15 February 2013
Ketika Anak-anak Menjadi Korban
Friday, February 15, 2013
No comments
Anak-anak adalah
harapan kebaikan masa depan. Wajah kehidupan masa depan akan banyak bergantung
pada pikiran dan perilaku mereka. Tanggungjawab orang tua, pengasuh, dan para
pembimbingnya menjadi teramat besar. Al-Gazali pernah mengatakan, melatih
anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang
lebih dari yang lainnya. Anak adalah amanat di tangan kedua orang tuanya dan kalbunya
yang masih sangat bersih merupakan permata yang sangat berharga. Jika ia
dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang
baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika
dibiasakan dengan keburukan dan ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia
akan menjadi orang yang celaka dan binasa.
Pendidikan yang
baik adalah kunci masa depan anak-anak. Hilangnya pendidikan yang baik dan etik
akan menjerembabkan anak-anak pada
lubang suram dan gelap. Nabi Muhammad pernah mengatakan : “Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik”. Pernyataan
ini kembali menegaskan bahwa yang paling bertanggungjawab terhadap pendidikan
anak ialah kedua orang tuanya. Karena itu,
pola dan sistem pendidikan anak semestinya selalu dikaitkan dan dikembalikan
pada konteks bahasa orang tua. Mereka lebih mengetahui bahasa dan perilaku
anak-anaknya. Mereka juga yang paling dekat dengan jiwa anak-anak, sentuhan
mereka mengalahkan dari pendidik manapun. Orang tua adalah sumber darah yang
mengalir pada otak dan perilaku anak-anak, baik ataupun jahat. Ruh orang tualah
yang paling memiliki formula dan sistem untuk mengarahkan anak-anak untuk lebih
baik di kehidupan mereka.
Pendidikan berbasis
orang tua dan pemenuhan hak anak terhadap pendidikan yang layak mesti dirujuk
dalam mengatasi berbagai problem yang berkaitan dengan anak-anak, termasuk anak-anak
yang bermasalah dengan hukum. Dalam UU No. 3
tahun 1997 tentang Peradilan Anak, batas umur anak ialah antara umur 8 tahun
dan tidak sampai umur 18 tahun, sedangkan dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang disebut anak-anak ialah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Sedangkan anak-anak yang bermasalah
dengan hukum
berarti adanya tindakan-tindakan
anak-anak yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan
sah di Indonesia. Umumnya, anak-anak yang bermasalah dengan hukum didefinisikan
sebagai anak yang disangka, didakwa atau dinyatakan bersalah melanggar
ketentuan hukum, atau seseorang anak yang diduga telah melakukan atau yang
telah ditemukan melakukan suatu pelanggaran hukum.
Fakta-Fakta
Pada tahun 2000, UNICEF menyatakan bahwa ada 11. 344 anak yang disangka
sebagai pelaku tindak pidana, dan sebagian besar anak-anak itu ditahan. Data Bapas
tahun 2004-2005 menyebutkan bahwa sekitar 4.277 anak berusia di bawah 16 tahun
menjalani proses pengadilan, sekitar 13.242 anak anak berusia 16-18 tahun dipenjara. Sekitar 80% kasus anak yang ditangani di kepolisian diteruskan ke dalam
proses peradilan formal, dan 80%
kasusnya ialah kejahatan ringan (petty
crimes).
Pada tahun 2010 Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar,
menemukan penuturan memilukan ketika berkunjung ke rumah tahanan di Ternate
Maluku. Patrialis bertemu dua orang anak di bawah umur yang terluka parah
akibat tindak kekerasan oknum polisi. Satu orang anak bernama Haekal Haddad,
tangannya patah karena digebukin oknum polisi, satu lagi yang bernama Syaiful
Ibrahim, ada bekas tonjokan yang menonjol di kepalanya. Sewaktu digebukin, mata
kedua anak itu ditutup. Keduanya dituduh mencuri berangkas tetapi tidak
terbukti, kemudian dialihkan tuduhannya menjadi pencurian komputer.
