05 July 2013

Penyalahgunaan Wewenang

Hukum pasti bertitik tolak pada satu  hal, yaitu hubungan manusia dan hukum. Semakin landasan sebuah teori bergeser ke faktor peraturan, maka ia menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik.  Sebaliknya, semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan
(Bernard L. Tanya)


M. Syafi’ie


Mempersalahkan masyarakat atas kesalahannya tentu sangat  mudah. Tinggal mengurai tindakan, kualifikasi kesalahan, dan setelah itu ada jelas sanksi hukumnya. Tapi, untuk mempersalahkan pemangku kebijakan atas penyalahgunaan wewenangnya, kita tidak bisa berharap banyak  apakah kesalahan itu diproses secara hukum, dan diberikan sanksi yang setimpal.  Bahasa refleks masyarakat seringkali muncul : ‘begitulah hukum, tajam ke bawah  tapi pasti tumpul ke atas’. Ucapan itu sederhana, tapi senantiasa muncul karena masyarakat merasa begitu banyak ketidakadilan atas perilaku pemangku kebijakan yang sewenang-wenang, dan masalahnya tidak terjamah oleh supremasi hukum.


Salah satu potret penyalahgunaan wewenang itu kerap muncul di institusi  kepolisian. Mengapa? Karena institusi ini begitu lengkap dengan segenap otoritas dan kekuasaan. Otoritas itu antara lain adalah kewenangan untuk menangkap, menahan, menembak, dan menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam aturan hukum. Polisi memiliki begitu banyak perangkat pemaksa : mulai  borgol, senjata api, penjara,  sampai dengan pasukan yang bisa ditugaskan  setiap saat.  Dengan kewenangan yang begitu kuat itu, alat pemaksa yang tidak main-main, institusi dan aktor kepolisian menjadi sangat rentan atas penyalahgunaan wewenang. Mereka dengan kekuasaannya bisa bertindak apapun. Memisahkan kepentingan diri sendiri dengan tanggungjawab tugas pada sisi yang lain menjadi sangat kabur.

Masyarakat sangat rentan oleh kesewenang-wenangan polisi. Betapa tidak? Masyarakat adalah orang-orang  biasa ditemui, diawasi dan dipersoalkan berkait dengan tindakan-tindakanya. Kalau masyarakat bersalah, dan diproses secara hukum, itu sudah menjadi jalan yang benar. Tapi, tidak semudah itu hukum itu ditegakkan. Satjipto Rahardjo mengatakan, penegakan hukum bukanlah pekerjaan yang mudah, tidak  sekedar  membalikkan telapak tangan dan hanya menerapkan pasal-pasal. Dalam penegakan hukum, seorang polisi pasti dihadapkan dengan satu yang kompleks : aturan hukum satu sisi, dan kepentingan kemanusiaan pada sisi yang lain. Ketika penegak hukum sudah menerapkan hukum sebagaimana dalam pasal, mungkin tidak bermasalah menurut teks hukum, tapi menurut dimensi kemanusiaan dan keadilan, bisa jadi itu masalah besar. Disitulah ada etika penegakan hukum, dimana dan bagaimana hukum itu harus ditegakkan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat.

Memang harus diakui bahwa penegakan hukum bukanlah satu yang mudah, karena selain persoalan legis dalam aturan hukum dan soal kemanusiaan pada sisi yang lain, penegakan hukum juga bisa tidak berdasar kepentingan keduanya. Aturan hukum bisa dipermainkan, dan dalam banyak hal bahkan diperjualbelikan. Pasal-pasal yang ada dalam teks mungkin tidak bekerpentingan atas apapun, tapi penegak hukum yang berkuasa menerapkan pasal-pasal itu sangat potensi untuk mempermainkan dan menjual belikannya. Penerapan satu pasal, atau pasal-pasal yang lain bisa berdampak penghukuman, pembebasan, dan atau pemberatan atau pengurangan satu hukuman.  Disini kita bisa mengatakan bahwa penegakan hukum bukanlah satu yang steril dari ragam kepentingan.

Penegakan hukuman adalah salah satu area yang dimana penyalahgunaan akan berlangsung. Tapi kita harus tahu, bahwa tidak hanya disitiu penyalahgunaan wewenang itu berlangsung, masih banyak tempat yang lain dimana kekuasaan dapat berjalan tidak sesuai rel yang semestinya. Dalam kondisi itu yang dibutuhkan saat ini kontrol terhadap kekuasaan. Tidak hanya kontrol internal dalam satu institusi kekuasaan, tapi yang paling penting juga adalah kontrol dari ekstenal kekuasaan. Institusi-institusi negara yang memang khusus dibentuk sebagai lembaga pengawasan harus didorong independensinya, netralitasnya, dan kewenangan pengawasannya yang kuat. Selain itu, masyarakat juga harus menjadi bagian penting pengawasan itu. Mengapa? Karena masyarakat adalah orang-orang yang rentan untuk diberlakukan sewenang-wenang oleh aparat. Mulai salah tangkap, salah tembak, tidak mendapatkan keadilan dalam proses hukum, tidak dipenuhi hak-haknya dalam peradilan, diberlakukan tidak senonoh dan seterusnya.

Peta penyalahgunaan wewenang itu terbentang luas. Setiap saat kejadian itu kerap terjadi, dan tidak ada penghukuman yang setimpal bagi pelakunya. Akibat dari situasi itu, penyalahgunaan wewenang aparat kerap tidak terkontrol di negeri ini.

0 comments:

Post a Comment