05 July 2013
Rezim Tak Terkontrol
Friday, July 05, 2013
No comments
Orang-orang
pintar yang mentalnya di bawah standar,
Tentunya
lebih besar potensinya berbuat kerusakan
(Mustofa
Bisri)
M. Syafi’ie
Beberapa
tahun ini adalah masa yang paling meresahkan bagi mereka yang peduli terhadap
perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia. Betapa tidak? Di tengah belum lama
kita menghirup udara transparansi, kebebasan berpendapat, peradilan bagi pelaku
korupsi, dan mendorong pertanggungjawaban pengelolaan pemerintahan yang
berpihak kesejahteraan rakyat, tapi bersama itu pula, pemerintah rupanya tidak
terima menjadi obyek kritik. Pemerintah, dengan aliansi politiknya di
legislatif telah mempersiapkan segudang amunisi agar suara masyarakat sipil
yang kritis bisa dikendalikan. Pemerintah telah menyulap wakil rakyat sebagai
penyuara kepentingan kekuasaan.
Kekuasaan
sebagai Lord Acton katakan memiliki potensi penyalahgunaan. Potensi korupsi
politik cukup besar disana. Di masa lalu, potensi penyalahgunaan kekuasaan itu
diantisipasi oleh Montesqieu dengan teori trias politica. Agar tidak korup,
kekuasaan dibagi menjadi tiga : eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemerintah
yang disebut eksekutif harus diawasi oleh legislatif atau pihak yang mewakili
rakyat. Tapi, setelah berabad-abad teori itu dilangsungkan, antara eksekutif,
legislatif dan yudikatif amat sukar
untuk dipisahkan. Ketiganya kerap satu suara, dan bersekongkol atas nama
kepentingan kekuasaan. Kepentingan rezim yang berkuasa.
Di
awal reformasi, pemisahan dan pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif
dan yudikatif dibenahi dengan baik. Legislatif bersuara atas nama kepentingan
rakyat. Legislatif menjadi kontrol kekuasaan yang terindikasi menyimpang. Sementara yudikatif, dibenahi dan mulai
independen dari pengaruh kekuasaan. Tapi, suasana itu saat ini kembali
bermasalah : wakil rakyat sekedar menjadi penyuplai kepentingan pemerintah,
sementara yudikatif mau tidak mau harus menjalankan segenap peraturan yang
berasal dari persekongkolan antara pemerintah dan wakil rakyat. Apalagi, kita
sadar bahwa kepolisian dan kejaksaan yang nota bene menjadi elemen peradilan
saat ini masih di bawah kekuasaan eksekutif. Hanya kehakiman yang saat ini
independen, dan itu pun tak menjamin mereka akan membela kepentingan rakyat,
sebab hakim di Indonesia sebagaimana paradigman yang masih dianutnya adalah
corong undang-undang. Pengabdi pada peraturan yang diciptakan oleh kekuasaan.
Situasi berhukum di Indonesia saat ini memang
masih dipenuhi ragam masalah. Mulai pembuatan hukum, penegakan hukum, sampai
dengan gugatan masyarakat terhadap hukum karena mengkriminalisasi mereka. Salah
satu yang paling meresahkan akhir-akhir ini adalah munculnya beberapa peraturan
dan kebijakan yang akan mengancam hak asasi manusia, mengancam demokrasi,
mengancam kebebasan pers, mengancam nasib penyuara ketidakadilan, dan
berpotensi diperalat kekuasaan untuk berbuat sewenang-wenang. Peraturan itu
antara lain adalah Undang-Undang Intelejen, Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Undang-Undang Keamanan
Nasional, Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, dan RUU Ormas.
Peraturan-peraturan tersebut secara substansi banyak masalah. Rentan untuk
mengkriminalisasi masyarakat sipil dan organisasi sipil yang kritis terhadap
kekuasaan pemerintah. Peraturan-peraturan tersebut merupakan produk kerjasama
pemerintah dan wakil rakyat, dan secara substansi adalah I’tikad mengembalikan
rezim yang kuat, sentralistik, militeristik, dan anti kritik. Konfigurasi
politik saat ini persis seperti rezim Orde Baru ketika menata kekuasaan
otoritariannya.
Kehadiran produk hukum keamanan-pertahanan yang
meresahkan itu searus dengan rekayasa discourse
yang dihembuskan pada pikiran publik saat ini. Disana sini muncul spanduk yang
mengagungkan keberhasilan kepemimpinan Soeharto. Padahal, kalau kita mau jujur
dan kritis, krisis pengelolaan negara bangsa ini adalah akibat rezim Orde Baru
yang sangat otoriter satu sisi, dan pada sisi yang lain ber-klien dengan
kepentingan pemodal asing yang menyebabkan Indonesia mengalami ketergantungan dan
krisis kesejahteraan. Orde Baru adalah rezim dimana kekuasaan berlangsung
monolitik, sentralistik dan militeristik. Suara-suara kritis dibungkam.
Orang-orang yang tak sepakat ditangkap. Organisasi gampang dibekukan. Semua
orang dipaksa dan atau harus terpaksa tunduk dan patuh pada kepentingan
kekuasaan yang bagi mereka adalah korup. Masalahnya, suasana kebijakan mudharat
itu telah diputar balik saat ini. Dan, masyarakat kembali menjadi korban atas discourse yang politis itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment