22 February 2013
Paradigma Profetik : Tawaran Paradigma Penegakan Hukum
Friday, February 22, 2013
No comments
~~ M. Syafi' ie
Penegakan hukum bukanlah
pekerjaan yang biasa dan bergerak normal, tetapi merupakan pekerjaan yang
membutuhkan keseriusan tinggi, komitmen yang total dan semangat menegakkan
keadilan yang utuh. Penegak hukum akhirnya bukanlah seorang yang sekedar
digerakkan oleh pasal-pasal dalam perundang-undangan, tetapi harus
mengkontekstualisasi dan mengobyektifikasi
nilai-nilai yang ada dalam teks terhadap fakta-fakta yang berkembang
sehingga keberadaan teks yang mati
tersebut selaras dengan semangat konteks yang selalu dinamis, hidup dan tidak
bermakna tunggal.
Profesi penegak hukum merupakan
pekerjaan yang sangat mulia. Kondisi dan situasi sosial mempunyai
ketergantungan tersendiri terhadap penegakan hukum yang responsif dan progresif.
Posisi mereka yang sangat strategis menjadi jembatan resolusi konflik ketika
berlangsung pertikaian, mereka juga menjadi pembela kelompok yang lemah dan
dilemahkan sehingga menjadi berdaya dan setara, dan mereka juga merupakan
tumpuan nasib perihal terampasnya hak-hak perseorangan dan kelompok. Karena
itu, penegak hukum sesungguhnya diikat oleh etika profesi yang tidak sekedar
formal tapi juga transedental.
Secara formal, para penegak hukum
diharuskan untuk tunduk pada etika profesinya, meliputi, pertama, adanya keberanian berbuat dengan tekad bertindak sesuai
dengan profesinya. Kedua, menyadari
terhadap profesinya. Ketiga, memiliki
idealisme yang tinggi.[1]
Sedangkan dalam dimensinya yang transenden, para penegak hukum akan
bertanggungjawab terhadap Tuhannya, benar ataukah bertindak salah. Ikatan
dengan yang transeden merupakan aktualisasi diri setiap manusia, dan merupakan
nilai yang paling dasar, yaitu obyektif, positif, transenden dan intrinsik
tentang tujuan hidup manusia.[2]
Keberadaan penegak hukum yang
begitu fundamental dalam penegakan hukum, maka posisinya haruslah berfikir
keras untuk menemukan keputusan hukum yang tepat, beradab dan adil. Penegak
hukum tidak dibenarkan hanya melihat pertimbangan dalam pasal-pasal, tetapi
harus menelaah dimensi-dimensi sosial dan kemanusiaan dalam satu kasus. Karena
dalam teori hukum pasti bertitik tolak pada satu hal, yaitu hubungan manusia dan hukum. Semakin
landasan sebuah teori bergeser ke faktor peraturan, maka ia menganggap hukum sebagai
unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya, semakin bergeser ke manusia,
semakin teori itu terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan.[3]
Dalam konteks pemikiran di atas,
penulis tertarik untuk menelaah signifikansi paradigma profetik dalam penegakan
hukum di Indonesia. Paradigma profetik sebagaimana pemikiran Kuntowijoyo
berbasis pada tiga hal, yaitu humanisasi (amar
ma’ruf), liberasi (nahi mungkar)
dan transendensi (keberimanan).
Ketiga basis tersebut merupakan prasyarat bagi hadirnya manusia terpilih (human choice), yang jika
dikontekstualisasi dalam penegakan hukum di Indonesia ialah hadirnya para penegak
hukum yang bermoral, responsif dan progresif yang harapannya kedepan mampu
memperbaiki terhadap krisis dari penegakan hukum yang berlangsung.
Tulisan ini, penulis akan
menjawab rumusan masalah, pertama, apakah
konsep paradigma profetik itu?. Kedua,
bagaimanakah potret penegakan hukum di
Indonesia?. Ketiga, apakah
signifikasi penegakan hukum yang berparadigma profetik di Indonesia?
Konsep Paradigma Profetik
Pemaknaan paradigma yang digagas
oleh Kuntowijoyo persis seperti pemikiran Thomas Kuhn yang mengatakan bahwa pada
dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of
inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Immanuel
Kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema
konseptual dan Karl Marx memaknainya sebagai ideologi.[4]
Sedangkan konsepsi profetik merupakan penanda bahwa dalam Islam mengandung
nilai-nilai profetik yang dapat dijadikan acuan dalam mengarahkan perubahan
masyarakat, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi yang merupakan turunan
dari Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 yang berbunyi :
“Engkau
adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan
(humanisasi), mencegah kemungkaran (liberasi) dan beriman kepada Allah
(transendensi).”
Secara terminologis
Kuntowijoyo menjelaskan satu demi satu. Pertama,
humanisasi yang merupakan pemaknaan konstruktif dari lafadl “amar ma’ruf” yang makna asalnya
menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Perintah Amar Ma’ruf dimaksudkan untuk mengangkat dimensi dan potensi
positif (ma’ruf) setiap manusia,
yaitu merupakan satu dorongan emansipasi kepada cahaya (nur) petunjuk ilahi
dalam mencapai tingkat fitrah. Fitrah ialah keadaan dimana manusia mendapatkan
posisinya sebagai makhluk yang mulia sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.[5]
Sedangkan dalam bahasa pengilmuan Islam maknanya ialah memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. [6]
Konsep humanisasi Kuntowijoyo merupakan berakar dari humanisme teosentris,[7]
berbeda dengan filsafat humanisme barat yang notabene
lahir pasca renaissance yang secara
prinsipil menyatakan beroposisi dengan filsafat keagamaan demi hadirnya
martabat manusia (humanisme
antroposentris).[8]
Kedua, liberasi
yang merupakan pemaknaan konstruktif dari lafadl “nahi mungkar” yang makna aslinya berarti melarang atau menentang
segala tindak kejahatan yang merusak, mulai mencegah teman dari mengkonsumsi
narkoba, melarang tawuran, memberantas judi, menghilangkan lintah darat,
membela nasib buruh sampai dengan keberanian memberantas korupsi.[9]
Sedangkan dalam makna pengilmuan Islam
berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan ataupun penindasan.[10]
Secara teoritik konsepsi liberasi sangat dipengaruhi oleh semangat teologi pembebasan
yang lahir dari pemikiran Katolik di Amerika Latin yang menggunakan alat
analisis Marxis sebagai konsep pembebasannya. Agama dibawah naungan teologi
pembebasan akan muncul sebagai kekuatan moral dan sosial untuk melakukan
kerja-kerja liberatif dan emansipatoris.[11]
Tetapi dalam konteks pengilmuan Islam,
Kuntowijoyo tidak mengambil “ideologi” Marx, karena bagi Kuntowijoyo, ideologi
adalah mitos. Liberasi dimaknai Kuntowijoyo berbasis pada nilai-nilai
transedensi yang kemudian mendorong pada hadirnya tanggungjawab profetik untuk
membebaskan manusia dari kekejaman, kemiskinan, kekerasan, dominasi struktur
yang menindas dan hidupnya kesadaran palsu. Ideologi pembebasan Marx menganggap
agama adalah candu, sedangkan Kuntowijoyo meletakkan agama sebagai alat
pembebasannya setelah melalui proses obyektifikasi ilmu.[12]
Ketiga, transdensi
yang merupakan pemaknaan konstruktif dari kata “tu’ minuuna billah” yang makna dasarnya ialah beriman kepada
Allah. Makna transedensi secara umum berkait dengan teologi seperti persoalan ketuhanan dan yang
ghaib. Eksistensi transdensi dalam paradigma profetik merupakan basis dari
aksi-aksi humanisasi dan liberasi. Bagi Kuntowijoyo, keberadaan transedensi
menjadi nilai dasar yang akan memperbaiki krisis dari modernisme. Baginya,
modernisme yang lahir dari paradigma renaisance telah memisahkan wahyu (agama)
dari ilmu pengetahuan sebagai dampak perlawanan terhadap teosentrisme pada abad
pertengahan sehingga terjadi distabilitas.[13]
Modernisme bahkan bukan hanya distabilitas, tetapi juga perjalanan ke sebuah
disintegrasi total, sebuah malapetaka sejarah umat manusia.[14]
Berangkat
dari konsepsi di atas, maka paradigma profetik merupakan seperangkat teori yang
tidak hanya mendeskripsikan dan mentranformasikan gejala sosial, dan tidak pula
hanya mengubah suatu hal demi perubahan, tetapi lebih dari itu, diharapkan
dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik.[15]
Dimana dalam basis konsepsi humanisasi, liberasi dan transdensi sebagaimana tertuang
dalam surat Ali Imron : 110 juga akan mendorong pembentukan konsep konstruktif
lainnya, meliputi, pertama, konsep
tentang umat terbaik yang dapat diartikan bahwa umat haruslah
responsif dan progresif yang berlomba-lomba menjadi manusia terbaik. Kedua, aktifisme sejarah yang dapat
dimaknai bahwa umat harus terlibat dalam menorehkan sejarah peradaban. Ketiga, pentingnya kesadaran yang berati
bahwa umat harus menyadari tanggungjawabnya. Keempat, adanya etika profetik yang berarti bahwa setiap umat harus
memegang teguh semangat humanisasi, liberasi dan transendensi dalam ruang-ruang
privat dan sosialnya. [16]
Potret
Penegakan Hukum di Indonesia
Paradigma penegakan
hukum di Indonesia masih terhegemoni oleh filsafat modern yang rasionalistik. Leibniz salah seorang yang terkenal dengan
bapak logika modern mengajarkan bahwa ilmu alam merupakan perwujudan dunia yang tampil secara matematis.
Dunia yang terlihat dengan nyata ini hanya dapat dikenal melalui penerapan
dasar-dasar pertama pemikiran. Tanpa itu orang tidak bisa melakukan
penyelidikan ilmiah. Maka kebenaran ilmiah terbagi dua, pertama, pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran eternal
(abadi) atau dikenal dengan kebenaran logis yang secara prinsipil merupakan
sesuatu yang sifatnya aksiomatis. Kedua,
pengetahuan yang didasarkan pada observasi atau pengamatan, yang hasilnya
disebut kebenaran kontingen atau kebenaran fakta.[17]
Pengetahuan hukum dalam konteks filsafat rasionalisme ini, ditempatkan sebagai sesuatu
yang logis-aksiomatis, sistemik dan tidak berkaitan dengan sesuatu yang faktual dan sosiologis.
Secara
generatif, paradigma filsafat berbeda secara ekstrim dengan paradigma
empirisme, tetapi kemudian kedua perbedaan tersebut didamaikan oleh paradigma
filsafat kritisisme dan intuisinisme.[18]
Paradigma penegakan hukum di Indonesia masih berkutat di aliran filsafat
rasionalisme yang beraliran positivistik. Positivisme menghendaki beberapa hal,
pertama, prosedur-prosedur
metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.
Kedua, hasil-hasil penelitian dapat
dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus
bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental
murni, netral dan bebas nilai.[19]
Ketiga pendekatan dalam paradigma positivisme ini kemudian menempatkan “hukum”
dan “ilmu hukum” sebagai satu yang scientific, dan empirik. Manusia dan masyarakat dalam pembacaan ini
menjadi sesuatu yang terpisah dari hukum. Padahal dalam diri hukum tidak semata
hukum, tapi berkait dengan dimensi kemanusiaan dan fakt-fakta sosial yang
obyektif.
Dalam dimensi tradisi paradigma positivistik
itulah terbaca prilaku para penegak hukum di Indonesia yang tidak mampu bergerak emansipatoris dan
progresif, tetapi sekedar menjadi alat yang instrumentalis, corong undang-undang dan pengetok palu dari
teks-teks pasal yang dirumuskan dalam
arena ruang kekuasaan. Keadilan sosial kemudian
sekedar diukur dari bunyi-bunyi pasal yang kaku
dan dogmatik. Sedangkan terobosan-terobosan penemuan hukum yang responsif dan progresif mati suri. Hukum yang hidup di masyarakat dimarjinalisasi bahkan terhapuskan. Lebih
buruk lagi, ditengah paradigma
sakralisme kesucian teks-teks pasal yang
logis tersebut, aparat penegak hukum di
Indonesia telah biasa melangsungkan praktek jual beli pasal untuk mempertebal
kantong-kantong saku mereka.
Satjipto
Rahardjo mengkritik beberapa persoalan penegakan hukum di Indonesia,
diantaranya, pertama, penegakan hukum
yang bergerak dalam supremasi Undang-Undang dan supremasi retorika negara
hukum. Padahal, sprit keadilan, kejujuran dan otentisitas penegakan hukumnya
telah menipis dan menghilang. Negara
Indonesia masih disebut sebagai negara hukum, tetapi sebenarnya telah mengalami derogasi yang serius dan parah.[20]
Kedua, penegakan hukum yang bergerak
di jalur lambat. Proses penyelesaian hukum yang berlangsung lama,
berbelit-belit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal ini,
Satjipto mengkritik potensi permainan uang dalam penyelesaian kasus.[21]
Ketiga, penegakan hukum di Indonesia telah kehilangan legitimasi
moralnya akibat hukum yang telah diperdagangkan.[22]
Keempat, penegakan hukum yang tidak
berbanding dengan ketertiban. Ketertiban
merupakan salah satu orientasi dari penegakan hukum, tetapi di Indonesia karena
terjadi kekosongan aspek sosialnya, hukum tidak dipatuhi oleh masyarakatnya.[23]
Kelima, penegakan hukum yang terlalu
dominatif dan tidak menggunakan strategi sosiologis, sehingga yang terjadi adalah
penegakan hukum yang yang penuh dengan nuansa KKN, (korupsi, kolusi dan
nepotisme) [24]
serta marjinalisasi hukum masyarakat yang kemudian berdampak kekerasan, penindasan
dan diskriminasi.[25]
Secara umum
kritik yang diungkap oleh Satjipto Rahardjo ialah perihal penegakan hukum di Indonesia yang tidak berorientasi pada
kepentingan manusia dan rakyat. Menurutnya, hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Keberadaan hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk sesuatu
yang luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemuliaan manusia.[26]
Selain itu, Satjipto gelisah dengan penegakan hukum yang terlampau formalistik
dan memarjinalisasi terhadap penyelesaian-penyelesaian yang berdimensi hukum
masyarakat (living law). Hukum baginya bukan merupakan satu-satunya institusi yang mutlak serta final, karena
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a procces, law in making) [27]
sehingga penyelesaian lewat jalur formal hukum tidak perlu dipaksakan kalau
keberadaannya tidak diperlukan atau memberatkan terhadap masyarakatnya.
Topo Santoso
juga mengatakan, penegakan hukum akan menjadi cacat ketika para penegak hukum sekedar hanya menjalankan peraturan secara
mikanis, tanpa jiwa dan tanpa nurani. Kondisi itu salah satunya terlihat dalam
kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak balita, yang
menulis keluhan (curhat) kepada teman-temannya melalui surat elektronik (email)
atas pelayanan buruk rumah sakit Omni
International. Kasus ini membesar dan menjadi berita setelah jaksa melakukan
tindakan penahanan kepada Prita.[28]
Demikian juga kasus yang menimpa Bu
Minah yang mencuri tiga buah Kakau di Banyumas, kasus pencurian
Randu oleh Manisih di Batang, Kasus pencurian satu semangka oleh Kholil dan
Basar Suyanto di Kediri, pertengkaran anak-anak kecil di Jember, pencuri pisang
di Godean Yogyakarta, dan beberapa kasus lainnya.
Dalam konteks kasus-kasus bagi kelompok marjinal di atas, Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa jika seorang polisi atau jaksa bekerja sesuai hati
nurani (with conscience) akan menghasilkan putusan yang berbeda
dibandingkan dengan aparat yang sekedar bekerja hanya berdasarkan book rule
atau mengeja teks-teks.[29]
Oleh karena itu Satjipto berpendapat, yang dibutuhkan dari penegak hukum saat
ini, utamanya polisi ialah orang-orang yang mampu menggunakan otak dan hati
nuraninya dalam menjalankan pekerjaan, walaupun aspek fisik tidak boleh
diabaikan. Persyaratan hati nurani muncul seperti bentuk kesabaran,
pengendalian diri, dan lain sebagainya[30]
sehingga para penegak hukum itu mampu menyelami aspek-aspek keadilan dan
kemanusiaan terhadap kasus hukum yang ditanganinya.
Krisis
penegakan hukum di Indonesia yang statis, merupakan salah satu dampak dari paradigma penegakan hukum di Indonesia
yang masih bersandar terhadap tipe tradisi hukum kontinental (rule of law).
Tradisi hukum kontinental
terklasifikasi sebagai tipe hukum pembangunan hukum yang ortodoks karena
mencirikan peranan
yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam
menentukan arah hukum dalam suatu masyarakat. Hukum bersifat
positivis-instrumentalis dan menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi
dan program negara.[31]
Berbeda dengan paradigma responsif yang
ada pada hukum adat (common law). Dimana ciri utamanya ialah adanya peranan besar dari
lembaga-lembaga peradilan dan partisipasi yang luas bagi kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu di masyarakat dalam menentukan arah pembangunan hukum. Adanya
partisipasi masyarakat yang luas dan
kedudukannya yang relatif bebas mendorong lembaga peradilan untuk kreatif dalam
menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Peradilan mempunyai peranan
substansial dalam pembangunan hukum.[32]
Artidjo Alkostar mengatakan,
negara yang memakai sistem Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika, lembaga
peradilan dapat berperan optimal dalam proses hubungan kenegaraan dan
pemerintahan, serta penegakan hukum dan HAM. Yurisprudensi menjadi yang satu
prinsipil. Berbeda dengan para hakim di dalam sistem hukum kontinental,
yurisprudensi tidak menjadi satu yang esensial. Para hakim dibelenggu oleh hukum-hukum
positif yang mati, sedangkan hakim di dalam sistem hukum Anglo Saxon bisa
menggali keadilan dari kasus-kasus yang terjadi dalam dinamika sosial.
Peristiwa Miranda Warning atau Miranda Rule di Amerika merupakan sikap bijak
mengambil hikmah dari kasus seorang warga negara yang tidak mampu membayar “Lawyer Fee” dan berperkara melawan
negara (bagian) Arizona.[33]
Berbagai pemikiran hukum di atas
memperlihatkan bahwa terdapat problematika paradigmatik dan krisis
kesadaran etis dalam penegakan hukum di
Indonesia. Sehingga yang muncul adalah penegakan hukum yang stagnan, sentralistik,
koruptif dan sangat jauh dari nilai-nilai yang humanis.
Signifikansi Paradigma Profetik untuk
Penegakan Hukum
Paradigma profetik berbeda jauh dengan
paradigma positivisme. Basis transedensi, orientasi humanisasi dan liberasi
yang tertanam dalam diri penegak hukum akan mendorong eksistensinya untuk
selalu total dalam melakukan penemuan-penemuan
hukum (ijtihad al hukmi) yang obyektif untuk diterapkan pada suatu kasus.
Penegak hukum dalam konteks ini ditempatkan dalam posisi yang sangat strategis
dan menentukan, yaitu seorang mujtahid. Posisinya harus berfikir keras untuk
menjadi bagian dari penegak hukum yang mampu mencatatkan sejarah kemanusiaan
dan terlibat dalam membangun tatanan yang beradab. Keputusannya harus
melandaskan terhadap dasar-dasar ilmu yang kritis dan intuitif, prilaku harus
terjaga secara etik dan profetik dan berlomba-lomba untuk menjadi suri teladan
dalam penegakan hukum.
Orientasi paradigma profetik
dalam penegakan hukumnya sebenarnya “mirip” dengan gagasan hukum progresif yang
dideklarasikan oleh Satjipto Rahardjo, dimana manusia dan rakyat merupakan tujuan
dari keberadaan hukum. Penegakan hukum hukum progresif sebagaimana Suparman
Marzuki katakan, ialah penegakan hukum yang submisif terhadap sistem yang ada,
tetapi lebih afirmatif (affirmatif law
enforcement). Afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari
praktek konvensional dan menegaskan penggunaaan satu cara yang lain, yang
menerobos terhadap pakem-pakem praktek hukum yang telah lama berlangsung. Aparatur penegak hukum HAM bersikap
realistis, tidak bermukim di menara gading. Mereka harus mengasah intuisi
dengan dengan turun ke bawah menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Para penegak hukum harus menjadi agen perubahan dan tidak menjadi staf sistem
hukum. Mereka harus berani mendobrak sekat-sekat yang dibangun oleh
ideologi-ideologi penindas keadilan sosial. Mereka harus keluar dari tafsir
monolitik karena teks undang-undang hanya memberi ruang penafsiran yang
terbatas. Penegakan hukum progresif
lebih mengedepankan konteks ketimbang teks-teks aturan semata.[34]
Cita-cita penegakan hukum
paradigma profetik sama dengan cita-cita penegakan hukum progresif. Cuma dalam
hukum progresif sebagaimana Satjipto deklarasikan tidak menyinggung posisi
transedensi sebagai dasar penegakan. Sehingga dasar orientasi penegakannya
semata humanisme sebagaimana yang berkembang dalam masyarakat pembebasan eropa.
Sedangkan paradigma profetik, orientasi humanisasi dan liberasi dalam hukum
harus berpijak pada transedensi, sehingga penegakan hukum tidak semata bertanggungjawab secara materi,
tetapi juga bertanggungjawab secara immateri.
Keberaadan transedensi dalam
penegakan hukum berparadigma profetik merupakan
satu yang fundamental.
Ketidaannya, akan menyelamkan orientasi humanisasi dan liberasi ke dalam
humanisme eropa yang memang menjauhkan ilmu dari agama dengan landasan harus
bebas nilai.[35]
Penganut hukum berparadigma positivisme kukuh dalam hal ini, bahwa secara
metodologis ilmu pasti terbagi menjadi “bebas nilai” dan “tidak bebas nilai”.
Dalam perspektif paradigma profetik semua ilmu “tidak akan bebas nilai”, karena
ilmu terintegrasi dengan agama yang meneguhkan moralitas dan etika. Bahkan, kelahiran
paradigma profetik salah satunya
dilandasi atas kegelisahan Kuntowijoyo dari eksistensi renaisance dan humanisme
yang kemudian membentuk modernitas yang pada kenyataannya berelasi dengan
peran-peran borjuasi dalam masyarakat eropa.[36]
Transedensi menjadi sangat vital untuk mendasari kekuhan moral dan memperkuat nilai-nilai etis pada setiap manusia.
Demikian juga berlaku bagi aturan
hukum dan para penegak. Keduanya tidak
mungkin bebas nilai, sehingga keberadaan
keduanya harus dioptimalisasi dan didekonstruksi terus menerus sehingga
memunculkan makna-makna etik dan progresif bagi tegaknya keadilan, kemanusiaan
dan peradaban. Untuk mewujudkan humanisasi dan liberasi berbasis transendensi
maka “objektifikasi” menjadi salah satu alat tranformatifnya. Objektifikasi
ialah perbuatan rasional nilai (wertrational)
yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat
menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Contohnya, ancaman Tuhan
kepada orang Islam sebagai orang yang mendustakan agama bila tidak
memperhatikan kehidupan ekonomi orang-orang miskin, maka dapat diobjektifikasi
dengan program IDT. Kesetiakawanan nasional adalah objektifikasi dari ajaran
tentang ukhuwah.[37]
Maka secara metodologis, paradigma
profetik jika dilpersonalisasi terhadap penegak hukum, pola yang akan terbangun
ialah :
Pertama, para penegak hukum harus mentranformasi
“hukum yang abstrak pada yang kongkrit. Hukum di Indonesia selama ini dengan
paradigma positivismenya berada di menara gading, dan tidak menyentuh terhadap
fakta-fakta riil yang sifatnya sosiologis masyarakat. Hukum menjadi bahasa yang
kaku, melangit dan tidak membumi dengan
kondisi sosiologis ketika ditegakkan. Maka hukum mesti dibumikan dan
dikongkritisasi sehingga menjadi berkah bagi kehidupan sosial serta mampu
menjadi tawaran solusi yang efektif bagi persoalan-persoalan yang riil yang
dihadapi oleh masyarakat.[38]
Kedua, para penegak hukum harus
mentranformasi “hukum ideologis menjadi ilmu”. Ideologi menurut Kuntowijoyo
bersifat subyektif, normati dan tertutup. Berbeda dengan ilmu yang bersifat
terbuka, obyektif, dan faktual. Hukum
yang diletakkan dalam konteks ideologis seringkali mengalami
kesulitan-kesulitan ketika mau ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Maka
penegak hukum mampu untuk mengilmukan hukum sehingga sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang multikulturalistik. Hukum yang berada dalam
posisi ideologis cenderung akan sentralistik, dominatif, dan memarjinalisasi.
Paradigma ideologi harus diubah menjadi ilmu, karena dalam ideologi kenyataan
ditafsirkan tergantung kaidah-kaidah yang diyakini kebenaranya. Sedangkan dalam
perspektif ilmu, kenyataan akan dilihat sebagai kenyataan yang otonom dari
kesadaran pemandangnya. Pendekatan ilmu dalam konteks hukum nanti akan
melahirkan konsep-konsep yang obyektif, teoritis, faktual dan terbuka.[39]
Ketiga, penegak hukum harus
mentranformasikan dirinya yang subyektif pada persoalan yang obyektif.
Positioning tranformatif subyektif menuju obyektif merupakan cita-cita
penegakan hukum yang selama ini
tersentrum pada watak subyektif penegak hukum, padahal penegak hukum tersebut
belum melakukan obyektifikasi terhadap kasus-kasus yang ditanganinya. Sehingga
yang terjadi adalah putusan yang tidak adil, sewenang-wenang dan tidak sesuai
dengan realitas yang terjadi sebenarnya. Obyektifikasi menghendaki
pemaknaan-pemaknaan yang realistik. Kuntowijoyo mencontohkan, zakat secara
subyektif bertujuan untuk membersihkan harta dan jiwa, tetapi sesungguhnya sisi
obyektifnya tujuan zakat intinya ialah tercapainya kesejahteraan sosial.
Pemaknaan bahwa Islam menghendaki kesejahteraan sosial harus selalu
dikembangkan.[40]
Pemikiran Kuntowijoyo di atas
memberikan solusi terhadap eksistensi hukum yang telah stagnan, koruptif, anti
sosial masyarakat, dan terjadi sakralisasi pasal-pasal sehingga tidak obyektif
ketika diberlakukan. Kerangka pemikiran Kuntowijoyo sangat signifikan
menawarkan kerangkan teorisasi dalam hukum, strukturalisme transendental dalam
perjuangan menegakkan humanisasi dan liberasi hukum, serta praksis metodologis
yang sifatnya transformatif konstruktif. Keberadaan paradigma profetik dengan
basis kerangka di atas, sangat terasa signifikansinya untuk menjadi alat membaca ulang terhadap penegakan
hukum di Indonesia yang hari ini masih
berjibun dengan problem modernitasnya
yang sekularistik dan parsial
Penutup.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa penegakan hukum berparadigma profetik berbasis pada semangat
humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (tu’ minuuna billah) sebagaimana tertera
dalam surat Ali Imron : 110. Ajaran yang terkandung dalam surat tersebut
juga mengkonstruksi konsep-konsepsi
lainnya, meliputi, pertama, konsep
tentang umat terbaik yang dapat diartikan bahwa umat haruslah
responsif dan progresif yang berlomba-lomba menjadi manusia terbaik. Kedua, aktifisme sejarah yang dapat
dimaknai bahwa umat harus terlibat dalam menorehkan sejarah peradaban. Ketiga, pentingnya kesadaran yang berati
bahwa umat harus menyadari tanggungjawabnya. Keempat, adanya etika profetik yang berarti bahwa setiap umat harus
memegang teguh semangat humanisasi, liberasi dan transendensi dalam ruang-ruang
privat dan sosialnya
Paradigma profetik sangat
signifikan untuk memperbaiki kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih
carut marut. Penegakan hukum di Indonesia masih terhegemoni dengan paradigma
yang positivistik, dimana eksistensi
hukum diposisikan terpisah dengan kepentingan manusia dengan varian hukumnya
yang multikultural, serta secara konsepsional memisahkan hukum dari nilai-nilai
agama. Sehingga yang terjadi ialah penegakan hukum yang tergantung pada
bunyi-bunyi pasal yang tekstual, penegakan hukum yang sangat lambat, penegakan
hukum penuh dengan permainan uang, serta
penegakan hukum yang tidak memakai hati nurani. Integritas penegak hukum di
Indonesia bermasalah secara paradigmatik dan kesadaran profesinya yang lemah.
Paradigma profetik memberikan solusi
bahwa persoalan krusial dalam penegakan hukum di Indonesia ialah karena
hilangnya semangat transedensi karena paradigma positivisme berkeyakinan bahwa
agama dan ilmu merupakan satu yang terpisah, antara ilmu yang tidak
bebas nilai dan bebas nilai. Paradigma profetik menegaskan bahwa semua ilmu dan
semua profesi tidak akan bebas nilai. Keberadaan transendensi merupakan dasar
dari etos penegakan hukum yang humanis (amar
ma’ruf) dan liberatif (nahi mungkar) dimana
titik orientasinya ialah terjaganya
martabat manusia, terjaminnya kesejahteraan masyarakat dan terbangunnya tatanan hukum yang beradab. Untuk menciptakan
penegakan hukum yang humanis dan liberatif sebagai dalam paradigma profetik, maka penegakan hukum di Indonesia harus dikonstruksikan secara metodologis, pertama, hukum yang abstrak harus dikongkritisasi. Kedua, hukum yang ideologis harus
diilmukan. Ketiga, penegak hukum yang
subyektif harus ditranformasi menjadi
obyektif. Upaya metodologis tersebut merupakan strategi untuk melekatkan
orientasi hukum untuk kepentingan manusia yang beradab.
Daftar
Pustaka :
Buku-Buku :
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta : Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988)
Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociolog , Heinemann,
London, 1975
Ali Syariati, Sosiologi Islam, (Yogyakarta : Ananda,
1982)
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010)
Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Wacana
Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta : HuMa, 2007)
Franz Magnis Suseno et al, Etika Sosial : Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta
: APTIK-Gramedia, 1991)
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas :
Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Moderitas, (Yogyakarta
: Kanisius, 2003)
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika, (Jakarta :
Teraju, 2004)
Kuntowijoyo, ParadigmaIslam : Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991)
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid : Esai-Esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme Transedental, (Bandung : Mizan, 2001)
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung : Mizan, 1997)
Kuntowijoyo, Peran Borjuasi Dalam Tranformasi Eropa, (Yogyakarta : Ombak, 2005)
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Belukar, 2005)
Moh. Mahfud MD, dkk (Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,
(Yogyakarta : UII Press, 1999)
Micheil Lowy, Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Insist
Press-Pustaka Pelajar, 1999)
Moh. Sofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sistem Pendidikan Islam,(Yogyakarta : IRCiSoD-UMG Press, 2004)
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta
: Genta Publishing, 2010)
Satjipto Rahardjo, Sisi
Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta
: Penerbit Buku Kompas, 2003)
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Penerbit
Buku Kompas, 2006)
Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era
Reformasi, (Yogyakarta : Pusham UII, 2011)
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung
: Refika Aditama, 2006)
Topo Santoso, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem
Penegakan Hukum di Indonesia, dalam Potret Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta
: Komisi Yudisial RI, 2009)
Skripsi
dan Jurnal
Husnul Muttaqien, Menuju Sosiologi Profetik : Telaah Gagasan
Kuntowijoyo Tentang Ilmu Sosial Profetik dan Relevansinya Bagi Pengembangan
Sosiologi, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta,
2003, hlm 125
Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik, dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, Vo. 1 Edisi 1,
Oktober 2006, Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Yogyakarta
Media :
Kuntowijoyo, Obyektifikasi, Suara Muhammadiyah, No 22 tahun 82
Satjipto Rahardjo, Berhukum dengan Nurani, Kompas, 8 Juni
2009
Satjipto Rahardjo, Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif,
Kompas 15 Juli 2002
[1] Franz Magnis Suseno et al, Etika Sosial : Buku Panduan Mahasiswa,
APTIK-Gramedia, Jakarta, 1991, hlm 75
[2] Sidharta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Refika
Aditama, Bandung, 2006, hlm 65-66
[3] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm vii
[4] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi,
Metodologi dan Etika, Teraju, Jakarta, 2004, hlm11-12
[5] Kuntowijoyo, ParadigmaIslam : Interpretasi Untuk Aksi, Mizan,
Bandung, 1991, hlm 229
[6] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid : Esai-Esai Agama,
Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transedental, Mizan,
Bandung, 2001, hlm 364-365
[7] Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi… Op. Cit,
hlm 228-230
[8] Ali Syariati, Sosiologi Islam, Ananda, Yogyakarta,
1982, hlm 85
[9] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Mizan,
Bandung, 1997, hlm 38
[10] Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi… Op. Cit,
hlm 229
[11] Micheil Lowy, Teologi Pembebasan, Insist Press-Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm 26-47
[12] Husnul Muttaqien, Menuju Sosiologi Profetik : Telaah Gagasan
Kuntowijoyo Tentang Ilmu Sosial Profetik dan Relevansinya Bagi Pengembangan
Sosiologi, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta,
2003, hlm 125
[13] Kuntowijoyo, Obyektifikasi, Suara Muhammadiyah, No 22
tahun 82, hlm 63
[14] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas :
Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Moderitas, Kanisius,
Yogyakarta, 2003, hlm 151
[15] Moh. Sofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, IRCiSoD-UMG Press, Yogyakarta, 2004, hlm
131
[16] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid… Op. Cit, hlm
357-358
[17] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2005, hlm
49-53
[18] Ibid, hlm 49
[19] Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociolog , Heinemann,
London, 1975, hlm. 3-4
[20] Satjipto Rahardjo, Sisi
Lain dari Hukum di Indonesia,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm 117-118
[21] Ibid, hlm 166
[22] Ibid, hlm 173-176
[23] Ibid, hlm 180
[24] Ibid, hlm 192
[25] Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?, dalam
Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Wacana
Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2007, hlm 72-73
[26] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2006. hlm 188
[27] Satjipto Rahardjo, Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif,
Kompas 15 Juli 2002
[28] Topo Santoso, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem
Penegakan Hukum di Indonesia, dalam Potret Penegakan Hukum di Indonesia,
Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2009, hlm 370
[29] Satjipto Rahardjo, Berhukum dengan Nurani, Kompas, 8 Juni
2009
[30] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Esai-Esai Terpilih,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm 115
[31]Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988,
hlm 27
[32] Ibid
[33] Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan,
dalam Moh. Mahfud MD, dkk (Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,
UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm 356
[34] Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era
Reformasi, Pusham UII, Yogyakarta, 2011, hlm 269-270
[35] Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik, dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, Vo. 1 Edisi 1,
Oktober 2006, Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN
Yogyakarta, hlm 2
[36] Kuntowijoyo, Peran Borjuasi Dalam Tranformasi Eropa,
Ombak, Yogyakarta, 2005, hlm 16-28
[37] Kuntowijoyo, Identitas Politik … Op. Cit, hlm 54
[38] Ibid, hlm 17-20
[39] Ibid, hlm 20-23
[40] Kuntowijoyo, Paradigma Islam… Op. Cit, hlm 284, lihat
juga Kuntowijoyo, Identitas Politik.. Op.
Cit, hlm 23-26
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment