09 February 2013

Sertifikasi Ulama : Impact Proyek Ekonomi Politik


Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat
adalah direndahkannya  para Ulama' dan diangkatnya orang jahat
(Shahih Al-Hakim)


M. Syafi'ie

 
Beberapa saat lalu, kita disentakkan dengan wacana sertifikasi Ulama. Tidak sembarangan, wacana itu dihembuskan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yaitu satu badan resmi pemerintah Indonesia non kementrian. Badan ini dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Karena itu, posisi BNPT tidak main-main, badan ini memiliki kewenangan yang kuat, anggaran yang melimpah dan membawahi kebijakan lintas kementrian dalam hal memberantas yang berbau terorisme. Untuk saat ini, BNPT dikepalai oleh Ansyaad Mbai. 

Dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, ditegaskan bahwa tugas BNPT ialah menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Kedua, mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme. Ketiga, melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Sedangkan bidangnya meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional.
Dengan posisi BNPT yang begitu strategis, lintas kementrian dan kelembagaan yang berkepentingan langsung dibawahinya, salah satunya ialah Kementrian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Keduanya merupakan institusi yang sangat strategis bagaimana program-program BNPT dijalankan pada level yang paling bawah (grass root). Program yang selama ini telah berjalan ialahderadikalisasi, yaitu satu program yang dimaksudkan untuk menghilangkan radikalitas yang hidup pada rata-rata tertuduhteroris, dan itu salah satu sumbernya dinilai berasal dari nilai-nilai agama (jihad). Program deradikalisasi di beberapa tempat telah berjalan, dan beberapa kalangan Islam melakukan protes  keras.
 
Belum usai protes program deradikalisasi, beberapa saat lalu muncul wacana sertifikasi Ulama. Sontak wacana itu memicu protes yang bergelombang. Salah satu protes  itu muncul di Solo. Mujahid, salah satu tokoh MUI dan Al-Islam Solo mengatakan “Yang berhak untuk menentukan Ulama itu bukan BNPT dan pemerintah. Yang jelas itu politis sekali.  Sebab yang saya tahu, kriteria Ulama itu ada empat : harus hafal Al-Qur'an, harus memahami ilmu ushul fiqh,  bisa bahasa Arab, dan keempat harus memiliki akhlaq terpuji. Jadi tidak ada yang bisa menilai Ulama, yang menilai Al-Qur'an itu sendiri”, jelas Mujahid.
Bahkan, Mujahid menilai bahwa wacara sertifikasi Ulama melibatkan politik luar negeri. Ia mengatakanKita tahu salah satu aktor disana ialah Goris Mere. Dia dididik di Amerika, otaknya telah diisi dengan kerangka kapitalis itu. Dia diberi uang, dibiayai dan ditugaskan bagaimana Ulama dan umat Islam di Indonesia ini diatur  dan ditundukkan. Untuk itu, dia membuat rekayasa-rekayasa yang mendiskreditkan umat Islam, salah satunya  lewat isu terorisme. Cerita-cerita itu kemundian memunculkan BNPT, Densus 88, program deradikalisasi, dan program  serupa lainnya. SBY sebagai Presiden juga telah terkadung janji kepada Amerika yang diawali ketika Soeharto dulu. Soeharto telah membuat Mou dengan mereka dan tidak menguntungkan sama sekali terhadap Indonesia”
“Kebijakan Soeharto itu dilanjutkan di era SBY saat ini. Dia menjadikan Amerika sebagai tempat mengadu, kiblat, menjajaki kira-kira program apa yang bisa didukung oleh para pebisnis Amerika sehingga ia bisa jadi Presiden.  Itu modusnya. Dulu, ketika Soekarno dijatuhkan juga demikian, lewat Super Semar, jalannya tidak benar dan didukung oleh barat”, tambah Mujahid.
Menurut Mujahid, terorisme di Indonesia tidak lebih adalah proyek yang diharapkan   dapat dukungan dari barat. Kebetulan, begitu banyak Ulama di Indonesia yang begitu menggiurkan untuk diperjualkan atas nama ideologi terorisme. Tokoh itu kata Mujahid ialah Abu Bakar Baasyir dan jaringannya. Abu Bakar Baasyir dilekatkan dengan tokoh pemberontak, dan melalui jaringan gerakannya, intelejen sengaja dimasukkan untuk semakin memperkeruh suasana. Dalam suasana yang hiruk pikuk itu, terorisme samakin menggumpal dan menjadi area bisnis barat yang tidak berkesudahan.
Dengan nada yakin, Mujahid mengatakan “Sampai sekarang saya meyakini bahwa terorisme itu adalah proyek intelejen dan rekayasa barat. Dan saya juga yakin, bahwa wacana sertifikasi ulama juga bagian dari proyek intelejen itu. Modus-modus itu sudah biasa, dan sangat terlihat dari begitu banyak peristiwa, rentetan kasus dan kronologi yang telah mengorbankan umat Islam hingga saat ini”jelas Mujahid. 
Dari sekian kasus yang begitu banyak mengorban umat  Islam  saat ini, semuanya tidak terlepas dari ekonomi dan politik. Indonesia adalah arena dimana banyak hal bisa diciptakan dan direkayasa. Penanggulangan terorisme hingga saat ini tidak lepas dari aroma  bisnis itu. Bigitu banyak orang ditangkap, ditembak, dan ditahan, tapi proses peradilannya tidak berlangsung fair. Disana-sini penuh dengan coreng moreng. Mujahid kembali mengatakan “Sederhananya, wacana sertifikasi Ulama itu tidak jauh dari program sertifikasi guru dan dosen. Ujung-ujungnya soal ekonomi.”
Kritik keras juga dinyatakan oleh Mudzakkir, Ketua Majelis Syuro FPIS “Wacana sertifikasi Ulama itu pemikiran orang bodoh. Mereka mau mempermainkan politik Ulama. Pendekatan kasar seperti itu tidak mungkin diterima. Itu dalam segi intelejen. Kedua, dalam segi logika, yang mau ngasih sertifikat itu siapa? Kemampuannya kayak apa? Majelis Ulama Indonesia? Apakah semua anggota MUI itu Ulama?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus dilontarkan Mudzakkir, yang kesemuanya mempersoalkan keahlian dan kriteria calon pemberi sertifikasi dan tidak adanya ukuran yang jelas “apa” yang perlu disertifikasi.
Mudzakkir mengatakan bahwa agenda sertifikasi Ulama di Indonesia mungkin inspirasinya Malaysia dan Singapura. Dimana di kedua negara tersebut, Ulama tidak sembarangan memberikan dakwah tapi harus mendapatkan persetujuan dari pemerintahan yang berkuasa. “Tidak semua orang alim di negara-negara itu boleh mengajar. Kalau tidak punya SIM (surat idzin mengajar) bisa ditangkap disana” ungkap Mudzakkir sambil tertawa  geli. Ungkapan Mudzakkir memperlihatkan bahwa tidak selayaknya Ulama diatur dan hidup di bawah otoritas penguasa. Selain tidak layak, negara sangat berkecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan dan mempergunakan tangan ulama untuk mendukung kebijakannya yang lalim. Ulama yang tidak mendukung, sudah pasti dipantau dan  hidupnya di bawah ancaman jeruji.
Menurut Mudzakkir, jika kebijakan sertifikasi Ulama tetap dilakukan di Indonesia, yang pasti akan terjadi gejolak, dan tidak akan diterima. Dengan nada menyindir Mudzakkir mengatakan “Saya tidak habis pikir, sejak kapan pemerintah ikut-ikut soal kayak begini. Pemerintah itukan pasti ikut-ikut kalau ada duitnya kan? Mana ada orang sholat-sholat diurus? Sholat terserah kamu dan musholla juga terserah kamu. Tapi, sekarang zakat dan haji di-ogrok-ogrok, diwajibkan lewat pemerintah, padahal lewat swasta pasti lebih murah”.
Namun demikian, Mudzakkir menampik bahwa sertifikasi Ulama semata bermotif ekonomi, motif yang besar adalah politik. “Motif mendasar dari wacana sertifikasi Ulama itu saya kira adalah politik. Dimana pemerintah berkeinginan kuat untuk mengatur, mengkontrol dan mengarahkan umat Islam. Sekarang saja, pemerintah itukan talah mengarahkan makna-makna jihad sebagaimana keinginan mereka : ini benar dan ini salah. Itu maunya mereka, sebab mereka saat ini berada di ujung mata tombak sasaran para jihadis fisabilillah. Pemerintah bingung untuk mencari tafsir yang dapat menundukkan mereka.  Padahal, pemerintah tidak usah bingung, sebab mereka bukan sasaran tembak pada jihadis itu, asalkan pemerintah tidak menempatkan diri disitu. Maksudnya, jika pemerintah menjadi kaki tangan kaum kuffar-imprealis, sudah mesti mereka-mereka itu menjadi sasaran para jihadis fisabilillah
“Seperti yang saya sinyalir lebih dari 10 tahun yang lalu, jika penanganan aparat dan Densus 88 terhadap umat Islam yang dituduh teroris itu masih seperti saat ini, maka yang terjadi adalah permusuhan anak bangsa melawan anak bangsa yang menjadi polisi. Sekarang fakta itu telah terjadi, bukan baru akan, tapi telah terjadi sejak peristiwa Kebumen dimana saat itu ada dua penjaga polisi, terus Poso, dan baru-baru ini di Solo. Itu peristiwa dan arahnya kesana semua. Kejadian seperti ini mestinya bisa dibaca, dan ditemukan akar masalahnya oleh para intelejen itu. Jika tidak, pertama, karena para intelejen itu bodoh. Kedua, karena mereka itu sudah sangat benci terhadap Islam dan muslimin sehingga kerjaannya cuma memusuhi umat Islam” kritik Mudzakkir keras.
Menurut Mudzakkir, peristiwa kekerasan yang menimpa umat Islam itu berulang-ulang. Semestinya itu semua menjadi pelajaran penting, bagaimana mestinya tidak terjadi permusuhan sesama anak bangsa. Tapi Mudzakkir mengkritik keras keberadaan Densus 88 bahwa keberadaannya tidak lebih ialah tangan panjang Amerika untuk memerangi umat Islam dan kemudian berpengaruh pada kompensasi ekonomi.  “Densus 88 dibantu Amerika untuk memerangi anak bangsa, dan itu juga berbarengan dengan sikap pemerintah yang menyerahkan Cepu dan Freport di Papua kepada Amerika. Tidak ada yang gratis. Istilah saya No Free Louch, tidak ada makanan yang gratis. Itu fakta di Indonesia dan itu sudah mensejarah dari dulu”.
Sertifikasi Ulama kata Mudzakkir juga tidak lepas dari proyek besar itu. Dimana Ulama dan umat Islam harapannya bisa dikontrol, ditundukkan dan diarahkan sesuai dengan kepentingan penguasa yang telah ditundukkan oleh kepentingan-kepentingan asing. Proyek besar aparat keamanan untuk penundukan itu yang saat ini berlangsung ialah deradikalisasi, dimana nilai-nilai yang memiliki ruh radikal, diminimalisir bahkan dihilangkan demi membangun satu kepentingan. Meraup kekayaan alam Indonesia adalah salah satu  kepentingan besar di balik itu semua.
Selain tokoh Solo, penentangan sertifikasi Ulama juga datang dari Yogyakarta. Ashari Abta, Ketua Syuriah PWNU DIY mengatakan “Sertifikasi Ulama itu tidak ada. Sebab yang mengangkat Ulama itu masyarakat. Tidak ada starata  khusus bagi Ulama. Maka tidak benar kalau ada Ulama yang mengaku “saya ulama”. Itu tidak benar, sebab titel  Ulama itu yang memberikan masyarakat”.
Menurut Ashari, wacana sertifikasi Ulama yang dihembuskan oleh BNPT itu diawali oleh adanya beberapa tokoh yang dianggap ekstrim dan radikal oleh negara, sehingga perlu ada proses sertifikasi : layak atau tidak. Tapi menurutnya, sertifikasi ulama adalah langkah yang tidak layak, sebab tugas negara memang membuat orang tidak ekstrem. Tugas negara adalah bagaimana menangani dan memberlakukan mereka yang ekstrem.
“Saya berpandangan, ekstremisme itu ada sebabnya. Tidak mungkin sikap itu lahir tiba-tiba. Maka tanggungjawab negara ialah bagaimana mensikapinya. Bagi saya, jika keadilan betul-betul ditegakkan  maka ekstremisme itu akan menghilang. Ekstremisme dan radikalisme adalah sebentuk protes yang kuat atas situasi yang berkembang. Protes itu mestinya disikapi, dipenuhi dengan baik, dan dijawab dengan perbaikan-perbaikan. Protes bukannya malah dihantam, tapi harus dijawab dengan kinerja yang pro rakyat”, jelas Ashari serius.
Menurut  Ashari, jika BNPT dan pemerintah masih ngotot melakukan sertifikasi Ulama saat ini, hal itu pasti akan mendapatkan penentangan. Dampaknya juga akan sangat negatif bagi para Ulama dan umat Islam. “Akan terjadi benturan di kalangan Ulama. Masyarakat juga akan pecah mengikuti perpecahan ulama'nya. Efeknya juga akan lucu, setelah tersertifikasi, Ulama akan mendapatkan penghargaan negara? Itu naif. Sebab, Ulama itu adala pribadi yang ikhlas, berperan di masyarakat dan diakui oleh masyarakat. Jika Ulama sekedar diakui negara itu sangat problematis”, jelas Ashari menegaskan ketidaksetujuannya terhadap sertifikasi Ulama. 
Dengan segenap gagasan BNPT saat ini untuk melakukan sertifikasi Ulama, penentangannya masih teramat kuat dari tokoh-tokoh umat Islam dan umat Islam. Belum ada dasar yang cukup rasional dan mendasar sehingga Ulama bisa distandarisasi, dan kemudian disertifikasi oleh negara. Gagasan BNPT saat ini membentor tembok yang teramat besar, dan cenderung mengada-ada.









0 comments:

Post a Comment