09 October 2013
Penegak Hukum Tak Mengerti Difabel
Wednesday, October 09, 2013
No comments
~~~ M. Syafi' ie
Berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik,
maka dengan peraturan yang buruk pun
saya bisa
membuat putusan yang baik
(Taverne)
Penegak hukum adalah pundak bagaimana hukum bisa merespon persoalan-persoalan
masyarakat. Adil atau tidak satu penegakan hukum, salah satunya bergantung
kepada para penegak hukum itu sendiri. Satjipto Rahardjo mengatakan, penegakan
hukum itu bukan merupakan satu tindakan yang pasti, yaitu sekedar menerapkan
satu peraturan hukum pada satu kejadian, sebab penegakan hukum ibarat menarik
garis lurus antara dua titik : antara hukum dan manusia. Pada level
hukum yang normatif, penegakan
hukum terlihat sederhana dan mudah, tinggal menerapkan satu peraturan. Tapi,
penegakan hukum sebenarnya tidak semudah itu, karena penegak hukum harus
mengerti tentang konteks sosial masyarakat, keadaan manusia yang bermasalah
dengan hukum, dan bagaimana teks hukum harus diterapkan pada sisi yang lain.
Para penegak hukum dalam konteks
sosial dan kondisi manusia yang kompleks, mereka harus ahli dan adil dalam
memutuskan satu hukum. Keahlian disini dimaksudkan bahwa para penegak hukum
harus mengerti tentang teks hukum, tapi juga tidak kalah penting adalah mereka
ahli untuk menggali persoalan-persoalan sosial dan soal yang menjadi persoalan
manusia yang tidak tunggal. Keahlian untuk mengerti dan memahami teks, konteks
dan problematika manusia, setidaknya akan menjadi bekal bagaimana mereka
menyelesaikan satu persoalan secara adil. Keadilan hukum adalah representasi
bahwa hukum tidak semata ditegakkan dengan teks, tapi juga konteks dan untuk
memanusiakan manusia.
Artidjo Alkostar mengatakan, persoalan
pelik para penegak hukum di Indonesia adalah karena mereka masih terbelenggu
akibat kapsul positivisme hukum eropa kontinental abad 18. Keadilan dalam
perspektif rezim hukum kontinental hanyalah kepastian hukum dan tidak ada
kaintannya dengan keadilan sosial masyarakat. Berhukum persis eropa
kontinental, cukup berbekal hafalan pasal-pasal, dan penegak hukum tidak
berkewajiban menggali terhadap persoalan-persoalan sosial yang hidup di
masyarakat. Tidak ada kewajiban bagi para penegak hukum untuk mengerti kondisi
dan situasi manusia yang berhadapan dengan hukum. Tepatnya, para penegak hukum
di Indonesia adalah hanya corong Undang-Undang. Penegak hukum tidak boleh
keluar dari teks, dan dituduh melanggar kode etik jika melampuai teks. Situasi
itu yang pernah dialami oleh Bismar Siregar, seorang hakim yang disebut
Satjipto Rahardjo memiliki paradigma progresif dan responsif. Bismar Siregar
dicibir dan dikritik oleh para hakim di masanya. Karena itu, tepat rasanya jika
mengatakan bahwa mayoritas penegak hukum di Indonesia adalah robot. Mereka
berbuat, menetapkan dan bahkan memutuskan hanya berbekal pasal-pasal.
Suasana penegakan hukum yang positivis
itulah yang kerap menciderai keadilan dan kemanusiaan. Suasana itu biasa
dirasakan oleh kelompok rentan, salah satunya adalah difabel yang berhadapan
dengan hukum. Difabel cukup banyak
variannya, diantaranya adalah tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa,
tuna grahita, mental retarted, dan beberapa lainnya. Difabel itu
bermacam-macam, dan masing-masing memiliki kebutuhan yang serba khusus. Ketika
bermasalah dengan hukum, mereka kerap terdiskriminasi dan tidak terfasilitasi
di ruang peradilan.
Beberapa contoh nyata itu ialah ketika
korban atau terdakwa tuna rungu atau tuna wicara, para penegak hukum biasanya
tidak memfasilitasi bahasa isyarat. Jika korban, terdakwa atau kuasanya
menuntut fasilitasi bahasa isyarat, penegak hukum rata-rata tidak menerima,
karena hak atas penterjemah bagi mereka hanya berlaku bagi bahasa asing, dan
tidak untuk bahasa isyarat. Kondisi itu
juga biasa dialami oleh bagi penyandang tuna netra. Karena tidak bisa melihat,
kesaksiaanya biasa di tolak para penegak hukum. Sangat wajar, pelaku pencabulan dan pemerkosaan terhadap
perempuan penyandang tuna netra lepas dari pertanggungjawaban hukum. Padahal,
sudah ada visut et repertum, hamil
dan melahirkan anak, korban mengenal pelaku, dan bukti-bukti lain yang memperkuat
bukti pemerkosaan. Tapi pelaku pemerkosaan biasa lepas dan korban kerap
dipersalahkan karena ia buta. Hal yang sama juga terjadi bagi korban penyandang
mental retarded, atau orang-orang yang
mengalami keterbelakangan mental. Kasus itu salah satunya terjadi di Sukoharjo.
Para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) tidak berani menggunakan
Undang-Undang Perlindungan Anak bagi seorang siswi SLB yang dicabuli dan diperkosa
gurunya berkali-kali. Umur kalender siswi itu adalah 22 tahun, tapi mentalnya
masih 9 tahun. Penegak hukum tidak berani menggunakan Undang-Undang
Perlindungan Anak dengan alasan aturan hukum positif.
Tentu, masih banyak kasus lain yang
menimpa difabel yang berhadapan dengan hukum. Para penegak hukum mayoritas
tidak mengerti situasi dan kondisi kebutuhan khusus difabel. Peradilan akhirnya
menjadi tidak fair, berjalan sepihak, tidak menggali fakta-fakta yang timbul, dan
difabel beserta keluarganya biasa menelan pil pahit karena perlakuan aturan
hukum dan penegak hukum yang mempersalahkan mereka. Mayoritas difabel saat ini
masih terdiskriminasi dan tidak terfasilitasi secara manusiawi di dunia
peradilan. Padahal, mereka adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat,
memiliki bahasa yang sangat dapat dimengerti, memiliki rasa dan memiliki
pengetahuan terhadap hal-hal yang terjadi pada mereka. Persoalannya, aturan hukum yang lampau dan
penegak hukum yang ortodoks tidak memanusiakan mereka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment