09 February 2013
Kekerasan Atas Nama Terorisme
Saturday, February 09, 2013
No comments
“Saya
itu prihatin terhadap tindakan-tindakan penangkapan
atas
nama terorisme di Solo.
Semua
peristiwa pasti diawali dengan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi.
Hampir
semua penangkapan terhadap mereka yang dituduh teroris
diawali
dengan ditabrak, tidak ada surat
penangkapan,
diantara
mereka ditembak di tempat,
dan
ada beberapa yang salah tangkap.”
(Hendro,
Penasehat hukum
Jemaah Anshorut
Tauhid)
Butuh
beberapa jam saya menunggu Addurrahman. Panggilannya Durrahman. Seorang
remaja berumur 20 tahun dan saat ini
tercatat sebagai santri Ma'had Abu Bakar cabang dari Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS). Durahman ditangkap gara-gara dituduh teroris. Dia tidak pernah
menduga akan terjadi penangkapan pada dirinya. Siang itu dia pergi ke Solo
Square dan jalan-jalan disana. Tidak disangka, setelah keluar
dari tempat itu tiba-tiba dia diringkus, dipukuli berkali-kali dan
dilumpuhkan. Orang-orang yang melakukan itu, semuanya berbadan besar dan tegap.
Sampai disitu, Durahman masih belum mengerti siapa yang melakukannya. Yang
pasti, ia tidak dapat melawan dan hanya terkaget-kaget. “Saat itu saya langsung
dipukul, dilumpuhkan dan ditandar ke belakang. Saya sangat kaget. Semua orang
di Solo Square melihat saya dipukuli. Saya sangat malu diperlakukan seperti itu
di depan banyak orang”
Durahman
yang tidak mengerti apa-apa langsung dibawa mobil, dipukul dan dipaksa diam.
Durahman mencoba berontak tapi tidak berdaya sama sekali. Dia pasrah. Dalam suasana yang masih kaget, Durahman
telah ada di kantor Polresta Solo. Sesampai di Polres, ia langung diinterogasi,
dicecar pertanyaan-pertanyaan, mulai nama, tempat bekerja, organisasi, kenalan,
dan beberapa lainnya. Banyak pertanyaan yang tidak bisa Durrahman jawab.
Hebatnya, pertanyaan-pertanyaan itu terus diulang-ulang dan beberapa kali
petugasnya berganti, dari yang keras sampai petugas yang lunak. Dari situlah Durahman dilepaskan, ia ternyata
korban salah tangkap. “Saya itu ditangkap dari jam 11 siang sampai 8 malam. Dan sampai sekarang, saya
masih bingung, apa salah saya? Ketika pemeriksaan saya dipaksa ngaku, tapi mau ngaku apa? Wong saya
tidak tahu sama sekali” jelas Durahman bertanya-tanya.
Wajah
Durahman masih terlihat pucat pasi. Wajahnya tegang dan ketakutan “Jujur saja saya sampai saat ini masih shok.
Saya mengalami trauma yang luar biasa. Kalau saya jalan naik motor atau pas
ikut acara tertentu, saya merasa ada yang mengawasi. Gerak-gerik saya tidak
seperti dulu lagi”, Durahman menunduk lesu. Dia mengaku bahwa ketakutannya
bukan tanpa alasan. Setiap di jalan umum, dia merasa ada orang yang membuntuti
dan hendak menabrak. Di saat itulah ia mempelankan motornya dan menepi ke
pinggir jalan. Demikian juga ketika Durahman di masjid. Ia merasa ada orang yang mengawasi dan mengamati setiap
geraknya. Durahman serba was-was dan tak mengerti dengan situasinya kini. Ia
serba tertekan.
Setelah
berkali-kali diinterogasi Durahman
akhirnya dilepas, dan dinyatakan tidak bersalah. Namun demikian, pukulan
bertubi-tubi aparat masih membekas di tubuhnya.
Celana sekolahnya robek separuh ketika penangkapan terjadi. Durahman
akhirnya berobat ke rumah sakit. Masalahnya, kepolisian Polres Solo tidak
menanggung pengobatannya. Dan seakan-akan lepas tangan setelah pemukulan
terjadi. Hal yang tidak kalah pelik lagi, kepolisian ternyata tidak mau meminta
maaf atas tindakan salah tangkap yang menimpa Durahman. Sakit hati Durahman
meluap-luap. Kepolisian tidak bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi
manusia yang telah dilakukan kepadanya.
Durahman
kembali menceritakan “Sabelum di Ma'had Abu Bakar, saya itu telah bekerja. Dan
saya juga baru lulus SMA. Setelah peristiwa penangkapan yang heboh ini, saya
mendapat telpon dan sms dari mana-mana. Mereka pada nanya tentang kondisiku
sekarang, apakah sudah dipenjara atau dimana. Ya aku jawab bahwa aku tidak
bersalah.” Rasa terpojok itu menghinggap di hati Durahman. Dalam umurnya yang
masih remaja, stigma teroris itu telah hinggap di pundaknya. Ia menanggungnya
dengan getir.
Cerita
lain dituturkan oleh Dzikron, kakak kandung Durahman. Setelah peristiwa
penangkapan adiknya, peristiwa-peristiwa lain berdatangan. Salah satu yang kena
getahnya ialah Ibu kandungnya. “Ibu saya itu pekerjaannya di pasar. Ibu jualan
bumbu keliling di pasar. Setelah adik saya ditangkap, ibu saya merasa
dipojokkan di masyarakat. Ketika di pasar ibu ditanya-tanya, dirasani dan
disudutkan dengan tindakan adik saya yang dituduh terlibat teroris” tutur
Dzikron lirih. Mata Dzikron terlihat
berkaca-kaca, serasa bebannya sebagai seorang kakak dari seorang adik yang terdzalimi, termasuk
beban ibunya yang kena getahnya ketika
berjualan di pasar. Dzikron mengakui juga bahwa stigma itu tidak hanya
berlangsung di pasar, dimana ibunya bekerja, tapi juga di masyarakat. Banyak
orang yang bertanya, dan seakan memojokkan keluarganya.
Sebagai
seorang kakak, Dzikron sangat menderita atas kejadian yang menimpa adik dan
ibunya. “Saya merasa kerugian yang ditanggung keluarga saya teramat besar. Nama
baik keluarga saya tercoreng. Dan dari kecil, kami itu tidak pernah dipukul
sama orang tua. Saya sangat kecewa, ketika adik saya malah dipukul sama
mereka”. Ungkapan Dzikron sangat beralasan. Kekerasan bukanlah solusi yang
tepat untuk dilakukan. Tindakan aparat yang dilakukan kepada adiknya, bukanlah
contoh yang baik, tapi teramat buruk untuk dilakukan, apalagi dengan
mengatasnamakan penegakan hukum. Tindakan sewenang-wenang itu adalah contoh
yang buruk dari aparat negara.
Masalah
yang tidak kalah pelik karena kasus yang menimpa Durahman sengaja diminta untuk
didiamkan, wajib dirahasiakan dan tidak menuntut kemana-mana. “Kami itu sekarang ditekan untuk tidak
membesar-besarkan kasus adik saya. Ada preman aparat yang datang dan meminta
kami untuk tidak membesar-membesarkan kasus yang ada”. Tekanan terhadap
keluarga tepatnya adalah intimidasi. Dimana permintaan berujung pada
persayaratan : kasus tidak dibesar-besarkan, jika tidak, akan ada hal yang lain
yang dihadapkan pada keluarga Durahman. Tapi tekanan itu tidak menyurutkan niat
keluarga Durhman untuk menggugat pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
oleh polisi “kami sekeluarga tetap bertekad untuk memproses masalah yang
menimpa adik saya ini. Kami itu kecewa dengan polisi, apalagi sama Densus 88.
Begitu banyak tindakan salah tangkap telah terjadi. Tindakan sewenang-wenang
sudah biasa. Saya mengharap, Densus 88
dibubarkan! Jelas Dzikron menguraikan harapannya.
Sementara
itu, Hendro, penasehat hukum Durahman dan juga pengurus advokasi Jemaah Ansorut
Tauhid (JAT) mengatakan “Untuk Durahman yang menangkap itu Polres. Dia dipukul
di leher ketika dalam mobil, ditampar pipinya ketikda di Polres, dan
diintimidasi dengan mengatakan 'mati kamu- mati kamu'. Dalam kasus ini kita itu
telah melakukan upaya-upaya hukum. Pertama-tama, kami telah melaporkan kasus
salah tangkap ini ke Kapolda Jawa Tengah. Saat ini, kami akan mengupayakan
langkah hukum yang lain seperti melaporkan ke Komnas HAM dan menggugatnya di
pengadilan”. Namun demikian, Hendro tidak bisa berharap banyak terhadap
gugatannya saat ini. Sebab, lembaga-lembaga peradilan saat ini masih bermasalah
dan gampang ditunggangi, apalagi berkaitan dengan isu-isu terorisme yang kental
dengan kepentingan asing di dalamnya.
Hendro
mengatakan bahwa kasus yang menimpa Durahman adalah catatan kecil dibandingkan
dengan kasus-kasus terorisme yang lainnya.
Kasus yang terjadi pada Durahman kebetulan yang menangani adalah Polres
di Solo, tapi lainnya ditangani oleh Densus 88, yang penangannya pasti
menggunakan standar kekerasan dan penyiksaan. “Saya itu prihatin terhadap
tindakan-tindakan penangkapan atas nama terorisme di Solo. Semua peristiwa
pasti diawali dengan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Hampir semua
penangkapan terhadap mereka
yang
dituduh
teroris
diawali
dengan
ditabrak,
tidak
ada surat
penangkapan,
diantara mereka ditembak di tempat, dan ada
beberapa yang salah tangkap. Dalam catatan saya, setidaknya ada empat orang
yang salah tangkap di Solo, yaitu Teguh Wiyono, Durahman, Indra Fitria dan
Noven. Beberapa orang
yang salah tangkap sudah ditarget seperti Teguh Wiyono. Beberapa hari matanya
ditutup dan tangannya diborgol. Sedangkan Durahman murni kesewenang-wenangan.
Soalnya dia tidak termasuk target tapi terkena penangkapan.” jelas Hendro.
Menurut
Hendro, dirinya adalah saksi hidup bagaimana para napi yang dituduh teroris
diberlakukan sewenang-sewenang oleh aparat. Ketika menjadi anggota Majelis
Mujahidin Indonesia, dirinya pernah mendampingi Abu Sayyaf. Hendro mengatakan
“ketika di penjara Nusakambangan, saya
interview Abu Sayyaf. Dia mengatakan
bahwa kakinya dipukul, perutnya dipukul, kukunya juga menghitam seakan
dan seakan dibebani oleh meja, terus kemaluannya katanya disetrum. Yang paling
kita protes itu ketika Abu Sayyaf dilarang Jumatan. Habis itu kita protes, dan
setelah itu dia boleh Jumatan”, jelas Hendro berapi-api.
Kekerasan
serupa juga terjadi pada Syaiful atau dikenal dengan Brekele yang dipenjara
dalam kasus Poso. “Kakinya itu delek. Saya lupa apakah yang kanan atau
yang kiri, kaki satunya itu gede dan satunya lagi cilik. Syaiful mengatakan
bahwa dirinya digebukin Densus 88 dan tendonnya sampai keluar. Saya lihat
sendiri itu. Jadi, kaki satunya hanya
untuk penopang kaki satunya yang tidak berfungsi” tutur Hendro.
Kekerasan
lainnya juga terjadi kepada Abdul Hamid yang ditangkap dalam kasus Aceh. “Abdul
Hamid bilang kepada saya, kakinya saat ini mengecil. Kakinya tidak luka tapi
mengecil. Dia mengaku, kakinya itu akibat kebrutalan tindakan Densus 88”. Menurut Abdul Hamid
masih ada beberapa kasus kekerasan dan
tidak manusiawi lainnya yang dia dengar. Seperti Dian, terduga bom keponton
yang ditabrak terlebih dahulu oleh Densus 88, Sartono, sopir Abu Bakar Baasyir
dipukul, diinjak-injak, dan dibandem sepatu dalam jarak dekat, termasuk
penembakan Hendro, temannya Sigit Qordhawi, yang badannya diberondong tembakan
dan tubuhnya penuh dengan lubang peluru.
“Dalam
kasus Hendro banyak yang mengarah kepada saya, karena namanya sama-sama Hendro.
Tapi bukan saya. Untuk Hendro itu saya penasehat hukumnya. Saya pada waktu itu
menggungat Kapolri melalui Kadensus di Sukoharjo karena tidak ada surat
penangkapan. Tapi Sukaharjo tidak berani menyidangkan akhirnya disidangkan di
Jakarta Selatan. Di persidangan,
ternyata saksi pak Lurahnya merasa dititipin surat penangkapan. Padahal tidak mungkin surat penangkapan dititipin.
Saya yakin, pak lurah itu bohong. Buktinya dia minta maaf kepada kami. Tapi
peradilan tetap memvonis Hendro bersalah”.
“Namun
demikian, di peradilan terungkap bahwa Densus 88 menembak Nur Iman, seorang
pedagan angkringan yang menjadi saksi penembakan Hendro dan Sigit Qordhawi. Nur
Iman tertembak dari dua arah, dan Densus 88 mengakui itu. Setelah dianalisa,
tidak mungkin penembakan itu datang dari arah Sigit Qordhawi, seandainya Sigit
membawa senjata pada waktu itu. Jadi, seandainya kasus Nur Iman diajukan lagi,
pasti Densus 88 kena. Tapi karena polisi langsung mengamankan keluarga Nur
Iman, tidak bisa ditemui oleh kalangan Islam, dan tertutup dari masyarakat,
akhirnya kasus Nur Iman tenggelam dan tidak terproses secara hukum. Padahal
disitu sangat jelas bahwa Densus 88 melakukan pelanggaran” jelas Hendro
berapi-api.
Semua
tindakan kekerasan yang dipertontonkan Densus 88 dan kepolisian di atas
memperlihatkan bahwa begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia yang tersaji.
Penanganan kasus terorisme masih begitu gelap dan rentan atas
kesewenang-wenangan. Tindakan-tindakan di luar hukum kerap terjadi tapi sepi
dari kritik publik. Fakta judicial killing masih juga kerap terlihat,
tapi kebenaran tidak kunjung memenangkannya.
Hendro
mengatakan “Kekerasan atas nama apapun tidak boleh, apalagi yang melakukan itu
adalah aparat penegak hukum. Ada hak-hak tersangka bagi pelaku kejahatan
sekalipun. Beberapa itu ialah hak untuk berobat, hak didampingi rohaniawan, dan
hak memilih penasehat hukum. Hak-hak itu belum dipenuhi semua. Saya katakan,
sejak sampai akhir itu didominasi oleh Densus 88. Dari proses pengungkapan
kasus, pendampingan penasehat hukum, sampai dengan proses peradilan. Itu tidak
fair dan tidak sportif. Masak dalam penentuan kebenaran langsung satu paket.
Jadi, saya bilang, proses peradilan dalam kasus terorisme itu seperti bal-balan.
Proses kebenaran tidak terungkap” kritik Hendro.
Ungkapan
Hendro menjadi kritik mendasar dalam penanganan kasus terorisme di Indonesia.
Tidak semata mengejar jumlah penangkapan dan pemenjaraan, tapi juga mesti
mengedepankan proses yang fair dan manusiawi. Dalam tempo lima tahun terakhir
begitu banyak kasus yang mengatasnamakan terorisme. Ratusan orang tertuduh
teroris ditangkap, dan diadili, tapi sepanjang itu pula tidak ada hasil yang
menggembirakan. Semuanya mengkwatirkan. Bahkan, eskalasi atas nama terorisme
cenderung meningkat akhir-akhir ini. Arus permusuhan masyarakat muslim dan
aparat seakan semakin nampak. Ketidakadilan dan kekerasan menjadi salah satu pemicunya.
Ketika Kekerasan Menjadi Virus
Virus
telah dikenal dimana-mana. Makna lainnya ialah racun, ukurannya sangat kecil
tak terlihat dan dapat menimbulkan penyakit pada organisme lainnya. Bayangkan,
ketika kekerasan itu menjadi virus. Ia tak terlihat tapi setiap saat ia akan
mengembang dan akan berdampak negatif pada sekitarnya. Sama halnya, dengan
kekerasan penanganan atas terorisme, disana sebenarnya salah satu sumber virus kekerasan itu
dibangun. Semakin kekerasan itu dijalankan, disitu akan tumbuh bibit-bibit
perlawanan. Semakin ketidakadilan dan kemunafikan itu disembunyikan, disitu
amarah akan selalu memperkuat dirinya.
Salah
seorang intelektual, Hannah Arendt mengatakan bahwa kekerasan yang tumbuh dari
amarah adalah suatu yang lumrah. Amarah dapat menjadi irasional dan patologis.
Kondisi itu dapat terjadi pada setiap perilaku manusia. Amarah merupakan reaksi
otomatis dari kesengsaraan dan penderitaan, sebagai reaksi atas kondisi sosial
yang sepertinya tidak pernah berubah.
Pada saat nalar terluka, manusia akan bereaksi dengan amarah, dengan
harapan dapat mengubah kondisi yang dihadapinya.
Pernyataan
Arendt memperkuat bahwa kekerasan sangat berpotensi menjadi virus sosial,
apalagi bagi mereka yang menjadi korban kekerasan, ketidakadilan dan kemunafikan
penguasa. Amarah menjadi satu yang lumrah, dan bisa meledak setiap saat sebagai
reaksi atas peristiwa yang mendera kelompok itu. Pilihan kekerasan tentu akan
bermacam-macam, mulai kritik sosial, komfrontasi sampai dengan tindakan-tindakan yang
irasional. Disini sangat nampak bahwa kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan
metode kekerasan juga. Dan masalah harus
diselesaikan secara adil, fair dan tidak menghadirkan luka-luka. Jika semua itu
disimpangi, maka kekerasan tentu akan menjadi satu biasa, dan semakin
irasional.
Saat
ini, kita sadar bahwa penanganan terorisme di Indonesia sudah seringkali
melangkahi akal sehat : berbagai produk perundangan yang menghadirkan potensi
kekerasan diciptakan tanpa henti. Pada sisi yang lain, kita akan dipersaksikan
dengan pengakuan-pengakuan ketidakadilan, penyiksaan, pelanggaran hak asasi
manusia, dan skenario discourse
yang mengarahkan pada stigmatisasi yang semakin membabi buta. Maksud ingin
membunuh kekerasan atas nama terorisme, tapi disitu sebenarnya sumbu-sumbu
banalitas kekerasan itu dikobarkan.
Abdul
Rochim Baasyir mengatakan “saya dari kasus terorisme pertama sudah berkeyakinan
bahwa pemerintah Indonesia akan memasuki satu fase dimana mereka akan
berhadapan langsung dengan umat Islam atas provokasi pihak asing. Sampai saat
ini saya tidak yakin bahwa pemerintah betul-betul serius dalam menegakkan
hukum. Sebab, jika mereka serius dalma menegakkan hukum tentu penangangan
kasus-kasus terorisme tidak akan seperti ini. Faktanya, begitu banyak
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat. Hukum yang mereka katanya mau
tegakkan, mereka langgar sendiri di lapangan. Itu ironis sekali” kritik Iim
biasa disapa.
Menurut
Iim, tindakan aparat yang melanggar hukum yang mesti ditegakkan secara benar
memicu konflik yang semakin runyam dan meninggi. Rasionalitas sudah semakin
menipis disebabkan fakta-fakta
kemunafikan yang selalu tersaji dihadapan. “Dari semua tindakan yang dilakukan
aparat, mulai penangkapan, penahanan dan peradilan, sampai saat ini bukannya
menghentikan persoalan. Tapi, disana-sini semakin memicu masalah yang rumit dan
pemerintah terhimpit dalam persoalan itu tanpa jalan keluar”
Salah
satu fakta memperumit masalah terorisme menurut Iim ialah tindakan yang tidak
adil pemerintah ketika menangani para aktifis Islam yang dituduh teroris,
dibandingkan dengan pelaku kriminal di Papua. Iim mengatakan “Terhadap aktifis
yang dituduh teroris, Densus 88 sangat keras dan brutal memberlakukannya, tapi
terhadap aktifis OPM di Papua, Densus 88 cenderung diam. Itu berarti ada tebang pilih negara. Bagi
saya disini bukan soal penegakan hukum, tapi soal kepatuhan terhadap
kepentingan tuan asing. Densus 88 mana mungkin berani melawan tuannya”
Sindir Iim
Menurut
Iim, tidak ada keseriusan dalam penanganan terorisme di Indonesia. Sebab,
penanganan terorisme tidak lebih adalah proyek yang didesain untuk
mengkriminalisasi umat Islam. “Saya percaya sampai saat ini bahwa terorisme
adalah desain kriminalisasi umat Islam. Umat Islam sengaja diprovokasi untuk
berbuat kriminal, jika tidak tidak terpancing, maka dilakukanlah
penetrasi-penetrasi. Sekitar tahun 2005 saya membaca di Jawa Pos, ketika itu
Badan Intelejen Negara (BIN) dipimpin oleh Syamsir Siregar, dia mengatakan
secara jelas bahwa dia sengaja melakukan infilterasi ke dalam gerakan-gerakan
Islam dengan tujuan melakukan penetrasi berupa tindakan dan provokasi, karena
dengan itu pemerintah dapat dengan mudah menghancurkan umat Islam. Karena itu,
sampai saat ini saya berkeyakinan bahwa terorisme sampai saat ini adalah mainan
intelejen itu sendiri” Ungkap Iim
“Pandangan saya. Saya mencurigai banyaknya
peristiwa penangkapan dan rencana pengeboman akhir-akhir ini ditunggi oleh
pihak-pihak yang anti Islam yang memanfaatkan 'kepolosan' dan semangat yang
begitu tinggi dari pemuda-pemuda dari gerakan Islam, menjebakkan mereka pada tindakan-tindakan
yang kriminal dan melanggar aturan-aturan negara, dan berangkat dari situ
kemudian aktifis Islam itu ditangkapi dan dihabisi”. Karena itu, Iim menganjurkan
bahwa dalam menyikapi kasus-kasus terorisme, semestinya umat Islam merespon
dengan cara-cara yang terbaik, memilih jalan yang tepat, menggunakan akal yang
sehat dalam memperjuangkan syariat Islam, dan menyikapi provokasi dengan
ilmiah.
Berangkat
dari pemikiran dan peta situasi di atas, sebenarnya sulit untuk menghentikan
kekerasan di Indonesia ini. Sebab, ketulusan untuk menghadirkan kedamaian dan
kebenaran sudah begitu kelu disuarakan di Ripublik ini. Disana-sini sudah
dipenuhi bopeng kemunafikan. Kejujuran telah hilang untuk menghadirkan secercah
harapan untuk peradaban di negeri ini. Karena itu, pasti sangat sulit kekerasan
itu dihapuskan di negeri ini. Hannah Arendt mengatakan, jika melihat konteks sejarah, yang menjadi
pemicu utama kekerasan bukan ketidakadilan, tetapi kemunafikan. Sejak manusia
hidup dalam ruang penampakan dan melakukan interaksi di dalamnya, kemunafikan
akan muncul. Kemunafikan tidak akan mampu dipertemukan dengan perilaku yang
masuk akal. Karena itu, satu-satunya yang dapat melawan kemunafikan adalah
keyakinan manusia. Keyakinan harus diungkap melalui aksi dalam bentuk
kata-kata, sehingga kebenaran akan hadir.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment