20 February 2013
Kekerasan Negara Terhadap Umat Islam
Wednesday, February 20, 2013
No comments
~~ M. Syafi'ie
Sangat
susah untuk tidak mengatakan bahwa Negara tidak menindas umat Islam.
Kita ketahui sampai saat ini berbagai survey di Indonesia masih secara
tegas mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia ialah mayoritas. Lebih
80% penduduk Indonesia dihuni oleh mereka yang secara KTP beragama
Islam. Walaupun pemegang kebijakan eksekutif, legislatif dan yudikatif
ialah mereka juga yang mengaku Islam. Namun posisi mereka ialah pemegang
kebijakan (state) sedangkan masyarakat muslim yang menjadi korban merupakan warga negara (civil).
Memang
harus kita akui bahwa masyarakat muslim tidak bisa digeneralisasi dalam
satu kutub kekuatan. Misalkan beberapa pengamat baik dari barat maupun
internal Islam sendiri berpandangan bahwa umat Islam terpecah menjadi
beberapa kutub ; Islam modernis dan tradisionalis, Islam Kultural dan
struktural, Islam priyayi, abangan dan santri. Bahkan Luthfi Assyaukanie
seorang penggerak Islam liberal di Indonesia secara tegas menyatakan
bahwa musuh utama dari gerakan pembaharuan Islam adalah kelompok
konservatisme dan fundamentalisme. Konservatisme menjadi musuh karena
menjadi penghalang dari gerakan liberalisme sejak pertama muncul.
Sedangkan fundamentalisme menjadi musuh karena ia lahir dari kontestasi
Islam politik.
Disamping
itu kita harus akui bahwa gerakan Islam saat ini terpecah cukup banyak
sekali. NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, MMI, Anshorut-Tauhid dan sangat
banyak lagi lainnya. Sangat susah untuk mengeneralisasi umat Islam.
Tulisan ini tidak ingin terlibat dalam hiruk pikuk konstelasi
kutub-kutub gerakan keagamaan itu tetapi ingin meletakkan umat Islam
sebagai warga dan civil society dan Negara sebagai pemangku kekuasaannya. Umat Islam mempunyai hak-hak dan Negara bertanggungjawab pemenuhannya.
Jika
umat Islam mengalami kekerasan dan dilanggar hak-haknya oleh Negara
maka umat Islam layak ditempatkan sebagai korban. Secara definisi dalam
Deklarasi Prinsip Keadilan bagi Korban Kejahatan Penyalahgunaan
kekuasaan yang dikatakan korban ialah orang yang secara individual
maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk secara fisik maupun
mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang
nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).
Menggunakan
terminologi diatas, penulis akan mencoba melukiskan sekian peristiwa
kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan Negara khususnya era orde baru
terhadap umat Islam di Indonesia. Karena di era inilah penghancuran umat
Islam terjadi sistematik. Kekerasan dan pelanggaran ini cukup
menghebohkan dimasanya. Tetapi kasus-kasus tersebut banyak sekali yang
tidak terekam dalam memori publik dan seakan dihapuskan dari jejak
sejarah gelap kekuasaan Indonesia.
Kekerasan Sipil-Politik
Ada buku berjudul “Derita Kaum Muslimin di Indonesia Sejak 1980-2000”
ditulis oleh Al-Chaidar dan Tim Peduli Tapol Internasional. Buku ini
cukup lumayan merekam kejadian kekerasan yang menimpa kaum muslimin di
Indonesia di era orde baru. Dikatakan dalam pengantarnya :
“…Kaum
muslimin bangsa Indonesia, tinggal menuai badai-menghitung korban
tragedi. Darah tertumpah, air mata pilu, wanita diperkosa, anak-anak
menjadi yatim piatu, harta benda dijarah atau dibakar musnah. Semuanya
berpadu dalam tragedi akibat bencana yang menimpa kaum muslimin, sejak
peristiwa Tanjung Priok (1984), Lampung-Talang Sari Berdarah (1989), DOM
di Aceh (1989) hingga Ambon (1999) dan Maluku Utara (2000). Seluruh
peristiwa ini terjadi, bukan lantaran kaum muslimin ikut menabur angin,
lalu akhirnya menuai badai, melainkan karena amanat kepemimpinan bangsa
ini tidak berada di tangan mereka yang berhak menerimanya. Karena itu
dia tidak menunaikan amanah tersebut secara benar, maka bencanalah yang
akan timbul”
Uraian
yang cukup menyayat hati. Tragedy kemanusiaan itu telah menelan korban
yang cukup banyak. Selain kasus yang disebutkan diatas masih banyak
kasus kekerasan yang lain sebutlah Komando Jihad yang menelan ribuan
korban aktifis Islam di seluruh Indonesia, Pembajakan Woyla, pembunuhan
ulama’ di Banyuwangi, kasus usroh, penangakapan aktifis Islam akibat
asas tunggal dan lainnya.