Kasus terbaru tahun 2011-2012 yang menyita perhatian publik
ialah dihukumnya Aal selama 5 tahun. Aal ialah seorang anak yang masih berumur
15 tahun dan sedang sekolah di SMKN 3, Palu. Ia didakwa karena
mencuri sebuah sandal seharga Rp. 30 ribu milik Briptu Ahmad Rusdi
Harahap. Besarnya dakwaan dan hukuman
hakim kepada Aal, ribuan respon masyarakat bermunculan. Ribuan sandal jepit
dikumpulan sebagai rasa simpati dan kritik sosial terhadap penegakan hukum yang
tidak mendidik : kuat pada yang lemah dan tidak adil pada anak-anak. Kritik
publik yang membuncah, akhirnya Aal dikembalikan orang tuanya. Aktor-aktor
penegak hukum itu telah mempermalukan dirinya sendiri.
Menurut Fathuddin
Muhtar, praktek kekerasan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum
berlangsung secara berjenjang. Pertama, tahap penahanan
dan pemeriksaan di kepolisian. Pada tahun 2005-2006, dari 17 anak yang
bermasalah dengan hukum yang diadivokasi oleh lembaga SAMIN, hanya 3 anak yang
tidak ditahan oleh penyidik. Alasan
Penyidik mengacu pada Pasal 21 KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka akan
melarikan diri, mengulangi perbuatan serupa dan menghilangkan barang bukti.
Padahal sudah ada jaminan dari pihak keluarga bahwa tersangka tidak akan
melakukan hal-hal yang bertentangan hukum lagi. Tindakan ini tentu sangat ironis.
Selain itu, ketika masa penahanan anak-anak dicampur dengan
para tahanan dewasa. Kondisi itu juga diakui oleh polisi Sendiri, salah satunya
di Polres Gunung Kidul tahun 2010 sebagaimana riset PUSHAM UII. Penyidik polisi
beralasan, anak-anak yang ditahan dan dipenjara sendirian pasti ketakutan,
sehingga anak-anakpun dicampur dengan para tahanan dewasa, tutur mereka.
Padahal, tahanan anak-anak berbeda sama sekali dengan tahanan dewasa. Anak-anak
membutuhkan tahanan khusus yang sesuai dengan usia mereka yang masih anak-anak.
Dan polisi mungkin tidak pernah berfikir, bagaimana dampak jika anak-anak
digabung dengan pelaku tindak pidana dewasa : pasti sukar untuk lebih baik dan ataupun
jera, karena pelaku tindak pidana dewasa biasanya menjadi tempat belajar
anak-anak itu. Kondisi itu tentu tidak
kondusif bagi masa depan anak-anak.
Pada tahap pemeriksaan anak yang bermasalah dengan hukum,
pola dan teknik pemeriksaan yang dipakai juga masih sama dengan pola dan teknik
pemeriksaan yang diberlakukan bagi orang dewasa. Anak-anak masih sering
dibentak-bentak, ditekan bahkan dipaksa mengakui sesuatu hal yang tidak
dilakukan oleh anak. Salah satunyan AGS (17 tahun), ia menuturkan : “Setelah ditangkap, saya dibawa ke Polres
oleh tim Buru Sergap, kemudian di ruangan itu saya dihajar, karena sempat tidak
mau mengakui pencurian. Setelah itu, saya disuruh berguling kedepan hingga saya
pingsan karena lemas. Setelah itu saya masih dipukul”. Kasus kekerasan
lainnya terjadi di Polwiltabes Semarang, salah satunya Wn tahun 1998. Wn ketika
dalam proses pemeriksaan di kantor Polisi, ia tidak didampingi oleh petugas
ataupun orang tuanya. Wn pernah pernah mendapatkan kekerasan dan pemukulan oleh
petugas. Selama di tahanan, Wn disuruh “ngosek WC” sehari dua kali dan mencuci kendaraan polisi,
menyapu lantai, dan lain-lain. Wn dikasih makan 2 kali, dan dicampur dengan
para tahanan dewasa. Demikian juga pengalaman Sn dan Nn tahun 2005, selama
ditahanan kepolisian, keduanya dipukuli dan pernah di sundut rokok oleh seorang
Polisi. Ketika Polisi menangani kasusnya, polisi membentak-bentak.
Suasana itu terjadi karena memang tenaga penyidik di tingkat
kepolisian belum banyak yang memahami terhadap teknik penyidikan terhadap
kasus-kasus anak. Walaupun sudah ada unit PPA di Polres, tetapi mereka belum
begitu mempuni. Memang ada penyidik
perempuan, tetapi umumnya mereka berada di bawah subordinasi penyidik
laki-laki. Kondisi itu diakui oleh penyidik polisi di Polres Gunung Kidul tahun
2010. Problem terbesar mereka mengapa kurang sensitif terhadap anak, salah
satunya karena ada kebijakan mutasi yang begitu cepat, sehingga polisi yang
yang berada di unit PPA dan telah mengikuti beberapa pelatihan terkait hak-hak
gender dan anak begitu cepat dipindahkan. Apalagi terdapat anggapan dari
beberapa polisi bahwa Unit PPA bukanlah divisi yang begitu menjanjikan. Tidak
menjadi ladang yang basah dengan uang.
Kedua, kekerasan di tahap Kejaksaan. Sn, seorang anak yang
bermasalah dengan hukum di Semarang menuturkan “Ketika saya sampai di kantor kejaksaan, saya dan Nn dibawa ke salah
satu ruangan. Setelah itu masuk seorang dengan seragam coklat langsung memarahi
dan memukul saya dan Nn berkali-kali. Orang-orang yang ada disitu pada diam
semua, tidak ada yang berani menghentikannya”. Problem serius kejaksaan
ialah, sangat jarang kejaksaan memilih opsi penyelesaian lewat jalur
mengembalikan anak-anak kepada orang tua, wali atau orang tua asuh sebagaimana
Pasa 24 UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak. Kejaksaan mayoritas
memilih jalan pemidanaan dan menuntut anak-anak bermasalah dengan hukum untuk
dimasukkan ke penjara.
Ketiga, pelanggaran pada tahap persidangan. Persidangan terhadap
anak-anak bermasalah dengan hukum rata-rata menggunakan acara persidangan biasa
dan terasa sangat panjang sehingga berdampak buruk terhadap kejiwaan anak.
Tekanan dan rasa takut selalu menghantui anak-anak dengan berbagai ancaman
hukuman dalam persidangan. Selain itu, persidangan anak-anak rata-rata masih memakai
hakim majelis, bukan hakim tunggal. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 11
ayat 1 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kondisi itu diperparah
dengan tidak diutamakannya penelitian sosial BAPAS oleh para hakim. Kebanyakan
putusan hakim tidak sesuai dengan rekomendasi BAPAS. Kondisi ini bertentangan
dengan Pasal 59 ayat 2 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Keempat, pelanggaran hak anak pada tahap pemenjaraan dan pemidanaan.
Setelah putusan hakim, anak-anak yang bermasalah dengan hukum dipenjarakan yang
tempatnya dicampur dengan orang-orang dewasa. Dicampurnya narapidana anak-anak
bersama narapidana orang dewasa berdampak pada kekerasan terhadap anak. TWY (14
tahun) bercerita “Saya ditempatkan satu
kamar dengan 8 orang dewasa. Pernah sekali saya ditampar karena tidak sengaja
menyenggol kaki tahanan sekamar saya, yang semuanya dewasa. Setelah itu saya
jadi takut dan sangat berhati-hati ..”.
Selain itu, ketika menjadi narapidana, anak-anak juga rentan mendapatkan
kekerasan dari oknum Sipir Lembaga Pemasyarakatan. YTF (16 tahun) menuturkan “… pertama kali saya masuk penjara, saya
mendapatkan pukulan oleh tahanan lama dan juga tendangan dari petugas..”. Situasi
tersebut diperparah dengan hilangnya pemenuhan pemerintah terhadap hak-hak anak
yang berhadapan dengan hukum, mulai hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang
sesuai dengan bakat dan minat anak-anak, tempat bermain, lingkungan sosial
anak, dan beberapa hak fundametanl anak lainnya.
Kekerasan akan
Semakin Banal
Fakta-fakta di atas
memperlihatkan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan bahwa dunia akan lebih baik
di masa depan. Anak-anak semakin diajarkan menjadi pribadi yang gemar
kekerasan, cinta kebiadaban, dan dididik untuk banal (terbiasa) dalam
kebengalannya. Penghukuman yang diberikan oleh aparatus hukum, sama sekali
tidak mengerti tentang hak-hak anak, tidak mengerti tentang bahasa hukum orang tua terhadap anak-anak, tidak ada etika dan kasih sayang. Para
aparatus hukum itu, hanya digerakkan oleh teks-teks yang mati, tanpa nurani,
tanpa hati dan tanpa orientasi masa
depan yang lebih baik.
Fakta-fakta itu
juga sesungguhnya memperlihatkan tentang pelanggaran-pelanggaran hukum yang semestinya
aparat hukum rujuk. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM,
Pasal 66 ayat 1 dikatakan “Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”. Pada ayat 4 juga dikatakan bahwa “penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir”. Pada Pasal 41 UU
No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak juga ditegaskan bahwa penyidik dalam
kasus anak yang bermasalah dengan hukum ditetapkan dengan Surat Keputusan
Kapolri yang menegaskan bahwa penyidik tersebut telah berpengalaman sebagai
penyidik dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Penyidik dalam memeriksa kasus anak-anak harus melakukannya dengan nuansa
kekeluargaan, dalam melakukan penyidikan, penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari pembimbing kemasyarakatan bahkan jika perlu dapat meminta saran
kepada ahli pendidikan, ahli kesehatan, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan
lainnya. Penyidik juga harus merahasiakan terhadap proses penyidikan
perkara anak-anak tersebut.
Begitu krusialnya perlindungan dan pemenuhan terhadap
hak-hak anak, instrumen hukum di Indonesia cukup banyak yang telah mengaturnya,
mulai UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3 tahun 1997 tentang
Peradilan Anak serta Konvensi tentang Anak. Berbagai instrumen tersebut telah
dengan tegas menjamin perlindungan dan pemenuhan khusus anak-anak, tidak
terkecuali anak-anak yang berhadapan
dengan hukum. Anak-anak dalam instrumen tersebut diklasifikasi sebagai kelompok
rentan, yang harus diperhatikan dan diperlakukan secara khusus oleh pemerintah.
Namun demikian, walau negara Indonesia telah memiliki
berbagai instrumen hukum yang berkaitan dengan anak, pelanggaran terhadap hak
anak masih terus berlangsung sampai hari ini. Mulai anak-anak yang rentan
korban trafficking, korban pelecehan
seksual, korban kekerasan, dikorbankan akibat perang dan sengketa, penangkapan
sewenang-wenang, sampai dengan penghukuman yang tidak manusiawi.
Praktek-praktek itu terus berlangsung saat ini di tengah liberalisasi ekonomi
dan banyaknya jaminan hukum terhadap anak. Akses anak-anak terhadap pendidikan
yang layak juga menjadi problem serius di Indonesia. Setidaknya menurut data
Depdiknas, angka putus sekolah di Indonesia rata-rata mencapai 800.000 anak per
tahun. Dari jumlah angka putus tersebut sekolah SMP mencapai 240.000 anak dan
hampir 80% anak putus sekolah SMP adalah anak perempuan, sehingga sangat rawan
terhadap praktik perdagangan anak (trafficking).
Informasi yang
tidak kalah mencengangkan pada tahun 2011 ini adalah meningkatnya kasus
anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Data SIGA BPPM Provinsi DIY
menyebutkan, anak-anak yang berhadapan dengan hukum di Provinsi DIY mencapai
231 anak. Demikian juga peningkatan di Purworejo, Gresik, Sumatra Selatan, dan
beberapa daerah lainnya di Indonesia. Kondisi tersebut kembali menjelaskan
kepada kita bahwa pendidikan yang baik bagi anak-anak sungguh telah menurun dan
berada dalam krisis yang akut. Demikian juga penghukuman negara terhadap
anak-anak yang bermasalah dengan hukum, negara telah gagal mengembalikan masa
depan anak-anak menjadi lebih baik dan menikmati masa depan yang lebih cerah. Kritik itu, menyasar kepada
banyak elemen : mulai orang tua, pengampu pendidikan, pasar, serta hilangnya tanggungjawab
pemerintah. Anak-anak sebenarnya adalah pribadi yang bersih dan polos. Pewarnanya adalah aktor-aktor sekelilingnya.
Bila semuanya tidak berbenah dan memperbaiki diri, masa depan anak-anak itu
tentu akan lebih suram. Indonesia, juga akan buram.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment