18 February 2013

KEMELUT DAERAH YOGYAKARTA YANG “ISTIMEWA”




~~ M. Syafi' ie

Yogyakarta selalu menebarkan pesonanya dan selalu menarik perhatian publik. Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, kota wisata, kota multikultur dan identitas yang selalu melekat pada dirinya yaitu sebagai “Daerah Istimewa Yogyakarta”. Segudang pujian selalu hinggap atas pesona wilayah ini, walau pada sisi yang sama, Yogyakarta telah mengalami krisis identitas ditengah gempuran industrialisasi, arus modal dan persaingan pasar yang saling mematikan. Yogyakarta dalam situasi krisis ini akhirnya sebenarnya sepadan dengan kota Jakarta, Surabaya dan Semarang yang diselimuti oleh tirani modal yang berbanding dengan aktifitas pemangku kebijakan yang represif terhadap warganya.


Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang yang telah menjelma sebagai kota industrial, warganya selalu menggugat bahwa pemerintah daerah mereka telah mendzalimi nasib dan melanggar hak-hak hidup mereka. Tatkala dilanggar, warga di daerah-daerah itu sudah terbiasa mengadukan aktor-aktor negara yang melanggar kepada lembaga-lembaga publik seperti Komnas HAM, LPSK, Lembaga Ombudsman dan ataupun Kepolisian. Mereka sudah biasa didampingi oleh LSM-LSM yang melakukan advokasi baik lewat jalur non litigasi dan ataupun jalur litigasi. Kesadaran hukum bahwa mereka adalah pemangku hak sedangkan pemerintah sebagai pemangku kewajiban sedikit banyak telah tertanam dalam pikiran dan tindakan mereka.

Situasi yang sama dengan kondisi yang berbeda terjadi di Yogyakarta. Warga di daerah ini satu sisi kuat dalam kesadaran hukumnya, sedangkan pada sisi yang lain mereka masih hidup dalam suasana kerajaan yang mistis. Dua kesadaran ini berbeda dampak sosial dan penyelesaiannya; kesadaran hukum menghendaki penaatan hukum sebagaimana diatur dalam teks-teks yang terproduk melalui mikanisme politik modern, sedangkan kesadaran hukum yang bersifat kerajaan menghendaki penaatan hukum yang sifatnya bernuansa monarkhis. Dalam situasi ini kesadran hukum formal cenderung tidak akan berkutik ketika berhadapan dengan kesadaran hukum monarkhi. Masyarakat dipastikan akan membela raja dan keluarganya, dan menjauhkan mereka dari jeratan hukum formal.

Dualisme kesadaran masyarakat di atas merupakan bagian kecil perbedaan unsur-unsur demokrasi dan monarkhi. Demokrasi menghendaki rakyatlah yang berkuasa lewat sistem sistem politik yang ada, sedangkan monarkhi rajalah yang berkuasa dengan sistem penetapan yang dibangun, keduanya memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Aristoteles, pemikir beberapa abad yang lampau telah mengatakan demokrasi merupakan sistem yang terbaik sekaligus terjelek, demokrasi jika tidak digarap dengan baik maka akan melahirkan anarki, demikian juga monarkhi jika tidak digarap dengan baik maka yang hidup ialah kesewenang-wenangan.


Yogyakarta antara Demokrasi dan Monarkhi

Sampai hari ini, kita masyarakat Yogyakarta masih hidup dalam hiruk pikuk “status” Yogyakarta, apakah istimewa ataukah disamakan dengan daerah-daerah lainnya yang menerapkan sistem demokrasi. Ketidakjelasan status ini karena RUU Daerah Keistimewaan Yogyakarta masih akan dibahas di DPR. RUU DIY beberapa pekan lalu menjadi bola yang sangat panas setelah pemerintah pusat menegaskan pendiriannya bahwa RUU DIY tidak akan menerapkan “penetapan gubernur” tetapi akan dilangsungkan proses pemilihan gubernur DIY, disamakan dengan daerah-daerah yang lain tanpa diskriminatif.

Pilihan pemerintah pusat seakan menjadi titik terang tentang posisi RUU DIY, yang sebelumnya selalu berakhir di meja perdebatan karena selalu tidak ada idealitas dalam muatannya. SBY dalam rapat sidang kabinet terbatas di Istana Jakarta (26/11/2010) mengatakan dengan tegas bahwa RUU DIY akan disusun dengan landasan tiga piliar, pertama, pilar nasional yaitu negara kesatuan RI yang telah diatur sangat gamblang dalam UUD 1945. Kedua, keistimewaan Yogyakarta itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula diatur dalam UUD 1945. Ketiga, Indonesia ialah negara hukum dan demokrasi yang tidak boleh diabaikan sama sekali.[1]

Pernyataan SBY di atas mempertegas bahwa daerah Yogyakarta akan dibangun sama seperti pemerintahan daerah yang lain, dengan kata lain bahwa status keistimewaan perlu ditempatkan dalam porsinya yang sesuai tetapi pemilihan gubernur tetap harus dilangsungkan. Sistem penetapan yang dilangsungkan di Yogyakarta memang mengalami titik kritisnya setelah diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini meniscayakan salah satunya terkait dengan pemilihan langsung para calon pemimpin daerah. Pemilihan langsung merupan identitas otonomi yang diharapkan akan membangun kedekatan pemimpin dengan masyarakatnya serta berdampak pada pensejahtaraan dan pemenuhan hak-hak warga negara di daerah.
Secara konstitusional, landasan bahwa pemilihan kepala daerah merupakan harga mutlak ialah  Pasal 18 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Pasal ini seakan berbenturan dengan Pasal 18B ayat 1 yang menyatakan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Kecendrungan disharmoni dalam UUD 1945 posisi pemerintah pusat kukuh berpedoman bahwa kekhususan dan keragaman satu daerah tidak dapat menghilangkan sistem demokrasi, apalagi sebagian masyarakat Yogyakarta juga menginginkan demokrasi.[2]

Posisi pemerintah yang menetapkan pemilihan bagaimanapun opininya akhirnya memancing kemarahan sebagian besar masyarakat Yogyakarta yang menginginginkan penetapan terhadap Sri Sultan dan Pengeran Pakualam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.[3] Kejadian seperti ini, bukanlah peristiwa baru di Indonesia. Di era Orde Baru, Soeharto juga pernah mengusulkan penghilangan sistem penetapan Gubernur di Yogyakarta ketika penyusunan draf UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Ide penghilangan penetapan diusulkan oleh anggota FKP tetapi ditolak oleh FPDI dan FPPP dengan alasan eksistensi DIY dijamin oleh Pasal 18 UUD 1945, bahkan setelah Orde Baru jatuh, salah seorang dari FKP di DPR RI mengusulkan penghapusan status daerah istimewa dari seluruh wilayah Indonesia, dan situasi itu semua melahirkan perdebatan.[4]

Tidak surutnya polemik soal keistimewaan Yogyakarta sampai hari ini  menegaskan minimal dua hal, pertama, ada problem ketata negaraan sehingga selalu melahirkan konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat selalu beranggapan bahwa keistimewaan mengganggu terhadap tata kelola pemerintahan yang demokratis. Kedua, ada problem serius antara pemerintah daerah Yogyakarta dengan sebagian masyarakat Yogyakarta sendiri. Keberanian pemerintah pusat untuk menghilangkan “penetapan” tidaklah lahir tiba-tiba, tetapi berlandaskan beberapa survey terutama ketika pemilu 2009 yang mengatakan bahwa pamor Sri Sultan di beberapa daerah di Yogyakarta telah dikalahkan oleh SBY, dan beberapa survey yang mengatakan bahwa sebagian masyarakat Yogyakarta telah menginginkan pemilihan langsung. Sistem monarkhi ataukah demokrasi telah menjadi diskursus di Yogyakarta.[5]

Sisi Lain Daerah Istimewa

Semaraknya massa yang mendukung Sri Sultan dan Pakualam untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur ialah fenomena yang sudah lama, tetapi kondisi itu tidak pernah memadamkan api masyarakat tertindas yang mengalami ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh pemimpin daerah Yogyakarta. Suara-suara sub altern itu tercatat dalam tumpukan pengaduan dan keluhan di berbagai LSM yang mendampingi elemen masyarakat yang menjadi korban penggusuran, kekerasan  Satpol PP, tergusur akibat maraknya mal-mal, mandeknya pelayanan publik dan beberapa kasus lain yang melibatkan aktor-aktor pemerintah daerah.

Irsyad Tamrin Direktur LBH Yogyakarta (27/2/2010) misalkan mengatakan bahwa pelanggaran HAM di Yogyakarta cukup massif khususnya tahun 2009 s/d 2010. Pelanggaran hak sipil dan politik tidak kurang dari 17 kasus yang terjadi dengan jumlah korban sekitar 3000-an orang, meliputi pelanggaran hak kebebasan berpendapat, hak untuk mendapatkan keadilan (fair trial), rehabilitasi korban pelanggaran HAM masa lalu, korupsi dan kekerasan aparat negara. Aktor Pelanggarnya dominan ialah polisi dan satpol PP, seperti kasus penangkapan aktifis pasir besi, penghilangan suara ketika pemilu, penggerukan dan anak jalanan yang diludahi oleh Satpol PP. Pemerintah daerah bertanggungjaab atas pelanggaran-pelanggaran itu, salah satunya terkait kijakan rekruetmen Satpol PP harus diperbaiki sehingga keberadaan mereka menjadi pengayom di Yogyakarta.[6]

Demikian juga pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Syamsudin Ketua Bidang EKOSOB LBH Yogyakarta (29/4/2010) juga mengatakan bahwa sepanjang tahun 2009, problem penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya walaupun mengalami penurunan dari segi jumlah kasus dan korban tetapi dari segi kwalitas penanganan dari pemerintah DIY juga mengalami penurunan. Banyak pengaduan dari masyarakat yang masuk ke LBH Yogyakarta yang mendasarkan rekomendasinya dari pemerintah. Seakan-akan pemerintah sengaja melepaskan tanggungjawabnya kepada masyarakat. Pada tahun 2009 pengaduan masyarakat terkait hak-hak ekosob didominasi oleh pelanggaran hak atas pekerjaan. Ini tidak jauh berbeda dari tahun 2008 yang lalu. Jumlah kasus pelanggaran hak ekosob yang masuk LBH pada tahun 2009 berjumlah 56 kasus dengan jumlah korban mencapai kurang lebih 442 orang dan 42 KK. Kasus-kasus tersebut meliputi pelanggaran hak atas pekerjaaan, hak atas perumahan, hak atas upah yang layak dan hak atas pendidikan.[7]

Kasus yang berlarut-larut saat ini, dan jelas melibatkan aktor pihak keraton  dan pemerintah daerah ialah kasus di daerah pasir besi. Kita tahu pasir besi merupakan daerah yang sangat strategis dan mempunyai kelebihan biji besi sehingga pemerintah daerah mengundang investor asing dari Australisa. Persoalannya, penduduk yang sudah lama tinggal di daerah pasir besi harus diusir dari tempat tinggalnya. Tindakan pemerintah ini jelas ialah ketidakadilan dan merupakan pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus akan menyaksikan betapa pemerintah daerah mengadu domba penduduk, bahkan sebagian masyarakat yang terlibat dalam  Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo (PPLP) yang menuntut hak-haknya harus berurusan dengan aparat karena dipidanakan oleh pemerintah daerahnya sendiri. 

Sebagian kecil gambaran kasus di atas menegaskan bahwa pemerintah daerah di DIY yang nota bene dikomandani oleh keluarga kraton sedang mengalami krisis. Perjuangan masyarakat untuk mempertahankan penetapan, dalam banyak sisi tidak diapresiasi dan dibalas dengan tindakan-tindakan yang mensejahterakan masyarakatnya. Bahkan dalam beberapa kasus di atas, pemerintah malah menjadi aktor yang melanggar hak-hak masyarakatnya. Situasi dan kondisi ini sangat ironis, dan kalau tidak diperbaiki, kedepan pasti akan terbangun ketidakpercayaan yang sistematis dan publik akan semakin apatis dengan janji-janji keistimewaan Yogyakarta.

Posisi COP : Penengah Berbagai Konflik

Ilustrasi di atas sekali lagi menjelaskan bahwa konflik yang berkembang di Yogyakarta sebenarnya bukanlah semata konflik antara keluarga kraton yang juga memimpin daerah dengan pemerintahan pusat semata, tetapi konflik itu sesungguhnya juga telah terbangun karena “kebijakan politik” pemerintah daerah Yogyakarta yang tidak berpihak dan memperhatikan hak-hak asasi masyarakatnya. Keduanya merupakan konflik laten yang biasa terjadi di berbagai daerah dan dapat meledak dalam situasi dan kondisi tertentu yang akan melibatkan banyak aktor, lalu dimana dan bagaimana sikap COP?

Ansad Mbai mengatakan, inti COP ialah bahwa masyarakat harus memainkan peran yang lebih aktif dan terkoordinasi dalam menangani masalah-masalah Kamtibmas. Erlyn Indarti menambahkan bahwa COP merupakan gagasan yang meletakkan kepolisian dalam kerangka tanggungjawab bersama seluruh masyarakat (community) dimana kedua unsur utama masyarakat yaitu Polisi dan bukan polisi saling terkait dalam kemitraan sejajar dan berupaya membangun kesepakatan dan kerjasama yang sinergis.[8] Dalam konteks ini, COP sebenarnya merupakan sarana dari kebijaksanaan dan strategi yang bertujuan adanya efektifitas dan efisiensi untuk menanggulanggi persoalan dan konflik yang timbul dan berkembang dalam satu masyarakat.

COP Sebagai satu kebijaksanaan “problem solving” yang akan mengembangkan kemitraan akan bergerak kalau di dalamnya terlibat aktor-aktor masyarakat yang terpanggil untuk turut terlibat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkembang.  Keterlibatan masyarakat merupan unsur penting dalam gagasan COP, tanpa adanya partisipasi masyarakat, COP akan menjadi gagasan dan kebijaksanaan yang ompong, karena prinsip COP ialah dari dan untuk masyarakat. Aktor-aktor yang akan bergerak dalam COP, selain terpanggil mereka juga merupakan sosok-sosok yang mempunyai kemampuan berkomunikasi, berjejaring, dan membangun kemitraan dengan semua elemen  yang terlibat dalam satu persoalan. Kecakapan ini penting karena penggerak COP memang harus menyelesaikan persoalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam masyarakat.

Kaitannya dengan konflik yang berkembang perihal keistimewaan di Yogyakarta, posisi COP sangatlah strategis. Konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan konflik antara masyarakat dengan pemerintah daerah, sesungguhnya adalah konflik yang salah satu sebabnya ialah macetnya komunikasi. Berbagai pihak yang terlibat dalam konflik saat ini masih “kukuh” dengan pendiriannya masing-masng dan menganggap suaranya ialah paling benar. Padahal ditengah konflik-konflik itu pasti ada jalan keluar dan win-win solution. Disinilah para aktifis COP harus bergerak. Mereka harus menyiapkan strategi-strategi yang salah satunya ialah dengan melakukan identifikasi dan mobilisasi sumber daya manusia sehingga sumbatan-sumbatan komunikasi dari berbagai aktor-aktor yang berkonflik dapat terpecahkan dengan baik. Tanpa itu, mustahil konflik keistimewaan Yogyakarta akan selesai dengan enak hati.


[1] Kedaulatan Rakyat, “Presiden Soal RUUK DIY : Nilai Demokrasi Tak Boleh Diabaikan”, Sabtu, 27 November 2010
[2] Dalam konteks demokrasi, pemerintahan DIY sebenarnya tidak berbeda dengan pemerintahan yang lain. Kekuasaan pemerintahan tetap berada di tangan rakyat melalui DPRD dan Gubernur DIY yang ditetapkan oleh DPRD, sedangkan di daerah yang lain kekuasaan rakyat berada di tangan DPRD dan Gubernurnya dipilih secara demokratis. Gubernur di berbagai daerah di Indonesia pada dasarnya tetap  berada di bawah kontrol DPRD, walaupun berbeda proses dan dampak kontrolnya.
[3] Sebagian besar masyarakat Yogyakarta yang menginginkan penetapan melangsungkan demonstrasi, pawai dan berbagai aksi teatrikal untuk menolak gagasan yang dibangun oleh pemerintah pusat. Aksi-aksi yang dilakukan masyarakat seakan menolak opini dan riset yang mengatakan bahwa Sultan sudah tidak mempunyai kharisma dan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Demonstrasi masyarakat menegaskan bahwa Sultan adalah pemimpin yang mereka cintai, dan sikap politik pemerintah pusat bertentangan dengan aspirasi sebagian besar masyarakat Yogyakarta, itu media memberitakannya.
[4] NI’matul Huda, Eksistensi dan Masa Depan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia, dalam Jurnal Penelitian Logika, Volume 6, Nomor 7, Desember 2001, hlm 55
[5] Kita masih ingat  ketika Drs HM Alfian Darmawan dari FPP dan beberapa nama lainnya muncul sebagai calon kepala Daerah/Gubernur DIY disamping Sri Sultan X dari FKP pasca wafatnya Sri Sultan HB IX wafat. Walaupun ketika pemungutan suara lewat voting, Sri Sultan HB X mampu mengalahkan Drs HM Alfian Darmawan dengan skor 10-4. Fenomena hadirnya Drs HM Alfian Darmawan merupakan fenomena demokrasi yang menggugat pemahaman umum bahwa Yogyakarta haruslah dipimpin oleh Sri Sultan.
[6] Majalah T-Ras Pusham UII, Edisi Maret-April 2009
[7] Ibid
[8] Tim Pusham UII, Modul Community Oriented Policing (Pemolisian Berorentasi Masyarakat), Pusham UII, 2005, hlm 1

0 comments:

Post a Comment