24 February 2013

BURUH YANG TERPINGGIR : PERSPEKTIF HISTORIS DAN ISLAM

 ~~ M. Syafi'ie

Buruh! Kata itu selalu identik dengan perlawanan. Tidak jarang, ada sekelompok orang membencinya karena tidak henti-henti dalam menuntut. Pengusaha sebagai majikan selalu menutup tuntutan, dan memecah belah para buruh. Hal serupa kerap dilakukan pemerintah : memukuli para buruh yang demonstrasi, membuat kebijakan yang mengkerdilkan, dan mendorong discourse yang memojokkan kaum buruh. Sebagai kelompok pekerja, buruh selalu dilemahkan. Karl Marx menyebut, situasi yang menimpa buruh adalah satu konsekwensi. Sebab, para buruh memperjuangkan kelasnya.  

Kelas menurut Max Weber adalah gejala dari pembagian kekuatan dalam masyarakat. Faktor yang membentuk kelas ialah kepentingan ekonomi dan masalah pemasaran.  Dalam struktur kelas, buruh berada di posisi lemah, karena eksistensinya selalu di bawah kuasa pengusaha. Buruh tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya. Materi kontrak yang selama ini dikenal sebagai hubungan perdata, buruh tidak tidak menguasainya secara bebas. Buruh selalu terpaksa dan dipaksa menandatangani kontrak sesuai dengan kepentingan pengusaha.  Kebebasan menentukan kontrak seutuhnya dikendalikan oleh pemilik modal.
Karena itu, Marx mengatakan  bahwa buruh dalam hubungan industrial yang kapitalistik selalu akan terasing dengan dunia kerjanya. Keterasingan itu berdasar pada disparitas antara kemampuan produksi dari buruh dengan dampak kapitalisme yang terbangun. Keterasingan itu meliputi beberapa hal, pertama, buruh tidak mempunyai kekuasaan untuk memasarkan produk-produknya, sebab apa pun yang ia produksi pasti diambil alih oleh orang lain. Kedua, buruh terasing dari pekerjaannya sendiri. Sebab hasil kerja buruh tidak berhubungan langsung dengan kepuasan hati yang hakiki dari si buruh. Ketiga, keterasingan memiliki dampak lanjutan yaitu terbangunnya hubungan manusia dalam industri sebatas kegiatan pasar, dan uang menjadi sentrum dalam hubungan manusia.  Keempat, buruh dalam dunia industri tidak lagi menjadi manusia, melainkan telah beralih menjadi mesin pekerja.
Secara umum, dalam dunia industri, buruh terdesain sebagai sistem produksi seperti mesin. Upah yang diberikan kepada buruh disesuaikan dengan produktifitas kerja yang dihasilkan. Karena itu, pengusaha selalu berjuang untuk menekan upah buruh yang seminimal mungkin, dan pada sisi yang lain, pengusaha memaksa buruh untuk  menambah jam lembur : siang sampai malam, dengan iming-iming tambahan uang bonus. Dalam dunia industri, buruh telah ditetapkan sebagai mesin, mesin pencetak uang, dan diasingkan dari dunianya.
Kondisi buruh yang lemah tersebut, sejarah kumudian membelanya. Kebebasan berkontrak yang dahulu muaranya pada laizez- faire, atau kebebasan tanpa batas yang salah satu ideolognya Adam Smith, pada tahun 1870-an sedikit demi sedikit diubah dengan memasukkan intervensi Negara. Sebab, pada dasarnya relasi buruh dan pengusaha tidak setara : buruh sebagai penerima kontrak, sedang majikan adalah penentu kontrak. Common dan Andrews, dua pemikir hukum perburuhan mengatakan, jika ada satu persoalan tidak setara dan terdapat kepentingan, sementara negara menolak melindungi yang lemah, maka itu sesungguhnya adalah tindakan yang tidak adil.
Dialektika pemikiran antara laizez faire dan pemikir sosialis saat itu akhirnya bertemu dan mendorong kehadiran negara dalam jaminan pemenuhan hak-hak yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya. Dalam konteks buruh, mulai tahun 1870-an dan berkembang pada tahun-tahun sesudahnya muncul afirmasi dengan memasukkan intervensi negara untuk memenuhi hak-hak kaum buruh. Tahun 1950-an mulai muncul Konvensi ILO (International Labour Organization), satu aturan internasional yang secara khusus menjamin hak-hak para buruh. Selain itu pada tahun 1966 muncul aturan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
Negara Indonesia terhadap beberapa aturan internasional tersebut telah melakukan ratifikasi dan menjadi anggota untuk menegakkan aturannya. Dan secara nasional, negara Indonesia juga telah membuat aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan hak-hak para pekerja. Namun demikian, banyak aturan hukum yang dibuat pemerintah Indonesia bermasalah, pertama, aturan hukum yang dibuat mencerabut hak-hak para pekerja, dan itu kuat di era rezim Orde Baru. Kedua, aturan hukum yang yang tidak afirmatif terhadap para buruh, dan negara lepas tangan dalam urusan pengusaha dan buruh. Itu terlihat di era rezim reformasi saat ini. Karena itu, melihat persoalan buruh selalu memperihatinkan. Ia selalu lemah dan dilemahkan oleh kepentingan pemilik modal dan penguasa yang telah khianat untuk melindungi rakyatnya yang lemah.

Nasib Buruh Indonesia
Nasib para buruh di Indonesia selalu mengecewakan. Fase itu terbentang dari era penjajahan, dan pasca kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, akibat penciptaan struktur sosial : etnik eropa, etnik timur asing, dan pribumi (inlanders), buruh di Indonesia mengalami penindasan teramat serius. Buruh pribumi mendapatkan upah lebih kecil dibandingkan dengan etnik eropa dan timur asing. Mempekerjakan buruh pribumi dengan tanam paksa, pemberian upah yang tidak layak, jam kerja yang tidak manusiawi,  jaminan sosial yang tidak terpenuhi, dan dibelenggunya kebebasan berorganisasi serikat buruh. Banyak aktifis buruh di era sebelum kemerdekaan yang ditangkap dan dipenjara. Di era sebelum kemerdekaan juga terjadi praktek romusha, yaitu sistem kerja paksa yang dilakukan Jepang kepada buruh rakyat Indonesia.
Perlindungan yang relatif baik bagi buruh di Indonesia berlangsung di era orde lama. Saat itu, serikat-serikat buruh berkembang besar dan memiliki posisi yang diperhitungkan. Pemerintah di era itu mengikatkan diri untuk menjamin hak-hak buruh seperti hak waktu istirahat bagi buruh, pembatasan waktu jam kerja, larangan mempekerjakan anak, hak cuti melahirkan dan haid, jaminan keselamatan kerja,  dan adanya penegasan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar. Satu-satunya problem era orde lama adalah ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959-1965, dimana hak kebabasan berorganisasi buruh diganggu, dan didorong untuk disatukan menjadi Organisasi Persaturan Pekerja Indonesia (OPPI). Namun demikian, kebijakan pemerintah tersebut tidak berhasil karena ditentang oleh beberapa aliansi organisasi para buruh.
Setelah era orde lama, nasib buruh di Indonesia kembali ke masa-masa penindasan. Situasi itu diawali ketika rezim orde baru yang membuat kebijakan-kebijakan yang memojokkan para buruh. Beberapa kebijakan itu ialah larangan berserikat selain organisasi pemerintah, pembatasan secara ketat organisasi serikat buruh, larangan mogok karena bertentangan dengan Pancasila dan diciptakannya sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang menjadi alat pemerintah untuk mengatur, mengarahkan dan menangkap buruh yang mencoba mengkritisi perusahaan dan pemerintah. Di era orde baru, buruh diciptakan untuk tunduk dan patuh atas kebijakan penguasa dan pengusaha. Di era ini, nuansa clientis penguasa dan pengusaha terjalin kuat. Hal itu terlihat dari berkuasanya orang dekat Soeharto seperti Bob Hasan, Lim Siolong, Tommi dan Tutut. Sedangkan investor asing mulai merajalela seperti CGI, IBRD dan kekuatan MNC/TNC internasional lainnya.
Nasib buruh yang tidak kalah memprihatinkan terjadi di era reformasi. Watak kebijakan di era ini sangat neoliberal. Kebijakan pemerintah yang harapannya dapat melindungi kaum buruh ternyata telah dibajak oleh kepentingan IMF dan kepentingan pemilik modal. Itu terlihat dari dibuatnya UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja , UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI). Secara umum, berbagai peraturan tersebut bernuansa pelepasan tanggungjawab negara dan memberi peranan yang besar kepada pemilik modal. Tanggungjawab negara sangat tidak jelas : ketat mengatur persyaratan berorganisasi, dan pada sisi yang lain tidak berdaya mengkontrol perusahaan yang melanggar hak-hak kaum buruh.
Situasi kebijakan yang ironi di era reformasi mendorong banyak peristiwa menyakitkan, seperti penelitian ILO yang mengatakan bahwa buruh di Indonesia sangat sistemik dilanggar hak-haknya, seperti  dipekerjakan secara paksa, dieksploitasi, terjadinya pelecehan seksual bagi perempuan dan anak-anak, masih mempekerjakan anak di bawah umur dan upah pekerja rumah tangga yang tidak layak. Migrant Care dalam press rilis tahun 2012 mengatakan bahwa nasib buruh di berbagai sektor (di dalam dan luar negeri) semakin jauh dari kesejahteraan dan perbudakan terhadap buruh semakin nyata. Sikap pemerintah juga semakin represif terhadap gerakan buruh. Situasi ironi juga menimpa buruh migran : sepanjang tahun 1999-2012 tercatat 417 buruh migran Indonesia menghadapi ancaman hukuman mati di berbagai negara dan 31 diantaranya telah dijatuhi vonis tetap hukuman mati. Kematian buruh migrant juga terus menujukkan adanya peningkatan setiap tahun, sepanjang tahun 2011, Migrant Care mencatat sekitar 1.075 buruh migran Indonesia meninggal dunia di berbagai negara.
Rentetan fakta di atas bukanlah peristiwa biasa, disitu kita menyaksikan bahwa derajat dan martabat manusia begitu rendah dihadapan penguasa dan pemilik modal. Padahal, kita tahu bahwa sejak 10 Desember 1948, dunia telah mengakui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin pemenuhan, perlindungan dan penghormatan harkat dan martabat manusia, tapi bersama itu pula kita menyaksikan bahwa dunia belum berubah dalam memberlakukan manusia. Negara-negara dunia dikalahkan oleh pemilik modal dan menindas para buruh yang lemah. Hukum tidak menjamin adanya perlindungan hak asasi manusia, sebab dalam diri hukum juga  berjibun kepentingan-kepentingan kuasa dan modal.

Sikap Islam Terhadap Buruh
Sikap Islam terhadap posisi buruh sangat jelas. Para buruh harus dibela sebagai kelompok mustadafien, dipenuhi hak-haknya secara adil, diposisikan sebagai manusia yang bermartabat, diberlakukan secara setara, tidak diberlakukan secara sewenang-wenang (dzalim),  dan penguasa harus bertindak sebagai hakim yang mendorong kebijakan afirmatif terhadap para buruh, serta memberikan sanksi bagi penguasa yang sewenang-wenang.
Dasar Islam dalam melindungi hak buruh karena Islam hakekatnya refleksi paradigma atas revolusi Islam terhadap tatanan jahiliyah yang penuh dengan penindasan, kekerasan dan kedzaliman. Menurut Fazlur Rahman, problem masyarakat jahiliyah sebagaimana termaktub dalam surat - surat pertama Al-Qur’an adalah masyarakat yang menjadikan berhala sebagai sembahan, eksploitasi orang-orang miskin, permainan kotor dalam perdagangan, dan tidak adanya tanggung jawab terhadap masyarakat.  Al-Farabi menyebut era jahiliyah sebagai era yang tidak lagi memberikan keharmonisan, kedamaian dan kesejahteraan. Abdul Jalil menyebut keangkuhan era jahiliyah nampak dalam perlakuan yang tidak fair terhadap perempuan, penindasan terhadap suku dan klan yang lebih kecil, peminggiran terhadap kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada kaum aristokrat, dan fakta ketimpangan ekonomi antara satu kelompok dengan yang lain.
Peristiwa yang terjadi di era jahiliyah, persis yang terjadi saat ini : dimana perlakuan yang tidak fair biasa terjadi. Orang-orang lemah tidak dilindungi oleh pemerintah. Hukum yang terproduksi bukannya melindungi, melainkan menjadi legitimasi pelepasan tanggungjawab negara terhadap penindasan dan kewenang-wenangan. Kekuasaan menghamba pada pemilik modal yang mendanai suksesi kepemimipinan. Ketimpangan ekonomi masyarakat sudah pasti karena ideologi yang dianut adalah neoliberalisme. Dan, dalam situasi itu, kita melihat buruh sebagai satu bagian kelompok lemah telah terdzalimi sedemikian rupa. Islam hadir untuk memperbaiki itu semua.
Ajaran Islam begitu melimpah tentang bagaimana seseorang dan atau sistem harus memberlakukan buruh, pekerja, dan atau pun mereka yang disebut pembantu. Misalkan sabda Nabi Muhammad :  “Sesungguhnya saudara-saudaramu yang menjadi buruhmu, yang (karena) Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya maka hendaklah memberi makan kepadanya dari sesuatu yang ia makan dan memberi pakaian kepadanya dari sesuatu yang ia pakai, serta janganlah ia membebani mereka sesuatu yang tidak mampu dijalankan oleh mereka. Jika engkau terpaksa membebani mereka  sesuatu yang memberatkan mereka, maka bantulah mereka”. Hadist ini riwayat dari Bukhari yang menegaskan betapa ajaran Islam menentang kesewenang-wenangan (dzalim) terhadap buruh, memerintahkan tentang kesetaraan, kederajatan dan hak buruh mesinya setara dengan majikan. Hadist lainnya yang mendukung adalah riwayat Muslim, Nabi bersabda : “Berikanlah makanan kepada mereka dari makanan yang engkau makan dan berikanlah pakaian yang engkau pakai”.
Ajaran Islam lainnya adalah sabda Nabi : “Berikanlah upah kepada pekerjamu sebelum keringatnya kering”. Hadist ini adalah riwayat  Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa upah buruh mesti diperhatikan secepat mungkin dan ditunda-tunda. Islam juga melarang kekerasan terhadap para buruh. Hadist riwayat Muslim menceritakan : “Dari Abu Mas’ud  RA dia berkata : Aku pernah memukul pembantuku yang laki-laki, tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku : “Ketahuilah hai Abu Mas’ud, sungguh Allah lebih berkuasa atasmu daripada kamu atas pembantumu”. Lalu aku segera menoleh, ternyata ia adalah Rasulullah SAW, maka aku berkata : “Wahai Rasulullah saat ini juga dia kumerdekakan karena Allah”. Lalu Rasulullah menjawab : “Jika hal itu tidak engkau lakukan, sungguh api neraka itu akan mengenaimu atau api neraka itu akan menghanguskanmu”.
          Masih banyak Hadist dan firman Al-Qur’an yang menentang terhadap kesewenang-wenangan, utamanya terhadap kelompok lemah, salah satunya adalah buruh. Secara umum, ajaran Islam mengajarkan ultimatum untuk menegakkan kebajikan (amar ma’ruf) dan menentang terhadap segala bentuk kejahatan (nahi mungkar). Bentuk kesewenangan-wenangan yang dilakukan mayoritas pengusaha selama ini, dan dilegitimasi oleh pemerintah adalah tindakan yang terkatagori kejahatan (mungkar). Tindakan itu jelas dikecam dari seluruh muatan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Karena itu, pemerintah harus didorong untuk berbenah dan memperbaiki kebijakannya. Demikian juga pengusaha, mereka harus memberlakukan para buruh secara manusiawi. Tidak lagi menjadikan buruh sebagai mesin industri, robot, dan sekedar pencetak uang perusahaan. Hak-hak mereka sebagai manusia harus dipenuhi dan dihormati. Pemerintah berkewajiban untuk melindungi, dan memberikan sanksi kepada pengusaha yang telah sewenang-wenang. Jika tidak, maka revolusi harus digerakkan, sebagaimana kehadiran nabi Muhammad dan merombak tatanan jahiliyah! 


0 comments:

Post a Comment