M. Syafi’ ie, S.H
Pendahuluan
Buruh
dan kelompoknya dalam lintasan sejarah kekuasaan selalu mempunyai cerita
sendiri yang tidak pernah terputus. Perpindahan kekuasaan dari satu rezim
kepada rezim lainnya tidak menghilangkan kekhasannya sebagai satu kelompok yang
selalu melawan. Gugatan terhadap ketidakadilan selalu mereka suarakan. Jumlah
aksi mereka tidak sependek kata ‘buruh’, aksi-aksi mereka selalu membuat rekor
massa aksi yang banyak. Ratusan sampai ribuan buruh tumpah di jalanan. Buruh
sebagai satu kelas sosial mempunyai solidaritas dan soliditas yang kuat dalam
memperjuangkan hak-hak mereka.
Eksistensi
kaum buruh tidak muncul secara tiba-tiba. Keberadaannya mempunyai historisitas
yang panjang. Karl Marx misalkan menjelaskan bahwa keberadaan kelas pekerja
awalnya lahir dari sistem kapitalisme yang sangat terbatas di era Dunia Kuno, sistem
itu berlanjut pada sistem feodalisme yang berkembang di zaman pertengahan,
dimana seseorang hamba harus menyerahkan sebagian pendapatannya kepada
raja-raja. Sistem kapitalisme kemudian berpindah lagi pada Industrialisme yang diawali
oleh revolusi borjuis sekitar akhir abad 18 yang terjadi di beberapa negara
Eropa sebagai dampak tirani raja-raja.
Industrialisme
disebut beberapa pengamat sosial sebagai puncak kapitalisme kontemporer. Dimana
strata sosial hanya akan terbangun menjadi dua kutub yaitu kelas borjuis dan
kelas proletariat. Kelas borjuis dengan kekuatan produksi, jaringan dan
akumulasi modal yang dimilikinya akan mempermudah perampasan hak-hak milik
rakyat. Tanah dan sumber penghidupan rakyat akan terbeli dan terkuasai secara hukum
dan politik oleh kelompok borjuis. Sumber penghidupan rakyat akan banyak yang
hilang. Pada akhirnya rakyat akan tergantung pada satu satu sumber penghidupan
yaitu menjadi pekerja di dunia industri.
Kelompok
ketergantungan inilah yang disebut buruh. Satu kelompok yang rata-rata hidupnya
di dunia perkotaan dan tidak mempunyai banyak pilihan dalam sumber pendapatan.
Hidup mereka sangat tergantung pada dunia industri walaupun ada sumber
pendapatan yang lain tapi kondisi itupun akan tergerus oleh laju persaingan
pasar yang tidak seimbang. Menurut Karl Marx, memang masih akan ada tuan-tuan
tanah, kaum borjuis kecil dan para petani, namun imprealisme industri kontemporer
akan menghancurkan posisi mereka sehingga akhirnya mereka akan tergerus
memasuki dua kutub kekuatan kelas yaitu kelas borjuis dan kelas proletariat.
Sebagai
satu kelas yang mengalami ketergantungan, posisi mereka akan cenderung
mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan tidak manusiawi. Sejarah telah
membuktikan betapa penguasaan tanah, akumulasi uang dan modal menjadi historisitas
tumbuh suburnya sistem perbudakan. Orang menjadi sangat tidak berharga dalam
kuasa uang dan modal. Demikian juga nasib para buruh, mereka akan sangat rentan
oleh tindakan-tindakan diskriminatif dan tidak dimanusiawikan. Mulai pemberian
upah yang tidak layak, jaminan kesehatan, hak cuti, hak berpendapat, sampai
pada kesewenang-wenangan pemutusan kerja sepihak oleh pengusaha. Dalam konteks
di ini pemegang modal dan pemangku kebijakan menjadi aktor yang sangat
menentukan bagaimana hak-hak buruh diberikan dan diberlakukan. Tulisan ini hendak
menguraikan bagaimana sebenarnya pemenuhan dan perlindungan HAM dalam instrumen-instrumen
hukum perburuhan di Indonesia.
Teori dan Historisitas Instrumen Hukum Perburuhan
Kalangan
gerakan kaum kritis menegaskan bahwa suatu produk hukum atau perundang-undangan
tidak akan bisa dilepaskan dari konfigurasi ideologi dan politik yang ada
dibelakangnya. Bagi mereka, tidak mungkin eksistensi hukum diisolasi dan
ditutupi dari konteks dimana ia berada. Konfigurasi politik dan ideologi pasti
sangat mempengaruhi terhadap substansi satu produk hukum dan perundang-undangan. Pendapat
ini menegaskan bahwa keberadaan hukum pasti tidak bebas nilai karena pasti dilatari
oleh berbagai kepentingan yang bermain di belakangnya.
Konfigurasi
politik dan ideologi yang bermain dalam proses pembuatan hukum tidak
menyurutkan legalitas dan legitimasi satu hukum. Ketika satu produk hukum sudah
disahkan oleh pemegang otoritas maka produk hukum tersebut menjadi sah. Dalam
hal ini, hukum akan menjadi tatanan dan aturan sosial yang baku, alaupun
penyalahgunaan kekuasaan dimungkinkan terjadi. Van Apeldorn mengatakan,
penyalahgunaan hak dianggap terjadi bila seseorang menggunakan haknya dengan
cara bertentangan dengan dengan tujuan untuk mana hak itu diberikan. Keberadaan
hukum adalah untuk melindungi kepentingan kepatutan masyarakat. Dialektika
politik dan ideologi yang bermain dibalik pembuatan hukum sangat dimungkinkan
terjadi penyalahgunaan wewenang dan melahirkan pelanggaran HAM.
Demikian
juga dengan hukum perburuhan. Kita tahu keberadaan politik dan hukum perburuhan
tidak bisa dilepaskan sama sekali dari ideologi dan politik besar dunia. Hukum perburuhan mempunyai kaitan kuat dengan
revolusi borjuis sekitar abad 18 akhir.
Dimana revolusi saat itu melahirkan satu sistem mikanisasi yang mengubah
struktur dan relasi antara majikan dan buruh. Struktur sosial berubah ditandai
semakin tersingkirnya produksi kecil dan semakin membesarnya industri-industri
besar. Kondisi ini berakibat pada pembesaran buruh di pabrik-pabrik tetapi
tidak sebanding dengan tanggungjawab pengusaha terhadap pemenuhan hak-hak para
buruh. Kondisi pabrik yang tidak sehat, perempuan yang terdiskriminasi,
anak-anak yang dipekerjakan, jam kerja yang sangat panjang, upah yang rendah,
dan perumahan yang sangat buruk.
Kondisi
para buruh yang sangat memprihantikan itu, mendorong perlawanan para pekerja
yang sangat massif. Negara sebagai pemangku otoritas digugat karena terlihat
hanya sekedar menjadi penjaga malam yang menjadi wasit. Tanggungjawab aktif
negara sangat lemah terutama kaitannya dengan semakin membesarnya kekuatan para
pemodal. Kuatnya gugatan kelas buruh pada akhirnya melahirkan beberapa aturan
yang melindungi nasib para buruh. Undang-Undang Perburuhan muncul pertama di Eropa
Barat yaitu di Inggris tahun 1802, Jerman dan Prancis tahun 1840, sedangkan di Belanda
sudah muncul tahun 1870. Undang-Undang ini memberikan perlindungan atas
kesehatan kerja (healty) dan
keselamatan kerja (safety).
Pengaturan
perburuhan pada waktu itu tidaklah berjalan mulus. Kalaupun ada aturan-aturan perlindungan
perburuhan itupun sangat minimalis. Negara pada waktu itu terkondisikan dalam satu
sistem yang pasif yang lebih dikenal sebagai negara penjaga malam (the night-watchmam state). Pengaturan
perburuhan dengan eskalasi tuntutan kaum buruh yang membesar pada waktu itu dianggap
para pengusaha sebagai tindakan yang bertentangan dengan hak kebebasan (liberalisme). Banyak intelektual pada
waktu itu, salah satunya Adam Smith yang menentang tindakan intervensi
pemerintah dalam melindungi buruh. Pemerintah dikecam Adam Smith karena
dianggap telah melanggar terhadap hukum perdangangan
dan asas-asas kebebasan berkontrak.
Sistem
falasafah negara yang berkembang pada waktu ialah laizez-faire. Sistem ini mengajarkan tentang kebebasan yang tanpa
batas atau kebebasan individualisme. Salah satu manifestasi kebebasan itu ialah
dalam dunia kerja. Hubungan buruh dan majikan harus dibebaskan dari
pembatasan-pembatasan siapapun termasuk oleh pemegang otoritas negara. Buruh
dan majikan harus bebas menentukan perjanjiannya sendiri, sehingga hubungan
kerja yang dibangun dapat diakhiri kapanpun saja oleh salah satu pihak. Falsafah
dan teori laizez-faire berkembang
cukup lama dan mendominasi sistem pemerintahan di Eropa pada waktu itu.
Sampai
pada akhirnya, falsafah, teori dan doktrin laizez-faire
diimbangi oleh teori-teori sosial yang juga berkembang pada waktu itu. Salah
satunya teori oleh M. G. Rood yang berpendapat bahwa undang-undang perlindungan
buruh merupakan contoh yang memperlihatkan ciri utama hukum sosial yang
didasarkan pada teori ketidakseimbangan kompensasi. Teori ini berpijak pada
pemikiran bahwa antara pemberi kerja dan penerima kerja ada ketidaksamaan
kedudukan secara sosial-ekonomis. Penerima kerja sangat tergantung kepada
pemberi kerja. Hukum perburuhan selayaknya memberi hak lebih banyak kepada yang
lemah daripada pihak yang kuat. Hukum semestinya tidak bertindak sama diantara
kedua belah pihak dengan maksud akan terjadi keseimbangan yang sesuai dan
menjadi jawaban atas keadilan umum.
Banyak
intelektual lainnya yang mendukung pendapat M. G. Rood, diantaranya Levenbach
yang dikenal bapak hukum perburuhan. Labenbach menyebutkan bahwa hukum
perburuhan sebagai pengecualian darurat karena memuat campur tangan negara
dalam hubungan kontraktual. S. Mok juga mengatakan bahwa posisi buruh dan
pemberi kerja tidak sederajat sehingga negara harus melakukan intervensi untuk
melindungi buruh sebagak kelompok yang lemah. Commons dan Andrews juga
mengatakan bahwa jika ada satu persoalan yang tidak sederajat dan terdapat
kepentingan umumnya maka negara yang menolak melindungi yang lemah maka negara itu
sesungguhnya telah tidak adil, masih ada beberapa intelektual lainnya yang
sepakat dengan pandangan di atas.
Dialektika
teoritik dan falasah hukum perburuhan di atas sangat mempengaruhi terhadap
wajah politik hukum perburuhan di dunia. Lahirnya kesadaran intelektual
pembaharu di Eropa yang menggugat secara kritis teori kebebasan tanpa batas dalam
laizez-faire. Kehadiran para
intelektual itu memberikan sumbangsih perlindungan hak-hak kelompok buruh. Di
beberapa negara eropa dan jajahannya muncul aturan-aturan perburuhan. Termasuk
diskriminasi terhadap buruh, pemerintah Belanda tahun 1872 menghapuskan
larangan berserikat dan berorganisasi (coalitie
verbod) kaum buruh.
Perlindungan
dan pemenuhan hak-hak kaum buruh juga tidak bisa dilepaskan dari eksisistensi
dan perkembangan teori HAM generasi kedua. Manfred Nowak mengatakan pencapaian
terbesar dari abad pencerahan di Eropa
dan bersama dengan doktrin rasionalistik dari hukum kodrat adalah mengakui bahwa
setiap individu manusia ialah sebagai subyek yang dikaruniai dengan hak-hak
yang bertentangan dengan masyarakat dan harus menempatkannya sebagai pusat
sistem hukum dan sosial. Pemikiran tentang
HAM bersifat kodrati, inheren dan tidak bisa dicabut telah membawa
pergeseran paradigma dalam pemahaman menyeluruh tentang negara dan fungsinya.
Secara
historis, perlindungan buruh oleh negara sesungguhnya diinspirasi oleh kritik
aliran sosialisme terhadap pemikiran HAM klasik yang berdimensi sipil dan politik.
Menurut Karl Marx, perwujudan HAM berdimensi sipil dan politik merupakan lahan
persemaian untuk melajunya kapitalisme tanpa tekanan, dan oleh karenanya
menjadi penghalang bagi pemenuhan HAM lainnya, terutama sekali berkaitan dengan
hak atas kesetaraan. Para filusuf aliran sosialis menolak postulat liberal
tentang pemisahan negara dan masyarakat seperti negara yang hanya menjadi
penjaga malam. Kritik Marx dan filusuf sosialis lainnya secara definitif
bersifat kompatible baik dalam praktek maupun premis filosofisnya dengan
gagasan-gagasan tentang perbudakan, kolonialisme, penindasan perempuan dan
kelas pekerja. Konsep HAM yang diusung oleh Marx dan filusuf sosialis lainnya
disisi lain bermaksud menerapkan keseteraan
nyata melalui intervensi negara.
Secara
umum gagasan HAM yang diusung oleh
gerakan sosialis ini menjadi generasi HAM kedua yang termaktub dalam instrumen
ICSECR dan konvensi-konvensi ILO yang diantara muatannya ialah jaminan hak atas
pekerjaan dengan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas kesehatan,
hak atas tempat kerja yang sehat, hak non diskriminasi laki-laki dan perempuan
dan banyak lainnya, dimana negara dalam konteks hak positif ini dituntut untuk
bertindak aktif agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi dan tersedia. Pemenuhan hak-hak positif negara dalam konteks
di atas juga berarti bahwa pemenuhan HAM dalam sektor struktural dan
kebijakan-kebijakan, proses implementatif dan dapat terukur dampak sosial perlindungannya.
Era Kolonial : Industrialisasi dan Pelanggaran HAM Terhadap
Buruh
Pada
abad 19 secara resmi bangsa Belanda menjajah Nusantara. Belanda menyebut bangsa
jajahannya sebagai Hindia Belanda. Belanda menyebut dirinya sebagai kolonial
dan menyebut masyarakat jajahannya sebagai Inlander. Struktur sosial nusantara mereka
politisasi dan dibagi menjadi tiga tingkatan etnik; etnik eropa, etnik timur
asing, dan etnik inlanders (pribumi).
Kedudukan kelompok-kelompok ini berbeda-beda secara hukum, tempat ibadah,
kawasan hunian, makan dan termasuk tempat kuburan. Pendapatan kerja dan gaji
kelompok pribumi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok Eropa dan Timur
Asing.
Era
kolonialisme Indonesia merupakan masa keterpurukan rakyat Indonesia. Mereka
dtindas dan diberlakukan secara sewenang-wenang oleh Belanda. Sturuktur sosial masyarakat
dan penghasilan rakyat pribumi sangatlah tidak manusiawi. Sedangkan di sisi
yang lain, kolonial belanda bertindak membabi buta dengan mempekerjakan rakyat
dengan sistem tanam paksa dan menghapuskan nilai tata asli ekonomi Indonesia.
Belanda di awal kolonialisme memberlakukan sistem kapitalisme industrial
khususnya di daerah Jawa. John Ingleson mengatakan, pada abad ke-19 ialah abad
kunci dalam sejarah pembangunan Indonesia.
Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda bertindak sebagai enterprener dan berusaha mengembangkan
industri perkebunan di Jawa, khususnya industri gula. Pemerintah kolonial
memaksa petani di Jawa untuk menanam tebu guna menghasilkan gula buat kepentingan ekspor dunia. Bumi
dan rakyat Indonesia dijadikan proyek oleh kolonial Belanda untuk membangun
kekuatan ekonomi raksasa mereka.
Model
pembangunan kapitalisme industrial yang dipaksakan oleh kolonial Belanda pada
rakyat Indonesia berpangaruh sangat besar terhadap wajah tatanan sosial
masyarakat khususnya di pulau Jawa. John Ingleson mengungkapkan bahwa perubahan
pesat masyarakat di Pulau Jawa terlihat dari berkembangnya jumlah penduduk di
kota-kota Jawa. Kota di Jawa, khususnya Batavia, Semarang dan Surabaya
mengalami perubahan besar baik dari segi penduduk, tata ruang, maupun akumulasi
ekonomi. Kota menjadi sumber pendapatan yang begitu menggiurkan dibandingkan
dengan sumber pendapatan daerah yang sangat kecil.
Tiga
kota; Batavia, Semarang dan Surabaya muncul usaha-usaha baru, seperti bank diantaranya
Nederlanche Handels Maatschapij
(NHM), Javasjhe Bank (JM) dan
perusahaan-perusahaan perkereta apian yang keberadaannya memang sangat
menunjang kelancaran ekspor gula yang menjadi tulang punggung perekonomian
Hindia Belanda. Sedangkan disisi yang lain bersamaan dengan laju penanaman
modal swasta Belanda dalam sektor perkebunan, jumlah petani Jawa tunawisma juga
semakin bertambah. Perkebunan swasta mengambil tanah-tanah yang belum dibuka
rakyat sehingga tanah pertanian yang ada tidak dapat lagi menampung surplus
penduduk pedesaan. Para tunawisma pada saat itu membanjiri kota-kota di Jawa,
khususnya di tiga kota di atas untuk mencari pekerjaan.
Membanjirnya
perpindahan penduduk ke kota terjadi pada tahun 1870-an dimana perkembangan
perkebunan swasta menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan dan sangat berkembang
pesat. Menurut Ingleson, kota-kota di Pulau Jawa, pada masa itu, hidup tiga
jenis buruh pribumi, meliputi pekerja pribumi tetap, golongan pekerja harian
tetap, dan buruh harian lepas. Golongan pekerja tetap terdiri dari para pribumi
yang memiliki keterampilan, dan mereka relatif hidup lebih baik dari golongan
pekerja harian tetap serta buruh harian yang merupakan mayoritas buruh pribumi
di kota.
Penggolongan
kelas pekerja terkait kekuasaan dikskriminatif rezim kolonial. Para majikan
Belanda memberlakukan pembedaan perlakuan yang ketat antara komunitas buruh
pribumi dan buruh yang berasal dari para pekerja (pegawai) yang berkebangsaan
Belanda. Pembedaan itu berimplikasi pada sistem penggajian dan sistem
kesejahteraan pekerja. Buruh yang berasal dari pribumi mendapatkan gaji yang
lebih kecil dibandingkan dengan gaji pekerja dari kebangasaan eropa. Secara
terotik hukum HAM tindakan rezim kolonial ini adalah diskriminatif, rasis dan melanggar
HAM.
Sistem
kapitalisme industri Belanda di Indonesia menjadi malapetaka yang maha dahsyat
bagi perekonomian Indonesia. Belanda berhasil menciptakan mikanisme pembangunan
sentralistik dan menciptakan sistem akumulatif pada bangsa-bangsa eropa. Sumber
pendapatan rakyat yang tergerus oleh persaingan usaha dan memberlakukan para
pekerja pribumi yang tidak manusiawi. Dalam kenyataannya, kaum buruh sekedar
dikondisikan untuk memproduksi secara massif usaha-usaha kolonial demi
kepentingan pasar internasional, sedangkan praktek pelanggaran HAM terus
menerus terjadi seperti pemberian upah yang tidak layak, jam kerja yang tidak sehat,
jaminan kesehatan kerja yang tidak terpenuhi sama sekali dan lainnya.
Situasi
inilah yang mendorong lahirnya serikat-serikat buruh diantaranya tahun 1905
lahir Serikat Pekerja Pos (Pos Bond),
tahun 1906 lahir Serikat Pekerja Perkebunan (Cultuur
Bond) dan Serikat Pekerja Gula (Zuiker
Bond). Eksistensi serikat buruh berkembang pesat pada tahun 1810-1820-an
dan melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial
Belanda. Serikat buruh sering sekali melakukan aksi-aksi dan mogok menuntut
terhadap perbaikan nasib dan hak para anggota buruh. Tuntutan-tuntatan sarekat
buruh ada yang berhasil diantaranya perkebunan yang awalnya dimonopoli oleh
pemerintah kolonial berubah boleh diusahakan oleh modal-modal swasta, dan
sistem kerja paksa berubah menjadi sistem upah kerja bebas.
Sarikat-sarikat
buruh lahir sebagai dampak penindasan dan terbangun untuk mengkritik dan
melawan berbagai kesenjangan yang berlangsung, perlawanan itu kemudian berlanjut
pada kesadaran baru tentang pentingnya sebuah kemerdekaan. Sistem
industrialisme dan sistem kerja paksa yang telah mengalirkan akumulasi ekonomi
total pada pemerintahan kolonial, perkebunan-perkebunan yang telah dikuasai, pabrik-pabrik
yang menjadi media penyedot sumber daya alam Indonesia, sedangkan rakyat
pribumi sekedar menjadi buruh dengan upah yang tidak layak semakin menguatkan kesadaran besar tentang arti sebuah kemerdekaan.
Aksi-aksi
sarekat buruh berlangsung eskalatif dan meluas. Tidak hanya gugatan terhadap
sistem upah yang tidak layak tetapi lebih dari itu ialah ingin membangun
kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1926 tokoh-tokoh buruh yang tergabung dalam
organisasi PKI seperti Alimin, Darsono dan Semaun melakukan pemberontakan. PKI
yang dipimpin Muso melakukan pemberontakan bahkan pengrusakan-pengrusakan di
berbagai daerah dan kota. Kondisi-kondisi itu sengaja diciptakan untuk
menciptakan membanguan suasana revolusioner yang mereka inginkan untuk mengusir
Belanda dari Indonesia. Namun
perjuangan mereka mengalami kegagalan karena pemerintah kolonial Belanda
bertindak secara cepat dengan melakukan penangkapan-penangkapan terhadap
aktor-aktor yang dituduh sebagai pemberontak.
Pasca
peristiwa 1926 kelompok buruh mengalami tekanan dan intimidasi yang sangat kuat
dari rezim kolonial. Tetapi semangat perlawanan itu tidak pernah padam, kaum
buruh dan kaum bumiputera bersatu padu melawan imprealisme dan menuntut
kemerdekaan. Bahkan pasca peristiwa 1926 saat itu bermuculan tokoh-tokoh
seperti Syahrir, Dr. Sutomo, Suryopranoto,
H. Agus Salim dan beberapa lainnya yang terus mengobarkan semangat perlawanan. Sampai
pada akhirnya sekitar tahun 1930-an rezim kolonial belanda bisa mengendalikan
hiruk pikuk perlawanan kaum buruh, termasuk rezim sesudahnya Jepang. Pasca
menyerahnya Belanda kepada Jepang pada 8 Maret 1942, Jepang tidak
tanggung-tanggung memberlakukan kembali diskriminasi terhadap para buruh.
Jepang memberlakukan mereka apa yang kita kenal sebagai sistem romusha, satu
sistem kerja paksa yang diberlakukan kepada rakyat pribumi.
Para
pekerja romusha dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang untuk membangun berbagai
sarana untuk kepentingan perang. Rakyat dipekerjakan dengan sangat kasar. Mereka
bekerja dari pagi buta sampai petang tanpa makanan dan perawatan yang memadai. Kekejaman itu tidak berhenti karena di era kolonialisme
Jepang, semua kegiatan organisasi politik, sosial dan ekonomi dilarang.
Pengkondisian secara sistemik ini secara tidak langsung menghambat terhadap
konsolidasi perlawanan serikat buruh.
Diskriminasi dan pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap kaum buruh dan pejuang
kemerdekaan sangat telanjang di era kolonial.
Dialektika Pengaturan Hukum Perburuhan di Era Orde
Lama
Pada
era orde lama, serikat-serikat buruh berkembang dan mempunyai kekuatan yang
cukup besar. Serikat buruh dan orientasinya di awal kemerdekaan sangatlah
bervariasi, tetapi variasi itu tetap dalam satu semangat yaitu menjaga api
revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Organisasi buruh yang besar diawali oleh
organisasi buruh yang bernama Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang berdiri 15
September 1945. Secara umum pemikiran mereka pada waktu itu terpecah menjadi
dua, pertama, pemikiran yang
menginginkan sarekat buruh harus berorientasi kepada kepentingan kesejahteraan
ekonomi saja. Kedua, pemikiran yang
menghendaki bahwa tidak cukup sekedar berorentasi pada kepentingan ekonomi tapi
harus bergerak lebih jauh yaitu membangun kekuatan politik. Dua kubu pemikiran mayoritas
serikat buruh memilih pilihan kedua dan berdampak pada perpecahan afiliasi
politik serikat pekerja.
Dalam kongres mereka akhirnya diputuskan untuk membentuk Partai Buruh Indonesia
(FBI) dan mengamanahkan penuntasan revolusi nasional.
Pada
waktu itu, serikat buruh yang sangat besar ialah Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI), eksistensi mereka mendapatkan perhatian serius oleh
pemerintahan Soekarno-Hatta. Hal ini terlihat dari instrumen hukum perburuhan
yang sangat menjamin atas hak-hak
mereka seperti hak kebebasan berserikat dan berpendapat,
hak atas upeti yang layak, hak cuti bagi kaum perempuan, hak kecelakaan kerja,
hak istirahat dan jam kerja, hak tidak di PHK sewenang-wenang dan lainnya.
Berikut tabel instrumen-instrumen hukum perburuhan di era rezim orde lama,
yaitu :
No
|
Undang-Undang
|
Materi
|
1
|
UU No. 1 tahun
1951 tentang pernyataan berlakunya UU No 12 tahun 1948 tentang Kerja
|
- Larangan mempekerjakan anak
- Pembatasan waktu kerja 7 jam
sehari, 40 jam dalam seminggu
- Waktu istirahat bagi buruh
- Larangan mempekerjakan buruh pada hari
libur
- Hak cuti haid
- Hak cuti melahirkan/keguguran
- Sanksi pidana pelanggaran terhadap UU ini
|
2
|
UU No. 2 tahun
1951 tentang pernyataan berlakunya UU No 33 tahun 1947 tentang Kecelakaan
Kerja
|
- Jaminan atas keselamatan kerja
- Hak pegawai pengawas untuk menjamin untuk
menjamin pelaksanaan keselamatan kerja
- Sanksi pidana dalam pelanggaran terhadap UU
ini
|
3
|
UU No. 3 tahun
1951 tentang pernyataan berlakunya UU No 23 tahun 1948 tentang Pengawasan
Perburuhan
|
- Kewajiban negara untuk
melakukan pengawasan pelaksanaan UU dan peraturan perburuhan
- Hak pegawai pengawas memasuki dan
memeriksa tempat usaha
- Kewajiban majikan untuk memberikan
keterangan lisan dan tertulis kepada
pegawai pengawas
- Sanksi
pidana dalam pelanggaran terhadap UU ini
|
4
|
UU No 21 tahun
1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara serikat buruh dan majikan
|
- Jaminan perjanjian perburuhan
tetap berlaku walau serikat buruh kehilangan anggotanya
- Jaminan perjanjian perburuhan
tetap berlaku walaupun serikat buruh bubar
- Aturan tentang perjanjian
perburuhan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perjanjian kerja
antara seorang buruh dan majikan
- Pembatasan untuk majikan tidak boleh
membuat perjanjian perburuhan dengan Serikat Buruh lain yang lebih rendah
syarat kerjanya dengan perjanjian perburuhan yang sudah pernah dibuatnya
|
5
|
UU No. 18
tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No 98 mengenai berlakunya
dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama
|
Perlindungan
hak berserikat :
1.
Larangan diskriminasi karena menjadi anggota
serikat buruh dan melakukan aktifitas sebagai buruh
2.
Larangan mendominasi atau melakukan kontrol
terhadap serikat buruh
|
6
|
UU No 22 tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
|
- Definisi mogok yang cukup
luas, meliputi, pertam, tindakan kolektif menghentikan ataupun memperlambat jalannya pekerjaan. Kedua,
akibat dari perselisihan perburuhan. Ketiga, bermaksud untuk menekan majikan
atau membantu golongan buruh lain menekan majikan. Keempat, agar menerima
hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/ atau keadaan perburuhan
- Pembentukan P4D/P yang
terdiri dari tiga pihak secara berimbang jumlahnya (pemerintah, wakil buruh
dan wakil pengusaha)
- Ketentuan putusan P4D/P
bersifat mengikat dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri
- Arbitrase secara voluntary
- Sanksi pelanggaran terhadap UU ini
|
7
|
UU No. 3 tahun
1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
|
Pengaturan dan
pembatasan mempekerjakan tenaga kerja asing yang berarti perlindungan terhadap
jaminan pekerjaan bagi warga negara
|
8
|
UU No. 12
tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta
|
- Pengusaha harus mengusahakan tidak terjadi
PHK
- Larangan PHK karena sakit
selamat tidak melebihi 12 bulan secara terus menerus dan karena menjalankan
kewajiban negara dan ibadah agama
- Kewajiban pengusaha
merundingkan PHK kepada Serikat Buruh/Buruh
- PHK hanya dengan idzin dari P4D/P
- PHK tanpa idzin batal karena hukum
- Selama belum ada idzin
pengusaha dan buruh tetap melaksanakan
kewajibannya
|
Instrumentasi
hukum perburuhan di era orde lama cukup memberikan jaminan pemenuhan HAM terhadap
kaum buruh. Negara sangat melindungi kaum buruh ketika menghadapi berbagai
konflik dengan perusahaan. Serikat buruh diberikan peran strategis untuk
menyelesaikan dengan baik kasus-kasus buruh dan pengusaha. Negara sebagaimana
aturan-aturan di atas telah mengikatkan dirinya untuk mengawasi pelaksanaan
aturan perburuhan di perusahaan-perusahaan. Sebagai komitmen terhadap pemenuhan
HAM di era orde lama, beberapa konvensi ILO telah diratifikasi.
Dialektika Pengaturan Hukum Perburuhan di Era Orde
Baru
Pasca
peristiwa pemberontakan G30S/PKI dan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) kepada Soeharto
akhirnya Soekarno betul-betul jatuh. Soekarno dijatuhkan oleh MPRS karena
dinilai gagal mempertanggungjawabkan amanat pemerintahannya. Soeharto dipilih
oleh MPRS menjadi presiden menggantikan Soekarno dan menyebut kekuasaannya
sebagai orde baru. Soeharto mengganti jargon-jargon dan sikap politik rezim
orde lama yang cenderung pada politik. Kata-kata
revolusi dan perlawanan terhadap imprealisme Soekarno diganti dengan janji Soeharto untuk kembali kepada UUD 1945 secara murni, konsekwen dan akan
melaksanakan politik pembangunan dalam kepemimpinannya.
Berangkat
dari sistem orde lama yang dianggap gagal, Soeharto pertama-tama melakukan
konsolidasi kekuatan militernya, mempersiapkan para intelektual pendukungnya dan
melakukan pemantauan terhadap prilaku organisasi rakyat dan substansi
produk-produk politik yang dihasilkan oleh orde lama. Salah satu yang mendapat
perhatian serius oleh rezim Seoharto ialah memantau dan mengevaluasi keberadaan
organisasi serikat buruh dan mereview terhadap instrumen hukum perburuhan yang
dianggap cenderung bergerak pada kehidupan politik.
Serikat
buruh yang ketika orde lama yang dituduh bergerak pada ranah politik distigmakan
rezim Orde Baru sebagai organisasi yang menjadi basis gerakan komunisme di
Indonesia. Karena itu, buruh dan organisasinya harus diawasi, dirombak dan diganti
dengan organisasi baru. Di awal orde baru, dibentuklah Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) yang
menyatukan seluruh organisasi buruh di Indonesia. Pada
Februari 1973, MPBI berubah nama menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia
(FBSI) sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui pemerintah. Kemudian
berubah lagi tahun 1985 menjadi Konfederasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dimana seluruh serikat buruh di Indonesia
harus berafiliasi dengan KSPSI. Serikat buruh rekayasa Orde Baru tersebut
akhirnya tidak lepas dari intervensi dan tekanan pemerintah. Intervensi itu
salah satunya terlihat dari dibangunnya sistem Hubungan Industrial Pancasila
(HIP), larangan berserikat selain organisasi bentukan pemerintah dan larangan
aksi mogok karena bertentangan dengan pancasila.
Dalam
paradigma hubungan industrial pancasila (HIP) dinyatakan bahwa pemerintah
mempunyai peran untuk mengatur penyebaran dan penggunaan tenaga kerja dengan
tekanan pada produktifitas dan pencapaian manfaat yang sebesar-besarnya.
Investasi asing besar-besaran dibuka di Indonesia, sedangkan pada sisi yang lain
terjadi pengkerdilan terhadap hak-hak sipil dan sosial para buruh dan
organisasinya. Kebebasan berpendapat dibatasi, posisi buruh dan organisasisanya
dikuasai, hak upah buruh ditekan minimalis, perlindungan buruh tidak terjamin
bahkan seringkali terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota buruh
yang bersikap kritis, salah satunya adalah buruh Marsinah yang dibunuh karena
menjadi aktor demonstrasi menuntut kenaikan UMR.
Dalam
konteks instrumen hukum perburuhan, secara umum rezim orde baru membagi aturan
perburuhan menjadi dua, aturan yang terkait dengan hak politik kaum buruh dan
aturan yang terkait hak ekonomi kaum buruh. Secara keseluruhan aturan-aturan tersebut
tidak berbentuk Undang-Undang tetapi substansinya sangat diskriminatif terhadap
para buruh dan organisasinya. Aturan-aturan perburuhan di era orde baru
cenderung bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya, bertentangan dengan
instrumen-instrumen tentang HAM dan konvensi-konvensi ILO. Berikut tabel instrumen
hak politik kaum buruh di era orde baru, yaitu ;
NO
|
Aturan dan
Kebijakan
|
Materi
|
1
|
PERMENAKER
1/MEN/1975
|
- Pembatasan
serikat buruh yang dapat didaftarkan di Departemen Tenaga Kerja
- Transmigrasi
dan koperasi yaitu gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus di daerah
minimal di 20 daerah tingkat I dan beranggotakan 15 serikat buruh
|
2
|
PERMENAKER
1/MEN/ 1977
|
-
Iuran serikat buruh dipungut melalui pengusaha
-Serikat buruh wajib
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi tingkat basis pabrik kepada
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
|
3
|
PERMENAKER
5/MEN/1984
|
Iuran buruh
dipungut secara kolektif oleh perusahaan
|
4
|
PERMENAKER
1/MEN/1985
|
-
Penyeragaman Pola KKB
-
Syarat yang membatasi serikat buruh dapat membuat
KKB yaitu memilik anggota sekurang-kurangnya 50% dari jumlah buruh di
perusahaan
|
5
|
PERMENAKER
5/MEN/ 1987
|
Persyaratan
organisasi yang bisa didaftarkan ke Depnaker
|
6
|
KEPMENAKER 15
A/MEN/1994
|
Pengakuan
tunggal negara pada FSPSI untuk perundingan perselisihan perburuhan
|
7
|
PERMENAKER
5/MEN/1998
|
-
Pendaftaran serikat pekerja yang sebenarnya bentuk
peridzinan
-
Penyeragaman asas organisasi
|
Selain
instrumen-instrumen di atas, masih ada sekitar 13 (tiga belas) keputusan yang
dibuat oleh Menteri; 8 (delapan) keputusan itu berisi soal campur tangan
pemerintah untuk menghegemoni kaum buruh, dan 5 (lima) selebihnya berisi
penegasan tentang pembatasan, pelarangan dan tekanan terhadap buruh. Salah satu
dari Keputusan itu ialah Kepmen No. 645/Men/1985 tentang Pelaksanaan Hubungan
Industrial Pancasila (HIP), materi yang terkandung dalam HIP ialah larangan
untuk melakukan konflik dan melakukan aksi mogok karena dianggap tidak sesuai
dengan prinsip kekeluargaan seperti yang ada dalam Pancasila. Keputusan yang
tegas membatasi ialah Kepmen 4/Men/1986 yang menekan hak mogok dan hak
pembentukan serikat buruh, dan yang paling diskriminatif diantara Keputusan-keputusan
itu ialah Kepmen 342/Men/1986 yang menentukan bahwa aparat keamanan (Korem,
Kodim dan Kores) ikut campur dalam menangani perselisihan perburuhan.
Instrumen-instrumen
hak politik dengan berbagai keputusan yang ada di atas menegaskan betapa rezim
orde baru sangat aktif melakukan pelanggaran HAM terkait hak-hak politik para
kaum buruh. Mereka dipersulit bahkan tidak segan-segan dipidana ketika
melakukan protes dan aksi-aksi perlawanan terhadap pemegang modal. Sehingga rezim
orde baru dengan berbagai peraturan dan kebijakannya tidak bisa disangsikan
lagi persekongkolannya dengan para pengusaha. Rezim orde baru mengamankan
dengan sungguh-sungguh para investor yang menjadi ‘partner and clien’ kekuasaanya semisal Bob Hasan, Sudono Salim
(Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya, dan para pemodal asing seperti CGI,
IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan lainnya.
Diskriminasi
dan pelanggaran HAM terhadap kaum buruh tidak hanya tampak dalam hak-hak
politik di atas, tetapi juga dalam aturan-aturan buruh yang berkaitan dengan
hak-hak ekonominya. Berikut tabel instrumen hukum hak-hak ekonomi kaum buruh yang
diproduksi di era orde baru, yaitu;
NO
|
Aturan dan Kebijakan
|
Materi
|
1
|
PP. No. 8
tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
|
-
Perlindungan Pembayaran Upah
-
Asas No Work
No Pay
-
Daluwarsa tuntutan yang berkaitan dengan hubungan
kerja selama 2 tahun
|
2
|
Permenaker/Men/1985
|
Aturan tentang
pekerja harian lepas
|
3
|
Permenaker
5/Men/1986 diganti dengan Permenaker 2/Men/1993
|
Aturan
mengenai kesepakatan kerja waktu tertentu (pekerja kontrak)
|
4
|
Permenaker
4/Men/1986 diganti dengan Permenaker 3/Men/1996 akhirnya menjadi Kepmenaker
150/Men/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan Pasangon, Uang Jasa dan
Ganti Kerugian di Perusahaan swasta
|
-
Ketentuan tentang mangkir bagi buruh
-
Reduksi kewajiban untuk menjalankan hak dan
kewajiban buruh majikan selama proses PHK dalam UU dengan adanya skorsing
terhadap buruh
-
Aturan PHK karena kesalahan berat, tidak akan
mendapatkan pasangon
-
Aturan pemberian surat peringatan bagi buruh
-
Mengatur tentang besarnya uang pasangon
|
5
|
Permenaker
5/Men/1989 diganti dengan Permenaker 1/Men/1996 akhirnya menjadi Permenaker
3/Men/1997
|
Aturan tentang
Upah Minimum
|
Beberapa
muatan instrumen tentang hak ekonomi di atas dianggap para buruh tidak
melindungi posisi dan hak-hak mereka. Beberapa aturan tersebut telah mengurangi
dengan sedemikian rupa hak-hak ekonomi kaum buruh, salah satunya aturan tentang
pekerja harian lepas. Tidak hanya melegitimasi hubungan pekerja harian lepas
tapi juga ada ketentuan jumlah bulan dan hari dalam sebulan untuk bekerja
harian lepas (tidak boleh melebihi 3 bulan berturut-turut dan 20 hari bekerja
dalam setiap bulannya). Ketentuan ini membuka terhadap praktek eksploitasi
pengusaha terhadap kaum buruh pekerja harian lepas.
Kasus
terkait pekerjaan harian lepas pernah ditangani oleh Serikat Buruh Jabotabek
Perjuangan. Perusahaan mempekerjakan buruh selama bertahun-tahun pada tempat
dan jenis pekerjaan yang sama, tetapi tidak pernah selama 3 bulan
berturut-turut. Akhirnya buruh harian lepas yang telah bekerja bertahun-tahun
itu tetap dalam status yang lama dan mendapatkan hak-hak yang lebih rendah
dibandingkan dengan buruh tetap. Lebih parah lagi putusan P4P mengalahkan buruh
dengan alasan yang sangat prosedural. Kasus-kasus lain masih terjadi seperti
aturan kesepakatan kerja waktu tertentu (KKWT) yang bersifat rigit dan
kontraktual, ketentuan tentang uang pasangon dimana pihak perusahaan mempunyai
otoritas melakukan skorsing tanpa permintaan idzin PHK, dan termasuk aturan
tentang upah minimum yang ternyata dalam prakteknya menjadi upah maksimum.
Dialetika Pengaturan Hukum Perburuhan di Era Reformasi
Instrumentasi
hukum perburuhan era Orde Baru yang diskriminatif dan penuh dengan pelanggaran HAM akhirnya
berujung banyak gugatan. Para buruh menjelang kejatuhan Soeharto terlihat
memadati ruas jalan menggugat terhadap ketidakadilan yang menimpa mereka. Dalam
kondisi terjepit dan krisis finansial yang parah pemerintah Orde Baru akhirnya
menyiapkan aturan baru yaitu UU No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
sebagai pengganti seluruh kompilasi aturan buruh. Namun, kaum buruh kembali
menolak materi pengaturan UU. No. 25 tahun 1997, karena organisasi buruh sudah
memastikan bahwa aturan baru itu tidak diciptakan karena tuntutan kaum buruh tetapi
lebih dilatarbelakangi oleh syarat dan tekanan lembaga keuangan internasional
untuk menjaga stabilitas pasar dan rekayasa ideologisasi neoliberal dalam berbagai
Undang-Undang di Indonesia.
Tepatnya aturan UU No. 25 tahun 1997 dibuat sebagai prasyarat pencairan dana
talangan dari IMF sebagaimana terdapat dalam perjanjian LOI (Letter Of Intent).
Penolakan
kaum buruh yang massif berujung pada janji pemerintah untuk membuat aturan baru
(RUU) sebagai turunan dari UU No. 25 tahun 1997, yang kemudian berwujud pada UU
No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU. No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI) serta UU. No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI). Namun demikian, materi turunan
dari UU No. 25 tahun 1997 tetaplah bernuansa neoliberal dan memberikan kewenangan besar kepada pemegang modal.
Kewenangan pemerintah sangatlah minimalis, cenderung administratif dan tidak intervensionis terhadap
perusahaan-perusahaan. Pengaturan tentang perburuhan pasca reformasi berbeda
sama sekali dengan pengaturan ketika rezim Orde Baru. Era Orba sangat
intervensionis, mengatur buruh secara ketat dan melindungi pengusaha sebagai clien bisnisnya sedangkan pengaturan buruh
pasca reformasi perlindungan HAM para buruh dan organisasinya lemah dan
memberikan keleluasaan yang kuat kepada pemegang modal dan swasta.
Materi
UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh memang mengatur adanya
kebebasan untuk berserikat tetapi Undang-Undang ini masih sangat membatasi
terhadap keberadaan serikat pekerja ataupun buruh. Beberapa pasal dalam aturan
ini sangat ketat mengatur administrasi dan pencatatan keberadaan organisasi
kepada pemerintah. Pembatasan itu dapat dibaca dari bunyi pasal 20 dan
seterusnya yang menegaskan soal pencatatan, nomor bukti, pemberitahuan dan lain
sebagainya yang sangat administratif dan mempersulit eksistensi satu serikat
buruh. Karena itu, ketika ada problem, persoalan administratif inilah yang
kemudian menghambat penyelesaian perkara karena pihak Departemen Tenaga Kerja
dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4D/P) selalu menjadikan
administrasi sebagai persyaratan.
Serikat
pekerja akhirnya tidak bisa berbuat banyak untuk membela hak-hak mereka yang dilanggar
oleh pihak perusahaan karena banyak serikat buruh di Indonesia yang dianggap
illegal. Ditambah lagi, ketika ada kasus pelanggaran aturan seperti PHK massal
dan sewenang-wenang, skorsing, dan lainnya yang dilakukan oleh perusahaan dan
semestinya negara bertindak aktif sebagaimana dasar hukum pemenuhan HAM ICESCR tetapi
realitasnya negara pasif dan membiarkan pelanggaran HAM berlarut-larut. Negara secara
tidak langsung telah melakukan pelanggaran HAM berupa tindakan pembiaran (by ommision) pelanggaran HAM terjadi.
Instrumen
hukum kedua ialah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembuatan Undang-Undang
ini penuh dengan kontroversi karena pemerintah mempermainkan serikat pekerja
dan terjadi politisasi materi di dalamnya. Undang-Undang ini memperlihatkan
secara jelas bagaimana pemerintah menghilangkan tanggungjawabnya untuk
melindungi kaum buruh. Berikut tabel perbandingannya dengan aturan sebelumnya,
yaitu ;
No
|
Problem
|
UU No. 13 tahun 2003
|
Aturan Lama
|
1
|
Hubungan Kerja
|
- Definisi buruh
terdiiri dari 2 unsur; bekerja dan menerima upah/imbalan dalam bentuk lain
(Psl 1 ayat 3)
- Membedakan
pemberi kerja (Psl 4) dan pengusaha (pasal 5)
- Outsorcing/Subkontrak
diperbolehkan (Psl 64)
- Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya
pekerjaan tertentu
|
- Definisi buruh terdiri 3
unsur ; bekerja, pada majikan dan
menerima upah (UU No. 22 tahun 1957)
-Tidak ada pembedaan, ini
terkait dengan aturan outsorcing
- Outsorcing/subkontrak
ilegal
- Tidak ada
|
2
|
Hak Mogok
|
- Definisi mogok
dibatasi sebagai akibat dari gagalnya perundingan (Psl 137)
- Harus
dilakukan secara sah, tertib dan damai (Psl 137)
- Pembakuan isi
pemberitahuan mogok meliputi; waktu dimulai dan diakhiri, tempat mogok,
alasan mogok, tanda tangan ketua Serikat Buruh dan Sekretarisnya sebagai
Penanggungjawab (Psl 140 ayat 2)
- Mogok yang
tidak prosedural tidak sah
- Mogok tidak
sesuai prosedur berdampak pada, pertama, perusahaan dapat mengambil tindakan
sementara seperti melarang buruh yang berada di lokasi kegiatan proses
produksi atau dilokasi perusahaan. Kedua, Akibat hukum diatur dalam Keputusan
Menteri
|
- Definisi mogok
sangat luas meliputi akibat perselisihan perburuhan, bisa untuk menekan
majikan lain, agar majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan
keadaan perburuhan ((UU No. 22 tahun 1957)
- Tidak ada
ketentuan sah, tertib dan damai
- Pemberitahuan
hanya harus memasukkan telah melakukan perundingan tentang pokok perselisihan
atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2
minggu gagal mengajak berunding pihak lain
- Tidak ada
ketentuan eksplisit hak mogok tidak sesuai prosedur atau mogok tidak sah
- Mogok yang
tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda
10. 000
|
3
|
Lock Out
|
- Definisi lock
out dibatasi hanya sebagai akibat dari gagalnya perundingan (Psl 146 (1)
- Pembakuan isi
pemberitahuan lock out, meliputi waktu dimulai dan akan diakhiri, alasan lock
out, tanda tangan pengusaha atau pimpinan perusahaan (Psl 140 ayat 2)
- Tidak ada
akibat hukum bagi lock out yan g tidak sesuai prosedur
- Lock out boleh
tidak sesuai prosedur;
a.
Buruh mogok tidak sesuai prosedur
b.
Buruh melanggar ketentuan normatif
|
- Definisi lock
out lebih luas meliputi sebagai akibat perselisihan perburuhan, dapat untuk
membantu majikan yang lain, agar buruh menerima hubungan kerja, syarat kerja
dan atau keadaan perburuhan (UU No. 22 tahun 1957)
- Pemberitahuan
hanya harus memasukkan telah melakukan perundingan tentang pokok perselisihan
atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2
minggu gagal mengajak berunding pihak lain
- Lock out tidak
sesuai prosedur diancam hukuman kuruangan maksimal 3 bulan atau denda 10. 000
- Tidak ada
ketentuan diskriminatif lock out boleh tidak sesuai prosedur karena sesuatu
alasan
|
4
|
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK)
|
- Keharusan
menjalankan kewajiban selama izin PHK dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan
belum ada, disimpangi dengan aturan skorsing (Psl 155 ayat 2 dan 3)
- PHK boleh
tanpa idzin bila buruh melakukan kesalahan berat (Psl 158 Jo 171
- Kesalahan
berat cukup dibuktikan dengan, pertama,
tertangkap tangan atau, kedua,
pengakuan buruh yang bersangkutan atau, ketiga,
laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang di perusahaan dan didukung
minimal 2 saksi
|
- Selama idzin
PHK dari lembaga Penyelesaian Perselisihan belum ada, buruh dan pengusaha
wajib menjalankan kewajibannya tanpa kecuali (UU No. 12 tahun 1964 Psl 11)
- Aturan
skorsing ada pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja, dan aturan ini bertentangan
dengan UU di atasnya
- PHK alasan
berat tetap harus lewat idzin
- Pembuktian
tidak sesedeha UU No 13 tahun 2003 yang cenderung melibas praduga tidak
bersalah
|
Membaca
UU No. 13 tahun 2003 di atas menjelaskan betapa posisi buruh sangat dilemahkan
dari mulai tuntutan lewat mogok yang dibatasi secara administratif, pengesahan sistem
outsourcing, perjanjian kerja yang
sesuai waktu, pemutusan hubungan kerja yang cenderung diskriminasi, pembatasan
dan proseduralisasi hak lock out dan
lainnya. Selain itu, kalau kita membandingkan terhadap Undang-Undang sebelumnya
maka sangat jelas betapa pemerintah saat ini semakin menghilangkan
tanggungjawabnya untuk melindungi hak-hak kaum buruh.
Instrumen
hukum ketiga ialah UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI). Problem dari instrumen ini diantaranya ialah pemberian
kewenangan arbiter yang bisa menjatuhkan putusan tanpa dihadiri pihak
berperkara (Pasal 42), aturan ini juga menghilangkan identitas perselisihan
perburuhan yang istimewa yang kasus-kasusnya diselesaikan secara kolektif/tidak
individual seperti P2D/P2P. Instrumen hukum terbaru ini selain melalui media
penyelesaian bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase juga menghendaki penyelesaian
kasus lewat pengadilan hubungan industrial yang akan dibentuk di PN
menggantikan kewengan P4D/P4P. Penyelesaian
jalur Pengadilan Hubungan Industrial ialah puncak penyelesaian konflik buruh,
serikat buruh dan majikan.
Perubahan
di atas akan berimplikasi besar; pengadilan yang masih bicara legalistik, biaya
perkara yang tidak sedikit dan praktek di dalamnya yang masih penuh dengan permainan
kotor. Kondisi ini tidak ramah dengan situasi dan kondisi buruh yang mayoritas
miskin dan dilemahkan secara aturan. Salah satu yang juga dikritik dalam aturan
PPHI ini ialah kewenangan pengadilan hubungan industrial untuk menangani kasus
perselisihan serikat pekerja/buruh. Sebagaimana pengalaman dalam sejarah
terutama di era rezim orde baru dan masih sering terjadi di saat ini, sudah
biasa pengusaha dan pemerintah membuat serikat buruh tandingan dan mengadu
domba internal para buruh.
Instrumen
hukum keempat ialah UU. No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI). Instrumen ini banyak dikritik oleh elemen
serikat buruh migran dan LSM. Aturan ini dinilai menghilangkan sama sekali
perlindungan, penghormatan dan pensejahteraan tenaga kerja luar negeri,
pemerintah sekedar berorentasi pada kepentingan investasi. Serikat pekerja
migran bahkan menilai bahwa aturan UU. No. 39 tahun 2004 ini menjadi alat legalisasi pemerasan dan penindasan terhadap buruh migran.
Menurut mereka, Undang-Undang tersebut hanya memuat pengaturan pengiriman buruh
migran ke luar negeri tapi kemudian tanggungjawabnya diserahkan kepada pihak
swasta yaitu Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) dan atau Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta (PPTKKIS). Undang-Undang ini menempatkan
PJTKI sebagai penguasa dalam urusan pengerahan buruh ke luar negeri dan sangat kebal
hukum, karena di dalamnya tidak tercantum yang memuat tentang sangsi bagi PJTKI
yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak buruh dalam bentuk pemerasan dan
penindasan.
Kewenangan
PJTKI yang luas dan hilangnya tanggungjawab negara dalam instrumen-instrumen
hukum berdampak pada tindakan PJTKI yang sewenang-wenang dan memberlakukan
buruh migran secara tidak manusiawi seperti pemberian informasi yang tidak transparan, training centre yang lebih mirip penjara, biaya penempatan yang
sangat tinggi, upah yang jauh dibawah standar, potongan gaji yang kadang tidak
masuk akal, penahanan dokumen dan pelecehan seksual bagi kaum perempuan.
Saat ini buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri diperkirakan
sekitar 6 ribu jiwa dan 80% dari mereka ialah perempuan yang bekerja sebagai
pembantu rumah tangga (PRT), mereka sangat sering menjadi obyek pelecehan
seksual. Buruh migran juga seringkali menjadi obyek pungutan liar baik di
terminal ataupun di bandara.
UU
No. 39 tahun 2004 ini juga penuh dengan
dikte IMF dan World bank sehingga kepentingan investasi dan bisnis cukup kental
dalam hal pengiriman buruh ke luar negeri. Pernyataan ini sesuai dengan dua
dokumen, pertama, Inpres No. 5 tahun
2005 tentang Post Program Monitoring IMF. Dokumen ini menegaskan bahwa
pengiriman buruh migran demi mendorong intensifikasi mobilisasi devisa.
Pemasukan devisa dari buruh migran harapannya dapat memantapkan pembayaran dan
mendorong kecukupan devisa. Kedua,
dokumen Inpres No. 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim
Investasi. Dokumen ini terkait dengan rencana amandemen UU No. 39 tahun 2004, pada
bagian IV point B dari kebijakan ketenagakerjaan
pemerintah akan menyusun draft perubahan UU 39/2004 PPTKLN, terutama
menghilangkan syarat PPTKIS yang wajib memiliki unit pelatihan kerja untuk
mendapatkan Surat Izin PPTKIS. Instrumen ini merupakan desakan World Bank sebagaimana
yang disampaikan dalam dua kali forum CGI (tahun 2005 dan 2006).
Secara
umum, instrumentasi hukum perburuhan pasca reformasi mempunyai problem
substantif karena pemerintah membuat aturan yang melegalisasi sistem neoliberal
yang penuh dengan dikte IMF dan World Bank Pengaturan tersebut melahirkan
dampak berbagai pelanggaran HAM. Secara substantif instrumen-instrumen hukum
perburuhan pasca reformasi bertentangan dengan UUD 1945, instrumen-instrumen
hukum tentang HAM dan konvensi-konvensi
ILO.
Hak-hak Buruh
Dalam Instrumen-Instrumen HAM dan
ILO
Gejolak
sosial dan politik menjelang kejatuhan rezim Orde Baru mengantarkan pada
perubahan beberapa instrumen hukum di Indonesia. Salah satu yang menjadi
desakan publik terkait perlunya instrumentasi perlindungan, penghormatan dan
pemenuhan HAM di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu, pasca reformasi
dibuatlah beberapa instrumen hukum yang secara spesifik mengatur tentang HAM
yang di dalamnya mengatur pemenuhan HAM kaum buruh.
Secara
umum instrumen hukum HAM terkait dengan hak-hak kaum buruh meliputi dua hal, pertama, hak-hak yang berdimensi sipil
dan politik, kedua, hak-hak yang
berdimensi ekonomi, sosial dan budaya. Pemenuhan hak-hak tersebut menjadi
tanggungjawab negara sebagai pemangku kewajiban. Hak-hak yang berdimensi sipil
dan politik, negara mempunyai tanggungjawab untuk tidak aktif mengatur
keberadaan kaum buruh tetapi tetap mempunyai tangungjawab untuk melindungi
mereka dari segala potensi pelanggaran HAM. Sedangkan hak-hak yang berdimensi
ekonomi, sosial dan budaya, negara mempunyai tanggungjawab pemenuhannya secara
segera dan bertahap, walaupun kedua hak tersebut tidak dapat dibagi (indivisibility), saling bergantung dan
berkaitan (interdependence and interrelation).
Hak-hak
yang berdimensi sipil dan politik secara umum telah diatur dalam UUD 1945, UU
No. 39 tahun 1999, UU No. 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
serta UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Berikut adalah tabel hak-hak
yang terkait dengan dimensi sipil dan Politik, yaitu :
No
|
Instrumen
|
Muatan
|
1
|
Pasal 28 E
ayat 2 dan 3 UUD 1945
|
-“Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya”
-“Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
|
2
|
Pasal 28 J
ayat 2 UUD 1945
|
“Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”
|
2
|
Pasal 23 ayat
2 UU No. 39/ 1999 tentang HAM
|
“Setiap
orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai
hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”
|
3
|
Pasal 24 ayat
1 UU No. 39/1999 tentang HAM
|
“Setiap
orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud
damai”
|
4
|
Pasal 25 UU No
39/1999 tentang HAM
|
“Setiap
orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk
mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
|
5
|
Pasal 38 ayat
2 UU No. 39/1999 tentang HAM
|
“Setiap
orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula
atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”
|
6
|
Pasal 39 UU
No. 39/1999 tentang HAM
|
“Setiap
orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk
menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
|
7
|
Pasal 8 UU No.
11/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
|
- (a)
“Hak setiap orang untuk dapat membentuk serikat pekerja dan bergabung dalam
serikat pekerja pilihannya sendiri, hanya tunduk/taat pada peraturan
organisasi yang bersangkutan, untuk peningkatan dan perlindungan kepentingan
ekonomi dan sosialnya. Tidak ada pembatasan yang boleh dikenakan dalam
pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah ditetapkan oleh hukum dan yang
diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional
maupun ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak–hak asasi dan
kebebasankebebasan orang lain;”
- (c)
“Hak serikat pekerja untuk bertindak/berfungsi secara bebas, tanpa adanya
pembatasan kecuali yang telah ditentukan oleh hukum, dan yang diperlukan
dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau
ketertiban umum, atau demi untuk perlindungan hak-hak asasi dan kebebasan
orang lain”
- (d)
“Hak untuk melakukan pemogokan dapat dipergunakan/dilaksanakan namun harus
sesuai dengan hukum negara yang bersangkutan”
|
8
|
Pasal 19 ayat 1, 2 dan 3 UU No. 12/1999 tentang
Hak Sipil dan Politik
|
- “Setiap
orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan”
- “Setiap
orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk
kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran
apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media
lain sesuai dengan pilihannya”
-“Pelaksanaan
hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan
tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu,
tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang
diperlukan untuk (a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; (b)
Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral
umum”
|
9
|
Pasal 21 UU
No. 12/2005 tentang Hak Sipil dan Politik
|
“Hak
untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang dapat
dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan sesuai dengan
hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk
kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, atau ketertiban umum,
perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau perlindungan atas
hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain”
|
10
|
Pasal 22 ayat 1 dan 2 UU No. 12/2005 tentang Hak
Sipil dan Politik
|
- “Setiap
orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk
hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi
kepentingannya”
- “Tidak
diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur
oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan
keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan
kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang
lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi
anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini”
|
Muatan-muatan
beberapa Undang-Undang di atas menegaskan bahwa pemenuhan HAM kaum buruh dalam
dimensi sipil dan politik sudah dijamin sedemikian rupa di Indonesia. Namun
demikian, pemenuhan HAM berdimensi sipil dan politik di atas masih sangat
rentan oleh intervensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Berbagai instrumen HAM
diatas masih memberlakukan batasan-batasan terhadap HAM berdimensi sipil dan
politik, baik dengan alasan moral, hukum, nilai-nilai agama, ketertiban umum,
keamanan nasional dan lainnya. Pembatasan-pembatasan
HAM dalam instrumen HAM di atas berpotensi melanggar HAM karena terlalu luas
memberikan keleluasaan pada kekuasaan, apalagi secara tertulis instrumen hukum
perburuhan dalam konteks sipil dan politik yang lahir pasca reformasi mempunyai
kelemahan material yang mendasar.
Hak-hak
kaum buruh yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya juga diatur dalam UUD
1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 11 tahun 2005 tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Berikut adalah tabel instrumen yang menjamin
hak-hak tersebut, yaitu ;
No
|
Instrumen
|
Muatan
|
1
|
Pasal 28 D
ayat 2 UUD 1945
|
“Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja”
|
2
|
pasal 28 H
ayat 3 UUD 1945
|
“Setiap orang
berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”
|
3
|
Pasal 38 ayat 3 dan 4 UU No. 39/1999 tentang HAM
|
- “Setiap
orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding,
setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja
yang sama”
- “Setiap orang,
baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan
martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya
dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya”.
|
4
|
Pasal 41 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
|
“Setiap
warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak
serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh”
|
5
|
Pasal 6 ayat 1
dan 2 UU No. 11/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
|
- “Negara Pihak
dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas
kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau
diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang tepat guna
melindungi hak ini”
- “Langkah-langkah
yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai realisasi
sepenuhnya hak ini harus meliputi juga pedoman teknis dan kejuruan serrta
program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan
ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang memadai dan
produktif dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi
mendasar bagi perorangan”
|
6
|
Pasal 7 UU No. 11/2005 tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya
|
- “Negara Pihak pada Kovenan
ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi-kondisi kerja yang adil
dan menguntungkan, dan menjamin khususnya:
(a) Imbalan yang memberikan
semua pekerja, sekurang-kurangnya dengan: (i) Upah yang adil dan imbalan yang
sama untuk pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan apapun, khususnya kepada
perempuan yang dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang
dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. (ii)
Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Kovenan ini;
(b) Kondisi
kerja yang aman dan sehat;
(c) Kesempatan yang sama bagi
setiap orang untuk dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi yang tepat tanpa
pertimbangan-pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan
(d) Istirahat, hiburan dan
pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan berkala dengan gaji maupun
imbalan-imbalan lain pada hari libur umum”
|
7
|
Pasal 9 UU No.
11/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
|
“Negara Pihak
dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk
asuransi sosial”
|
Materi
instrumen HAM di atas menjelaskan bahwa perlindungan dan pemenuhan HAM kaum
buruh sudah bagus. Imbalan dan upah yang layak, perlakuan yang adil dalam
hubungan kerja, non diskriminasi laki-laki dan perempuan, jaminan sosial untuk
hidup layak, hak menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, kondisi
kerja yang aman dan sehat, hak istirahat
dan hiburan, pembatasan jam kerja yang wajar dan hak liburan, telah diatur
dalam instrumen-instrumen HAM di atas.
Sedangkan
dalam konteks ILO (International Labour
Organization), negara Indonesia telah menjadi anggota organisasi buruh
dunia itu pada tahun 1950. Ketika rezim Orde Lama berkuasa beberapa konvensi
ILO telah diratifikasi di Indonesia, demikian juga menjelang era reformasi
beberapa Konvensi ILO juga telah dirafitikasi dan diberlakukan di Indonesia.
Tindakan ratifikasi konvensi-konvensi ILO merupakan pertanda bahwa pemerintah
sedikit banyak telah berkomitmen pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak kaum
buruh, walaupun dalam instrumen hukum serupa terkait perbururuhan yang diproduksi
di level nasional masih banyak bermasalah sangat serius. Berikut adalah tabel
instrumen-instrumen ILO yang diratifikasi di Indonesia, yaitu ;
No
|
Konvensi
|
Tanggal Ratifikasi
|
Hukum Nasional
|
1
|
ILO Convention
No. 19 concerning Equality of Treatment for National and Foreign Workers as
regards to Workmen’s Compesation for Accident (5 Juni 1925/
8 September 1926)
|
12 Juni 1950
(ratifikasi)
|
-
|
2
|
ILO Convention
No. 29 concerning Forced or Compulsary Labour (28 Juni 1930/
1 Mei 1932)
|
12 Juni 1950 (ratifikasi)
|
-
|
3
|
ILO Convention
No. 45 concerning the Employment of Women on Underground Works in Mines of
All Kinds (21
Juni 1935/ 30 Mei 1937)
|
12 Juni 1950
(ratifikasi)
|
-
|
4
|
ILO
Convention No. 98 concerning Right to Organize and Collective Bargaining (1 Juli 1949/
18 Juli 1951)
|
18 Juli 1951
(ratifikasi)
|
UU No. 18
Tahun 1956 tentang Persetujuan Konperensi Organisasi Perburuhan Internasional
No. 98 Mengenai Berlakunya Dasar-Dasar Daripada Hak untuk Berorganisasi dan
Untuk Berunding Bersama (17 September 1956)
|
5
|
ILO Convention
No. 100 concerning Equal Renumeration for Men and Women Workers for Work of
Equal Value (29
Juni 1951/ 23 Mei 1953)
|
25 Februari
1961 (ratifikasi)
|
Memori
Penjelasan UU No. 3 Tahun 1961 tentang Persetujuan Konspensi Organisasi
Perburuhan No. 106 mengenai Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan
Kantor-Kantor (25 Februari 1961)
|
6
|
ILO Convention
No. 120 concerning Hygiene in Commerce and Offices (8 Juli 1964/
29 Maret 1966)
|
13 Juni 1969
(ratifikasi)
|
-
|
7
|
ILO Convention
No. 87 concerning Freedom of Association and Protection of the Right to
Organize (9
Juli 1948/ 4 Juli 1950)
|
9 Juni 1998
(ratifikasi)
|
Keppres No. 83
Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (22 Juni 1998)
|
8
|
ILO Convention
No. 105 concerning the Abolition of Forced Labor (25 Juni
1957/ 17 Januari 1959)
|
7 Juni 1999
(ratifikasi)
|
UU No. 19
Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa
(7 Mei 1999)
|
9
|
ILO Convention
No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (26 Juni
1973/ 19 Juni 1976)
|
7 Juni 1999 (ratifikasi)
|
UU No. 20
Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja (7 Mei 1999)
|
10
|
ILO Convention
No. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (25 Juni
1958/ 15 Juni 1960)
|
7 Juni 1999
(ratifikasi)
|
UU No. 21
Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam
Pekerjaan dan Jabatan (7 Mei 1999)
|
11
|
ILO Convention
No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination
of the Worst Forms of Child Labor (17 Juni 1999/ 19 November 2000)
|
28 Maret 2000
(ratifikasi)
|
UU No. 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan II Konvensi No. 183 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (8 Maret 2000)
|
12
|
ILO Convention
No. 81 concerning Labor Inspection in Industry and Commerce (11 Juli
1947/ 7 April 1950)
|
29 Januari
2004 (ratifikasi)
|
UU No. 21
Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (25 Juli 2003)
|
Ratifikasi
beberapa instrumen ILO di atas menunjukkan komitmen pemerintah terhadap
perlindungan dan pemenuhan HAM kaum buruh dan organisasinya yang selalu
mendapatkan diskriminasi dan kekerasan. Ratifikasi ILO berarti pemerintah telah
mengikatkan diri untuk bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak-hak kaum buruh
sesuai dengan materi konnvensi yang telah diratifikasi. Namun demikian, masih
ada beberapa instrumen ILO yang masih belum diratifikasi pemerintah Indonesia
dan fakta dilapangan, ternyata masih
banyak terjadi bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang menimpa terhadap para buruh
karena pemerintah lepas tanggungjawab, bahkan sebagian pemerintah terlibat dalam
praktek ekploitasi dan pelanggaran HAM terhadap kaum buruh tersebut.
Laporan
studi ILO pada tahun 2009 dinyatakan bahwa biaya
peluang dari pekerja yang tereksploitasi mencapai lebih dari 20 milyar dolar
pertahun. Selain itu, terlihat adanya peningkatan praktik-praktik penipuan dan
kriminal yang mengarahkan orang ke dalam situasi kerja paksa. Studi ini
menemukan bahwa kerja paksa umumnya masih ditemukan di negara-negara berkembang,
salah satunya Indonesia. Kerapkali terjadi di ekonomi informal dan
wilayah-wilayah terpencil dengan kondisi infrastruktur, pengawasan
ketenagakerjaan dan penegakan hukum yang buruk. Hebatnya, laporan ini juga
menyoroti praktik-praktik yang dilakukan agen penyalur, pengusaha dan pejabat
di Indonesia. Praktek mereka mendorong pekerja migran Indonesia terjebak ke
dalam hutan ijon, kerja paksa dan perdagangan manusia.
Alan Boulton salah seorang pengurus ILO
Indonesia menyatakan bahwa masalah buruh migran menjadi hal yang sangat berpengaruh
bagi kondisi ekonomi di Indonesia. Keadaan di Indonesia membuat banyak orang
memutuskan untuk memilih bekerja di luar negeri. Pendapatan yang masuk bagi
buruh akan mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Tetapi menurut Alan,
perlindungan terhadap buruh migran masih sangat lemah di Indonesia sehingga
praktek-praktek pelanggaran HAM masih terus terjadi.
Laporan ILO lainnya menyebutkan bahwa
aksesibilitas buruh migran terutama buruh migran perempuan masih sering
mengalami kendala terutama akses terhadap pelatihan-pelatihan. Termasuk pada
saat ini menurut laporan ILO telah terjadi pelanggaran berupa pengabaian
hak-hak anak buruh migran. Anak-anak pekerja migran rentan terhadap
eksploitasi, penyalahgunaan narkotika, hingga tertular penyakit menular
seksual. Problemnya menurut ILO, ternyata pemerintah pusat, pemerintah daerah,
lembaga sosial, termasuk masyarakat mengabaikan terhadap nasib mereka.
Situasi tragis lainnya yang dilaporkan ILO
ialah tentang perlindungan terhadap PRT di Indonesia yang masih sangat buruk,
bahkan jauh di bawah negara Kenya. Pekerja domestik di negara miskin di
kawasan Afrika itu masih lebih dilindungi hukum dan mendapatkan upah yang layak.
Pembantu rumah tangga di Indonesia sebagaimana diungkap Koordinator ILO Jatim
Mochamad Noer, tidak memiliki jam kerja dan standar gaji, bahkan ada yang
mengalami penundaan gaji. Dalam kasus perlindungan hukum, pemerintah masih
bertindak diskriminatif terhadap PRT. Kondisi serupa dialami PRT asal Indonesia
yang bekerja di luar negeri. Penyebabnya tidak adanya Undang-Undang yang
mengatur secara tegas tentang perlindungan buruh migran, terutama PRT. ILO
mencatat sejak tahun 2005 sampai saat ini terdapat 12,3 juta orang di seluruh
dunia mengalami kerja paksa. Di Asia Pacifik rata-rata mencapai 9,5 juta orang
yang mengalami kerja paksa dan tereksploitasi secara ekonomi. Eksploitasi
seksual pada perempuan muda dan dewasa 98% dan anak-anak 40% hingga 50%.
Data-data ILO di atas menegaskan bahwa ada
problem serius dengan tanggungjawab pemerintah terhadap perlindungan dan
pemenuhan hak-hak buruh. Ratifikasi beberapa instrumen ILO jelas tidak berarti
apa-apa karena di lapangan pemerintah ternyata lepas tanggungjawab untuk
melindungi para buruh. Apalagi secara instrumentalis dalam beberapa
Undang-Undang yang diproduksi pemerintah sendiri telah bermasalah, dimana
pemerintah sengaja melepaskan tanggungjawabnya dan menyerahkannya kepada
perusahaan-perusahaan swasta. Situasi dan kondisi ini jelas menjadi
indikator telah terjadi pelanggaran HAM
oleh negara.
Kesimpulan
Uraian
di atas menjelaskan bahwa dimensi pemenuhan HAM dalam pengaturan hukum
perburuhan di Indonesia dalam sejarahnya selalu memerankan tiga sumbu kekuatan;
pemegang modal, buruh dan pemangku kebijakan. Berbagai kekuatan ini
berdialektika mengikuti arus zaman dan pemangku kebijakannya. Secara historis, di
era kolonial Belanda terlihat diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap kaum
buruh sangat nampak, upah yang tidak layak, sistem tanam paksa, hak berpendapat
dan berserikat yang dikekang, penangkapan-penangkapan, jam kerja dan jaminan
kesehatan yang terlanggar dengan
sedemikian rupa. Kekerasan itu berlanjut di penjajahan Jepang yang
mempraktekkan sistem romusha dan menutup hak berpendapat dan berserikat.
Di
era Orde Lama, nasib buruh dan serikatnya mengalami masa-masa keemasan.
Aturan-aturan tentang perburuhan sangat kuat dimensi hak asasi manusianya. Aturan-aturan
itu menjamin hak kebebasan berserikat dan
berpendapat, tetapi hak ini mengalami kemacetan setelah Dekrit 5 Juli 1959,
tetapi hak-hak yang lain seperti hak atas upah yang layak, hak cuti bagi kaum
perempuan, hak kecelakaan kerja, hak istirahat dan jam kerja dan hak tidak di
PHK sewenang-wenang tetap terjamin. Negara aktif melindungi bahkan
mengikatkan dirinya untuk mengawasi bagaimana aturan-aturan perburuhan
dijalankan secara serius oleh para pengusaha. Posisi serikat buruh juga sangat
strategis ketika ada konflik dengan perusahaan. Di era Orde Lama juga Indonesia
telah menjadi anggota ILO dan meratifikasi beberapa instrumen ILO.
Di
era Orde Baru, instrumen-instrumen hukum perburuhan pada umumnya berada di
bawah Undang-Undang, dan secara substansi muatannya sangatlah diskriminasi
terhadap buruh dan organisasinya. Kebebasan berpendapat dan berserikat
dibelenggu, organisasi buruh dihegemoni, upah ditekan, investasi asing dibuka secara
bebas, PHK dipermudah dan posisi pengusaha yang sangat kuat. Era Orde Baru merupakan
rezim yang sangat ketat, keras dan otoriter terhadap buruh tetapi sangat ramah
terhadap para investor asing, keluarga dan kroninya. Relasi penguasa dan dan
pengusaha bersifat clientis dan
saling menguntungkan. Untuk menjamin keberlangsungan kepentingan clientis dan otoritarian, rezim Orde
Baru memberlakukan sistem hubungan industrial pancasila (HIP) yang kemudian
berdampak pada berbagai pelanggaran HAM.
Sedangkan
instumen hukum perburuhan pasca reformasi penuh dengan dekte IMF dan
lembaga-lembaga keuangan internasional sehingga sangat terlihat watak pelepasan
tanggungjawab negara terhadap pemenuhan HAM. Di sisi yang lain, instrumen-instrumen
hukum perburuhan yang ada mengekang kebebasan berpendapat dan berserikat dengan
landasan yang sangat administratif dan prosedural sehingga sangat mengganggu
terhadap perjuangan hak-hak kaum buruh dan organisasinya.
Perlindungan
dan pemenuhan hak-hak kaum buruh diatur dengan jelas dalam beberapa instrumen
hukum HAM di Indonesia. Instrumen-instrumen itu meliputi UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 11 tahun 2005
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak
Sipil dan Politik. Secara umum pemenuhan hak-hak kaum buruh terbagi menjadi
dua, pertama, pemenuhan yang
berdimensi hak sipil dan politik. Pemenuhan HAM dalam dimensi ini masih
bermasalah karena instrumen-instrumen HAM masih memberlakukan
pembatasan-pembatasan baik dengan alasan moral, hukum yang berlaku, nilai-nilai
agama, ketertiban umum, keamanan nasional dan lainnya yang malah berpotensi
terhadap pelanggaran HAM baru. Sedangkan yang kedua ialah pemenuhan yang
berdimensi hak ekonomi, sosial dan budaya. Dimensi pemenuhan HAM dalam
instrumen ini terlihat sudah ideal.
Instrumen
hukum internasional yang secara spesifik mengatur tentang hak-hak kaum buruh
ialah konvensi-konvensi ILO. Indonesia sejak era Orde Lama sampai dengan era
reformasi telah meratifikasi beberapa konvensi ILO. Namun demikian, ratifikasi
konvensi-konvensi ILO masih belum berdampak pada perlindungan dan pemenuhan
hak-hak kaum buruh di Indonesia. Penelitian ILO masih menemukan fakta-fakta
pelanggaran HAM yang menimpa kaum buruh di Indonesia seperti kerja paksa, praktek eksploitasi, pelecehan seksual wanita dan
anak-anak, pekerja anak dibawah umur, upah PRT yang tidak layak, dan beberapa lainnya.
ILO mencatat bahwa berbagai pelanggaran HAM tersebut terjadi salah satunya
disebabkan telah hilangnya tanggungjawab pemerintah baik pusat ataupun daerah terhadap
perlindungan dan pemenuhan hak-hak kaum buruh.
DAFTAR PUSTAKA :
Buku-Buku :
Anthony Giddens, Kapitalisme
dan Teori Sosial Modern (terjemahan Soeheba Kramadibrata), Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 1986
Awalil
Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme
Mencengkram Indonesia, E-Publishing Company, Jakarta, 2008
Baskara T Wardaya, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Penerbit Elsam,
Jakarta, 2007
Bagir Manan, Perkembangan
Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Yayasan Hak Asasi
Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, Bandung, 2001
Eep Saefullah Fatah, Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1998
Eko Prasetyo, dkk, Buku
Ajar Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008
Gregorius Sahdan,
Jalan Transisional Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi, Yogyakarta,
2004
Henry J. Steiner and Philp Alston, International Human Rights In Context (Law, Politics, Morals), Oxford
University Press Book, New York, 2000
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1999
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan,
Jakarta, 2001
Knut D. Asplund,
Suparman Marzuki dan Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001
Majda El-Muhtaj, Hak
Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005
Muhammad Syafari Firdaus, dkk, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia : Sebuah Panduan, Komnas
HAM, Jakarta, 2007
Muladi (editor), Hak
Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, PT Rafika Aditama,Bandung, 2005
Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka
Hak Asasi Manusia Wallenberg Institute, 2003
Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat, Galang Press, Yogyakarta,
2004
Rusdi Marpaung dkk, (Ed), Perlindungan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, Jakarta,
IMPARSIAL, 2005
Roberto M Unger, Gerakan
Studi Hukum Kritis (Terjemahan Ifdhal Kashim), Penerbit Elsam, Jakarta, 1999
Soe Hok Gie, Di
Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, Frantz Fanon
Foundation, Jakarta, 1990
Sentanoe Kertonegoro, Gerakan serikat Pekerja
(Trade Unionism) Studi kasus Indonesia dan negara-negara Industri, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia( YTKI), Jakarta, 1999
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan (Buku Ajar ), Fakultas Hukum UI, Depok, 2000
Tongam Panggabean, Gerakan Serikat Buruh di Medan 1971-1990, Departemen Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra USU, Medan, 2009
Website :
Jurnal dan Makalah :
- Agung
Hermawan, Quo Vadis Politik Perburuhan
Indonesia, tanpa tahun (Makalah)
- Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati, Dinamika Jaringan Perburuhan Indonesia :
Angin Segar Gerakan Buruh, 2008 (Makalah)
- Sri Palupi, Merumuskan Indikator Pemenuhan dan Perlindungan Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, makalah dalam “Seminar dan Lokakarya Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya”, yang diselenggarakan
PUSHAM-UII, Yogyakarta 16-18 April 2007
- Sri Hastuti PS, Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi Di Indonesia, Jurnal
Magister Hukum No. 1 Vol. 1 Januari 2005, Universitas Islam Indonesia (Jurnal)
Anthony
Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern (terjemahan Soeheba Kramadibrata), Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 1986, hlm 29-42
Tim Pengajar
Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan,
Fakultas Hukum UI, Depok, 2000, hlm 87
Manfred Nowak, Pengantar
pada Rezim HAM Internasional, Pustaka Hak Asasi Manusia Wallenberg Institute,
2003, hlm 9-10
Eko Prasetyo,
dkk, Buku Ajar Hak Asasi Manusia,
PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, hlm 28-30
UUD 1945 membatasi
HAM dengan alasan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum; UU No. 39/1999 tentang HAM membatasi HAM dengan alasan
nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
bangsa; UU No. 11/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya membatasi HAM
dengan alasan kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, kepentingan
perlindungan HAM dan kebebasan orang lain, dan UU No. 12/2005 tentang Hak Sipil
dan Politik membatasi pemenuhan HAM dengan alasan kepentingan keamanan
nasional, keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan
atau moral umum, perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
0 comments:
Post a Comment