Berbagai
peristiwa itu diliputi oleh penangkapan, kekerasan dan
kewenang-wenangan. Termasuk salahsatunya terlihat dalam rekayasa putusan
hukum. Pengadilan yang menjadi tempat bergantungnya keadilan ternyata
menjadi alat kekuasaan yang lalim. Itu tergambar secara jelas dalam
kasus Tanjung Priok, Komando Jihad, Pembajakan WOYLA (1982), Peledakan
BCA (Oktober 1984), Pengeboman Candi Borobudur di Magelang, Peledakan
Bis Pemudi Ekspres di Malang (1984), kasus Pesantren Kilat di Malang
(1985), dan Gerakan Usroh di Jateng dan DIY tahun 1986.
Kasus
kekerasan sipil yang menimpa umat Islam tidak bisa dilepaskan dari
politik kekuasaan orde baru. Umat Islam yang mayoritas pasti mempunyai
kekuatan politik yang besar. Pasca krisis orde lama dan dihancurkannya
komunisme, tokoh-tokoh Islam secara sadar punya potensi maju dalam
kepempimpinan Indonesia. Hal inilah yang menjadi cikal bakal rekayasa
sistemik penghancuran terhadap umat Islam. Bahkan lembaga CSIS salah
satu think-thank orde baru dan dibidani Ali Murtopo menyebut
Islam sebagai faktor penghambat pembangunan di Indonesia. Ali Murtopo
yang juga seorang Opsus menyebut tahun 1970-an sebagai tahun yang
menentukan untuk membangun Indonesia. Rekayasa-rekayasa penghancuran
itupun dimulai. Aktifis Islam di era orde baru distigmakan sangat
menakutkan. Banyak tokoh dan aktifis Islam ditangkapi secara
sewenang-wenang. State discourse dan terorisme betul-betul nyata di era rezim orba.
Termasuk
aktifitas politik tokoh-tokoh Islam dipantau sedemikian rupa. Aspirasi
politik umat selama orde baru dikerdilkan habis-habisan. Ketika ada
pemilu selalu ada pembohongan dan manipulasi data. Golkar sebagai partai
penguasa tidak terkalahkan walaupun kita tahu umat Islam di Indonesia
adalah mayoritas. Negara terlihat kuat, aman, tertib dan tanpa kritik.
Bencana Ekonomi Publik
Kondisi
Negara di era rezim orba yang begitu dominan dengan kekuatan militernya
mengantarkan pada privatisasi Negara. Rezim orba menjelma sebagai
Negara yang clientist dan koruptif. Otoritas dan kewenangan
kenegaraan diarahkan untuk memperkaya elit kelompok penguasa.
Perusahaan-perusahaan internasional dan nasional seakan menjadi clien Soeharto dan keluarga dekatnya. Mereka
adalah pengusaha nasional yang dekat dengan Soeharto bahkan dari
keluarganya sendiri, semisal Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong),
Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan pada level internasional muncul
pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan
banyak lainnya.
Umat
Islam yang mayoritas di Indonesia jelas tidak lagi mendapatkan hak-hak
ekonominya. Kekayaan Negara berputar dan menumpuk di area keluarga
Soeharto dan clientnya. Ketimpangan kaya dan miskin mulai
terlihat, aset-aset bangsa mulai diperjual belikan blak-blakan,
penggusuran atas nama pembangunan mulai terjadi, dan kebijakan ekonomi
pasar dibangun serius oleh teknokrat Berkeley di kementrian. Rezim
Soehartopun dikasih sebutan “Macan Asia” dan dipuja-puja oleh Amerika.
Aktifis
Islam yang mencoba kritis terhadap kebijakan ekonomi Soehartopun
ditangkapi. Kaum buruh yang menentang kesewenang-wenangan perusahaanpun
dihancurkan. Mungkin kita masih ingat dangan kasus Marsinah, peristiwa
Malari dan Waduk Kedungombo. Beberapa peristiwa yang terjadi akibat
perlawanan dan pergolakan ketidakadilan kebijakan ekonomi. Lagi-lagi
dalam kasus tersebut Negara telah menggunakan tangan besinya. Marsinah
dibunuh tanpa ampun. Aktifis yang terlibat di Malari ditangkapi secara
represif. Demikian juga terhadap warga di Waduk Kedungombo. Kebijakan
developmentalisme di era rezim orba juga berjalan tanpa hambatan, horor
dan kejam.
Puncak Kekerasan Terhadap Umat
Setelah
sedemikian lama Negara menindas rakyatnya. Kekerasan demi kekerasan
telah dilakukan. Akhirnya itu memuncak ketika menjelang tahun 1998.
Negara orde baru yang telah clientist dan koruptif
mengantarkannya pada krisis ekonomi yang sangat akut. Kebijakan ekonomi
pembangunan yang dirancang teknokrat ekonomi berkeley hancur. Krisis
moneter dunia menghancurkan ekonomi Indonesia. Sembako dan kebutuhan
publik lainnya menjadi sangat mahal sedangkan subsidi Negara tidak
memungkinkan.
Krisis
salah urus kebijakan inilah yang mengantarkan Soeharto melakukan hutang
kepada IMF yang dari dulu memang sudah menjadi partnernya. Soeharto
meminta bantuan IMF pada tanggal, 8 oktober 1997 yang kemudian meminta
Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan dengan IMF bertanda tangan
dalam sebuah Letter of Intens, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities
pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah mempertegas
posisi IMF untuk menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani
krisis ekonomi Indonesia.
Krisis yang bermula akibat pembangunan mikanisme pasar di era orba dan peneguhan positioning
IMF kembali di tahun 1997 membuktikan kebegisan dan kekejaman rezim
orde baru. Orde baru secara sadar telah menggadaikan Negara dan
memperjualbelikan rakyatnya. Krisis demi krisispun terjadi sedemikian
dahsyatnya. Mulai dari lepasnya Negara mengurus kebutuhan rakyatnya,
asset-aset diperjualbelikan, dan proyek militer terus ditingkatkan.
Dampak
kekerasan itu semua saat ini terjadi peningkatan kaum miskin, eskalasi
pembunuhan, kebodohan, eksploitasi bumi, pencemaran dan kekerasan yang
semakin menggila. Efendi Sirajudin dalam bukunya “Memerangi Sidrom Negara Gagal “ menyatakan :
“Sudah
lebih dari enam dasawarsa Indonesia Merdeka, tetapi perjalanan panjang
bangsa tidak bergerak menuju tatanan kehidupan sebagaimana yang dulu
dicita-citakan oleh para pendiri ripublik. Sejauhmata memandang,
dihampir semua sektor kehidupan dewasa ini tersaji potret dengan wajah
buram. Era reformasi yang sempat menerbitkan harapan bagi dimilikinya
landasan kokoh untuk melakukan perubahan, ternyata tidak berjalan pada
track yang benar. Indonesia bahkan terancam menjadi Negara gagal (failed
states)”
Umat
Islam sebagai mayoritas masyarakat di Indonesia dengan kondisi Negara
yang menyedihkan ini tentunya mereka telah didzalimi dan dilanggar
hak-haknya. Mereka dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang menindas dan
penuh kekerasan. Minimal dua hal yang kita bisa lihat secara telanjang, pertama,
saat ini umat Islam secara sistemik menjadi korban karena dihadapkan
dengan manajemen dan sistem ekonomi negara yang sangat kapitalistik (ribawi). Agama Islam jelas menentang ideologi ribawi dan hukum seorang muslim yang melaksanakannya haram. Kedua,
umat Islam sampai saat ini masih menjadi obyek kekerasan Negara dengan
masih dihidupkannya penstigmaan teroris dan lain sebagainya. Sungguh
menyakitkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment