05 October 2014

ACEH : HISTORI, SYARIAH DAN AMBIGUITAS PERAN POLISI DALAM KONFLIK HAK BERAGAMA

~~~ M. Syafi'ie


Jika syariah dipahami secara benar,
maka keberadaan syariah akan berjalan dengan semangat pluralism.
Namun sayang, fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam banyak kasus telah menafikan adanya pluralism dalam masyarakat Indonesia
(Yudi Latif)

Pendahuluan
Aceh terletak di kawasan paling ujung utara pulau Sumatera,  provinsi paling barat Negara Indonesia. Aceh dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah Utara dan Timur, provinsi Sumatera Utara di sebelah  Selatan dan dibatasi Samudera Indonesia di sebelah Barat. Secara geografis, Aceh dikelilingi oleh perairan, satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan Sumatera Utara. Karena itu, Aceh memiliki ketergantungan kerjasama dengan pemerintahan Sumatera Utara ketika berkaitan jalur darat.[1]
Pemerintahan Aceh sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh (NAD), tapi semenjak 9 Agustus 2001 diubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pergantian nama daerah ini terjadi sejak keluar Peraturan Gubernur No 49 pada tanggal 7 April 2009. Aceh merupakan salah satu Provinsi yang ada di Indonesia dan dinilai memiliki keunikan dan keistimewaan. Provinsi Aceh lahir pada tanggal 26 Mei 1959 dan memiliki keistimewaan dalam hal pendidikan, adat-istiadat, dan  dalam agama.[2]

Salah satu keistimewaan Aceh karena perannya yang begitu besar semenjak dahulu kala. Sejak abad  ke-16 dan ke-17, Aceh memiliki peran politik dan ekonomi yang sangat strategis di  kepulauan Nusantara. Aceh juga tercatat sebagai tempat kerajaan dengan sektor perdagangannya sangat kuat dan pangsa pasarnya sangat strategis karena  berhubungan langsung dengan laut Turki, Timur Tengah, India dan Timur Jauh.[3]
Sebagai daerah kesultanan yang kuat dan posisi wilayahnya yang strategis, Aceh selalu berpotensi untuk dijajah sejak dulu. Salah satu yang bertekad menjajah itu adalah Belanda. Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang dengan kesultanan Aceh, tetapi peperangan yang berlangsung selama tiga dekade, Belanda tidak berhasil menaklukkan kesultanan Aceh. Sentimen anti Belanda, mendorong pemuka agama di Aceh membangun aliansi dengan Jepang, jauh sebelum Jepang menjajah Negara Indonesia.[4]
Pasca Indonesia merdeka, dan Aceh mendeklarasikan diri untuk menjadi bagian Negara kesatuan, Aceh dalam perjalanannya penuh dengan kekecewaan dan perlawanan terhadap pemerintahan pusat. Salah satu kekecewaan itu adalah karena Aceh tidak diberikan hak istimewa, yaitu berupa hak untuk mengontrol bidang pendidikan, agama dan hukum adat. Pada tahun 1953 pasca kemerdekaan, Daud Beureuh memempin perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai Darul Islam.  Gerakan yang dipimpin Daud Beureuh ini adalah menuntut hak untuk mendirikan Negara Islam, dan tidak bermotif untuk memerdekakan diri.[5]
Perlawanan itu berlanjut, setelah tahun 1971 pemerintahan Soeharto menemukan minyak dan gas di Aceh, dieksplorasi dan tetapi tidak dibarengi dengan keadilan distribusi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan Aceh. Kekecewaan itu diperkuat dengan hak-hak lain yang tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, dan rezim Soeharto pada sisi yang lain menerapkan operasi militer untuk menumpas perlawanan rakyat Aceh. Akhirnya pada tahun 1974 berdirilah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan di Tiro. Tapi, pemerintah bergerak cepat dan melakukan operasi pembunuhan dan pemenjaraan terhadap sejumlah pimpinan GAM. Pada tahun 1979, Hasan di Tiro melarikan diri ke luar negeri,dan mendirikan pemerintahan Aceh di pengasingan. Aceh menjadi tempat yang mengerikan karena dijadikan wilayah Daerah Operasi Militer (DOM).
Peta politik Aceh dan pemerintahan pusat akhirnya berubah setelah Soeharto jatuh tahun 1998. Kebijakan DOM akhirnya dicabut, tapi kebangkitan GAM kembali dibuat kebijakan intensifikasi operasi militer. Konflik itu akhirnya bermuara pada perundingan damai antara organisasi rakyat Aceh, salah satunya adalah GAM dengan pemerintahan pusat. Perundingan beberapa kali gagal, tapi  pada tahun 2005 dilakukan perundingan di Helsinki dan dianggap sebagai perundingan yang mendamaikan antar pihak yang sebelumnya selalu berakhir deadlock. Salah satu muatan perundingan damai di Aceh adalah pemberian otonomi khusus. Di antara otonomi khusus itu dinyatakan bahwa pemerintahan Aceh berwenang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dan menyelenggarakan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam.[6]  Sejak pemerintahan khusus Aceh terbentuk pada tahun 2001, pemerintahan Aceh telah mengeluarkan berbagai qanun.[7] Dan, diantara qonun itu mengatur perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan itu menjadi muara bagaimana nuansa agama dan  konflik beragama dan berkeyakinan di provinsi Aceh saat ini.

Nuansa dan Konflik Kaagamaan di Aceh
Di Aceh, ada istilah terkenal ‘agama ngon adat lagee zat ngon sifeut’ yang berarti ‘Islam dan budaya lokal atau adat tidak bisa dipisahkan’. Berbagai jenis adat dan budaya Aceh telah mengalami proses islamisasi, dan antara keduanya saling menguatkan. Di antara budaya itu adalah budaya meudamee (rekonsiliasi), suloh (al-sulh), kebiasaan deyeut (membayar diyat), Uleu beumate ranteng bek patah-kuah beu leumak u bek beukah (ular harus mati, ranting kayu jangan sampai patah) sebagai perlambang penyelesaian win win solution. Masih banyak konsep Islam lainnya yang diadopsi dalam dialektika masyarakat  Aceh.[8]
Sebagai satu nilai yang berakar dari budaya lokal, Aceh memiliki kebudayaan yang plural. Bahkan, kata Aceh konon bermakna plural. Aceh adalah singkatan dari A=Arab, C=China, E=Eropa, dan H=Hindustan. Kata-kata itu melambangkan pluralitas dan keragaman di Aceh. Suasana itu yang diungkap Yudi Latif, bahwa di Aceh sejarah kehidupan sosialnya terkenal dengan nuansa yang harmonis, tidak ada pembakaran rumah-rumah ibadah, minim kerusuhan bernuansa agama dan secara statistik, Aceh adalah masyarakat yang pluralis.[9] Ada dua hal yang tidak bisa dipisah dari sejarah Aceh, pertama, orang-orang yang hidup di Aceh berasal dari berbagai suku dan etnik. Kedua, sejarah mencatat bahwa  Sultan memiliki kebijakan untuk mengkatagorikan warganya dalam berbagai kaum dan itu menjadi tindakan yang meleburkan kemajemukan suku dan etnis di Aceh.[10]
Aceh yang dibesarkan dengan sejarahnya yang pluralis, tetapi lika-liku perjalanan pula yang mengubahnya. Berbagai konflik dan perlawanan yang pernah dilewati masyarakat Aceh selama berabad-abad, baik dengan Belanda, pemerintah Indonesia di era rezim orde lama dan orde baru, sampai dengan era reformasi dan masyarakat Aceh diberikan kewenangan otonomi khusus saat ini, Aceh seperti memulai hidup baru. Transisi dari sejarah yang lama telah hilang, dan saat ini sedang membangunnya kembali.
Salah satu yang di bangun pemerintahan Aceh saat ini adalah menata kembali kehidupan sosialnya sesuai dengan syariat Islam.[11] Dalam sejarahnya, syariah Islam di Aceh tidak begitu berpolemik, bahkan Islam berhasil memadu dengan adat istiadat. Tapi saat ini berbeda, Aceh dominan kekuatann politiknya, mayoritas mengkontrol minoritas, dan kehidupan beragama dan berkeyakinan didorong untuk berwajah tunggal.[12] Madzhab fiqh pun saat ini dalam tata kelola pemerintahan Aceh ditunggalkan, yaitu madzhab syafiiyah.[13]
Salah satu lembaga yang ditugaskan pemerintah Aceh untuk menjaga dan menegakkan syariat Islam adalah Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU).[14] Lembaga ini menjadi mitra pemerintah Aceh dalam penentuan kebijakan daerah terutama yang berkaitan dengan syariat Islam.[15] Selain sebagai mitra pemerintah, MPU juga menjadi mitra legislatif, dimana Dewan Perwakilan Rakyat Aceh diharuskan untuk meminta saran dan pertimbangan MPU ketika akan membuat satu aturan.[16] Sedangkan terkait dengan kepolisian, MPU ditempatkan sebagai badan independen yang wajib memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan kebijakan di bidang keamanan, tugas fungsional kepolisian, ketertiban dan ketentraman masyarakat serta bidang pendidikan kepolisian. Dan, kepolisian wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh pertimbangan dan fatwa MPU. [17]
Terkait dengan pelaksanaan syariat Islam, telah diterbitkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Pada Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat”. Pada ayat 2 berbunyi “Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat”. Pada ayat 3 berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam”. Dan pada Pasal 6 dinyatakan “Bentuk-bentuk paham atau aliran yang sesat ditetapkan melalui fatwa MPU”.[18] Setiap pelanggaran qanun syariat Islam, lembaga pengawas, penyidik dan penuntutnya dikenal dengan Wilayatul Hisbah,[19] dan kasusnya nanti akan diperiksa dan diputus oleh lembaga Mahkamah Syar’iyah. [20]
Transisi Aceh telah dimulai, dan dengan otonomi khusus yang seumur jagung itu konflik bernuansa agama beberapa kali bermunculan. Dalam laporan The Wahid Institute tahun 2012, konflik bernuansa agama di Aceh menempati rangking kedua dengan 22 kasus setelah Jawa Barat yang kasusnya mencapai  43 dan rangking ketiga ditempati Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan jumlah 25 kasus konflik agama.[21] Data serupa tapi berbeda diungkap oleh Setara Institute, konflik agama di Aceh pada tahun 2012 menempati rangking ketiga dengan jumlah 36 kasus, rangking pertama ditempati Jawa Barat dengan jumlah 76 kasus, sedangkan rangking kedua ditempati Jawa Timur dengan jumlah 42 kasus.[22]
Konflik bernuansa agama yang terjadi di Aceh terjadi dan membesar setelah peristiwa Tsunami tahun 2004.[23] Sampai saat ini kasus konflik bernuansa agama di Aceh minim penyelesaian dan seakan kasus itu dibiarkan begitu saja. Kasus tahun 2012 dan sebelumnya masih sengkarat, dan pada tahun 2013 ini, kasus kekerasan bernuansa agama terus terjadi. Eskalasi konflik itu muncul akibat beragam motif : mulai dari munculnya fatwa MPU terkait sesat dan atau menjurus sesat, ketidaktegasan pemerintah dalam menyelesaikan masalah, pembiaran aparat polisi karena mengatasnakaman kepentingan umum, persaingan antar Dayah atau lembaga pendidikan Islam, serta potret terbaru masyarakat Aceh adalah ‘melakukan penghakiman sendiri’ atas orang atau kelompok yang dinilai menyimpang dan sesat. Berikut adalah beberapa peristiwa konflik bernuansa agama di Aceh :
1. Penyesatan dan Pengusiran Abu Alimin (Dayah Hamzah Fansuri)
Dayah Miftahussa’adah Hamzah Fansuri berlokasi di Desa Lampageu, Ujung Pancu,  Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Tempat pendidikan agama ini biasa dikenal dengan Dayah Hamzah Fansuri, dan dipimpin oleh seorang tokoh bernama Abu Alimin. Pada tahun 2013 ini, Dayah ini dituding sesat oleh masyarakat sekitar, dan pimpinannya Abu Alimin beserta keluarganya diusir dari tempat mereka tinggal.[24]
Konflik bernuansa agama di Dayah Hamzah Fansuri berawal dari kecemburuan sosial yang muncul dari beberapa Dayah sekitar. Beberapa kali Abu Alimin pimpinan Dayah Hamzah Fansuri difitnah dan dicaci maki oleh beberapa pimpinan Dayah sekitar lokasi Dayah dan dijadikan bahan ceramah saat khutbah Jum’at di masjid sekitar. Konflik antara Dayah ini semakin menguat setelah beberapa pimpinan Dayah di daerah Ujung Pancu menggalang kekuatan alumninya untuk memojokkan dan mempersalahkan Dayah Hamzah Fansuri..[25]
Salah satu yang diperalat untuk memojokkan Abu Alimin dan Dayah Hamzah Fansuri adalah setelah lembaga ini menyelenggarakan kemah Sastra Hamzah Fansuri dengan tema “Manusia dan Tuhan” yang diselenggarakan beberapa organisasi  Dayah Hamzah Fansuri meliputi Institut Sastra Hamzah Fansuri (ISHF), Balai Sastra Samudera Pasai (BSSP), Ikatan Kader Dakwah Islam (ISKADA) Aceh, dan Forum Pemuda Mahasiswa Aceh (FMPA). Dengan logo panitia kemah sastra yang berjudul ‘Manusia dan Tuhan’ dan disitu ada gambar manusianya, terjadilah provokasi dari Dayah yang lain bahwa pengajian Abu Alimin telah menyimpang, sesat dan menyamakan manusia dengan Tuhan.[26]
Kemah sastra yang rencananya diadakan pada Jumat-Minggu, 22-24 Februari 2013 di Komplek Dayah Hamzah Fansuri, berakhir pilu. Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf yang awalnya akan membuka acara tidak hadir. Padahal, undangan sudah disebar, acaranya sudah siap dan karangan bunga dari berbagai simpatisan sudah berdatangan. Acara itu dibatalkan oleh Polsek Peukan Bada, Aceh Besar yang datang pada tanggal 21 Februari 2013. Dan pada saat bersamaan, Mukim Lampageu menggelar rapat pada 22 Februari 2013 yang agenda dan putusannya adalah membatalkan kegiatan Kemah Sastra Hamzah Fansuri. Musyawarah itu juga mengundang warga yang tidak mengerti terhadap duduk persoalannya.
Musyawarah Mukim Lampageu juga mengirimkan surat tembusan ke Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) terkait pernyataan sikap pembatalan Kemah Sastra Hamzah Fansuri. Menindaklanjuti dari surat pernyataan itu, akhirnya MPU berkunjung ke masjid Kepemukiman Lampageu pada tanggal 28 Maret 2013, dan juga bertemu dengan tokoh masyarakat serta Muspika di kantor Camat Peukan Bada. Setelah pertemuan tersebut, MPU membuat kesimpulan bahwa pengajian Abu Alimin tidak terbukti menyimpang dari syariat, dan tidak ditemukan bukti dan saksi.[27]
Tapi nasi sudah jadi bubur, fatwa MPU itu tidak diindahkan. Setelah fatwa MPU dikeluarkan, dilakukanlah aksi dan membuat surat pernyataan ke-2 yang berisi kesaksian bahwa Abu Alimin telah menyimpang dan memaksa Abu Alimin dan Dewan Guru pergi dari Dayah Hamzah Fansuri tidak lebih dari 3 x 24 jam. Masyarakat yang berasal dari tiga kampong : Lamguron, Lambaro Nejid dan Lambadek bertanda tangan bersepekat memaksa Abu Alimin, keluarga dan para guru untuk pergi. Tapi, tanda tangan itu tidak kuat, karena Gampung Lampageu dimana Dayah Hamzah Fansuri ada tidak mau untuuk bertanda tangan dan tidak sepakat Abu Alimin pergi dari daerah itu.
Pada tanggal 23 April 2013, terjadi aksi kembali, langsung menyerbu kompleks Dayah Hamzah Fansuri dan memaksa untuk bersepakat, jika tidak massa sudah terlihat brutal. Dalam kondisi terpaksa Abu Alimin dan pengurus Dayah Hamzah Fansuri dipaksa menandatangani perjanjian yang  berisi sebagai berikut :
§  Kami mewakili Abu Alimin, murid dan keluarga akan pindah dan menghentikan segala kegiatan dalam Gampong, Lampageu dalam waktu 1 x 24 jam
§  Dan kami bersedia menghadirkan Tgk Alimin untuk berdialog secara ilmiah dengan ulama dan tokoh masyarakat

Saat ini, Abu  Alimin dan keluarganya masih diungsikan, dan terpaksa pergi dari tempat tinggalnya. Pengusiran itu sangat disayangkan, karena massa yang menyerbu bukan dari Gampong Lampageu dimana Dayah Hamzah Fansuri tinggal. Dan pada saat bersamaan, pemerintah daerah tidak mengambil langkah-langkah yang strategis untuk menyelesaian konflik yang berlangsung. Polisi Polrestabes Banda Aceh sendiri pun tidak bisa berbuat banyak kecuali solusi mengungsikan Abu Alimin dan menyarankannya pindah dari tempat dimana sekarang ia tinggal. Abu Alimin dinilai para polisi telah ditolak dan tidak diinginkan oleh masyarakat di sekitar Dayah.[28]

2. Penyesatan, Penyerangan dan Pengusiran Tgk Barmawi
Tgk Barmawi tinggal di Dayah Al-Mujahadah di Gampong Ujong Kareung, Sawang, Aceh Selatan. Ratusan massa telah menyerbu dan merusak pagar dan papan nama Dayah ini pada tanggal 5 Maret 2013 setelah adanya fatwa MPU terkait penyesatan ajaran Tgk Barmawi. Fatwa penyesatan dikeluarkan oleh MPU pada tanggal 28 Februari 2013.[29] Untuk memastikan fatwa tersebut, Muspida, Muspika dan ratusan masyarakat mendatangi Dayah Al-Mujahadah dan membacakan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU. Setelah dibacakan, terjadilah pengrusakan dan kekerasan.
Pada saat pembacaan fatwa MPU di lokasi Dayah Al-Mujahadah, Tgk Barmawi dan jemaahnya sedangkan melangsungkan shalat jemaah Ashar.  Dan tidak berselang lama dari pembacaan, pagar dan papan nama Dayah Al-Mujahadah langsung dihancurkan, Satpol PP yang saat itu juga hadir menerobos masuk dan merusak papan nama Dayah Al-Mujahadah. Saat itu sudah dapat dipastikan bahwa pengrusakan Dayah dan dilanjutkan dengan penyegelalan Dayah Al-Mujahadah sudah direncanakan bersama, antara masyarakat dengan pemerintah daerah setempat.[30]
Pada saat pengrusakan, penyerangan dan penyegelan itu juga hadir aparat polisi dan TNI, mereka menjadi saksi bagaimana aksi massa itu berlangsung dan yang menjadi problem polisi dan TNI tidak berbuat apa-apa dan membiarkan aksi itu berlanjut. Pada saat itu, dipasanglah segel pemberitahuan fatwa MPU di halaman Dayah Al-Mujahadah yang dipimpin oleh Tgk Barmawi.
 Segel itu sampai saat ini masih tetap terpampang, dan aktifitas Tgk Barmawi tidak diperbolehkan. Tgk Barmawi sendiri saat ini telah diusir oleh Muspida dari kampung halamannya pada bulan Maret 2013.[31] Pada saat peneliti melangsungkan penelitian di Aceh pada 2 Juli-13 Juli, peneliti mendapatkan informasi terbaru bahwa rumah Tgk Barmawi kembali dibakar oleh sekelompok massa yang tidak dikenal pada saat waktu subuh. Artinya, kondisi rumah dan Dayah Tgk Barmawi saat ini masih belum aman dan belum jelas penyelesaiannya yang konkrit dari berbagai pihak. Polisi sendiri kebingunan untuk menyelesaikan kasus Tgk Barmawi, karena kasus yang terjadi berawal dari putusan MPU dan ditindaklanjuti oleh Muspida dan Muspika setempat. Polisi sendiri beralasan hanya menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Soal sesat dan menyesatkan itu urusan MPU.[32]
Terkait penyesatan sendiri, Tgk Barmawi menolak terhadap putusan sesat  MPU, karena dirinya berkali-kali mencoba mendatangi MPU dan tidak  bertemu. Dirinya juga menolak memiliki ajaran bahwa shalat cukup dengan niat, tidak shalat berjamaah dan jumat. Itu tidak benar menurut Tgk Barmawi. Tapi sebelum semua itu terklarifikasi, tiba-tiba muncul fatwa MPU terkait penyesatan dirinya. Persoalan utama masalah yang menimpa Tgk Barmawi sebenarnya bukan terkait ajaran, karena ajaran Tgk Barmawi sudah lama berpraktek. Kasus itu bermuara dari konflik jual beli lapangan sepak bola.  Setelah lapangan sepak bola itu dimiliki oleh Dayah Al-Mujahadah yang dipimpin oleh Tgk Barmawi, lapangan itu tidak diperbolehkan untuk menjadi tempat bermain karena beberapa kali terjadi keributan antara masyarakat, bahkan dengan beberapa aparat keamanan yang sering main di lapangan itu. Karena untuk menghindari konflik, lapangan sepak bola itu pun ditutup dan diniatkan akan dibangun perluasan Dayah.[33]

3.Penyesatan, Pengusiran dan Pembakaran Tgk Aiyub
Tgk Aiyub bin Syakubat  tinggal di Desa Jambo Dalam, Kecamatan Plimbang, Kabupaten Bireuen, Aceh dan merupakan guru agama dan melayani pendalaman ilmu agama. Peristiwa yang menimpa bermula dari datangnya Fauzi bin Muslim, warga Alue Bie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen beserta kerabatnya untuk menjenguk istri Tgk Aiyub yang sedang melahirkan pada jam 18. 00 WIB Minggu 20 Maret 2011. Tetapi setelah itu jam 21. 00 WIB datang Syarifuddin, Sekdes Jambo Dalam beserta Tgk Roiyani, imam Desa. Mereka berdua mengaku telah mendapat laporan bahwa Tgk Aiyub kedatangan tamu. Kedua perangkat Desa itu berpendapat bahwa penerimaan tamu itu tidak benar berdasar Keputusan Musyawarah Desa Rabu, 16 Maret 2011. Keputusan itu menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh menemui Tgk Aiyub kecuali seidzin perangkat Desa. Sebab Tgk Aiyub dinilai melakukan penyimpangan akidah.
Setelah itu, kedua aparat Desa itu menuntut tamu Tgk Aiyub, yaitu Fauzi untuk meninggalkan rumah. Tapi, permintaan itu tidak dipenuhi, Fauzi hanya memindahkan mobilnya sekitar 200 meter dari rumah Tgk Aiyub. Suasana mencekam itu berlanjut pada keesokan harinya, Senin 21 Maret 2011, jam 10. 00 WIB pekarangan  Tgk Aiyub sudah disesaki dengan massa, dan saat bersamaan polisi pun datang. Walau polisi datang, amuk massa tidak terhindarkan pada jam 01. 00 WIB. Dan polisi berhasil mengamankan Tgk Aiyub dan para pengikutnya, dan membawa mereka ke Polres Bireuen.
Amuk massa meluas. Isu aliran sesat menyebar hingga Desa Lhok Mane dan Peuneleb, Kecamatan Simpang Mamplam dan Jangka Bie, Kecamatan Jangka. Massa membakar mobil, tiga unit sepeda motor dan dua balai pengajian di rusak. Dari proses amuk massa itu, Tgk Aiyub dan pengikutnya yang berjumlah 24 orang menjalani pemeriksaan di Polres Bireuen. Pada tanggal 23 Maret 2011, Tgk Aiyub dan pengikut juga mendapat pemeriksaan dari MPU Biruen. Tgk Hanafiah, Plt Ketua MPU menyatakan bahwa MPU belum dapat memutuskan ajaran Tgk Ayyub sesat. Menurutnya belum ada bukti-bukti yang kuat.
Setelah itu, Pemkab Biruen meminta Tgk M. Ishak, imam besar masjid Jami’ Biruen menampung kelompok Tgk Ayyub untuk tinggal di masjid dan sekaligus diminta untuk memberikan pengarahan. Kata-kata ‘pengarahan’ dan ungkapan Bupati  Biruen Nurdin Abdul Rahman seakan mengarahkan kebersalahan pada Tgk Aiyub. Namun demikian, politisasi terus berlanjut hingga 5 dan 6 April 2011. Karena itu, MPU kembali turun dan memeriksa kembali. Dari pemeriksaan itu, MPU membuat putusan blunder yang menyatakan bahwa ajaran Tgk Aiyub menjurus pada kesesatan.
Putusan MPU menjadi polemik Karena tidak tegas. Namun, MPU tetap mendorong Muspida untuk bersikap, yaitu memaksa Tgk Aiyub dan pengikutnya untuk menandatangani surat pernyataan menerima atau menolak putusan MPU. Dengan terpaksa, Tgk Aiyub menandatangani surat menerima putusan MPU. Namun demikian, Dra Anisah Camat Plimbang menyatakan bahwa masyarakat menolak kelompok Tgk Aiyub kembali ke Desa, kecuali menarik laporannya ke polisi terkait pembakaran yang dilakukan oleh massa.
Blunder kasus Tgk Aiyub terus berlanjut. Jumat 29 April 2011, Muspida menggelar pertemuan yang dihadiri Muspika dari empat kecamatan. Hasilnya, semua perangkat Desa harus tunduk pada fatwa MPU dan Tgk Aiyub beserta pengikutnya harus mengakui bahwa perbuatan mereka telah menyebabkan keresahan, meminta maaf kepada masyarakat dan menyatakan kembali pada ajaran Islam yang lazim dijalankan oleh masyarakat. Setelah itu, Tgk Aiyub dan pengikutnya dikembalikan pada masyarakat.[34]
Setelah kembali ke Desa dan berkumpul dengan masyarakat, pada tanggal 30 April 2011, sejumlah perangkat Desa kembali mengelurkan surat penolakan kembalinya pengikut Tgk Aiyub, yaitu Fauzi, Muslem dan Imran. Keesokan harinya, mereka bertiga harus meninggalkan desa masing-masing. Mereka dipaksa mengakui ajaran gurunya sesat dan menjerumuskan masyarakat. Putusan Desa ini memutus kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Kasus Tgk Aiyub seakan anti klimak.[35]
Puncak dari penyesatan Tgk Aiyub terjadi pada Jumat, 16 November 2012, dimana rumah dan Tgk Aiyub sendiri dibakar oleh massa. Pembakaran itu bermula ketika warga curiga terhadap aktifitas Tgk Aiyub di rumahnya. Pada pukul 22. 30 WIB sekitar 500 warga datang ke rumah mengkerumuni rumah Tgk Aiyub, dan pada saat itu Tgk Ayyub berkumpul sama beberapa muridnya. Merasa akan diserang, pengikut Tgk Aiyub bersiap untuk melakukan perlawanan. Setelah massa bertambahnya banyak, sekitar 1. 500 orang. Bentrok tidak terelakkan, 3 orang tewas dan 9 orang luka parah.  Tgk Aiyub sendiri mati hangus terbakar di dalam rumahya.
 Peristiwa yang menimpa Tgk Aiyub sangat disayangkan terjadi, karena dari proses awal, potensi-potensi konflik sebenarnya sudah terlihat. Bahkan, sebelum peristiwa pembakaran meletus, aparat polisi sebenarnya sudah tahu dan mensiagakan pasukannya di Polres Biruen. Tapi, polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tidak bisa bertindak maksimal, sehingga bentrok terjadi dan korban nyawa juga berjatuhan. Menurut beberapa aktifis di Aceh, kasus pembakaran Tgk Aiyub menjadi bukti bahwa fungsi kepolisian, baik di sektor intelejen, binmas, dan reskrim gagal total dalam menjalankan fungsinya. Polisi cenderung membiarkan kasus itu terjadi dan tidak menanganinya dengan serius semenjak awal.[36]

4. Penyegelan dan Penutupan Gereja di Aceh Singkil
Penyegelan dan penutupan gereja itu terjadi pada 1-3 Mei 2012 dilakukan pemerintah dan beberapa Ormas atas persetujuan Plt Bupati Aceh Singkil Ir. H. Razali AR. Gereja-gereja yang disegel antara lain: GPPD Biskang di Nagapaluh, Gereja Katolik di Nagapaluh, Gereka Katolik di Lae Mbalno, GKPPD Siatas, GKPPD Tubuhtubuh, GKPPD Kuta Tinggi, KGPPD Tuhtuben, HKI unung Meriah, GMII Mandumpang, Gereja Katolik Mandumpang, Rumah ibadah Pambi, Aliran kepercayaan daerah dan beberapa gereja lainnya.
Alasan penyegelan terhadap gereja dan beberapa tempat ibadah tersebut adalah untuk menertibkan rumah ibadah yang tidak beridzin. Selain itu, alasan Bupati yang ditemui pimpinan Gereja pada 2 Mei 2012 karena terkait perjanjian bersama umat Islam dan telah ditandatangani bersama pada tahun 1979, dimana pada saat itu telah disepakati bahwa di Aceh Singkil hanya boleh ada 1 gereja dan 4 undung-undung (rumah doa). Bupati juga menyebutkan bahwa Aceh adalah daerah istimewa dimana provinsi ini berbeda dengan provinsi lain termasuk dalam pengaturan rumah ibadah.
Dalam pertemuan itu juga Bupati membenarkan adanya aksi damai dari kalangan umat Islam yang meminta supaya Perjanjian tahun 1979 ditegakkan kembali dan meminta pembongkaran gereja-gereja yang tidak memiliki izin. Berdasar alasan tersebut, Bupati memerintahkan para pimpinan gereja yang hadir untuk membongkar sendiri gereja mereka. Dan jika tidak, maka pemerintah akan membongkar secara paksa.
Aliansi Sumut Bersatu juga menyebutkan bahwa penyegelan 20 rumah ibadah di Aceh Singkil tidak lepas dari demonstrasi ratusan umat Islam pada 30 April 2012 di Kantor Bupati Aceh Singkil. Mereka berorasi menuntut ketegasan Pemkab Aceh Singkil menegakkan kembali Perjanjian tahun 1979. Mereka juga menyampaikan kekecewaannya terhadap FKUB dan MPU yang tidak bertindak demi Islam dan membiarkan gereja menjamur di Aceh. Pada saat itu juga ada pernyataan blunder dari seorang polisi yang kebetulan menjaga demonstrasi. Polisi itu adalah Bambang Syafrianto yang menjabat sebagai Kapolres di Aceh Singkil. Bambang menyatakan dalam orasinya “Bagaimana kalau kita berikan toleransi bagi umat Kristen membongkar gerejanya yang tidak berizin 3 x 24 jam dan kalau tidak kita bentuk tim untuk membongkar?” Tawaran Kapolres itu kemudian diamini ratusan demonstran umat Islam yang hadir.
Kesepakatan yang dibuat saat demonstrasi itu kemudian menjadi bahan Bupati dan selanjutnya Ia mengeluarkan Surat kepada Ketua Pembangunan / Pimpinan Gereja perihal pemberitahuan bahwa pada tanggal 1 Mei akan diturunkan Tim Penyelesaian Sengketa Pembangunan Rumah Ibadah di Wilayah Kabupaten Aceh Singkil untuk melakukan penertiban / penyegelan rumah ibadah yang tidak memiliki izin pendirian rumah ibadah. Pada waktu yang ditentukan, yaitu tanggal 1-3 Mei, tim yang dibentuk Bupati itu pun turun dan  melakukan penertiban gereja-gereja dan tempat ibadah yang tidak beridzin. Kedatangan tim itu sontak membuat keributan di beberapa tempat ibadah di Aceh Singkil. Di gereja GKPPD Siatas,  60 orang ibu-ibu histeris menangis ketika tim akan menyegel gereja mereka. Ketua Pembangunan, Guru Jemaat dan Kepala Desa Siatas dan Pertabas ikut menentang tindakan tim ini. Guru Jemaat St. Norim Berutu mengatakan, jika gereja disegel maka jemaat tidak akan bisa beribadah sehingga mereka bisa terjerumus dalam kesesatan. [37]
Peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil bila dibaca lebih jauh, sebenarnya sarat dengan kepentingan politis di dalamnya. Sebelum penyegelan dan penutupan terjadi, kehiduan beragama di Aceh Singkil berjalan sangat harmonis selama bertahun-tahun. Tapi, setelah dilangsungkan pemilihan kepala daerah di Aceh di daerah itu, dan salah satu kandidat kepala daerah yang saat ini telah menjadi Bupati masuk ke jemaat gereja-gereja dan berjanji akan melegalisasinya. Pada saat bersamaan, calon yang kalah mengetahui strategi Bupati terpilih. Terjadilah politisasi terhadap umat Islam, dan akhirnya meletuslah peristiwa penyegelan dan penutupan gereja.[38]  Salah satu yang disegel itu adalah gereja Katolik Napagaluh, Singkil.
 Cerita kronologi di atas adalah beberapa konflik bernuansa agama yang terjadi di Aceh saat ini. Secara umum, konflik bernuansa agama terjadi di antara umat Islam sendiri yang berujung pada penyesatan, dan konflik umat Islam dengan non muslim. Selain di atas, tercatat masih banyak konflik yang terjadi di daerah Aceh. Konflik yang terjadi di internal Islam meliputi penyesatan terhadap kelompok Millata Abraham di Banda Aceh tahun 2010,[39] penyesatan Komunitas Laduni (Aceh Barat), penyesatan Mirza Al-Fath (Aceh Utara), konflik Dayah dengan Muhammadiyah tahun 2002 di desa Pudawa Aceh Timur,[40] ancaman terhadap warga Banda Aceh yang menuntut pengecilan volume suara speaker masjid,[41] dan beberapa peristiwa lainnya. Menurut Affan Romli, sebagian besar kasus yang terjadi di Aceh langsung dieksekusi oleh masyarakat dengan tindakan pengusiran, penyerangan dan sebagian yang lain didorong atas fatwa sesat yang dikeluarkan oleh MPU.[42]
Sedangkan konflik dengan non muslim tidak hanya terjadi di Aceh Singkil, di kota Banda Aceh juga terjadi. Polisi Banda Aceh sudah mencatat beberapa tempat ibadah yang tidak beridzin dan akan ditindak. Gereja-gereja itu antara lain : Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD), Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Gereja Kristen Kudus Indonesia (GKKI), GPDI Protestan, GKI Protestan, GBI Protestan, Advent (Perkumpulan Do’a Bersama), Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII), Vihara Sanggar Abahya (Hindu), Vihara Minche (Hindu), Vihara Dewi Samudra, Vihara Maitri, Vihara Sakyamuni dan Kuil Palani Andawar. Di Banda Aceh tercatat 4 gereja yang legal dan 1 vihara yang legal.[43]
Terkait dengan konflik dengan non muslim, Pdt Purba dari Jemaat Kristen Indonesia mengatakan, saat ini tidak ada rasa aman dalam beragama di Aceh. Polisi tidak memberi perlindungannya. Kita menyewa hotel untuk beribadah juga dilarang, dan polisi tidak mau menjaga keamanan. Bahkan, ketika penyerangan terhadap Gereja Bethel Indonesia, polisi datang setelah peristiwa terjadi, padahal saat itu juga anak-anak. Pemerintah daerah juga tidak memfasilitasi hak untuk beribadah. Beberapa bertemua Bupati, pada saat itu juga Bupati tidak mau bertanggungjawab jika ada penyerangan dari sekompok orang. Polisi juga tidak mau bertanggungjawab untuk menjaga keamanan untuk beribadah.[44] Padahal kata Purba, beribadah itu adalah hak dan mesti dilindungi atas rasa amannya oleh aparat negara.[45]

Penyelesaian Kasus Oleh Polisi
Keberadaan polisi harapannya bisa melerai terhadap konflik bernuansa agama yang berkembang di Aceh saat ini. Dengan segenap fungsi yang dimilikinya, baik di sektor intelejen, binmas dan atau pada sektor  represi di satreskrim. Tapi, keberadaan polisi di Aceh dari beberapa pimpinan polisi yang berhasil peneliti wawancarai, mereka telah mendeklarasikan diri bahwa terkait ‘sesat dan menyesatkan’ sepenuhnya ada di pundak MPU. Sedangkan polisi hanya bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.[46] Di samping itu, problem jarak menjadi kendala tugas polisi di Aceh.[47]
Dalam kasus yang menimpa Abu Alimin, pimpinan Dayah Hamzah Fansuri, polisi mengatakan telah melakukan langkah-langkah mulai mediasi dengan masyarakat, bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat, dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah berupaya melakukan tindakan-tindakan pengamanan. Bahkan, ketika kasus terjadi, pengamanan Abu Alimin, polisi yang bertindak. Jika tidak, sangat mungkin akan terjadi amuk massa dan membayakan nyawa Abu Alimin dan para pengikutnya.[48]
Menurut polisi, dari berbagai langkah yang telah dilakukan, satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik Abu Alimin adalah meminta pindah Abu Alimin, Karen jika tidak, amuk massa sangat mungkin terjadi. Apalagi, Abu Alimin dinilai telah ditolak oleh masyarakat sekitar. Untuk saat ini, Abu Alimin masih diungsikan dan diamankan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan polisi.[49]
Terkait kasus yang menimpa Tgk Barmawi, institusi kepolisian mengaku memang tidak bisa berbuat banyak. Ajaran Tgk Barmawi telah di fatwa sesat oleh MPU, fatwanya juga telah dibacakan langsung di depan Dayah Dayah Al-Mujahadah yang saat itu juga ada Tgk Barmawi. Polisi sendiri mengakui bahwa salah satu yang memicu konflik bernuansa agama di Aceh adalah karena keberadaan fatwa MPU.[50] Namun begitu, polisi mengatakan bahwa keputusan MPU tetap harus menjadi rujukan terkait apakah satu kelompok sesat ataukah tidak. Tugas yang dilakukan kepolisian semata agar setelah fatwa keluar, tidak terjadi kekerasan dan tetap menjaga bagaimana keamanan dan ketertiban masyarakat dapat terjaga.[51]
Salah satu fatwa MPU yang mendorong konflik adalah apa yang terjadi pada Tgk Aiyub. Dalam kasus ini, institusi kepolisian mengakui pihaknya gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Fungsi intelejen tidak jalan, fungsi Binmas juga tidak jalan sehingga perdamaian antar kelompok bertikai tidak terjalin dengan baik. Fungsi reskrim juga dinilai telah jalan.[52] Ujung kasus itu adalah pembakaran Tgk Aiyub dan berdampak beberapa korban yang terbunuh. Polisi mengakui pihaknya telah berupaya melakukan tugasnya baik intel, binmas dan reskrim, tapi semuanya tidak maksimal.[53]
Sedangkan konflik agama yang melibatkan dengan non muslim, polisi mengakui sangat dilematis. Kasus yang terjadi di Singkil, polisi dihadapkan dengan kesepakatan antar umat beragama tahun 1979, dimana di daerah Singkil di sepakati hanya ada 1 gereja dan 4 undung-undung (tempat doa),[54] sedangkan terkait beberapa tempat ibadah yang di larang di Banda Aceh, polisi mempersoalkannya pada peridzinan tempat. Terkait persoalan yang terjadi di Singkil dan di Banda Aceh, institusi kepolisian mengaku mengambil sikap mengikuti aturan hukum utamanya terkait peridzinan, yaitu, pertama, memastikan satu tempat ibadah harus ada peridzinannya, jika tidak ada polisi akan menindak dan tidak akan bertanggungjawab jika terjadi penyerangan.[55] Kedua, memastikan untuk menjaga kedamaian dan kerukunan, tapi kalau terjadi konflik, polisi akan merujuknya pada prosedur hukum dan administrasi yang berlaku.[56]
Secara umum, para pimpinan polisi yang berhasil peneliti wawancarai mengakui bahwa masyarakat Aceh sangat sensitif bila berkaitan dan berurusan dengan persoalan agama. Orang Aceh siap mati bila di bilang kafir.[57] Orang Aceh sangat fanatik dengan agama, rujukannya pasti Dayah yang biasanya diisi oleh tokoh-tokoh yang bergelar Abuya, Abi dan Tgk.[58] Karena itu, polisi mengakui bahwa mereka harus senantiasa berkoordinasi dengan MPU yang diyakini mewakili kepentingan Dayah, tidak berkonflik dengan keputusan mayoritas, dan menggunakan rangka aturan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Aceh.[59]

Analisa Teori
Membedah konflik bernuansa agama di Aceh sangat rumit. Satu sisi Aceh adalah bagian dari Negara Indonesia, dan pada sisi yang lain Aceh adalah daerah yang diberi kewenangan otonomi khusus, salah satu kekhususan yang diberikan adalah penyelenggaraan pemerintahan yang mendasarkan pada syariat Islam dan menyelenggarakan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam.[60]  Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh tentu akan mengingatkan kita kembali pada tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan kemudian dihapus oleh Soekarno-Hatta karena dinilai akan menghambat kebhinnekaan Negara Indonesia.[61] 
Membaca ketatanegaraan Aceh dalam bingkai syariat Islam sebagai salah satu pijakan ototominya, tentu ini akan berbeda dengan ketika kita akan membaca Indonesia. Ada beberapa contoh Negara yang melambangkan identitas agama dan negaranya. Pertama, negara dan agama menjadi identitas kebangsaannya, contohnya adalah Iran. Di Iran, agama dan negara bercampur jadi satu. Kedua, negara dan agama ditempatkan sebagai satu yang dilarang, contohnya adalah negara-negara bekas Uni Soviet, atau Polandia di bawah Komunisme. Ketiga, Negara-negara dan agama tertentu menjadi basis identitas keagamaan mayoritas penduduknya, seperti Islam di Pakistan atau Kristen di negara-negara Skandinavia. Keempat, negara-negara dimana warga negaranya memeluk agama yang beraneka ragam.[62]
Dari beberapa model hubungan negara dan agama di atas, Indonesia mungkin akan masuk pada model keempat, dimana satu negara dihuni oleh beraneka ragam pemeluk agama. Negara juga menjamin dalam konstitusi perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan menyatakannya sebagai hak yang  non derogable rights. [63]  Suasana itu akan berbeda ketika melihat tata pemerintahan Aceh yang secara tegas menyatakan bahwa pemerintahan didasarkan pada kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dan menyelenggarakan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam. Setelah itu muncul beberapa peraturan daerah atau qanun yang mengatur perihal peribadahan, aqidah dan hubungan sosial yang bersendikan syariat Islam. Aceh bila digambarkan, mungkin sama dengan Iran, dimana pemerintahan dan agama Islam adalah satu kesatuan. Dan, keberadaan MPU menjadi salah satu rujukan berhukumnya.
Telaah relasi negara dan agama dalam konteks pemerintahan Aceh peneliti menilainya sangat penting, karena Aceh dengan kewenangan yang khusus jelas akan berbeda pemberlakuannya hukumnya ketika akan mengulas konflik bernuansa agama Aceh. Setidaknya, segenap aparat pemerintahan Aceh dapat berapologi bahwa bahwa kebebasan beragama di Aceh dipenuhi sepanjang bersesuaian dengan kerangka syariat Islam yang telah menjadi dasar hukum dan dasar adat istiadat yang bersendikan nilai-nilai agama Islam. Setidaknya saat ini, hukum di Aceh telah mendua antara hukum positif sebagaimana diatur dalam KUHP, dan hukum syariat Islam yang telah diatur dalam qanun dan beberapa peraturan daerah.
Berdasar dari problematika tersebut, konflik bernuansa agama di Aceh mengharuskan pendekatan paradigma, pertama, terlepas dari ideologi apapun yang saat ini menjadi pijakan pemerintahan Aceh, pemerintah Aceh dengan berbagai instrument hukumnya harus memastikan bahwa hak beragama dan berkeyakinan harus dijamin keberadaannya, dihormati sebagai hak yang sifatnya privat dan dilindungi hak atas peribadahannya. Beragama dan berkeyakinan tidak bisa dipaksakan oleh pemerintah, karena agama atau pun keyakinan sama sekali tidak bisa diberikan oleh negara.[64]  Bahkan, dalam Al-Qur’an yang menjadi pijakan Islam dalam mengatur kehidupan sangat tegas mengatur perihal tidak ada paksaan dalam berkeyakinan dan beragama.[65] Menurut Ismail Faruqi, setiap manusia diberi kesanggupan untuk mengenal Allah bila akal dipakai dengan jujur dan benar.[66]
Kedua, konflik bernuansa agama di Aceh, sampai saat ini belum pernah melewati lembaga peradilan yang terbentuk, seperti Mahkamah Syar’iyah yang bertugas untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran hukum syariah di Aceh. Selama ini, kasus bernuansa agama di Aceh selesai setelah MPU mengeluarkan fatwa, dan yang sering terjadi adalah aksi massa yang mengadili secara langsung terhadap seorang atau kelompok yang dituduh sesat. Situasi ini menjadi petanda, bahwa supremasi hukum syariah dalam penyelesaian konflik agama di Aceh tumpul. Dan kita mesti sadar bahwa fatwa, aksi massa dan menghakimi sendiri (eigenrichting) yang tidak disertai proses peradilan sebenarnya adalah ketidakadilan dan wajah dari sistem hukum yang brutal .[67]
Ketiga, para polisi yang ada di Aceh bagaimana pun adalah bagian dari aparat yang mesti mempergunakan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Karena itu, polisi harus mengerjakan tugasnya seperti biasa, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, bertanggungjawab atas perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia.[68] Karena itu, segala bentuk diskriminasi, penghakiman massa, dan perlindungan hak asasi setiap manusia harus dilakukan. Polisi tidak boleh mentelantarkan warga Indonesia hidup  dengan rasa tidak aman dan hidup dengan ancaman. Apapun agama dan kepercayaan warga negara, mereka wajib untuk dilindungi hak-haknya. Jika tidak sebenarnya polisi telah melanggar HAM.[69]
Keempat, konflik bernuansa agama menurut peneliti adalah bermuara dari tidak jelasnya konsep syariat Islam yang dikembangkan oleh pemerintah Aceh. Kondisi ini juga terkuak saat dilangsungkangnya riset dan diskusi yang dilangsungkan oleh Yayasan Insan Cita Madani. Dalam riset dan diskusi tersebut dinyatakan bahwa salah satu permasalahan penerapan syariat Islam di Aceh adalah karena pemberlakuan qanun yang masih diskriminatif, materi qanun yang tidak spesifik dan  dan timbulnya interpretasi yang beragam, qanun cenderung berlaku bagi yang lemah, pilih kasih, penerapan tidak sesuai aturan dan syariat cenderung dimaknai sebagai symbol dan politik.[70] Karena itu, banalisasi kekerasan yang dilakukan oleh aksi massa adalah pantulan dari kegagalan sistem hukum di Aceh dan struktur kekuasaan tanpa disadari telah mendorong proses-proses kekerasan itu.[71]  
Dari berbagai pemikiran di atas, Aceh sebenarnya adalah harapan bagaimana di masa depan mereka dapat mengkonstruksi kewenangan otonomi khususnya dengan baik. Sangat mungkin pemerintahan Aceh akan lebih bagus dari pemerintahan Indonesia yang saat ini juga dirundung dengan berbagai persolan pelik terkait dengan konflik yang bernuansa agama. Dalam sejarahnya, Aceh pernah tercatat sebagai daerah yang minim konflik agama, dan pluralisme konon pernah tertaut dengan namanya : Aceh.  Perubahan mendasar perlu dilakukan sehingga serambi mekkah itu tidak selalu hidup dengan konflik dan banalitas yang tidak terkontrol.



[1] Deskripsi Provinsi Aceh, lihat di repository .ipb. ac. id. Diakses pada 29 Juli 2013
[2] Ibid
[3] Olle Tornquist, dkk (Editor), Aceh : Peran Demokrasi Bagi Perdamaian dan Rekonstruksi, PCD Press, Yogyakarta, 2010, hlm 75
[4] Ibid, hlm 75
[5] Ibid, hlm 76
[6] Pasal 16 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[7] AA Sudirman (Editor), Analisis Qanun-Qanun Aceh Berbasis Hak Asasi Manusia, DEMOS-Kementrian Luar Negeri Norrwegia, 2011, hlm vi
[8] Syaiful Akmal, Islam dan Keniscyaan Pluralitas, dalam Fajran Zain dan Muhammad Alkaf (Ediotor), riyeuk : Aceh, Pluralisme dan Inisiatif, Aceh Institute Press, Banda Aceh, 2008, hlm 44-45
[9] Dalam sejarah, Islam adalah agama yang sangat menekankan pada aspek pluralism dalam menyikapi perbedaan-perbedaan. Perbedaan teologi dan fikih telah biasa di zaman Nabi. Lihat Yudi Latif, Islam dan Pluralisem : Teologi Inklusif Untuk Kemaslahatan Bersama, dalam Fajran Zain dan Muhammad Alkaf (Ediotor), ibid, hlm 97-98
[10] Persoalan etnisitas dan penggolongan kelompok di Aceh sebenarnya dimulai dari berbagai konflik muncul, baik dengan Belanda dan terkhusus dengan pemerintah Indonesia. Untuk menundukkan Aceh, maka dilakukanlah upaya-upaya yang dapat memecah belah kehidupan sosial dengan sentimen etnis, dan lainnya. Dan itu, berpengaruh bagi nuansa kehidupan sosial Aceh saat ini. Baca Otto Syamsuddin Ishak, Praduga Aceh,  Ibid, hlm 93
[11]  Sejak Gubernur Abdullah Puteh mendeklarasikan penerapan syariat Islam di Aceh pada 1 Muharram 1423H/14 Maret 2002, sampai saat ini, polemik  penerapan syariat Islam di Aceh masih berlangsung. Di antara polemik itu adalah pemahaman syariat Islam yang cenderung pada pemahaman fiqh, pemberlakuan qanun yang masih diskriminatif, materi qanun banyak yang belum jelas dan tidak spesifik sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam, ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi syariat (wilayatul hisbah), masih berlakunya dualism hukum : KUHP dan hukum Islam, masih adanya perlawanan masyarakat terhadap terhadap polisi syariat yang melakukan penegakan terhadap syariat Islam, cenderung politisasi dan simbolisasi, qanun tidak didasarkan pada kajian yang memadai, upaya pembelaan (hak tersangka) tidak ada, jinayah berat seperti korupsi belum diatur, pelaksanaan piliha kasih (ada intervensi), qanun cenderung berlaku hanya pada orang yang lemah, partisipasi kelompok minoritas tidak dilibatkan, kebijakan qanun bersifat elitis (top down), sosialisasi hukum syariat masih kurang, tidak ada partisipasi publik, perempuan cenderung dikorbankan, dan beberapa lainnya. Baca Murizal Hamzah (Editor), Polemik Penerapan Syariat Islam di Aceh (Bunga Rampai Diskusi Publik, Seminar dan Riset Syarita Islam, Yayasan Insan Cita Madani bekerjasama dengan Yayasan Kemitraan Indonesia, Banda Aceh, 2007, hlm 8-11
[12] Di Aceh, kepercayaan yang diakui di internal Islam hanyalah ahlussunnah wal jamaah, dan tidak lainnya. Hal ini diatur pada Pasal 6 ayat 1 Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Pasal 6 ayat 1 berbunyi “Setiap muslim wajib mengokohkan dan mengisi akidah Islamiyah berdasarkan ahlussunnah waljamaah dalam jiwa dan perilaku pribadinya, keluarga dan masyarakat”. Berikut adalah beberapa muatan peraturan tersebut yang berpotensi terhadap penyalahgunaan wewenang. Pasal 4 ayat 1 “Setiap pemeluk agama Islam wajib mentaati, mengalamalkan/menjalankan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna”. Pasal 5 ayat 1 “Untuk Mewujudkan keistimewaan Aceh di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di Daerah, berkewajiban menjunjung tinggi pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupannya”. Pasal 7 “Pemerintah daerah dan masyarakat wajib mencegah dan memberantas segala bentuk tindakan dan /atau perbuatan yang bersifat kufur, syirik, khurafat, atheisme dan gejala-gejala lainnya yang menjurus ke arah itu, yang bertentangan dengan aqidah islamiyah”. Pasal 10 ayat 1 “Pemerintah daerah mengatur, menertibkan dan mengawasi pelaksanaan segala sesuatu yang berkaitan dengan muamalah di dalam kehidupan masyarakat menurut ketentuan syariat Islam”. Pasal 12 ayat 1 “Pemerintah daerah mengatur tata tertib pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan tuntutan Syariat Islam”.   Pasal 13 ayat 4 “Setiap warga masyarakat wajib melaksanakan dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar”. Pasal 15 ayat 2 “Pemerintah daerah dan institusi masyarakat wajib mencegah dan meniadakan perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan prinsip Syariat Islam”. Pasal 15 ayat 4 “Setiap pemeluk agama selain Islam diharapkan menghormati dan menyesuaikan pakaian/busananya sehingga tidak melanggar tatakrama dan kesopanan masyarakat”. Baca Zainal Abidin, Analisis Qanun Syariat Islam Aceh dari Perspektif Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik (KIHSP), dalam  AA Sudirman (Editor), Analisis Qanun..Op. cit.  hlm 1-15
[13] Wawancara Fajri Aidit, anggota Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Perdamaian (JMSP) Aceh  pada 9 Juli 2013
[14] Menurut Furqon anggota MPU banyak didominasi oleh sekelompok Ulama’ yang tergabung dalam Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Selain HUDA, terdapat organisasi Ulama yang lain di Aceh, diantaranya Persatuan Ulama’ Seluruh Aceh (PUSA) yang beraliran wahabi, Majelis Ulama’ Nanggroe  Aceh (MUNA) yang menjadi sayap Ulama’ partai Aceh yang  beraliran sunni (NU), dan Persaturan Tarbiyah Islamiyah. Dari sekian organisasi Ulama’ tersebut, semua mengusung madzhab yang relatif berbeda. Wawancara Furqan (Tim Investigasi Kontras) pada 7 Juli 2013
[15] Pasal 3 dan 4 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Dengan Eksekutif, Legislatif dan Instansi Lainnya.
[16] Pasal 5 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Dengan Eksekutif, Legislatif dan Instansi Lainnya.
[17] Pasal 9 dan 10 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Dengan Eksekutif, Legislatif dan Instansi Lainnya.
[18] MPU sendiri melalui Surat Keputusan No. 3 tahun 2007 telah menetapkan kriteria paham/aliran yang menyimpang dari Islam, Inventarisasi Masalah Kontemporer dan Tausiyah. Kriteria itu meliputi, pertama, mengingkari dari salah satu rukun iman yang 6 (enam) dan rukun Islam yang 5 (lima), Kedua, meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an dan Nabi Muhammad wafat. Ketiga, mengingkari kebenaran dan kemurinian Al-Qur’an. Keempat, Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Terakhir. Kelima, melakukan penafsiran Al-Qur’an tidak berdasarkan kaidah ilmu tafsir. Keenam, mengingkari kedudukan hadist Nabi sebagai sumber dari ajaran Islam. Ketujuh, menghina, melecehkan para Nabi, para Rasul, para Sahabat yang mubassyarina bil jannah dan Sunnah Rasul.  Kedelapan, merubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat seperti berhaji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak 5 (lima) waktu dan sebagainya. Kesembilan, mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i yang sah seperti mengkafirkan muslim karena bukan anggota kelompoknya. Kesepuluh, sujud dan atau menyembah kepada selain Allah. Kesebelas, mengingkari hari pembalasan. Keduabelas, meyakini keqadiman alam. Ketigabelas, meyakini semua agama adalah sama. Keempatbelas, meyakini bahwa ilmu allah mujmal, tidak meliputi hal-hal yang rinci (mufassal). Kelimabelas, pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani pada hari akhirat. Keenambelas,  meremehkan nama-nama allah dan atau melemparkan mushaf/al-qur’an, kitab-kitab hadis ke tempat-tempat yang kotor, menjijikkan sebagai penghinaan. Ketujuhbelas,  menghalalkan yang haram dan atau mengharamkan yang halal yang telah ijma’.
[19] Pasal 14 dan Pasal 15 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam
[20] Pasal 19 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam
[21] Ringkasan Eksekutif The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahuan Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012,  hlm 5
[23] Menurut pengakuan beberapa aktifis yang peneliti temui, peristiwa kekerasan bernuansa agama di Aceh terbilag tidak ada, tetapi kasus itu muncul dan membesar setelah peristiwa Tsunami tahun 2004. Harus diakui pada waktu itu katanya berdatangan banyak tourist asing yang membantu korban Tsunami yang dahsyat dan mereka tidak beragama Islam. Wawancara Candra, Direktur Litbang LBH Aceh pada 3 Juli 2013, wawancara Al-Faraby, anggota Forum Rakyat Aceh  pada 3 Juli 2013 dan Fajri Aidit, anggota Jaringan Masyarakat Sipil Aceh Untuk Perdamaian pada 9 Juli 2013
[24] Wawancara Fajri Aidit pada 9 Juli 2013 dan wawancara Mustigal Putra (Direktur LBH Aceh), Candra (Devisi Litbang LBH) dan Hendra Syah Putra (Devisi Advokasi Kontras Aceh) pada 3 Juli 2013
[25]  Lihat foto copy Pernyataan Resmi Pengurus Dayah Miftahussa’adah Hamzah Fansuri Al-Farisi M. S
[26]  Dalam sejarah Aceh, pernah terjadi konflik Ulama’  antara Hamzah Fansuri dan kelompoknya yang dinilai memiliki paham wahdatul wujud, hulul, ittihad, dan mahabbah yang serupa dengan Al-Hallaj, ditentang oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri yang tidak sepakat dengan aliran wujudiah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin As-Sumatrani. Penentangan Nuruddin Ar-Raniri semakin membara dan konon setelah Ar-Raniri  menjadi mufti kerajaan Aceh membakar karya-karya Hamzah Fansuri dan menghukum pancung para pengikutnya. Baca Hilmy Bakar Almascaty, Misteri Syekh Hamzah Fansuri, di http://aceh.tribunnews.com/2013/03/03/misteri-syekh-hamzah-fansuri. Diakses pada 9 Juli 2013. Baca juga Pesona Ulama Aceh, Atjeh Times, Edisi 56 (1-7 Juli 2013), hlm 11-17
[27] Lihat Surat Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten Aceh Besar, No. 019.3/18/2013 perihal Hasil Kunjungan Silaturahmi
[28]  Wawancara Ade Adriansyah Saputra (Kasat Intel Poltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 2001), wawancara Moffan (Kapoltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 1990) yang ditemani oleh AKBP Bekti (Kasatreskrim Banda Aceh/Lulusan Akpol 2000) pada 10 Juli 2013
[29] Baca Fatwa MPU No. 01 Tahun 2013 tentang Ajaran Yang Dikembangkan Oleh Tgk Ahmad Barmawi Pimpinan Al-Mujahadah di Desa Ujong Kareung, Sawang, Aceh Selatan. Dalam fatwa ini disebutkan, bahwa pemerintah daerah diminta untuk mencabut idzin operasional Yayasan Al-Mujahadah, meminta pemerintah untuk menutup pengajian yang dinilai sesat dan menyesatkan, dan selalu mengawasi perkembangannya.
[31]  Wawancara Fajri Aidit pada 9 Juli 2013
[32]  Wawancara Agus, S.H, M.H, Direktur Binmas Polda Aceh
[33]  Wawancara Fajri Aidit pada 9 Juli 2013
[34]  Tgk Aiyub beserta pengikutnya setelah kembali ke kampong  dan telah melewati proses yang melelahkan di kepolisian, MPU dan Muspida, mereka mengajukan permintaan jaminan keamanan kepada kepolisian. Surat itu berisi, pertama, jaminan keamanan/kebebasan hak yang sama dengan warga yang lain. Kedua, tidak ada larangan bagi setiap orang yang mengunjungi/bersilaturahmi. Ketiga, tidak ada jenis pemaksaan dalam mengikuti kegiatan gampong bila dalam keadaan uzor.
[35] Eddy Syah Putra, Ramai-ramai Menuduh Sesat, Majalah Jejak “Ketika Tentara Main Tanah”,  Edisi I/Tahun 2011, hlm4-5
[36] Wawancara Destika Gilang Lestari (Direktur Kontras Aceh), Mustiqal Syah Putra (Direktur LBH Aceh), Hendra Syah Putra (Devisi Advokasi Kontras) dan Chandra (Devisi Litbang LBH Aceh) pada 3 Juli 2013
[37] Pelanggaran Kebebasan Beragama di Aceh Singkil, Fact Sheet Edisi II, 2012, The Wahid Institute dan Yayasan Tifa
[38]  Wawancara Fajri Aidit, anggota Masyarakat Sipil Untuk Perdamaian, pada 9 Juli 2013
[39] Wawancara Al-Farabi dari Forum Rakyat Aceh pada 3 Juli 2012
[40]  Pada tahun itu, dilangsungkan peletakan batu pertama masjid Muhammadiyah. Karena tidak suka dengan keberadaan minoritas Muhammadiyah di tempat itu, masyarakat yang mengikut peletakan batu pertama itu dilempar oleh batu oleh santri yang  tinggal di Dayah. Seorang ibu dan beberapa anak remaja kena lemparan batu itu. Wawancara Rezha (pengurus Muhammadiyah Banda Aceh dan tinggal di Kota Langsa Aceh) pada 4 Juli 2013
[42]  Affan Romli, Jubir Komunitas Aceh Untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KAYA) mengatakan bahwa potret kebebasan beragama di Aceh sangat buruk. Pemerintah abai, dan banyak tuduhan sesat pada keyakinan tertentu. Dari sekian kasus, tidak ada penyelesaian yang lewat mekanisem hukum (legal), dan masyarakat tidak terkontrol dan melakukan aksi massa sendiri dengan melakukan kekerasan dan pengusiran.  Selain kasus tersebut, kasus kekerasan lain yang mengatasnamakan agma terjadi Ujung Pancu (Aceh Besar), Lamteuba (Aceh Besar), Suka Damai (Banda Aceh),  Guhang (Acah Barat Daya), Nisam (Aceh Utara) dan Kota Binjai Julok (Aceh Timur). Baca Pernyataan draf Siaran Pers Komunitas Aceh Untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KAYA) di http://indonesiatoleran.or.id/2013/05/siaran-pers-komunitas-aceh-untuk-kebebasan-berkeyakinana-dan-beragama-kaya/. Diakses pada 1 Juli 2013
[43] Data diperoleh dari Poltabes, Banda Aceh pada 10 Juli 2013
[44] Menurut pimpinan polisi di Poltabes Banda Aceh, umat kriseten banyak yang menempati ruko-ruko dan bahkan hotel untuk dijadikan tempat ibadahnya. Polisi mengakui bahwa pihaknya tidak mau bertanggungjawab jika ada kasus kekerasan dan atau penyerangan, karena tempat yang digunakan bukanlah tempat ibadah yang beridzin. Wawancara Ade Adriansyah Saputra (Kasat Intel Poltabes Banda Aceh/Luluasan Akpol 2001), wawancara Moffan (Kapoltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 1990) yang ditemani oleh AKBP Bekti (Kasatreskrim Banda Aceh/Lulusan Akpol 2000) pada 10 Juli 2013
[45] Wawancara Pendeta Purba pada 10 Juli 2013
[46] Wawancara Ade Adriansyah Saputra (Kasat Intel Poltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 2001), wawancara Moffan (Kapoltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 1990) yang ditemani oleh AKBP Bekti (Kasatreskrim Banda Aceh/Lulusan Akpol 2000) pada 10 Juli 2013, dan  wawancara Agus Nugroho (Direktur Binmas Polda Aceh) pada 4 dan 5 Juli 2013. 
[47] Wawancara Denny Gapril (Direktur Intelejen Polda Aceh/Lulusan Akpol 1986) pada 5 Juli 2013
[48] Denny Gapril selaku Direktur Intelejen Polda Aceh mengatakan, salah satu pihak yang paling khawatir terhadap amuk massa adalah Komnas HAM. Komnas meminta polda untuk segera turun ke lapangan dan mengkawal Abu Alimin agar tidak terjadi amuk massa seperti yang terjadi dan menimpa Tgk Aiyub. Ibid
[49] Wawancara Ade Adriansyah Saputra (Kasat Intel Poltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 2001), wawancara Moffan (Kapoltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 1990) yang ditemani oleh AKBP Bekti (Kasatreskrim Banda Aceh/Lulusan Akpol 2000) pada 10 Juli 2013
[50] Munculnya konflik bernuansa agama di Aceh dalam banyak hal memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan MPU. Dalam kasus Tgk Aiyub, MPU terlihat tidak tegas dan jelas dalam memutuskan fatwanya. Dalam kasus Tgk Aiyub terlihat bahwa MPU takut kepada Himpunan Ulama’ Dayah Aceh (HUDA), demikian juga Departemen Agama (Depag). Wawancara Furqon (Tim Investigasi Kontras) pada 7 Juli 2013
[51] Wawancara Agus Nugroho (Direktur Binmas Polda Aceh) pada 4 dan 5 Juli 2013. 
[52] Menurut Hendra Syah Putra, tim advokasi Kontras Aceh, polisi di fungsi reskrim terlihat tebang pilih ketika memproses hukum. Hukuman juga hanya diberikan kepada pihak Tgk Aiyub. Pernyantaan Hendra ini berbeda dengan pengakuan Subakti, Wakil Direktur Satreskrim Polda Aceh. Menurut Subakti, dirinya telah berupaya dan telah menghukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kerusuhan dan berdampak juga terhadap kematian beberapa orang.  Wawancara Hendra Syah Putra pada 3 Juli 2013 dan Subakti, Wadir Satreskrim Polda Aceh pada 11 Juli 2013
[53] Wawancara Agus Nugroho (Direktur Binmas Polda Aceh) pada 4 dan 5 Juli 2013
[54] Ibid
[55] Alasan peridzinan inilah yang menjadi tema besar polisi menjawab terhadap sikapnya tidak mau bertanggungjawab ketika ada kasus penyerangan dan atau pun kekerasan terhadap non muslim di Aceh. Satu saat, kaum Kristen pernah menyewa hotel untuk dijadikan tempat untuk beribadah, tapi polisi memberitahukan pihak hotel jika terjadi kekerasan, polisi tidak akan bertanggungjawab. Demikian juga ibadah-ibadah yang dilangsungkan di ruko, polisi mempermasalahkannya pada peridzinan tempat. Lihat wawancara dengan Moffan (Kapoltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 1990) yang ditemani oleh AKBP Bekti (Kasatreskrim Banda Aceh/Lulusan Akpol 2000) pada 10 Juli 2013
[56] Merujuk pada hukum ini maksudnya adalah memastikan siapa yang bersalah atas motif yang mendorong terjadinya konflik bernuansa agama. Jika terjadi kekerasan di tempat ibadah yang illegal, maka yang patut dipersalahkan menurut polisi adalah pengguna tempat ibadah yang illegal itu. Wawancara Ade Adriansyah (Kasat Intel Poltabes Banda Aceh/Lulusan Akpol 2001)  pada 10 Juli 2013
[57] Wawancara Al-Faraby (anggota Forum Rakyat Aceh) pada 3 Juli 2013
[58] Wawancara Syahrul (Masyakat yang tinggal di Aceh Utara) pada 5 Juli 2013
[59] Namun demikian, ada salah seorang polisi yang mengakui memiliki keberhasilan dalam mengelola konflik bernuansa agama dengan menggunakan pendekatan Polmas. Polisi itu adalah Drs Subakti, Wakil Direktur Satreskrim, Polda Aceh dan merupakan lulusan Akpol tahun 1990.. Subakti ketika menjadi Kapolres di Abbddya, mengakui pernah menangani kasus bernuansa agama dan berpotensi akan terjadi bentrokan. Nama kelompok yang dituduh sesat adalah ‘Sali Buta’,  yaitu sekelompok orang  yang berkumpul di satu tempat melakukan ritual haji. Kelompok itu meyakini bahwa setelah melakukan ritual itu mereka menyatakan telah seperti pergi berhaji. Beberapa kali kelompok itu telah dilempar. Tapi sebelum kasus itu meluas, Subakti melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan MPU, dan menjelaskan bahwa kelompok Sali Buta adalah orang-orang awam, dan ibadah mereka sama dengan masyarakat pada umumnya. Setelah pendekatan itu, tokoh masyarakat, MPU dan masyarakat sendiri akhinya mengerti dan dapat memahami apa yang dilakukan oleh kelompok Sali Buta. Pendekatan Polmas selalu Subakti lakukan dank arena itu, ketika menjadi Kapolres Ia pernah dicalonkan oleh warga untuk menjadi Bupati di di Abbddya.  Wawancara Subakti pada 11 Juli 2013 dan Syafrizal (wartawan) pada 11 Juli 2012
[60] Lihat Pasal 16 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[61]  Muhammad Yamin , Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta,  1959, hlm154-155
[62] Ihsan Alil Fauzi, dkk, Mengelola Keragaman : Pemolisian Kebebasan Beragama di Indonesia, Yayasan Wakaf Paramadina, MPRK UGM dan The Asia Foundation, Jakarta, 2012, hlm 25-26
[63] Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 berbunyi  “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”
[64] W. Cole Durham Jr, Mamfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Melalui Perundang-Undangan Asosiasi Keagamaan, dalam Tore Lindholm, dkk (Editor), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan : Seberapa jauh? Sebuah Rerensi tentang Prinsip-prinsip dan Praktek, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm 339
[65] Lihat pesan Al-Qur’an dalam Qs. 2 : 256
[66] Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, Komnas HAM, Jakarta, 2007, hlm121-122
[67]  Sunardi, dkk, Republik Kaum Tikus, EDSA Mahkota, Jakarta, 2005, hlm67-69
[68]  Pasal 4 No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, serta Pasal 30 ayat 4 UUD 1945
[69] Muhammad Syafari Firdaus, dkk, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia : Sebuah Panduan,  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,  Jakarta, 2007, hlm 7
[70]  Murizal Hamzah (Editor), Polemik Penerapan Syariat… Op. Cit.
[71] Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat, Galang Press, Yogyakarta, 2004, hlm 116-125

0 comments:

Post a Comment