13 February 2013
Belajar Sama Natsir Untuk Indonesia
Wednesday, February 13, 2013
No comments
~~ M. Syafi’ie
Sekian
dasawarsa kita sudah melewati kemerdekaan Indonesia. Perjalanan menuju
Indonesia yang merdeka dan berkeadilan senantiasa melewati jalan yang berkelok
dan tragis. Cita-cita luhur pendirian negara Indonesia yang merdeka,
berkeadilan dan mengantarkan rakyat sejahtera tidak kunjung terasakan.
Mulai
orde lama yang menandai pemberian wewenang rakyat kepada negara berakhir
tragis, dimana Soekarno diakhir kepemimpinannya melakukan konfrontasi terhadap
sesama pejuang kebangsaan, utamanya terhadap umat Islam dengan melakukan pembubaran
terhadap Masyumi bentukan Natsir, selain itu juga PSI pimpinan Syahrir. Diakhir
kekuasaannya Soekarno berubah menjadi tirani, membubarkan konstituante dan
mendeklare dirinya menjadi presiden seumur hidup. Di era orde baru – Soeharto,
Indonesia mengalami politik kekuasaan lebih parah. Negara menjelma menjadi
kekuasaan yang sangat otoriter dan menindas terhadap kekuatan sipil yang kritis
terhadap pemerintahan orde baru. Dengan kekuatan militer yang sangat kuat, orde
baru menjalankan perekayasaan sistemik politik ekonomi global yang kapitalistik.
Rezim
orde baru yang berjalan 32 tahun berakhir dengan sangat tragis, diturunkan
secara paksa oleh rakyat karena terbukti melakukan pelanggaran hak asasi
manusia serta praktek korupsi politik yang sistemik dilakukan oleh korporasi
negara. Tumbangnya orde baru mewariskan orde yang disebut reformasi yang
sistemnya sudah menghamba pada kolonialisme global, berupa ekonomi politik neo
liberalisme. Di era reformasi ini kemudian bagaimana kemerdekaan, keadilan dan
kesejahteraan itu dihilangkan oleh negara. Pemerintah di era orde baru dan
diwariskan di era reformasi terbukti berbisnis dengan pemodal-pemodal lokal dan
internasional yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan
dan menindas rakyat. Pemimpin-pemimpin negara di era reformasi ini terbukti
sekedar memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya, tidak ingat akan
kemiskinan dan kesengsaraan rakyatnya. Life style mereka yang doyan
bermewah-mewah, suka korupsi, jalan-jalan, minta gaji tinggi, fasilitas yang
banyak, dan lainnya. Prilaku pemimpin-pemimpin saat ini sangat tragis, tidak
bermental negarawan yang salah satunya dicontohkan oleh tokoh Mohammad Natsir.
Mohammad
Natsir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara
kesatuan RI, yang sekarang menjadi pembicaraan hangat karena melemahnya rasa
kesatuan bangsa sebagai akibat reformasi yang kebablasan. Berkali-kali dia
menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. Ia
lah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang
bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali
ke Jogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Sukarno Hatta. Dia jugalah
kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak
bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud
Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai
akhir hayatnya.
Mohammad
Natsir juga seorang tokoh pendidik, pembela rakyat kecil dan negarawan
terkemuka di Indonesia pada abad kedua puluh. Beliau bersama DDII mendirikan
banyak rumah sakit Islam id beberapat tempat. Ia dilahirkan di Alahan Panjang,
Solok pada tanggal 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau.
Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi
Asisten Demang di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia
kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk
Sinaro Panjang di Pasar Maninjau.
Pendidikan
agama mulanya diperoleh dari orang tuanya, kemudian ia masuk Madrasah Diniyah
di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari di surau.
Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika dia berguru kepada ustaz
Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam di Bandung. Kepribadian A Hasan dan
tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam
argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpengaruh pada
kepribadian Natsir kemudian. Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai
teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga
filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar
dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji,
tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh
pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman
ini semua memperkokoh keyakinan Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama
Islam.
Kegiatan politik Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan
mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam
lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP.
Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natsir
ditujuk sebagai Menteri Penerangan. Sebagai menteri, tanpa rasa rendah diri dia
menerima tamunya di kantor menteri dengan pakaian amat sederhana, ditambal,
sebagaimana diakui sendiri oleh Prof. George Kahin, seorang ahli sejarah
Indonesia berkebangsaan Amerika yang waktu itu mengunjunginya di Yogya. “Saat
pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri
Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di
Yogyakarta; itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu
kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju
yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan
kelihatan seperti ‘menteri betulan’”.
Selain di pentas nasional Natsir sangat diakui integritas,
kesederhanaan dan kekritisannya, beliau juga diakui eksistensinya di dunia
internasional. Ketika Orde baru dia berhasil memulihkan hubungan Malaysia dan
Indonesia yang retak. Beliau juga menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se dunia
(Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967), anggota Rabithah
Alam Islami (1969), anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang
berkedudukan di Mekkah, dan pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan
Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.
Mohammad Natsir merupakan sosok yang ideal dan negarawan dari
kalangan Islam. Nilai-nilai Islam betul-betul terpatri dalam diri keseharian
dan perjuangannya. Layak untuk dicontoh dan diperingati oleh generasi
sesudahnya, utamanya generasi Islam kekinian yang kehilangan arah dan tujuan
perjuangannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment