaktegasan
pemerintah dalam menyelesaikan masalah, pembiaran aparat polisi karena
mengatasnakaman kepentingan umum, persaingan antar Dayah atau lembaga
pendidikan Islam, serta potret terbaru masyarakat Aceh adalah ‘melakukan
penghakiman sendiri’ atas orang atau kelompok yang dinilai menyimpang dan
sesat. Berikut adalah beberapa peristiwa konflik bernuansa agama di Aceh :
1. Penyesatan dan Pengusiran Abu Alimin (Dayah Hamzah
Fansuri)
Dayah Miftahussa’adah Hamzah
Fansuri berlokasi di Desa Lampageu, Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Tempat
pendidikan agama ini biasa dikenal dengan Dayah Hamzah Fansuri, dan dipimpin
oleh seorang tokoh bernama Abu Alimin. Pada tahun 2013 ini, Dayah ini dituding
sesat oleh masyarakat sekitar, dan pimpinannya Abu Alimin beserta keluarganya
diusir dari tempat mereka tinggal.
Konflik bernuansa agama di
Dayah Hamzah Fansuri berawal dari kecemburuan sosial yang muncul dari beberapa
Dayah sekitar. Beberapa kali Abu Alimin pimpinan Dayah Hamzah Fansuri difitnah
dan dicaci maki oleh beberapa pimpinan Dayah sekitar lokasi Dayah dan dijadikan
bahan ceramah saat khutbah Jum’at di masjid sekitar. Konflik antara Dayah ini semakin
menguat setelah beberapa pimpinan Dayah di daerah Ujung Pancu menggalang
kekuatan alumninya untuk memojokkan dan mempersalahkan Dayah Hamzah Fansuri..
Salah satu yang diperalat
untuk memojokkan Abu Alimin dan Dayah Hamzah Fansuri adalah setelah lembaga ini
menyelenggarakan kemah Sastra Hamzah Fansuri dengan tema “Manusia dan Tuhan”
yang diselenggarakan beberapa organisasi
Dayah Hamzah Fansuri meliputi Institut Sastra Hamzah Fansuri (ISHF),
Balai Sastra Samudera Pasai (BSSP), Ikatan Kader Dakwah Islam (ISKADA) Aceh,
dan Forum Pemuda Mahasiswa Aceh (FMPA). Dengan logo panitia kemah sastra yang
berjudul ‘Manusia dan Tuhan’ dan disitu ada gambar manusianya, terjadilah
provokasi dari Dayah yang lain bahwa pengajian Abu Alimin telah menyimpang,
sesat dan menyamakan manusia dengan Tuhan.
Kemah sastra yang rencananya
diadakan pada Jumat-Minggu, 22-24 Februari 2013 di Komplek Dayah Hamzah
Fansuri, berakhir pilu. Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf yang awalnya akan
membuka acara tidak hadir. Padahal, undangan sudah disebar, acaranya sudah siap
dan karangan bunga dari berbagai simpatisan sudah berdatangan. Acara itu
dibatalkan oleh Polsek Peukan Bada, Aceh Besar yang datang pada tanggal 21
Februari 2013. Dan pada saat bersamaan, Mukim Lampageu menggelar rapat pada 22
Februari 2013 yang agenda dan putusannya adalah membatalkan kegiatan Kemah
Sastra Hamzah Fansuri. Musyawarah itu juga mengundang warga yang tidak mengerti
terhadap duduk persoalannya.
Musyawarah Mukim Lampageu
juga mengirimkan surat tembusan ke Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) terkait
pernyataan sikap pembatalan Kemah Sastra Hamzah Fansuri. Menindaklanjuti dari
surat pernyataan itu, akhirnya MPU berkunjung ke masjid Kepemukiman Lampageu
pada tanggal 28 Maret 2013, dan juga bertemu dengan tokoh masyarakat serta
Muspika di kantor Camat Peukan Bada. Setelah pertemuan tersebut, MPU membuat
kesimpulan bahwa pengajian Abu Alimin tidak terbukti menyimpang dari syariat,
dan tidak ditemukan bukti dan saksi.
Tapi nasi sudah jadi bubur,
fatwa MPU itu tidak diindahkan. Setelah fatwa MPU dikeluarkan, dilakukanlah
aksi dan membuat surat pernyataan ke-2 yang berisi kesaksian bahwa Abu Alimin
telah menyimpang dan memaksa Abu Alimin dan Dewan Guru pergi dari Dayah Hamzah
Fansuri tidak lebih dari 3 x 24 jam. Masyarakat yang berasal dari tiga kampong
: Lamguron, Lambaro Nejid dan Lambadek bertanda tangan bersepekat memaksa Abu
Alimin, keluarga dan para guru untuk pergi. Tapi, tanda tangan itu tidak kuat,
karena Gampung Lampageu dimana Dayah Hamzah Fansuri ada tidak mau untuuk
bertanda tangan dan tidak sepakat Abu Alimin pergi dari daerah itu.
Pada tanggal 23 April 2013,
terjadi aksi kembali, langsung menyerbu kompleks Dayah Hamzah Fansuri dan
memaksa untuk bersepakat, jika tidak massa sudah terlihat brutal. Dalam kondisi
terpaksa Abu Alimin dan pengurus Dayah Hamzah Fansuri dipaksa menandatangani
perjanjian yang berisi sebagai berikut :
§ Kami mewakili Abu Alimin, murid dan keluarga akan
pindah dan menghentikan segala kegiatan dalam Gampong, Lampageu dalam waktu 1 x
24 jam
§ Dan kami bersedia menghadirkan Tgk Alimin untuk
berdialog secara ilmiah dengan ulama dan tokoh masyarakat
Saat ini, Abu Alimin dan keluarganya masih diungsikan, dan
terpaksa pergi dari tempat tinggalnya. Pengusiran itu sangat disayangkan,
karena massa yang menyerbu bukan dari Gampong Lampageu dimana Dayah Hamzah
Fansuri tinggal. Dan pada saat bersamaan, pemerintah daerah tidak mengambil langkah-langkah
yang strategis untuk menyelesaian konflik yang berlangsung. Polisi Polrestabes
Banda Aceh sendiri pun tidak bisa berbuat banyak kecuali solusi mengungsikan
Abu Alimin dan menyarankannya pindah dari tempat dimana sekarang ia tinggal.
Abu Alimin dinilai para polisi telah ditolak dan tidak diinginkan oleh
masyarakat di sekitar Dayah.
2. Penyesatan, Penyerangan dan Pengusiran Tgk Barmawi
Tgk Barmawi tinggal di Dayah Al-Mujahadah di Gampong Ujong Kareung, Sawang, Aceh
Selatan. Ratusan massa telah menyerbu dan merusak pagar dan papan nama Dayah
ini pada tanggal 5 Maret 2013 setelah adanya fatwa MPU terkait penyesatan
ajaran Tgk Barmawi. Fatwa penyesatan dikeluarkan oleh MPU pada tanggal 28
Februari 2013.
Untuk memastikan fatwa tersebut, Muspida, Muspika dan ratusan masyarakat
mendatangi Dayah Al-Mujahadah dan membacakan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU.
Setelah dibacakan, terjadilah pengrusakan dan kekerasan.
Pada saat pembacaan fatwa MPU di lokasi
Dayah Al-Mujahadah, Tgk Barmawi dan jemaahnya sedangkan melangsungkan shalat
jemaah Ashar. Dan tidak berselang lama
dari pembacaan, pagar dan papan nama Dayah Al-Mujahadah langsung dihancurkan,
Satpol PP yang saat itu juga hadir menerobos masuk dan merusak papan nama Dayah
Al-Mujahadah. Saat itu sudah dapat dipastikan bahwa pengrusakan Dayah dan
dilanjutkan dengan penyegelalan Dayah Al-Mujahadah sudah direncanakan bersama,
antara masyarakat dengan pemerintah daerah setempat.
Pada saat pengrusakan, penyerangan dan
penyegelan itu juga hadir aparat polisi dan TNI, mereka menjadi saksi bagaimana
aksi massa itu berlangsung dan yang menjadi problem polisi dan TNI tidak
berbuat apa-apa dan membiarkan aksi itu berlanjut. Pada saat itu, dipasanglah
segel pemberitahuan fatwa MPU di halaman Dayah Al-Mujahadah yang dipimpin oleh
Tgk Barmawi.
Segel itu sampai saat ini
masih tetap terpampang, dan aktifitas Tgk Barmawi tidak diperbolehkan. Tgk
Barmawi sendiri saat ini telah diusir oleh Muspida dari kampung halamannya pada
bulan Maret 2013.
Pada saat peneliti melangsungkan penelitian di Aceh pada 2 Juli-13 Juli,
peneliti mendapatkan informasi terbaru bahwa rumah Tgk Barmawi kembali dibakar
oleh sekelompok massa yang tidak dikenal pada saat waktu subuh. Artinya,
kondisi rumah dan Dayah Tgk Barmawi saat ini masih belum aman dan belum jelas
penyelesaiannya yang konkrit dari berbagai pihak. Polisi sendiri kebingunan
untuk menyelesaikan kasus Tgk Barmawi, karena kasus yang terjadi berawal dari
putusan MPU dan ditindaklanjuti oleh Muspida dan Muspika setempat. Polisi sendiri
beralasan hanya menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Soal sesat dan
menyesatkan itu urusan MPU.
Terkait penyesatan sendiri,
Tgk Barmawi menolak terhadap putusan sesat MPU, karena dirinya berkali-kali mencoba
mendatangi MPU dan tidak bertemu.
Dirinya juga menolak memiliki ajaran bahwa shalat cukup dengan niat, tidak
shalat berjamaah dan jumat. Itu tidak benar menurut Tgk Barmawi. Tapi sebelum
semua itu terklarifikasi, tiba-tiba muncul fatwa MPU terkait penyesatan dirinya.
Persoalan utama masalah yang menimpa Tgk Barmawi sebenarnya bukan terkait
ajaran, karena ajaran Tgk Barmawi sudah lama berpraktek. Kasus itu bermuara
dari konflik jual beli lapangan sepak bola. Setelah lapangan sepak bola itu dimiliki oleh
Dayah Al-Mujahadah yang dipimpin oleh Tgk Barmawi, lapangan itu tidak
diperbolehkan untuk menjadi tempat bermain karena beberapa kali terjadi
keributan antara masyarakat, bahkan dengan beberapa aparat keamanan yang sering
main di lapangan itu. Karena untuk menghindari konflik, lapangan sepak bola itu
pun ditutup dan diniatkan akan dibangun perluasan Dayah.
3.Penyesatan, Pengusiran dan Pembakaran Tgk Aiyub
Tgk Aiyub bin Syakubat tinggal di Desa Jambo Dalam, Kecamatan
Plimbang, Kabupaten Bireuen, Aceh dan merupakan guru agama dan melayani
pendalaman ilmu agama. Peristiwa yang menimpa bermula dari datangnya Fauzi bin
Muslim, warga Alue Bie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen beserta kerabatnya untuk
menjenguk istri Tgk Aiyub yang sedang melahirkan pada jam 18. 00 WIB Minggu 20
Maret 2011. Tetapi setelah itu jam 21. 00 WIB datang Syarifuddin, Sekdes Jambo
Dalam beserta Tgk Roiyani, imam Desa. Mereka berdua mengaku telah mendapat
laporan bahwa Tgk Aiyub kedatangan tamu. Kedua perangkat Desa itu berpendapat
bahwa penerimaan tamu itu tidak benar berdasar Keputusan Musyawarah Desa Rabu,
16 Maret 2011. Keputusan itu menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh menemui
Tgk Aiyub kecuali seidzin perangkat Desa. Sebab Tgk Aiyub dinilai melakukan
penyimpangan akidah.
Setelah itu, kedua aparat
Desa itu menuntut tamu Tgk Aiyub, yaitu Fauzi untuk meninggalkan rumah. Tapi,
permintaan itu tidak dipenuhi, Fauzi hanya memindahkan mobilnya sekitar 200
meter dari rumah Tgk Aiyub. Suasana mencekam itu berlanjut pada keesokan
harinya, Senin 21 Maret 2011, jam 10. 00 WIB pekarangan Tgk Aiyub sudah disesaki dengan massa, dan
saat bersamaan polisi pun datang. Walau polisi datang, amuk massa tidak
terhindarkan pada jam 01. 00 WIB. Dan polisi berhasil mengamankan Tgk Aiyub dan
para pengikutnya, dan membawa mereka ke Polres Bireuen.
Amuk massa meluas. Isu
aliran sesat menyebar hingga Desa Lhok Mane dan Peuneleb, Kecamatan Simpang
Mamplam dan Jangka Bie, Kecamatan Jangka. Massa membakar mobil, tiga unit
sepeda motor dan dua balai pengajian di rusak. Dari proses amuk massa itu, Tgk
Aiyub dan pengikutnya yang berjumlah 24 orang menjalani pemeriksaan di Polres
Bireuen. Pada tanggal 23 Maret 2011, Tgk Aiyub dan pengikut juga mendapat pemeriksaan
dari MPU Biruen. Tgk Hanafiah, Plt Ketua MPU menyatakan bahwa MPU belum dapat
memutuskan ajaran Tgk Ayyub sesat. Menurutnya belum ada bukti-bukti yang kuat.
Setelah itu, Pemkab Biruen
meminta Tgk M. Ishak, imam besar masjid Jami’ Biruen menampung kelompok Tgk
Ayyub untuk tinggal di masjid dan sekaligus diminta untuk memberikan
pengarahan. Kata-kata ‘pengarahan’ dan ungkapan Bupati Biruen Nurdin Abdul Rahman seakan mengarahkan
kebersalahan pada Tgk Aiyub. Namun demikian, politisasi terus berlanjut hingga
5 dan 6 April 2011. Karena itu, MPU kembali turun dan memeriksa kembali. Dari
pemeriksaan itu, MPU membuat putusan blunder yang menyatakan bahwa ajaran Tgk
Aiyub menjurus pada kesesatan.
Putusan MPU menjadi polemik
Karena tidak tegas. Namun, MPU tetap mendorong Muspida untuk bersikap, yaitu
memaksa Tgk Aiyub dan pengikutnya untuk menandatangani surat pernyataan
menerima atau menolak putusan MPU. Dengan terpaksa, Tgk Aiyub menandatangani
surat menerima putusan MPU. Namun demikian, Dra Anisah Camat Plimbang
menyatakan bahwa masyarakat menolak kelompok Tgk Aiyub kembali ke Desa, kecuali
menarik laporannya ke polisi terkait pembakaran yang dilakukan oleh massa.
Blunder kasus Tgk Aiyub
terus berlanjut. Jumat 29 April 2011, Muspida menggelar pertemuan yang dihadiri
Muspika dari empat kecamatan. Hasilnya, semua perangkat Desa harus tunduk pada
fatwa MPU dan Tgk Aiyub beserta pengikutnya harus mengakui bahwa perbuatan
mereka telah menyebabkan keresahan, meminta maaf kepada masyarakat dan
menyatakan kembali pada ajaran Islam yang lazim dijalankan oleh masyarakat.
Setelah itu, Tgk Aiyub dan pengikutnya dikembalikan pada masyarakat.
Setelah kembali ke Desa dan
berkumpul dengan masyarakat, pada tanggal 30 April 2011, sejumlah perangkat
Desa kembali mengelurkan surat penolakan kembalinya pengikut Tgk Aiyub, yaitu
Fauzi, Muslem dan Imran. Keesokan harinya, mereka bertiga harus meninggalkan
desa masing-masing. Mereka dipaksa mengakui ajaran gurunya sesat dan
menjerumuskan masyarakat. Putusan Desa ini memutus kesepakatan-kesepakatan yang
telah dibuat sebelumnya. Kasus Tgk Aiyub seakan anti klimak.
Puncak dari penyesatan Tgk
Aiyub terjadi pada Jumat, 16 November 2012, dimana rumah dan Tgk Aiyub sendiri
dibakar oleh massa. Pembakaran itu bermula ketika warga curiga terhadap
aktifitas Tgk Aiyub di rumahnya. Pada pukul 22. 30 WIB sekitar 500 warga datang
ke rumah mengkerumuni rumah Tgk Aiyub, dan pada saat itu Tgk Ayyub berkumpul
sama beberapa muridnya. Merasa akan diserang, pengikut Tgk Aiyub bersiap untuk
melakukan perlawanan. Setelah massa bertambahnya banyak, sekitar 1. 500 orang.
Bentrok tidak terelakkan, 3 orang tewas dan 9 orang luka parah. Tgk Aiyub sendiri mati hangus terbakar di
dalam rumahya.
Peristiwa yang menimpa Tgk
Aiyub sangat disayangkan terjadi, karena dari proses awal, potensi-potensi
konflik sebenarnya sudah terlihat. Bahkan, sebelum peristiwa pembakaran
meletus, aparat polisi sebenarnya sudah tahu dan mensiagakan pasukannya di
Polres Biruen. Tapi, polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
tidak bisa bertindak maksimal, sehingga bentrok terjadi dan korban nyawa juga
berjatuhan. Menurut beberapa aktifis di Aceh, kasus pembakaran Tgk Aiyub
menjadi bukti bahwa fungsi kepolisian, baik di sektor intelejen, binmas, dan
reskrim gagal total dalam menjalankan fungsinya. Polisi cenderung membiarkan
kasus itu terjadi dan tidak menanganinya dengan serius semenjak awal.
4. Penyegelan dan Penutupan Gereja di Aceh Singkil
Penyegelan dan penutupan
gereja itu terjadi pada 1-3 Mei 2012 dilakukan pemerintah dan beberapa Ormas
atas persetujuan Plt Bupati Aceh Singkil Ir. H. Razali AR. Gereja-gereja yang disegel antara lain: GPPD Biskang di Nagapaluh,
Gereja Katolik di Nagapaluh, Gereka Katolik di Lae Mbalno, GKPPD Siatas, GKPPD
Tubuhtubuh, GKPPD Kuta Tinggi, KGPPD Tuhtuben, HKI unung Meriah, GMII
Mandumpang, Gereja Katolik Mandumpang, Rumah ibadah Pambi, Aliran kepercayaan daerah
dan beberapa gereja lainnya.
Alasan penyegelan terhadap gereja dan
beberapa tempat ibadah tersebut adalah untuk menertibkan rumah ibadah yang
tidak beridzin. Selain itu, alasan Bupati yang ditemui pimpinan Gereja pada 2
Mei 2012 karena terkait perjanjian bersama umat Islam dan telah ditandatangani
bersama pada tahun 1979, dimana pada saat itu telah disepakati bahwa di Aceh
Singkil hanya boleh ada 1 gereja dan 4 undung-undung
(rumah doa). Bupati juga menyebutkan bahwa Aceh adalah daerah istimewa dimana
provinsi ini berbeda dengan provinsi lain termasuk dalam pengaturan rumah
ibadah.
Dalam pertemuan itu juga Bupati
membenarkan adanya aksi damai dari kalangan umat Islam yang meminta supaya
Perjanjian tahun 1979 ditegakkan kembali dan meminta pembongkaran gereja-gereja
yang tidak memiliki izin. Berdasar alasan tersebut, Bupati memerintahkan para
pimpinan gereja yang hadir untuk membongkar sendiri gereja mereka. Dan jika
tidak, maka pemerintah akan membongkar secara paksa.
Aliansi Sumut Bersatu juga menyebutkan
bahwa penyegelan 20 rumah ibadah di Aceh Singkil tidak lepas dari demonstrasi
ratusan umat Islam pada 30 April 2012 di Kantor Bupati Aceh Singkil. Mereka
berorasi menuntut ketegasan Pemkab Aceh Singkil menegakkan kembali Perjanjian
tahun 1979. Mereka juga menyampaikan kekecewaannya terhadap FKUB dan MPU yang
tidak bertindak demi Islam dan membiarkan gereja menjamur di Aceh. Pada saat
itu juga ada pernyataan blunder dari seorang polisi yang kebetulan menjaga
demonstrasi. Polisi itu adalah Bambang Syafrianto yang menjabat sebagai
Kapolres di Aceh Singkil. Bambang menyatakan dalam orasinya “Bagaimana kalau
kita berikan toleransi bagi umat Kristen membongkar gerejanya yang tidak
berizin 3 x 24 jam dan kalau tidak kita bentuk tim untuk membongkar?” Tawaran Kapolres
itu kemudian diamini ratusan demonstran umat Islam yang hadir.
Kesepakatan yang dibuat saat demonstrasi itu kemudian menjadi
bahan Bupati dan selanjutnya Ia mengeluarkan Surat kepada Ketua Pembangunan /
Pimpinan Gereja perihal pemberitahuan bahwa pada tanggal 1 Mei akan diturunkan
Tim Penyelesaian Sengketa Pembangunan Rumah Ibadah di Wilayah Kabupaten Aceh
Singkil untuk melakukan penertiban / penyegelan rumah ibadah yang tidak
memiliki izin pendirian rumah ibadah. Pada waktu yang ditentukan, yaitu tanggal
1-3 Mei, tim yang dibentuk Bupati itu pun turun dan melakukan penertiban gereja-gereja dan tempat
ibadah yang tidak beridzin. Kedatangan tim itu sontak membuat keributan di
beberapa tempat ibadah di Aceh Singkil. Di gereja GKPPD Siatas, 60 orang ibu-ibu histeris menangis ketika tim
akan menyegel gereja mereka. Ketua Pembangunan, Guru Jemaat dan Kepala Desa
Siatas dan Pertabas ikut menentang tindakan tim ini. Guru Jemaat St. Norim
Berutu mengatakan, jika gereja disegel maka jemaat tidak akan bisa beribadah
sehingga mereka bisa terjerumus dalam kesesatan.
Peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil bila dibaca lebih jauh,
sebenarnya sarat dengan kepentingan politis di dalamnya. Sebelum penyegelan dan
penutupan terjadi, kehiduan beragama di Aceh Singkil berjalan sangat harmonis
selama bertahun-tahun. Tapi, setelah dilangsungkan pemilihan kepala daerah di
Aceh di daerah itu, dan salah satu kandidat kepala daerah yang saat ini telah
menjadi Bupati masuk ke jemaat gereja-gereja dan berjanji akan melegalisasinya.
Pada saat bersamaan, calon yang kalah mengetahui strategi Bupati terpilih.
Terjadilah politisasi terhadap umat Islam, dan akhirnya meletuslah peristiwa
penyegelan dan penutupan gereja.
Salah satu yang disegel itu adalah
gereja Katolik Napagaluh, Singkil.
Cerita kronologi di atas
adalah beberapa konflik bernuansa agama yang terjadi di Aceh saat ini. Secara
umum, konflik bernuansa agama terjadi di antara umat Islam sendiri yang
berujung pada penyesatan, dan konflik umat Islam dengan non muslim. Selain di
atas, tercatat masih banyak konflik yang terjadi di daerah Aceh. Konflik yang
terjadi di internal Islam meliputi penyesatan terhadap kelompok Millata Abraham
di Banda Aceh tahun 2010,
penyesatan Komunitas Laduni (Aceh Barat), penyesatan Mirza Al-Fath (Aceh
Utara), konflik Dayah dengan Muhammadiyah tahun 2002 di desa Pudawa Aceh Timur,
ancaman terhadap warga Banda Aceh yang menuntut pengecilan volume suara speaker
masjid,
dan beberapa peristiwa lainnya. Menurut Affan Romli, sebagian besar kasus yang
terjadi di Aceh langsung dieksekusi oleh masyarakat dengan tindakan pengusiran,
penyerangan dan sebagian yang lain didorong atas fatwa sesat yang dikeluarkan
oleh MPU.
Sedangkan konflik dengan non
muslim tidak hanya terjadi di Aceh Singkil, di kota Banda Aceh juga terjadi.
Polisi Banda Aceh sudah mencatat beberapa tempat ibadah yang tidak beridzin dan
akan ditindak. Gereja-gereja itu antara lain : Gereja Kristen Kemah Daud
(GKKD), Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS),
Gereja Kristen Kudus Indonesia (GKKI), GPDI Protestan, GKI Protestan, GBI
Protestan, Advent (Perkumpulan Do’a Bersama), Gereja Kemenangan Iman Indonesia
(GKII), Vihara Sanggar Abahya (Hindu), Vihara Minche (Hindu), Vihara Dewi
Samudra, Vihara Maitri, Vihara Sakyamuni dan Kuil Palani Andawar. Di Banda Aceh
tercatat 4 gereja yang legal dan 1 vihara yang legal.
Terkait dengan konflik
dengan non muslim, Pdt Purba dari Jemaat Kristen Indonesia mengatakan, saat ini
tidak ada rasa aman dalam beragama di Aceh. Polisi tidak memberi
perlindungannya. Kita menyewa hotel untuk beribadah juga dilarang, dan polisi
tidak mau menjaga keamanan. Bahkan, ketika penyerangan terhadap Gereja Bethel
Indonesia, polisi datang setelah peristiwa terjadi, padahal saat itu juga
anak-anak. Pemerintah daerah juga tidak memfasilitasi hak untuk beribadah.
Beberapa bertemua Bupati, pada saat itu juga Bupati tidak mau bertanggungjawab
jika ada penyerangan dari sekompok orang. Polisi juga tidak mau
bertanggungjawab untuk menjaga keamanan untuk beribadah.
Padahal kata Purba, beribadah itu adalah hak dan mesti dilindungi atas rasa
amannya oleh aparat negara.
Penyelesaian
Kasus Oleh Polisi
Keberadaan polisi harapannya
bisa melerai terhadap konflik bernuansa agama yang berkembang di Aceh saat ini.
Dengan segenap fungsi yang dimilikinya, baik di sektor intelejen, binmas dan
atau pada sektor represi di satreskrim.
Tapi, keberadaan polisi di Aceh dari beberapa pimpinan polisi yang berhasil
peneliti wawancarai, mereka telah mendeklarasikan diri bahwa terkait ‘sesat dan
menyesatkan’ sepenuhnya ada di pundak MPU. Sedangkan polisi hanya bertugas
untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Di samping itu, problem jarak menjadi kendala tugas polisi di Aceh.
Dalam kasus yang menimpa Abu
Alimin, pimpinan Dayah Hamzah Fansuri, polisi mengatakan telah melakukan
langkah-langkah mulai mediasi dengan masyarakat, bertemu dengan tokoh-tokoh
masyarakat, dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah berupaya melakukan
tindakan-tindakan pengamanan. Bahkan, ketika kasus terjadi, pengamanan Abu
Alimin, polisi yang bertindak. Jika tidak, sangat mungkin akan terjadi amuk
massa dan membayakan nyawa Abu Alimin dan para pengikutnya.
Menurut polisi, dari
berbagai langkah yang telah dilakukan, satu-satunya jalan untuk menyelesaikan
konflik Abu Alimin adalah meminta pindah Abu Alimin, Karen jika tidak, amuk
massa sangat mungkin terjadi. Apalagi, Abu Alimin dinilai telah ditolak oleh
masyarakat sekitar. Untuk saat ini, Abu Alimin masih diungsikan dan diamankan
oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan polisi.
Terkait kasus yang menimpa
Tgk Barmawi, institusi kepolisian mengaku memang tidak bisa berbuat banyak.
Ajaran Tgk Barmawi telah di fatwa sesat oleh MPU, fatwanya juga telah dibacakan
langsung di depan Dayah Dayah Al-Mujahadah
yang saat itu juga ada Tgk Barmawi. Polisi sendiri mengakui bahwa salah satu
yang memicu konflik bernuansa agama di Aceh adalah karena keberadaan fatwa MPU.
Namun begitu, polisi mengatakan bahwa keputusan MPU tetap harus menjadi rujukan
terkait apakah satu kelompok sesat ataukah tidak. Tugas yang dilakukan
kepolisian semata agar setelah fatwa keluar, tidak terjadi kekerasan dan tetap
menjaga bagaimana keamanan dan ketertiban masyarakat dapat terjaga.
Salah satu fatwa MPU yang mendorong
konflik adalah apa yang terjadi pada Tgk Aiyub. Dalam kasus ini, institusi
kepolisian mengakui pihaknya gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Fungsi
intelejen tidak jalan, fungsi Binmas juga tidak jalan sehingga perdamaian antar
kelompok bertikai tidak terjalin dengan baik. Fungsi reskrim juga dinilai telah
jalan.
Ujung kasus itu adalah pembakaran Tgk Aiyub dan berdampak beberapa korban yang
terbunuh. Polisi mengakui pihaknya telah berupaya melakukan tugasnya baik
intel, binmas dan reskrim, tapi semuanya tidak maksimal.
Sedangkan konflik agama yang melibatkan
dengan non muslim, polisi mengakui sangat dilematis. Kasus yang terjadi di
Singkil, polisi dihadapkan dengan kesepakatan antar umat beragama tahun 1979,
dimana di daerah Singkil di sepakati hanya ada 1 gereja dan 4 undung-undung (tempat doa),
sedangkan terkait beberapa tempat ibadah yang di larang di Banda Aceh, polisi
mempersoalkannya pada peridzinan tempat. Terkait persoalan yang terjadi di
Singkil dan di Banda Aceh, institusi kepolisian mengaku mengambil sikap
mengikuti aturan hukum utamanya terkait peridzinan, yaitu, pertama, memastikan satu tempat ibadah harus ada peridzinannya,
jika tidak ada polisi akan menindak dan tidak akan bertanggungjawab jika
terjadi penyerangan.
Kedua, memastikan untuk menjaga
kedamaian dan kerukunan, tapi kalau terjadi konflik, polisi akan merujuknya
pada prosedur hukum dan administrasi yang berlaku.
Secara umum, para pimpinan polisi yang
berhasil peneliti wawancarai mengakui bahwa masyarakat Aceh sangat sensitif
bila berkaitan dan berurusan dengan persoalan agama. Orang Aceh siap mati bila
di bilang kafir.
Orang Aceh sangat fanatik dengan agama, rujukannya pasti Dayah yang biasanya
diisi oleh tokoh-tokoh yang bergelar Abuya, Abi dan Tgk.
Karena itu, polisi mengakui bahwa mereka harus senantiasa berkoordinasi dengan
MPU yang diyakini mewakili kepentingan Dayah, tidak berkonflik dengan keputusan
mayoritas, dan menggunakan rangka aturan hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintahan Aceh.
Analisa Teori
Membedah konflik bernuansa agama di
Aceh sangat rumit. Satu sisi Aceh adalah bagian dari Negara Indonesia, dan pada
sisi yang lain Aceh adalah daerah yang diberi kewenangan otonomi khusus, salah
satu kekhususan yang diberikan adalah penyelenggaraan pemerintahan yang
mendasarkan pada syariat Islam dan menyelenggarakan kehidupan adat yang
bersendikan agama Islam.
Otonomi khusus yang diberikan kepada
Aceh tentu akan mengingatkan kita kembali pada tujuh kata dalam Piagam Jakarta
dan kemudian dihapus oleh Soekarno-Hatta karena dinilai akan menghambat
kebhinnekaan Negara Indonesia.
Membaca ketatanegaraan Aceh dalam
bingkai syariat Islam sebagai salah satu pijakan ototominya, tentu ini akan
berbeda dengan ketika kita akan membaca Indonesia. Ada beberapa contoh Negara
yang melambangkan identitas agama dan negaranya. Pertama, negara dan agama menjadi identitas kebangsaannya,
contohnya adalah Iran. Di Iran, agama dan negara bercampur jadi satu. Kedua, negara dan agama ditempatkan
sebagai satu yang dilarang, contohnya adalah negara-negara bekas Uni Soviet,
atau Polandia di bawah Komunisme. Ketiga,
Negara-negara dan agama tertentu menjadi basis identitas keagamaan mayoritas
penduduknya, seperti Islam di Pakistan atau Kristen di negara-negara
Skandinavia. Keempat, negara-negara
dimana warga negaranya memeluk agama yang beraneka ragam.
Dari beberapa model hubungan negara dan
agama di atas, Indonesia mungkin akan masuk pada model keempat, dimana satu
negara dihuni oleh beraneka ragam pemeluk agama. Negara juga menjamin dalam
konstitusi perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan menyatakannya
sebagai hak yang non derogable rights.
Suasana itu akan berbeda ketika melihat
tata pemerintahan Aceh yang secara tegas menyatakan bahwa pemerintahan didasarkan pada kehidupan beragama dalam
bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dan menyelenggarakan
kehidupan adat yang bersendikan agama Islam. Setelah itu muncul beberapa
peraturan daerah atau qanun yang mengatur perihal peribadahan, aqidah dan
hubungan sosial yang bersendikan syariat Islam. Aceh bila digambarkan, mungkin
sama dengan Iran, dimana pemerintahan dan agama Islam adalah satu kesatuan.
Dan, keberadaan MPU menjadi salah satu rujukan berhukumnya.
Telaah
relasi negara dan agama dalam konteks pemerintahan Aceh peneliti menilainya
sangat penting, karena Aceh dengan kewenangan yang khusus jelas akan berbeda
pemberlakuannya hukumnya ketika akan mengulas konflik bernuansa agama Aceh.
Setidaknya, segenap aparat pemerintahan Aceh dapat berapologi bahwa bahwa
kebebasan beragama di Aceh dipenuhi sepanjang bersesuaian dengan kerangka
syariat Islam yang telah menjadi dasar hukum dan dasar adat istiadat yang
bersendikan nilai-nilai agama Islam. Setidaknya saat ini, hukum di Aceh telah
mendua antara hukum positif sebagaimana diatur dalam KUHP, dan hukum syariat
Islam yang telah diatur dalam qanun dan beberapa peraturan daerah.
Berdasar
dari problematika tersebut, konflik bernuansa agama di Aceh mengharuskan
pendekatan paradigma, pertama, terlepas
dari ideologi apapun yang saat ini menjadi pijakan pemerintahan Aceh,
pemerintah Aceh dengan berbagai instrument hukumnya harus memastikan bahwa hak
beragama dan berkeyakinan harus dijamin keberadaannya, dihormati sebagai hak
yang sifatnya privat dan dilindungi hak atas peribadahannya. Beragama dan
berkeyakinan tidak bisa dipaksakan oleh pemerintah, karena agama atau pun
keyakinan sama sekali tidak bisa diberikan oleh negara. Bahkan, dalam Al-Qur’an yang menjadi pijakan
Islam dalam mengatur kehidupan sangat tegas mengatur perihal tidak ada paksaan
dalam berkeyakinan dan beragama. Menurut
Ismail Faruqi, setiap manusia diberi kesanggupan untuk mengenal Allah bila akal
dipakai dengan jujur dan benar.
Kedua, konflik bernuansa agama di
Aceh, sampai saat ini belum pernah melewati lembaga peradilan yang terbentuk, seperti
Mahkamah Syar’iyah yang bertugas untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus
pelanggaran hukum syariah di Aceh. Selama ini, kasus bernuansa agama di Aceh
selesai setelah MPU mengeluarkan fatwa, dan yang sering terjadi adalah aksi
massa yang mengadili secara langsung terhadap seorang atau kelompok yang
dituduh sesat. Situasi ini menjadi petanda, bahwa supremasi hukum syariah dalam
penyelesaian konflik agama di Aceh tumpul. Dan kita mesti sadar bahwa fatwa, aksi
massa dan menghakimi sendiri (eigenrichting)
yang tidak disertai proses peradilan sebenarnya adalah ketidakadilan dan wajah
dari sistem hukum yang brutal .
Ketiga, para polisi yang ada di
Aceh bagaimana pun adalah bagian dari aparat yang mesti mempergunakan sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Karena itu, polisi harus mengerjakan tugasnya
seperti biasa, yaitu menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, bertanggungjawab atas
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan selalu menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
Karena itu, segala bentuk diskriminasi, penghakiman massa, dan perlindungan hak
asasi setiap manusia harus dilakukan. Polisi tidak boleh mentelantarkan warga
Indonesia hidup dengan rasa tidak aman
dan hidup dengan ancaman. Apapun agama dan kepercayaan warga negara, mereka
wajib untuk dilindungi hak-haknya. Jika tidak sebenarnya polisi telah melanggar
HAM.
Keempat,
konflik bernuansa agama menurut peneliti adalah bermuara dari tidak jelasnya
konsep syariat Islam yang dikembangkan oleh pemerintah Aceh. Kondisi ini juga
terkuak saat dilangsungkangnya riset dan diskusi yang dilangsungkan oleh
Yayasan Insan Cita Madani. Dalam riset dan diskusi tersebut dinyatakan bahwa
salah satu permasalahan penerapan syariat Islam di Aceh adalah karena
pemberlakuan qanun yang masih diskriminatif, materi qanun yang tidak spesifik
dan dan timbulnya interpretasi yang
beragam, qanun cenderung berlaku bagi yang lemah, pilih kasih, penerapan tidak
sesuai aturan dan syariat cenderung dimaknai sebagai symbol dan politik.
Karena itu, banalisasi kekerasan yang dilakukan oleh aksi massa adalah pantulan
dari kegagalan sistem hukum di Aceh dan struktur kekuasaan tanpa disadari telah
mendorong proses-proses kekerasan itu.
Dari berbagai pemikiran di atas, Aceh sebenarnya
adalah harapan bagaimana di masa depan mereka dapat mengkonstruksi kewenangan
otonomi khususnya dengan baik. Sangat mungkin pemerintahan Aceh akan lebih
bagus dari pemerintahan Indonesia yang saat ini juga dirundung dengan berbagai
persolan pelik terkait dengan konflik yang bernuansa agama. Dalam sejarahnya,
Aceh pernah tercatat sebagai daerah yang minim konflik agama, dan pluralisme
konon pernah tertaut dengan namanya : Aceh.
Perubahan mendasar perlu dilakukan sehingga serambi mekkah itu tidak selalu
hidup dengan konflik dan banalitas yang tidak terkontrol.
MPU sendiri melalui Surat Keputusan No. 3 tahun 2007
telah menetapkan kriteria paham/aliran yang menyimpang dari Islam,
Inventarisasi Masalah Kontemporer dan Tausiyah. Kriteria itu meliputi, pertama, mengingkari dari salah satu
rukun iman yang 6 (enam) dan rukun Islam yang 5 (lima), Kedua, meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an dan Nabi Muhammad
wafat. Ketiga, mengingkari kebenaran
dan kemurinian Al-Qur’an. Keempat,
Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Terakhir. Kelima, melakukan penafsiran Al-Qur’an tidak berdasarkan kaidah
ilmu tafsir. Keenam, mengingkari
kedudukan hadist Nabi sebagai sumber dari ajaran Islam. Ketujuh, menghina,
melecehkan para Nabi, para Rasul, para Sahabat yang mubassyarina bil jannah dan Sunnah Rasul. Kedelapan,
merubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh
syariat seperti berhaji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak 5 (lima) waktu
dan sebagainya. Kesembilan,
mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i yang sah seperti mengkafirkan
muslim karena bukan anggota kelompoknya. Kesepuluh, sujud dan atau menyembah
kepada selain Allah. Kesebelas, mengingkari hari pembalasan. Keduabelas,
meyakini keqadiman alam. Ketigabelas,
meyakini semua agama adalah sama. Keempatbelas, meyakini bahwa ilmu allah
mujmal, tidak meliputi hal-hal yang
rinci (mufassal). Kelimabelas, pengingkaran terhadap
kebangkitan jasmani pada hari akhirat. Keenambelas,
meremehkan nama-nama allah
dan atau melemparkan mushaf/al-qur’an, kitab-kitab hadis ke tempat-tempat yang
kotor, menjijikkan sebagai penghinaan. Ketujuhbelas, menghalalkan yang haram dan atau mengharamkan yang
halal yang telah ijma’.
Menurut pengakuan beberapa aktifis yang peneliti
temui, peristiwa kekerasan bernuansa agama di Aceh terbilag tidak ada, tetapi
kasus itu muncul dan membesar setelah peristiwa Tsunami tahun 2004. Harus
diakui pada waktu itu katanya berdatangan banyak tourist asing yang membantu
korban Tsunami yang dahsyat dan mereka tidak beragama Islam. Wawancara Candra,
Direktur Litbang LBH Aceh pada 3 Juli 2013, wawancara Al-Faraby, anggota Forum
Rakyat Aceh pada 3 Juli 2013 dan Fajri
Aidit, anggota Jaringan Masyarakat Sipil Aceh Untuk Perdamaian pada 9 Juli 2013
Wawancara Al-Farabi dari Forum Rakyat Aceh pada 3
Juli 2012
Affan Romli,
Jubir Komunitas Aceh Untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KAYA)
mengatakan bahwa potret kebebasan beragama di Aceh sangat buruk. Pemerintah
abai, dan banyak tuduhan sesat pada keyakinan tertentu. Dari sekian kasus,
tidak ada penyelesaian yang lewat mekanisem hukum (legal), dan masyarakat tidak
terkontrol dan melakukan aksi massa sendiri dengan melakukan kekerasan dan
pengusiran. Selain kasus tersebut, kasus
kekerasan lain yang mengatasnamakan agma terjadi Ujung Pancu (Aceh Besar), Lamteuba
(Aceh Besar), Suka Damai (Banda Aceh),
Guhang (Acah Barat Daya), Nisam (Aceh Utara) dan Kota Binjai Julok (Aceh
Timur). Baca Pernyataan draf Siaran Pers Komunitas Aceh Untuk Kebebasan
Berkeyakinan dan Beragama (KAYA) di http://indonesiatoleran.or.id/2013/05/siaran-pers-komunitas-aceh-untuk-kebebasan-berkeyakinana-dan-beragama-kaya/. Diakses pada 1 Juli 2013
0 comments:
Post a Comment