08 January 2014
Polisi Dalam kasus Nuansa Agama, Kekerasan Perempuan dan Pungli
Wednesday, January 08, 2014
2 comments
“Tugas keseharian polisi adalah memelihara
keamanan,
menjaga ketertiban masyarakat, menegakkan hukum
dan
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat"
M. Syafi’ie
Membincangkan kinerja polisi
tidak pernah selesai. Setiap saat pasti ada evaluasi terhadapnya. Peran dan
tanggungjawab polisi selalu penting untuk dibincangkan. Bukan karena apa, karena polisi bisa dikatakan adalah
satu-satunya lembaga negara yang diberikan otoritas konstitusi untuk menjaga
keamanan, memelihara ketertiban dan menegakkan hukum. Pucuk perbincangan
masyarakat ketika terjadi persoalan keamanan dan ketertiban pasti tidak lepas
dari polisi. Sikap masyarakat itu sekali lagi sangat beralasan, karena Pasal 30
ayat 4 UUD 1945 sangat tegas menyatakan bahwa Kepolisian Ripublik Indonesia adalah alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum”.
Di
antara peristiwa yang menyita perhatian publik adalah peristiwa kekerasan yang
bernuansa agama, penangananan kasus kekerasan seksual perempuan dan kerap
terjadinya peristiwa pungutan liar dalam pengurusan surat menyurat di
kepolisian. Ketiga peristiwa itu selalu menjadi perbincangan masyarakat dan
polisi selalu dipertanyakan peran dan tanggungjawabnya terkait kapasitas mereka
sebagai aparat negara yang bertugas menjamin hak atas rasa aman setiap warga
negara, menjamin penegakan hukum yang non diskriminasi dan menjamin pelayanan
publik yang tidak koruptif.
Dalam
peristiwa bernuansa agama, kita akan menemukan begitu banyak kerisauan
masyarakat terkait tanggungjawab kepolisian. Dalam laporan The Wahid Institute
2012 dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan yang terus menerus. pelanggaran itu berupa
pelanggaran itu dilakukan oleh state
actor dan non state actor. Pelanggaran
yang dilakukan oleh state actor
berupa pembiaran aparat, pelarangan rumah ibadah, pelarangan aktifitas
keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan dan intimidasi.
Sedangkan pelanggaran yang dilalakukan oleh non
state actor berupa ancaman kekerasan, penyerangan, pelarangan rumah ibadah,
pemaksaan keyakinan, diskriminasi agama, pelarangan aktifitas berdasar agama,
penyebaran kebencian, pengrusakan properti, penyesatan, kriminalisasi keyakinan
dan pembunuhan bermotif agama. Menurut The
Wahid Institute, pelaku pelanggaran utama kebebasan beragama oleh state actor adalah polisi.[1]
Data serupa dirilis Setara Institute yang menyebut bahwa pelanggaran kebebasan
beragama di Indonesia didominasi oleh pejabat negara (state actor).[2]
Kasus lain
yang juga mencuat di tubuh kepolisian adalah perspektif penanganan polisi terhadap
kasus kekerasan seksual perempuan. Sampai saat ini belum ada perubahan sistemik
di tubuh kepolisian dan mengubah wataknya yang terlalu ‘laki-laki’. Satjipto
Rahardjo pernah mengatakan bahwa sejarah kepolisian
ialah sejarah dunia laki-laki, terutama kaitannya dengan sifat kekerasan yang
melekat pada pekerjaan pemolisian.[3]
Harus diakui bahwa institusi kepolisian beberapa tahun terakhir telah membuat
kebijakan progresif dengan membentuk Unit Khusus Perempuan dan Anak (UPPA) di
setiap Polres. Tapi, itupun masih di Polres, di Polsek dimana kepolisian
langsung bersentuhan dengan persoalan-persoalan ril masyarakat, UPPA belum
dibentuk. Padahal, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dominan terjadi
pada lingkungan domestik. UPPA dipastikan sulit menyentuh persoalan-persoalan
perempuan yang hidup di masyarakat.
Terlepas dari keberadaan UPPA, insitusi
kepolisian harus diakui masih kuat dengan paradigmanya yang meskulin. Perempuan
yang telah menjadi korban kekerasan, biasanya ketika melapor kepada petugas
kepolisian, perempuan seringkali menjadi korban kedua kalinya. Kenapa? Karena
pertanyaan dan ungkapan kata-kata penyidik sangat tidak sensitif pada
perempuan. Kata-kata penyidik seringkali tidak ramah, menggiring kesalahan,
menyudutkan dan menyalahkan terhadap perilaku perempuan. Padahal kekerasan
berbasis gender adalah tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada
perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan
secara tidak proporsional. Termasuk didalamnya adalah tindakan yang berakibat kerugian
atau penderitaan fisik, mental, seksual, ancaman untuk melakukan tindakan,
pemaksaan dan bentuk perampasan kebebasan lainnya.[4]
Kata-kata penyidik melambangkan superioritas dan tidak resprect pada perempuan.
Dan kasus yang tidak kalah heboh
di tubuh kepolisian adalah menjamurnya praktek pungutan liar atau yang dikenal
dengan pungli. Pungli terjadi karena begitu banyaknya alasan para penegak hukum
untuk memaksa masyarakat untuk ‘merogoh’ koceknya,
baik karena alasan kepentingan administrasi, uang pengganti keringat, uang ketik,
uang tinta, uang jalan dan seterusnya. Masyarakat sekritis apapun seringkali
tidak berkutik, dan akhirnya menyerahkan uang kepada polisi. Walau ia tahu,
uang itu dipungut tanpa dasar hukum yang jelas.
Praktek pungli memang tidak
hanya marak di kantor kepolisian, tapi juga menggurita di kantor-kantor
pemerintahan lainnya, mulai kantor pemerintahan tingkat desa sampai dengan
pemerintah pusat. Penghukuman terhadap pelaku pungli rasanya belum efektif di
negari ini. Padahal, pungli merupakan bagian dari praktek korupsi, yaitu
pungutan yang melawan hukum, dilakukan oleh pejabat yang memiliki kekuasaan,
dan tujuannya adalah memperkaya diri sendiri dan kelompok pejabat. Mestinya,
pelaku pungli di hukum sehingga masyarakat tidak dikorbankan terus menerus. Dan
juga perlu diciptakan sistem yang
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Polisi
di Yogyakarta
Siapa yang tidak kenal dengan
Yogyakarta? Kota yang nyaman, multikultural dan sangat populer dengan kota
pendidikan. Di tempat ini, harmoni sosial masyarakat terbangun dengan baik.
Berbagai keyakinan dan kepercayaan relatif terjaga. Di tempat ini pula, terbentuk lembaga-lembaga
pengawasan pelayanan publik, sehingga masyarakat relatif mudah mengadukan
berbagai diskriminasi yang menimpa mereka. Karenanya polisi di Yogyakarta di
banding dengan daerah lainnya mestinya berbeda.
Di tengah suasana itu,
Yogyakarta juga tidak lepas dari berbagai masalah. Dan, salah satu aktor
masalah itu adalah polisi. Mengapa polisi? Karena sekali lagi, polisi adalah
pejabat yang berada di garda depan dalam menjamin hak atas rasa aman masyarakat
Yogyakarta. Di pundak polisi juga penegakan hukum yang adil dan non
diskriminasi dipertaruhkan. Sekali
polisi melakukan pembiaran terhadap aksi kekerasan, bertindak diskriminatif dan
bertindak korup, maka sebenarnya nuansa harmoni dan nyaman yang melekat dengan
Yogyakarta lambat tapi pasti telah terkikis. Sampai pada satu kesimpulan
sederhana, ternyata Yogyakarta tidak
jauh berbeda dengan pemerintahan yang lain : hak atas rasa aman, hak non
diskrimnasi dan hak bebas dari pungli, tidak terjamin di kota ini.
Beberapa
peristiwa yang berdampak negatif terhadap citra polisi di Yogyakarta adalah
tidak jelasnya penyelesaian kasus penyerangan kantor LKiS oleh beberapa
organisasi masyarakat karena menyelenggarakan diskusi yang mengundang Irsyad
Manji. Tepat pada tanggal 9 Mei 2012 terjadi penyerangan terhadap diskusi yang
diadakan oleh LKiS. Diskusi merupakan kegiatan rutin dan membedah buku karangan
Irshad Manji yang berjudul ‘Allah,
Liberty, and Love’. Saat diskusi itu berjalan sekitar 30 menit, ratusan
massa datang ke kantor LKiS. Mereka berteriak, memaksa masuk dan meminta
diskusi dihentikan. Pada waktu itu terjadi tindak kekerasan dan sebanyak tujuh orang peserta diskusi mengalami
luka-luka. Lima orang di antara mereka harus dilarikan ke rumah sakit.
Masalahnya waktu itu adalah polisi telat datangnya ke
lokasi kejadian dan tidak melakukan pengamanan. Padahal, kedatangan Irsyad
Manji ke Indonesia telah menghadirkan polemik di internal ormas Islam. Dan,
LKiS bekerjasama dengan Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) hanya sekedar
melangsungkan diskusi ilmiah dan merupakan hak dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sampai saat ini, penyelesaian kasus penyerangan dan
pengrusakan kantor LKiS tidak jelas ditangani oleh Polisi Daerah (Polda)
Yogyakarta. Masyarakat menunggu kepastian. Setelah dikonfirmasi, Polisi
Yogyakarta hanya menjawab bahwa yang bersalah adalah LKiS, karena
menyelenggarakan diskusi tanpa idzin. Jawanban polisi dalam hal ini persis
seperti polisi era rezim Orde Baru, dimana segala hal kegiatan harus mengantongi
idzin terlebih dulu. Persoalan idzin menarik untuk didiskusikan karena polisi
baru mempersoalkan idzin setelah terjadi peristiwa kerusakan. Problem lainnya
adalah pernyataan polisi Yogyakarta yang tidak akan bertanggungjawab atas pengamanan
jika suatu kegiatan telah ditolak ormas tertentu. Pernyataan yang tidak kalah
mengejutkan dari polisi Yogyakarta adalah bahwa pelaku penyerangan tidak
mungkin di hukum karena korban kekerasan di LKiS tidak berani ‘tunjuk’ hidung
pelaku. Situasi ini menjadi aneh, haruskah korban menunjuk pelaku kekerasan?
Padahal ada banyak saksi dan bukti!
Pernyataan polisi terkait peristiwa di LKiS merupakan
jawaban yang sangat tidak tepat. Bukankah tugas polisi adalah preventif,
pre-emptif dan represif?
Mestinya, polisi bertanggungjawab dan tidask mengelak terhadap tugas-tugas
pokok mereka yaitu menjaga keamanan, ketertiban dan menegakkan hukum. Jawaban
polisi terhadap peristiwa penyerangan di LKiS menjadi petanda buruk bagi
siapapun yang tinggal di Yogyakarta saat ini. Mereka yang berkeyakinan berbeda tidak
memiliki hak atas rama aman dan tidak
memiliki hak yang bebas untuk berkumpul dan berpendapat. Setiap orang kini
was-was akan keamanannya. Polisi saat ini seperti hidup dalam ketakutan
terhadap ormas tertentu yang tidak segan-segan melakukan kekerasan. Jika kasus
penyerangan LKiS dibiarkan sebagaimana kasus kekerasan bernuansa agama lainnya
yang marak, sangat mungkin desintegrasi bangsa akan terjadi, dan negara tidak
terkelola dalam mekanisme supremasi hukum.[5]
Selain kasus bernuansa agama, kasus yang sering
disuarakan oleh aktifis di Yogyakarta adalah peran polisi terhadap penanganan
kasus yang terkait perempuan. Paradigma polisi yang masih meskulin berakibat
selalu menyalahkan perempuan. Secara sederhana, kekerasan perempuan dapat
didefinisikan sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan kepada perempuan
yang memunculkan akibat psikis berupa perasaan tidak nyaman dan bahkan perasaan
takut hingga berupa perlukaan fisik.[6]
Dalam konteks kekerasan perempuan, polisi di Yogyakarta
masih kerap mendapatkan kritik, karena disana-sini masih ditemukan praktek yang
mendiskriminasi perempuan. Paradigma kepolisian Yogyakarta masih
belum sensitif terhadap isu-isu gender menjadi catatan tersendiri. Karena
bagaimanapun, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengadvokasi isu gender
polisi di Yogyakarta sangat massif. Termasuk diantaranya telah aparat polisi. Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana dengan
dengan peran polisi terhadap penanganan kasus perempuan di daerah-daerah
lainnya? Jawabannya tentu mudah di tebak. Karena itu wajar jika Komnas
Perempuan menyatakan bahwa dari 2011 hingga Juni 2013 sekitar 60% korban
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan terkriminalisasi. Bahkan
menurut Komnas Perempuan, sepanjang 2012 saja, tercatat 8.315 kasus kekerasan
terhadap istri, atau 66% dari kasus yang ditangani. Hampir setengah, atau 46%,
dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis.[7]
Kasus
yang tidak kalah menyedihkan dan menimpa institusi kepolisian di Yogyakarta
adalah praktek pungli. Tentu akan menjadi studi menarik terkait pungli di
Yogyakarta. Satu sisi pungli dilakukan oleh pejabat polisi dengan berbagai
alasan, tapi pada sisi yang lain, masyarakat di Yogyakarta hidup dengan sifat ‘ewuh pakewuh’, segan kepada seseorang yang
lebih tinggi kedudukannya dan perasaan hormat pada senioritas hingga berdampak
ketergantungan pada orang lain. Sifat ewuh
pakewuh pada akhirnya tidak peduli dengan konsep hak dan kewajiban.
Dalam
kasus pungli di Yogyakarta, dengan situasi budaya di atas agak rumit
memberantasnya yang namanya pungli. Kecuali ada ketegasan sistem, bahwa pungli
tidak dibenarkan sedikitpun dilakukan oleh polisi. Sebenarnya sudah ada aturan
yang tegas bahwa polisi dilarang menerima imbalan dari kerja-kerjanya,
salah satunya tercantum pada dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2011
tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tapi, sampai
saat ini praktek pungli di tubuh kepolisian di Yogyakarta masih terus
berlangsung dengan berbagai modus operandi.[8] Dan itu, tidak dibenarkan
sama sekali.
Kem
bali Pada Konstitusi
Praktek pembiaran dan
ketidaktegasan polisi dalam peristiwa penyerangan LKiS, praktek diskriminasi
perempuan serta maraknya pungli kantor kepolisian, yang kesemua itu tertulis
di beberapa media dan menjadi potret perilaku polisi yang berlawanan dengan perintah
konstitusi.[9]
Sebagaimana mandatnya, polisi adalah alat negara
yang harus menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.[10]
Secara
konstitusional, tidak dibenarkan praktek pembedaan atau diskriminasi penegakan
hukum. Semua warga negara yang berbeda-beda kayakinan, kepercayaan, keturunan, haluan politik, kedudukan dan
seterusnya harus diperlakukan secara setara. Dalam hal ini tidak ada pembenaran
sedikitpun atas nama mayoritas atau kepentingan kelompok tertentu, hukum
kemudian dapat dibeli dan digadaikan. Setiap pelanggaran hukum harus harus
ditindak dan tidak pandang bulu.
Dan
konstitusi juga memandatkan bahwa setiap warga negara tanpa diskriminasi harus
dijamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-haknya.[11]
Perlindungan berarti negara berkewajiban untuk melindungi terhadap tindakan
pelanggaran hak asasi manusia, baik dilakukan oleh negara dan atau pihak non
negara yang akan mengganggu. Penghormatan berarti negara berkewajiban untuk menahan diri agar
tidak melakukan intervensi, kecuali atas dasar landasan hukum yang sah. Sedang pemenuhan berarti negara berkewajiban
untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial dan praktis
yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia.[12]
Terkait
dengan tugas dan tanggungjawab kepolisian, disini menjadi jelas bahwa polisi
adalah pelindung, pengayom dan pelayan seluruh masyakat. Polisi juga adalah
penegak hukum yang harus dioperasikan tanpa diskriminasi. Seluruh warga negara
adalah setara dan tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang. Karena itu,
peristiwa penyerangan LKiS karena mengundang Irsyad Manji yang dilakukan ormas
harus diusut tuntas, dan pelaku kekerasannya harus di hukum. Praktek
diskriminasi terhadap perempuan korban kekerasan juga harus dihentikan.
Demikian juga praktek pungutan liar oleh polisi juga harus dihapuskan karena
pungli sama sekali tidak mencerminkan integritas penegak hukum yang diemban
polisi. Polisi harus berubah. Polisi mesti kembali pada mandat konstitusi!
[1] Baca Ringkasan Eksekutif :
Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, The Wahid
Institute
[2] Lihat di http://www.setara-institute.org/id/content/setara-institute-negara-gagal-jamin-kebebasan-beragama. diambil pada 23 Agustus
2013.
[3] Satjipto
Rahardjo, Membangun Polisi Sipil :
Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2007, hlm 108
[4] Rekomendasi Umum CEDAW No. 19
dalam Sidang ke-11, tahun 1992
[5] Disentrasi bisa terjadi bila
keadaan orang-orang dalam satu komunitas tidak lagi terjalin kerukunan dan
kebersamaan, dan yang terjadi adalah
praktek saling tikai dan saling menghancurkan. Gejala Indonesia menuju
desintegrasi salah satu tandanya adalah hadirnya pertikaian yang tidak pernah
berhenti antar anggota masyarakat, yang salah satu muaranya adalah konflik
bernuansa agama. Di antara konflik baik terjadi di intern agama seperti
Sunni-Syiah, Ahmadiyah-non Ahmadiyah, dan lainnya, dan atau konflik antar
keyakinan seperti Islam-Kristen, penyerangan rumah ibadah dan seterusnya.
Kekerasan itu kalau tidak ditangani serius oleh negara, khususnya oleh polisi
sebagai penegak hukum, kasus-kasus itu akan mendorong munculnya konflik sara
yang lebih besar.
[6] Niken Savitri, HAM Perempuan : Kritik Teori Hukum Feminis
Terhadap KUHP, Refika Aditama,
Bandung, hlm 47
[7] Lihat di http://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-60-persen-korban-kdrt-hadapi-kriminalisasi/1750372.html. Diunduh pada 22 Oktober 2013
[8] Baca Farouk Muhammad, Reformasi Kepolisian Negara Ripublik
Indonesia Dalam Konteks Pembangungan Sistem Peradilan Pidana, dalam Amri Syarifuddin dkk, Potret Penegakan Hukum di Indonesia, Komisi Yudisial, Jakarta,
2009, hlm 295-302
[9] Sunardi dkk, Republik Kaum Tikus, EDSA Mahkota,
Jakarta, 2005, hlm 51-66
[10] Pasal 30 ayat 4 UUD 1945.
Lihat juga Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian
[11] Pasal 28B ayat 2 UUD 1945
[12] Yosep Adi Prasetyo, dkk, Kajian
Komnas HAM terhadap Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8/2007 tentang Ketertiban
Umum
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
semakin mantap blognya kawan. Apakah kawan Puguh juga punya blog..? ~ salam takzim; bung Mul
ReplyDeleteHehehe, lumayan Kawan. Ketimbang terserak, mendingan dimasukkan ke blog. Mas Puguh sepertinya belum punya blog, padahal tulisan beliau lumayan banyak..
ReplyDelete