21 February 2013
Pemberdayaan Aktifis Gerakan Islam
Thursday, February 21, 2013
No comments
M.
Syafi’ie
Penindas dan yang tertindas (karena tidak melawan),
sama-sama menggunting
keadilan
(Ali bin Abi Thalib)
Pemberdayaan ialah tranformasi kesadaran korban,
sehingga dapat ambil bagian secara aktif dalam mendorong
perubahan
(Timur Mahardika)
Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai usaha yang memungkinkan semua
orang untuk bisa ambil bagian, baik dalam mengaktualisasi aspirasi dan beragam
kepentingannya secara bebas dan merdeka. Setiap orang juga secara mandiri dapat
terlibat dalam proses perumusan kebijakan-kebijakan yang menentukan terhadap
aspirasi dan kepentingannya, sehingga setiap orang dapat melihat, merasakan dan
mengantisipasi terhadap situasi dan kondisi yang akan terjadi kedepannya.
Pemberdayaan akan senantiasa menyentuh dua aspek sekaligus, pertama, mengusahakan pembukaan ruang
bagi gerak bebas masyarakat. Kedua,
mengusahakan agar masyarakat menjadi lebih mampu dalam mengaktualisasikan diri.
Biasanya, pemberdayaan dibangun atas prinsip pemihakan kepada mereka yang marginal
dan lemah sehingga mempunyai posisi tawar dan mampu memecahkan setiap masalah
yang dihadapi, dan kemudian mengubahnya ke arah yang lebih baik, diantaranya
kualitas hidup yang sejahtera dan dan berubahnya relasi yang kuasa yang timpang
menjadi relasi baru yang adi dan setara (Syihabuddin, 1999).[1]
Posisi masyarakat yang powerless
dan diarahkan untuk berdaya maka aspek penting yang harus dilakukan ialah
bentuk-bentuk penyadaran tentang situasi dan kondisi yang mereka hadapai,
termasuk di dalamnya ialah bagaimana mereka dapat memecahkan masalah yang
mereka rasakan, baik secara internal ataupun eksternal. Dalam proses
pemberdayaan, maka masyarakat harus didorong menjadi subyek yang aktif,
memberikan kesempatan yang besar dan wewenang yang luas untuk mengelola setiap permasalahan yang dihadapi. Proses-proses pemandirian dan pemerdekaan itu
menjadi kunci dari manajemen pemberdayaan.
Pemberdayaan tidak hanya berlaku bagi masyarakat marginal, tetapi
juga penting bagi aktifis gerakan Islam. Tentu metodologi pemberdayaan bagi
aktifis gerakan Islam berbeda dengan pemberdayaan masyarakat pada umumnya.
Aktifis gerakan Islam tentu lebih memiliki basis kekuatan : bangunan ideologi,
pengetahuan dan pengalaman menjadi aktifis. Kekuatan itu tentu menjadi modal lebih
bagaimana para aktifis itu bisa berdaya dan dapat mengaktualisasi cita-citanya
pada arah perubahan yang transformatif.
Tugasnya besarnya adalah bagaimana riorientasi pemberdayaan bagi
aktifis gerakan Islam lebih disesuaikan dengan kapasitas, pengalaman, pengetahuan
dan basis ideologi yang menuntunnya dalam melakukan satu program. Pemberdayaan
bagi aktifis gerakan Islam pada akhirnya tidak semata pembebanan tugas yang
biasa, tetapi lebih dari itu ialah proses ideologisasi terhadap
persoalan-persoalan sosial yang pasti mereka hadapi. Bagi aktifis gerakan
Islam, posisioning sosial sangat mendasar, dan proses itu hanya akan terjadi
ketika para aktifis itu telah ‘kenyang’ dengan ideologisasi sosial. Ideologi
adalah basis bagi aktifis gerakan Islam, karena hanya dengan itu seorang
aktifis gerakan Islam akan terlihat kontribusi sosial dan orientasi kemaslahatannya
yang menjadi tujuan dasar ajaran Islam (Al-Syatibi, 1975).[2]
Ideologi ialah ilmu
tentang keyakinan dan cita-cita. Ideologi adalah kata ajaib yang menciptakan
pemikiran dan semangat hidup di antara manusia, terutama diantara kaum muda dan
cendekiawan dalam masyarakat. Ideologi menuntut seseorang cendekiawan untuk
memihak. Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah sesuatu yang mutlak. Setiap
ideologi mulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo masyarakat dengan berbagai kultural, ekonomis, politik dan
moral yang cenderung melawan terhadap perubahan yang diinginkan. Pada tahap
ini, ideologi mengikatkan dirinya dengan dengan pengajuan rancana dan rancangan
suatu tujuan-tujuan ideal sebagai pengganti yang baru. Ideologi pada hakekatnya
mencakup keyakinan, tanggungjawab, keterlibatan dan komitmen (Ali Shariati, 1996)).[3]
Pemberdayaan bagi aktifis gerakan Islam sesuai kerangka di atas
sebenarnya ingin mengubah pola ketidakberdayaan aktifis gerakan Islam, dari
pola tradisional yang tidak dibangun dari kompetensi dan ideologi sehingga
berdampak terhadap kinerja yang powerless
dan tidak tranformatif, diubah pada pola progresif berupa pemberdayaan
aktifis gerakan Islam dengan pemerkuatan ideologi, visi gerakan sosial dan didasarkan
pada kompetensi. Dalam hal ini, para aktifis gerakan Islam pada dasarnya tidak
bisa digeneralisasi ideologi, visi, kapasitas dan kompetensinya, tetapi harus diperkuat,
diperdalam dan diberdayakan secara terus menerus.
Basis Masalah Pemberdayaan Aktifis
Pemberdayaan terhadap aktifis gerakan Islam, pertama-tama yang
dibutuhkan ialah mengetahui terhadap masalah yang biasa dihadapi para aktifis
gerakan. Masalah mendasar yang biasa
dihadapi aktifis gerakan ialah diskursus teori sosial. Kegiatan mendesak yang
harus diberikan kepada aktifis, diantaranya, pertama, memfasilitasi pembahasan tentang teori-teori dengan
harapan membuka kemungkinan bagi aktifis untuk membangun paradigma dan visinya
sendiri bagi gerakan mereka. Kedua,
memfasilitasi aktifis agar mereka dapat mengembangkan agenda dan program aksi
maupun paradigma dan teorinya sendiri. Ketiga,
memfasilitasi aktifis untuk memahami peran masa depan mereka. Karena, di internal aktifis gerakan ditemukan
ketidakpuasan dan keputusaan terhadap peran dan masa depan mereka (Mansour
Fakih, 2008).[4]
Fasilitasi pemerkuatan aktifis terhadap teori-teori sosial sangat
dibutuhkan karena saat ini aktifis gerakan banyak yang terjebak dalam paradigma
dominan sehingga menjauhkan kerja-kerjanya untuk memihak kepada kepentingan
masyarakatnya yang marginal dan dilemahkan, karena itu pemerkuatan ideologi dan
visi gerakan menjadi satu yang fundamental. Mansour Fakih mengidentifikasi
gejala umum yang menimpa aktifis gerakan saat ini, diantaranya :[5]
1. Bias
Negara
Analisa
posisi ideologis aktifis dan relasinya dengan negara, ditemukan hampir semua
aktifis menyadari bahwa secara ideologis para aktifis adalah bagian dari negara,
yakni developmentalisme. Belum ada upaya
untuk memecahkan kontradiksi di kalangan aktifis antara gerakan mereka sebagai
bagian dari gerakan rakyat, yang berpihak kepada mereka yang tertindas, dengan
pandangan mereka tentang perubahan sosial yang menganut developmentalisme
yang sebagai bagian dari hegemoni
negara. Paradigma dan visi perubahan sosial gerakan masih hidup dalam
mainstream negara.
2.
Bias Saintis dan Teknokratis
Kecenderungan
lain dari aktifis gerakan ialah saintisme dan teknoratisme yang nota bene pada dasarnya adalah empirisme
dan positivisme. Situasi itu merasuk pada cara
berfikir dan keyakinan para aktifis, dan termanifestasi dalam metodologi
dan proyek lapangan mereka. Empirisme dan positivisme telah menjadi
satu-satunya prinsip dalam diri semua aktifis. Sebagian besar aktifis yakin
bahwa program mereka harus ilmiah, yang
berarti netral, obyektif, rasional dan terbuka. Bekerja dalam standar ini
berarti aktifis gerakan telah meletakkan diri dalam posisi epistimologi
dominan, yakni empirisme dan positivisme. Epistimologi ini telah menjadi
keyakinan hampir semua para pejabat negara, media massa, komunitas industri,
universitas dan hampir semua intelektual, tidak terkecuali para aktifis. Akibat
dari hegemoni paradigma ini, terlihat runtuhnya kearifan pengetahuan masyarakat
adat maupun banyak sistem yang non positivistik. Dampak lainnya ialah lahirnya
proses kesadaran yang memuncak terhadap arus dominan ilmu sosial, dan
dekonstruksi diskursus rekayasa sosial, dan tumbuhnya kesadaran bahwa mereka
memiliki hak untuk mengatur, merekayasa dan mengarahkan rakyat.
3.
Bias Kelas Elit
Terdapat
kecenderungan kuat di kalangan aktifis gerakan yang berpegang pada kelas
elit. Kondisi dapat diidentifikasi dalam
diskursus aktifis tentang perubahan sosial, dan gagasan-gagasan mereka seputar
proyek pengembangan masyarakat. Ketika para aktifis berbicara tentang
perekonomian, mereka cenderung mengikuti teori neoklasik. Pengaruh kuat
pemikiran neoklasik terhadap para aktifis akibat pengaruh latar belakang pendidikan
mereka. Seluruh lembaga pendidikan di negeri ini telah secara sistematis
menyingkirkan pandangan-pandangan ekonomi alternatif dari kurikulumnya. Seluruh anasir yang yang secara potensial
menentang kapitalisme dihilangkan. Kurikulum pendidikan tinggi, ekonomi politik
diganti dengan pembangunan ekonomi yang lebih memusatkan pada tingkat
pertumbuhan daripada pemahaman akan eksploitasi dan keadilan ekonomi.
4.
Bias Modernis
Tidak
bisa disangkal sebagian besar aktifis mengikuti logika modernisasi. Sebagai
pengikut modernisasi, para aktifis yakin bahwa faktor manusia, bukan struktur
dan sistem adalah akar masalah keterbelakangan. Bagi mereka, modernisasi
merupakan proses evolusioner masyarakat yang bergerak dari tradisional menuju
modern. Asumsinya, bahwa semua masyarakat termasuk barat pernah tradisional dan
akhirnya menjadi modern. Tradisionalisme dianggap sebagai suatu masalah.
Akselerasi modernisasi ini salah satunya dipengaruhi oleh Rostow dan
pengikutnya yang meyakini bahwa pembangunan akan bekerja secara otomatis
melalui tabungan akumulasi modal dan investasi dengan bantuan (hutang) luar
negeri. Para aktifis itu memusatkan
perhatian kepada perlunya elit wiraswasta untuk menjadi penggerak proses
pembangunan. Modernisasi ini saat ini telah menjadi keyakinan global.
Selain
gejala-gejala di atas, gejala lainnya yang biasa terjadi pada aktifis ialah
masih lemahnya pemahaman aktifis terhadap isu-isu gender, sehingga dalam setiap
program dan kegiatan yang dilangsungkan terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Di kalangan aktifis gerakan juga masih kuat paradigma diterminisme dan
reduksionisme, dimana masalah-masalah sosial semata-mata diukur dan ditentukan
oleh logikan dan tertentu. Cara pandang aktifis masih belum luas dan meyakini
hanya satu kebenaran dan mereka harus membelanya. Problem yang menghinggapi aktifis gerakan
ialah paradigma psikiater, dimana ada kecenderungan pemikiran aktifis yang
menempatkan masyarakat sebagai obyek : masyarakat sekedar diminta untuk ikut
serta dan mendukung program yang direncanakan oleh para aktifis gerakan.
Gejala-gejala
umum yang menimpa para aktifis di atas mendesak untuk diperbaiki dan
ditranformasi. Sebagaimana Mansour Fakih katakan, aktifis gerakan sama sekali
tidak bisa dipisahkan dari gerakan sosial yang nota bene merupakan fenomena positif dan menjadi sarana konstruktif
dari rekayasa perubahan sosial. Maka tugas besar pemberdayaan bagi aktifis
gerakan diantaranya ialah, melakukan reposisi ideologi aktifis. Reposisi
ideologis itu ialah menempatkan aktifis gerakan sebagai intelektual organik,
dimana para aktifis gerakan harus menguasai gelanggang produksi pengetahuan,
menciptakan ruang bagi rakyat sehingga dapat menganalisa struktur dan sistem yang
memarginalisasi mereka, dan mendorong
rakyat untuk berkesadaran kritis (Mansour Fakih, 2008).
Suharsono
mengatakan, setiap gerakan sosial, apalagi aktifis gerakan Islam pasti
menawarkan sebuah alternatif perubahan
kehidupan, sehingga mampu mentranformasikan masyarakat dan pada gilirannya
melahirkan peradaban dan kebudayaan baru. Proses-proses itu memiliki hal-hal
pokok, pertama, adanya orientasi
–orientasi dasar berkenaan dengan alam semesta, diri manusia dan hal-hal yang
bersifat supreme, yang daripadanya terderivasi nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keadilan, kepatuhan,
keberanian dan nilai-nilai agung aktifis gerakan Islam lainnya. Kedua, adanya sejumlah martyr atau
ideolog, yang hidup dan kehidupannya berpegang teguh dan senantiasa menanggung
berbagai resiko dan konsekwensi atas penerapan orientasi dan nilai-nilai dalam
masyarakat. Ketiga, adanya transmisi
orientasi dan nilai tersebut ke dalam masyarakat luas (Suharsono, 2004).[6]
Dalam
mengemban tugas tranformatif itu, para aktifis gerakan Islam menjadi tidak
mudah, melainkan butuh pembekalan, pendalaman, dan pemahaman yang utuh terkait visi,
orientasi gerakan dari setiap pekerjaan yang akan dilakukan. Proses-proses
pembekalan itu, tentu adalah pemberdayaan, dimana para aktifis gerakan Islam
diletakkan sebagai subyek yang mengemban cita-cita luhur ajaran Islam. Doktrin
cita-cita Islam itu dikenal sebagai maqasid
al-syariah, dimana didalamnya
terkandung tujuan Islam, berupa nilai-nilai kemanusiaan seperti kemaslahatan,
keadilan dan kesetaraan (Zubaidi, 2007).[7]
Ajaran Islam yang progresif itu harus dijadikan dasar bagaimana para aktifis
gerakan Islam melangkah dan melakukan tugas dan tanggungjawab tranformatifnya
dalam setiap lini kehidupan bermasyarakat.
Proses Pemeberdayaan
Unsur penting pemberdayaan ialah pemberian kewenangan dan
pengembagan kapasitas. Kedua unsur ini tidak bisa dipisahkan, karena apabila
masyarakat telah memperoleh kewenangan
tatapi belum memiliki kapasitas maka maka pekerjaan yang menjadi
kewenangan itu akan tidak berjalan optimal. Sebab dalam program pemberdayaan,
masyarakat berada pada posisi yang marginal karena kedua unsur : kewenangan dan
kapasitas tidak dimilikinya, sehingga posisi mereka berada dalam situasi yang powerless, tidak berdaya dan tidak
mempunyai ruang untuk menata masa depannya dari setiap problematika yang
dihadapi (Soetomo, 2011).[8]
Proses tranformasi dari tidak berwenang dan tidak memiliki
kapasitas tersebut maka yang dibutuhkan ialah pemberdayaan, atau yang dikenal empowerment. Korten mengatakan, memamahi power tidak cukup dengan
dimensi distributif, tetapi juga dalam dimensi yang generatif. Dalam dimensi distirbutif, power dapat diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan power dalam pemaknaan yang
generatif berarti bahwa suatu kelompok hanya akan memperoleh tambahan dan peningkatan power dengan
mengurangi power kelompok lain.
Kelompok yang powerless akan
memporoleh tambahan power atau empowerment, hanya dengan mengurangi power yang ada pada kelompok powerholders.
Dalam konteks masyarakat, ketidakberdayaan mereka karena negara
telah mengambil kewenangan dalam pengambilan keputusan dan setiap pengelolaan
yang dihadapi masyarakat. Maka proses pemberdayaan, negara harus
mengurangi kekuatannya untuk mengatur
masyarakat. Masyarakat harus diberikan kewenangan yang seutuhnya telah dimiliki
negara. Masyarakat diberikan untuk mengatur dan mengelola permasalahannya
sendiri, dengan sistem kultural yang biasa dipakai untuk menyelesaikan berbagai
masalah yang dihadapi. walaupun, dalam pemberian kewenangan tersebut,
masyarakat tetap diajak
Dimensi pemberdayaan masyarakat setidaknya meliputi dua teknik, pertama, Kedalam, yaitu suatu upaya
untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan desakan ke arah
perubahan, dan disisi lain semakin mempu memproteksi diri dari berbagai tekanan yang merugikan. Pengorganisasian
dan berbagai bentuk perlawanan masyarakat merupakan salah satu bentuk usaha
kedalam. Dengan pengorganisasian diharapkan muncul organisasi dan masyarakat
semakin terlatih dengan kapasitasnya. Kedua,
keluar, yaitu usaha menambah kapasitas daya tawar masyarakat dengan jalan mempengaruhi pihak
penekan, atau pihak-pihak yang semula belum mendukung masyarakat. beberapa
teknik dari proses pemberdayaan ini
ialah melalui pendidikan, stimulasi kesadaran, penerangan (propaganda),
dan pengorganisasian. (Timur Mahardika,
2006).[9]
Proses pemberdayaan tersebut juga berlaku bagi pemberdayaan
aktifis gerakan Islam. Dimana para aktifis itu, pertama, harus memiliki kapasitas dan kompetensi terhadap
persoalan-persoalan sosial yang telah dipertanggungjawabkan kepada mereka.
Kompetensi menjadi modal yang penting
bagaimana para aktifis itu bisa
bekerja secara profesional, bertanggungjawab dan memiliki orientasi yang
jelas terkait kerja-kerja yang dilakukannya. Kedua, para aktifis itu harus memiliki kekuatan dan kewenanangan
yang kuat, sehingga posisinya memiliki posisi tawar yang diperhitungkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketiga,
para aktifis gerakan Islam harus
menguasai metodologi pemberdayaan gerakan sosial yang berbasis pada kekuatan
masyarakat.
Implementasi Pemberdayaan
Menurut Soetomo, konsep pemberdayaan pada umumnya lebih
difokuskan pada level komunitas. Sebab komunitas dianggap sebagai basis
kehidupan masyarakat. Karena itu, proses pemberdayaan harus dimulai dari bawah,
awalanya harus berangkat dari kehidupan paling dasar. Asumsi yang masih hidup,
masyarakat di tingkat komunitas merupakan basis kehidupan, dan mereka merupakan
kelas yang paling mengerti terhadap persoalan dan kebutuhan yang paling aktual.
Pandangan ini mengubah dari pola pemberdayaan tradisional yang bersifat
sentralistis dan top down, menjadi
pemberdayaan yang berbasis komunitas (Soetomo, 2011). [10]
Implementasi konsep dan pendekatan pemberdayaan perlu didukung
oleh sejumlah langkah dan tindakan. Hal itu diperlukan untuk memperlancar baik
proses tranformasi dan transisi dari paradigma lama ke ke paradigma baru,
maupun dalam menjabarkan konsep pemberdayaan sebagai pendekatan yang digunakan
oleh perspektif baru kedalam berbagai kegiatan yang lebih operasional.
Langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi :[11]
1. Riorientasi
Hakekatnya
pemberdayaan mengandung unsur pemberian kewenangan dan peningkatan kapasitas
masyarakat. riorientasi mutlak perlu dilakukan karena setiap perspektif
memiliki orientasi dan pandangan yang berbeda tentang kapasitas masyarakat dan
tentang posisi masyarakat dalam hubungannya dengan dengan berbagai pihak
terutama terhadap negara dan pasar. Karena itu, proses pembangunan masyarakat
melibatkan berbagai pihak yang terkait, maka riorientasi perlu dilakukan meliputi
seluruh stakeholder. Jika dianalogi, sosok kerangka pembangunan masyarakat
sebagai badan jasmani, sedangkan perspektif merupakan roh yang memasuki badan
jasmani. Maka efektifitas perubahan perspektif yang digunakan tidak cukup
dilakukan dengan mengganti baju atau label, melainkan harus berganti roh yang
menggerakkan sosok tersebut.
Riorentasi
semakin penting jika kita menyadari bahwa paradigma lama telah digunakan sebagai referensi dan dasar
perumusan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan masyarakat dalam periode waktu
yang panjang. Selama itu, asumsi , nilai dan pola pikir perspektif lama telah
terinternalisasi pada seluruh stakeholder yang terlibat. Karena itu menjadi
wajar kehadiran perspektif baru dalam pengambilan kebijakan tidak otomatis terimplementasi
sesuai harapan. Tidak mudah mengubah pola yang sudah mapan, iterapkan secara
luas dalam tempo yang sangat panjang dan terjadi dalam proses mikanisme
pembangunan masyarakat.
Bagi
masyarakat riorentasi dibutuhkan, karena selama ini mereka telah lebih
berposisi sebagai obyek, sementara pengambilan keputusan dan perencanaan dibuat
oleh pemerintah. Keterlibatan masyarakat tidak lebih pada tahap pelaksanaan,
sehingga berdampak terhadap posisi masyarakat yang terbiasa menunggu program dari atas. Karena itu, diperlukan perpektif
baru, yaitu dengan prakarsa lokal diperkuat, partisipasi dalam keseluruhan
proses, sejak identifikasi masalah dan
kebutuhan sampai dengan pelaksanaan. Rioreintasi menjadi syarat mutlak bagi
petugas lapangan yang menjadi ujung tombak dari pelaksanaan program, karena
mereka harus mengakui kemampuan dan
pengetahuan masyarakat. Hubungan dengan masyarakat tidak lagi bersifat vertikal
sesuai sistem komando, tetapi bersifat horizontal dan kemitraan.
2.
Gerakan Sosial
Aspek
mendasar lain dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat ialah kontribusi dari
gerakan sosial yang salah satunya berasal Lembaga Swadaya Masyarakat.
Keberadaan mereka relatif menghasilkan penguatan civil society sehingga
terlihat semakin menguatnya kewenangan masyarakat lokal dalam proses pembangunan yang menyangkut masa
depan masyarakat, baik dalam level identifikasi masalah, perencanaan, sampai
dengan pelaksanaan pembangunan pemerintah.
Kewenangan
masyarakat tidak otomatis diberikan oleh pewer holder, termasuk di dalamnya
ialah negara. Untuk memperoleh kewenangan masyarakat, diperlukan perjuangan
yang terus menerus. Salah satu perjuangan yang efektif ialah melalui proses
gerakan sosial. Melalui upaya-upaya gerakan sosial, tercipta suatu iklim dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang mendorong pengambilan kebijakan yang
memperhatikan aspek pemberdayaan dalam merumuskan program kebijakan dan program
pemberdayaan masyarakat.
Eksistensi
gerakan sosial juga tidak semata menjadi gerakan penekan kebijakan yang partisipatif,
tetapi juga telah menjadi sarana penyebaran nilai yang harus diperjuangkan.
Penyebaran nilai itu ialah sosialisasi dan internalisasi nilai pemberdayaan
pada lapisan masyarakat dan stakeholder yang lebih luas. Gerakan sosial juga
telah mendorong tranformasi yang tidak hanya dalam budaya material tetapi juga
perubahan struktural dan institusional. Proses-proses itu akhirnya
mendorong pola hubungan sosial yang
mengurangi dimensi dominasi, diskriminasi dan marginalisasi. Dalam level yang
lebih luas, gerakan sosial telah menempatkan dirinya sebagai penyeimbang
terhadap negara dan pasar.
Eksistensi gerakan sosial telah
meningkatkan posisi tawar masyarakat
sipil sehingga meminimalisasi berbagai praktek kesewenang-wenangan dan bentuk
eksploitasi.
3. Institusi Lokal
Pemberdayaan
masyarakat juga terlihat dari manifestasi masyarakat lokal dalam berbagai
tindakan kolektif dalam melakukan perubahan kondisi kehidupannya. Tindakan
kolektif itu menjadi cerminan kapasitas masyarakat dalam melakukan pengelolaan
pembangunan secara mandiri, sejak
identifikasi kebutuhan dan masalah, perencanaan, pelaksanaan, monitoring serta
evaluasi setiap program pembangunan. Tindakan bersama itu relatif telah menjadi pola perilaku masyarakat yang
terlembagakan. Karena itu, kehadiran institusi lokal menjadi instrumen penting
dalam setiap proses pemberdayaan masyarakat.
4.
Pengembangan Kapasitas
Unsur
yang sangat penting juga dalam pemberdayaan ialah pengembangan kapasitas
masyarkat. Pengembangan kapasitas tidak bisa dipisahkan dari proses pemberian
kewenangan. Muara dari pemberdayaan ialah kemandirian, tetapi proses-proses
untuk menjadi mandiri dalam kondisi masyarakat yang marginal dibutuhkan
peran-peran eksternal, walaupun harus dipahami bahwa posisi eksternal dalam kerja-kerja
pemberdayaan bukanlah berarti mendominasi dan menjadikan masyarakat sebagai
obyek. Keberadaan eksternal dalam kerja-kerja pemberdayaan sebatas sebagai
stimuli untuk menghidupkan potensi dan kapasitas masyarakat. prinsip yang harus
dilakukan dalam hal ini ialah help the
people to help themselves.
Dalam
level yang lebih teknis, Karsidi mengemukan
bahwa operasionalisasi pemberdayaan
masyarakat meliputi :[12]
1.
Pengenalan masalah/kebutuhan dan potensi serta
penyadaran. Pada tahap awal ini digali informasi-informasi yang mengungkapkan
keberadaan lingkungan dan masyarakatnya secara umum serta melakukan analisa dan
refleksi atas keberadaan itu.
2.
Perumusan masalah dan penetapan prioritas.
Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengkajian informasi tersebut, diperoleh
catatan yang memuat berbagai masalah dan potensi (setempat).
3.
Identifikasi alternatif-alternatif pemecahan
masalah/pengembangan gagasan. Dari prioritas masalah yang telah ditetapkan,
selanjutnya dapat dibahas berbagai kemungkinan pemecahan masalah-masalah
tersebut melalui urun rembuk (brain
storming) dan pengembangan gagasan oleh sasaranpenyuluhan.
4.
Pemilihan alternatif pemecahan masalah yang paling
tepat. Selain ketepatgunaan pemecahan itu secara umum, pertimbangan penting
dalam hal ini adalah kemampuan sasaran penyuluhan dan sumberdaya yang tersedia
untuk dapat menerapkan pemecahan itu secara swadaya. Untuk itu bagian dari
mencari alternatif ini adalah pengenalan sumberdaya tersebut.
5.
Perencanaan kegiatan; yang selanjutnya dituangkan
ke dalam sebuah rencana kegiatan yang konkrit. Rencana itu perlu menyatakan
dengan jelas apa yang akan dilakukan, siapa yang akan melakukannya, dan kapan
waktu pelaksanaannya. Makin kongkrit dan jelas rencana yang dihasilkan, makin
besar kemungkinan bahwa rencana itu sungguh-sungguh akan dilakukan. Guna
mendapatkan masukan bagi penyempurnaannya, hasil tersebut selanjutnya disajikan
melalui suatu diskusi antara penyuluh dengan sasaran penyuluhan (jika ini dalam
bentuk kelompok, maka dapat diselenggarakan pertemuan yang diikuti oleh
kelompok).
6.
Pelaksanaan/Pengorganisasian. Betatapun canggihnya
suatu rencana, rencana itu baru akan bermakna jika kemudian sungguh-sungguh
dilakukan.Pengorgani-sasian itu bisa konkrit dan sederhana ataupun bisa canggih
dan mendasar sampai mengarah pada pengembangan kelembagaan.
7.
Pemantauan dan pengarahan kegiatan. Semua kegiatan
yang kemudian dilaksanakan perlu dipantau secara berlanjut oleh penyuluh
bersama sasaran penyuluhan untuk melihat kesesuaiannya dengan rencana yang
telah disusun. Jika menyimpang, tentu perlu diusahakan tindakan-tindakan yang
sesuai untuk mengarahkannya kembali.
8.
Evaluasi dan rencana tindak lanjut. Setelah suatu
tahapan kerja selesai, maka hasilnya dievaluasi, apakah hasilnya sesuai dengan
yang diharapkan.
Kerangka
operasionalisasi pemberdayaan masyarakat di atas, bisa dijadikan dasar juga
bagi operasionalisasi pemberdayaan aktifis gerakan Islam. Unsur-unsur penting
pemberdayaan meliputi riorentasi atau tranformasi perspektif, dimensi gerakan
sosial, pembentukan institusi lokal serta pemerkuatan kapasitas, merupakan
aspek penting yang juga harus didesakkan kepada aktifis gerakan Islam. Pertama, para aktifis gerakan Islam
harus memiliki perspektif teoritik sosial yang luas, kritis dan tidak terjebak
pada positivisasi dan gejala negatif aktifis gerakan pada umumnya. Kedua, para aktifis gerakan Islam harus
memilik ideologi dan visi gerakan sosial yang kuat. Ketiga, para aktifis gerakan Islam harus memiliki pemahaman local wisdom, mengerti bahasa masyarakat lokal dan mendorong pembentukan
institusi lokal yang dapat mendorong visi gerakan aktifis Islam. Keempat, para aktifis Islam harus
memperkuat kapasitasnya sebagai seorang cendekiwan muslim dan memiliki kompetensi dalam dalam
kerja-kerja sosial yang digelutinya.
Disamping itu, para aktifis gerakan Islam harus memiliki kemampuan dimensi
pengorganisasi, pemantauan dan identifikasi kritis masalah-masalah yang timbul
dalam kehidupan masyarakat.
Model-model Pemberdayaan
Proses pemberdayaan masyarakat telah mengalami tranformasi model yang cukup
signifikan. Proses pemberdayaan tradisional, biasanya bertumpu pada model
pemberdayaan dalam perspektif pertumbuhan, dimana pemerintah merupakan tumpu
perubahan dan memegang kendali atas orientasi sosial, maka anti tesis
pemberdayaan tradisional itu ialah model people
centered development, yaitu suatu model pemberdayaan dimana masyarakat
menjadi tumpu pembangunan; masyarakat
menjadi pemegang kendali arah kebijakan yang ada dalam satu negara.
Model pemberdayaan yang menjadi anti tesis dari sistem status quo ini penting untuk menjadi
pembelajaran bagi aktifis gerakan Islam, bagaimana mereka bekerja dan
meletakkan visi gerakan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Model pemberdayaan ini juga merupakan hasil dari pemikiran teoritik yang
mendalam terhadap madel pemberdayaan yang selama ini dikembangkan oleh
pemerintah. Model-model pemberdayaan itu
baru itu, meliputi :[13]
1.
sentralisasi menjadi desentralisasi
Dalam
perspektif tradisional pemberdayaan masyarakat dibangun dengan pradigma
sentralistik, terpusat dan pemerintah sebagai pemegang kendali. Saat ini, model
pemberdayaan yang cukup baik ialah model pemberdayaan desentralisasi, dimana
masyarakat memiliki kontrol terhadap pengambilan keputusan dan sumberdaya.
Masyarakta memiliki kewenangan sampai pada tingkat lokal dalam pengambilan
keputusan dan pengelolaan pembangunan mulai tahap identifikasi masalah dan
kebutuhan, perencanaan dan pelaksanaan.
2.
Top-down menjadi Botton-up
Model
pemberdayaan ini mengutamakan pendekatan dari bawah ke atas. Karena itu,
perumusan program akan dilaksanakan melalui proses identifikasi masalah dan
kebutuhan dari dan oleh masyarakat sendiri.
Model pendekatan bisa terjadi dengan dua kemungkinan, pertama,
identifikasi masalah dan kebutuhan dari masyarakat dan kemudian direspon oleh
masyarakat sendiri sehingga menjadi program bersama masyarakat. Kedua, identifikasi
masalah dan kebutuhan dari bawah kemudian diakomodasi oleh pemerintah, baik
daerah ataupun pusat, dalam hal ini dinas dan kementrian yang terkait
memasukkan masalah dan kebutuhan masyarakat tersebut sebagai program
pemerintahan yang berkolaborasi dengan masyarakat.
3.
Uniformity menjadi Variasi Lokal
Setiap
masyarakat memiliki kebutuhan, permasalahan dan potensi yang berbeda. Karena
itu pelaksanaan program di satu masyarakat, tidak ada jaminan dapat dapat
dilaksanakan di satu masyarakat yang lain. Karena itu, penyeragaman program
akan mengakibatkan pemborosan karena seringkali program yang dilakukan tidak
relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakatnya,
sehingga program yang dilaksanakan juga tidak berdampak terhadap pemecahan
masalah yang terjadi di masyarakat. Fakta lebih banyak menunjukkan bahwa
penerapan asas uniformity lebih banyak menghasilkan in-ifisiensi karena program
yang dilakukan tidak mampu mengantisipasi dan mengakomodasi persoalan dan
kebutuhan masyarakat yang beragam.
4.
Sistem Komando menjadi Proses Belajar
Pendekatan
pemberdayaan tidak bisa lagi menggunakan sistem instruktif dan komando,
melainkan harus mengedepankan pengambilan
keputusan oleh masyarakat sendiri.
Kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan
pembangunan perlu diimbangi dengan kapasitas dan kemampuan untuk melakukannya.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat sesungguhnya merupakan pemberian pengakuan
atas kemampuan masyarakat untuk menghadapi masalahnya sendiri.
5.
Ketergantungan menjadi Keberlanjutan
Penerapan
sistem komando dan terpusat yang salama ini biasa digunakan oleh pemerintah
berdampak terhadap hilangnya keberdayaan masyarakat. Masyarakat terbiasa
menunggu program dari atas, dan tidak muncul inisiatif dari masyarakat untuk
menyelesaikan masalah dan kebutuhan yang terjadi di sekitarnya. Faktor sistem
komando itu pula yang menghancurkan mentalitas masyarakat, berupa sifat
ketergantungan. Karena itu, kompetensi masyarakat hanya dapat ditumbuhkan
melalui proses bejalar sosial.
6.
social exclusion menjadi Social inclusion
Pendekatan
yang bersifat sentralistis, top down dan
berorientasi keseragaman tanpa sadar
telah mendorong marginalisasi masyarakat. Pada tingkat makro marginalisasi
dialami masyarakat lokal dalam kaintannya dengan masyarakat nasional. konsepsi
terpusat telah berakibat masyarakat lokal kehilangan kehilangan akses dalam pengambilan keputusan
dan akses terhadap sumber daya.
Masyarakat sekedar menjadi obyek kebijakan kekuasaan. Sedangkan pada level
mikro, marginalisasi dialami masyarakat tertentu dalam struktur dan sistem sosialnya. Karena secara tidak
langsung masyarakat yang paling bawah telah mengalami diskriminasi.
7.
Improvement menjadi Tranformation
Pemberdayaan
juga dapat dikaitkan dengan perubahan kehidupan masyarakat, dari tidak berdaya
menjadi lebih berdaya. Dalam konteks kerangka perubahan pembangunan masyarakat,
terdekat dua pendekatan, yaitu improvement dan tranformation aproach. Perubahan
pada pendekatan pertama lebih difokuskan pada perbaikan dalam cara kerja dan
proses produksi tanpa melakukan
perubahan pada tataran struktur. Sedangkan pendekatan yang kedua fokus pada
perubahan pada level sistem dan struktur sosialnya. Proses pendekatan ke
tranformasi ini merupakan upaya bahwa persoalan-persoalan yang timbul di dalam
masyarakat tidak semata persoalan internal dan tata kerja, melainkan juga
akibat dari persoalan struktur dan sistem yang secara sadar dan tanpa sadar
telah berpengaruh pada keberdayaan
masyarakat.
Peluang Pemberdayaan Aktifis Gerakan
Islam
Peluang pemberdayaan aktifis gerakan Islam cukup banyak. Ruang
aktualisasi bagaimana mereka dapat mengejewantahkan terhadap cita-cita
keaktifisasn dan visi gerakan tidak
terhitung jumlahnya. Banyak lembaga-lembaga yang bisa menampung idealita para
aktifis gerakan Islam itu, tetapi juga banyak ruang mendirikan lembaga yang
sesuai dengan idealita para aktifis. Pilihan-pilihan aktualisasi sangat
tergantung pada aktifis gerakan Islam itu sendiri, tinggal bagaimana kemampuan,
kompetensi, kemauan, ideologi, dan visi gerakan yang dibangun oleh para aktifis
gerakan itu. beberapa peluang itu diantaranya :
1. Advokasi dan Moinitoring Kelompok Marginal
Peluang
aktifis gerakan Islam untuk mengadvokasi kelompok marginal sangat terbuka.
Apalagi dalam ajaran Islam Islam selalu diperintahkan kepada umat Islam untuk
memperhatikan dan memberdayakan kelompok yang lemah (mustadafien), seperti
orang-orang fakir dan miskin, anak yatim piatu, anak jalanan/gelandangan, dan
kelompok lemah lainnya. Dalam Surat Al-Ma’un, Allah menyindir tentang siapa
sebenarnya pendusta agama itu?, Allah menjawab ialah mereka yang menghardik
anak yatim, tidak berusaha memberi makan orang miskin. Kata Allah, celakalah
orang yang shalat, yaitu orang yang shalatnya lalai, yang berbuat riya’ dan
enggan membantu orang memenuhi kebutuhan dasar. Musthafa
Al-Maraghi dalam kitabnya Tafsir Al Maraghi JUZ 30 menafsir bahwa pengingkar
Tuhan atau pendusta agama bisa dari orang yang rajin salat, tapi riya. Penanda
keriyaan itu ialah ketidakpedulian pada nasib anak yatim dan kaum proletar atau
lemah.
Menurut
Munir Mulkhan, Al-Maa’un
menunjukkan bahwa alienasi sosial (yatim piatu) dan kemiskinan adalah fenomena
alamiah, selain akibat sistem sosial-ekonomi dan politik tidak adil. Namun bisa
juga akibat perilaku takatsur (kapitalistik); penumpuk harta bagi kepentingan
diri sehingga sistem sosial, ekonomi, dan politik gagal berfungsi. Karena itu
dibutuhkan advokasi praksis yang memungkinkan mereka yang teralienasi secara
alamiah (yatim) memperoleh pemulihan sosial dan yang miskin akibat sistem tidak
adil mampu memenuhi kebutuhan dasar (makan, minum, sandang, dan papan). [14] Dalam konteks aktifis gerakan Islam, tentu advokasi dan monitoring
kelompok marginal merupakan panggilan agama yang tidak bisa dibantah.
2.
Mendirikan/ Terlibat Lembaga Studi
Peluang
aktifis gerakan Islam untuk mendirikan
lembaga studi sangat terbuka lebar. Mendirikan lembaga studi sangat urgen bagi
kemajuan Islam, karena ajaran Islam sangat menentang tentang kebodohan,
menentang taklid, dan buta dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kekuatan ilmu
menjadi modal bagaimana Islam bisa membangun peradabannya. Dalam ajaran Islam
cukup banyak ayat, hadist dan doktrin Ulama’ yang mendorong terhadap
pemerkuatan ilmu. Termasuk dalam hal ini ialah pentingnya aktifis Islam untuk
mendirikan dan terlibat di lembaga
pendidikan.
3.
Membentuk/ Terlibat dalam Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan
masyarakat merupakan aspek penting yang perlu dilakukan oleha para aktifis
gerakan Islam. Posisi masyarakat yang lemah harus dibangunkan kesadaran,
potensi dan semangat kemandiriannya. Masyarakat, utamanya umat Islam tidak bisa
hanya bersandar pada bantuan pemerintah, bantuan zakat, dan bantuan eksternal
lainnya, tetapi mereka harus didorong untuk menjadi dirinya, kuat dan mampu
menyelesaikan setiap problematika yang dihadapi. Pemberdayaan ini penting untuk
dioreintasikan bagi mereka yang lemah dan dilemahkan.
4.
Membentuk/Terlibat dalam Lembaga Bantuan Sosial
Bantuan
sosial merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam. sebab
Islam selalu menyuruh penganutnya untuk selalu berbagi, baik bentuknya berupa
shadaqoh, zakat, infak, dan bentuk lainnya. Keberadaan lembaga yang bergerak
dalam kerja-kerja bantuan sosial sangat penting. Tinggal bagaimana lembaga yang
terbentuk dijalankan secara profesional,
bertanggungjawab dan transparan. Dalam konteks pemberdayaan, maka lembaga
bantuan sosial juga semestinya tidak dibangun sekedar memberi tetapi juga perlu
memperkuat terhadap dimensi pemberdayaannya.
Selain
keempat peluang di atas, sangat banyak peluang lainnya dimana para aktifis gerakan
Islam mendesak untuk terlibat, diantanya peluang umat Islam di bidang teknologi, bidang jurnalistik, bidang pengetahuan sosial, dan lainnya. Peluang-peluang itu perlu dibangun atau
diperkuat oleh aktifis gerakan Islam sehingga para aktifis selalu bisa
berkonstribusi terhadap kemaslahatan masyarakat sekitarnya.
Daftar Pustaka
·
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan
Muslim, Jakarta : PT Raja Grafindo, 1996
·
Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Lakhim
al-Garnatti Al-Syatibi, Al-Muwafaqot fi Ushul al-Syaria, Beirut : Dar
al-Ma’rifah, 1975
·
Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat :
Mungkinkah Muncul Antitesisnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011
·
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil
Untuk Tranformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2008
·
Timur Mahardika, Strategi Membuka Jalan Perubahan, Yogyakarta : Pondok
Edukasi, 2006
·
Suharsono, Islam dan Tranformasi
Sosial ; Refleksi atas Sistematika Nuzulnya Wahyu Al-Qur’an, Inisiasi Press,
2004
·
Soetomo, Masalah-masalah Sosial dan
Upaya Pemecahannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008
·
M. Syihabuddin Latief (Ed), Jalan
Kemanusiaan : Panduan Untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia, Yogyakarta ; Lapera,
1999
·
Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial,
Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005
·
Zubaidi, Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis Pesantren : Konstribusi Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfuds dalam Perubahan
Nilai-nilai Pesantren,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007
·
Ali Yafie, Teologi Sosial : Telaah
Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, Yogyakarta : LKPSM, 1997
·
Ravik Karsidi, Bentuk Aplikasi
Pemberdayaan Masyarakat Oleh Perguruan Tinggi, Makalah Pelatihan Metodologi Pengabdian kepada
Masyarakat Bagi Dosen PTN-PTS se-Surakarta, LPM UNS, Solo 12-13 Nopember 2001
·
Abdul Munir Mulkhan,
Mustad’afien dan Kaum Proletar dalam
Elitisme Pengingkar Tuhan. Diakses di publikasiilmiah.ums.ac.id,
pada Sabtu, 12 Juni 2012
[1]M. Syihabuddin Latif, Jalan
Kemanusiaan : Panduan Untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia (Yogyakarta : Lapera,
1999), hlm 197
[2] Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa
al-Lakhim al-Garnatti Al-Syatibi, Al-Muwafaqot fi Ushul al-Syariah (Beirut :
Dar al-Ma’rifah, 1975), hlm 4-6
[3] Ali Shariati, Tugas
Cendekiawan Muslim, (Jakarta : PT Raja
Grafindo, 1996), hlm 157, 161
[4] Mansour Fakih, Masyarakat
Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 146-147
[5] Ibid, hlm 137-
[6] Suharsono, Islam dan Tranformasi Sosial : Refleksi
Sistematika Nuzulnya Wahyu Al-Qur’an (Depok : Inisiasi Press, 2004), hlm 107
[7]
Zubaidi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren : Konstribusi Fiqh Sosial
Kiai Sahal Mahfuds dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007), hlm 74-75
[8]
Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat : Mungkinkah Muncul Antitesisnya? (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 88
[9]
Timur Mahardika, Strategi Membuka Jalan
Perubahan (Yogyakarta : Pondok Edukasi, 2006), hlm 64-78
[10] Ibidn, hlm 95
[11] Ibid, hlm 96-106
[12] Ravik Karsidi, Bentuk Aplikasi Pemberdayaan Masyarakat Oleh
Perguruan Tinggi, Makalah Pelatihan Metodologi Pengabdian kepada
Masyarakat Bagi Dosen PTN-PTS se
Surakarta, LPM UNS, Solo 12-13 Nopember
2001
[13] Ibid, hlm 71-88
[14]
Abdul Munir Mulkhan, Mustad’afien dan
Kaum Proletar dalam Elitisme Pengingkar
Tuhan. Diakses di publikasiilmiah.ums.ac.id, pada
Sabtu, 12 Juni 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment