13 February 2013

PENANGKAPAN PETANI TUKIJO MENCIDERAI HUKUM DAN KEMANUSIAAN



M. Syafi’ie

Penangkapan sewenang-wenang terjadi lagi di Indonesia.
Kali ini menimpa seorang petani berusia 46 tahun yang
 tinggal di Kulon Progo. Namanya pak Tukijo.
Suaranya yang lantang menolak proyek pasir besi di Kulon Progo mengantarkannya tertelungkup dalam pengabnya  ruang jeruji tahanan di kantor Polda DIY.



Nasib petani Tukijo sungguh tragis. Penangkapannya pada 1 Mei 2011 terjadi ketika dirinya sedang bekerja bersama istrinya di ladang yang terletak di Dusun Gupit , Desa Karang Sewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo. Jam 11.05 WIB, dirinya bersama istri istirahat dari aktifitas berladang. Sang istri sedang kembali ke rumah untuk mengambil makan siang pada saat itu. Tiba-tiba sebuah mobil melintas dari arah pilot project Pasir Besi menuju ladang Tukijo. Dari dalam mobil keluar 3 (tiga) orang polisi yang mendatangi Tukijo dan mengatakan bahwa Kasat Intel Polres Kulon Progo yang sedang berada di mobil ingin bertemu dan bertanya kepada Tukijo. Dengan rasa penasaran, Tukijo berjalan menuju mobil dengan didampingi ke tiga polisi yang menghampirinya. Tanpa banyak basa-basi, tiba-taba Tukijo di bawa masuk ke dalam mobil dan kemudian melaju dengan kaca mobil yang ditutup rapat. Tukijo tidak mengerti apa salahnya dan apa maksud dirinya diangkut oleh mobil itu. Dalam ketidaktahuannya, setelah di dalam mobil  Tukijo bertanya akan dibawa kemana dirinya. Sang polisi yang membawanya, baru menunjukkan surat penangkapannya, dan tanpa banyak berkomunikasi.
Penangkapan Tukijo berjalan secara dramatis. Istrinya yang sedang mengambil makanan tidak dikasih kabar sehingga merasa kebingungan atas keberadaan suaminya. Ternyata, Tukijo dibawa ke kantor POLDA DIY dengan hanya mengenakan alas kaki, dan memakai pakaian berladang yang kumuh. Tukijo dengan kekagetannya, ternyata dijerat oleh polisi dengan Pasal 333 yang mengatur tentang perampasan kemerdekaan orang lain dengan ancaman hukuman maksimal 8 (delapan) tahun, dengan  jo Pasal 335 KUHP yang berisi tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman maksimal 1 (satu) tahun.
Pasal penghukuman yang ditujukan kepada Tukijo bukanlah peristiwa pertama yang dihadapinya. Pada tahun 2009, Tukijo juga sudah pernah divonis bersalah 6 bulan percobaan 1 tahun karena dituduh melakukan pencemaran nama baik ketika meminta data pendaftaran tanah Magersari yang dilakukan oleh Kepala Dusun Badeyo. Tukijo dihukum ketika menuntut transparansi hukum dari obyek lahan Besi. Bahkan, pada tahun 2011, anak dan keponakan Tukijo  juga dituduh melakukan pengrusakan terhadap pilot project Pasir Besi  dan kasusnya juga sedang ditangani di kepolisian Polda DIY.

Merebaknya kriminalisasi terhadap Tukijo, keluarga dan intimidasi terhadap para petani penolak proyek Pasir Besi yang kemudian tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Porogo menjadi petanda bahwa penegakan hukum di Indonesia telah kehilangan orietasi kemanusiaan dan keadilannya. Perjuangan Tukijo dan rekan-rekannya di Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) bukanlah suara yang kosong, tetapi representasi rakyat yang tertindas dan telah terampas hak-hak dasarnya, seperti hak untuk hidup, hak untuk memiliki tanah, hak terbebas dari pengusiran secara paksa, hak untuk berpendapat dan hak menjadi rakyat yang bermartabat. Sayangnya, hak-hak itu harus terbuang dan tidak berarti di tengah tulinya pemerintah (daerah dan pusat) dan aparat penegak hukum yang telah menanggalkan hati nuraninya.
Kepekaan hati pemerintah dan aparat penegak hukum telah terbeli oleh kuasa kekuatan modal dan investasi yang telah menghalalkan segala cara. Betapa tidak, di balik kriminalisasi terhadap Tukijo dan intimidasi hukum dan non hukum terhadap para petani, tersimpan konspirasi kepentingan penguasa dan pemodal.  Proyek pengeboran dan pengelolaan Pasir Besi telah menghadirkan pemodal  PT Jogja Magasa Iron (JMI). Proyek investasi di Kulonprogo terbilang sangat besar, Menteri Perindustrian M.S Hidayat mengatakan ketika dalam Forum Komunikasi Pimpinan Kementerian Perindustrian dengan Dunia Usaha serta Instansi Terkait bahwa kandungan Pasir Besi di Kulonprogo diperkirakan mempunyai deposit  sekitar 300 juta ton. Oleh karena itu, pemerintah menurut Hidayat penting untuk memberikan jaminan insentif fiskal baik berupa tax allowance maupun fasilitas tax holiday dan mencarikan investor dari dalam maupun dari luar negeri. Sultan Hamengku Buwono Gubernur DIY juga menyatakan bahwa salah usaha  unggulan investasi swasta di DIY ialah mega proyek Pasir Besi di Kulon Progo yang diprakarsai oleh PT Jogja Magasa Iron (JMI) dan bandara internasional.
Pernyataan Gubernur DIY dan Menteri Perindustrian, sama-sama menegaskan keingianan kuatnya untuk menjalankan mega proyek Pasir Besi. Tukijo dan para petani lainnya bagaimanapun, tidak boleh tidak, harus menerima pelaksanaan mega proyek itu. Apalagi, sebagaimana rilis Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), anak Sultan sendiri : Pembayun dan kerabat lainnya dari pihak kesultanan telah duduk sebagai Komisaris PT Jogja Magasa Iron (JMI). Seruan Komnas HAM pada tahun 2008, bahwa proyek Pasir Besi sangat berpotensi melanggar HAM terkait dengan hak atas tanah, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak atas petani, serta fakta pelanggaran HAM atas tertutupnya informasi dampak pengeboran pasir besi di Kulonprogop, diabaikan dan sulit untuk diindahkan sampai hari ini. Proyek Pasir Besi akan terus berlangsung dan tidak menghiraukan suara tangis para korban.
Kasus hukum yang menimpa Tukijo dan keluarganya, serta  demontrasi yang terus menerus berlangsung sampai hari ini memperlihatkan tentang watak otoritarian penguasa untuk memaksakan kehendaknya. Pembangunan harus didesakkan walau terdapat  banyak korban. Indikasi nepotisme dan kolusi yang terendus di PT Jogja Magasa Iron (JMI) tidak menyurutkan kehendak keras penguasa itu. Rekomendasi Komnas HAM juga diacuhkan. Rakyat kecil yang menyuarakan hak-haknya, dikriminalisasi dan diintimidasi lewat berbagai jalur. Kasus yang saat ini menimpa bapak Tukijo dan keluarganya merupakan satu indikasi intimidasi lewat hukum, dan menjadi satu fakta pembungkaman yang terstruktur.

Penangkapan Tukijo Menciderai Hukum dan HAM
Bernard L Tanya mengatakan bahwa titik tolak semua teorisasi hukum pada dasarnya berporos pada satu hal yaitu hubungan manusia dan hukum. Semakin landasan teori bergeser ke faktor peraturan maka semakin ia menganggap hukum sebagai satu unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya, semakin teori hukum bergeser ke faktor manusia maka hukum akan terbuka dan menyentuk mosaik sosial kemanusiaan. Kasus yang menimpa Tukijo, terlihat secara tegas betapa hukum sekedar ditempatkan sebagai sesuatu yang formal-legalistik, tetapi sama sekali tidak menghormati derajat kemanusiaan orang-orang yang lemah dan orang-orang yang terampas hak-haknya. Penegakan hukum dalam kasus Tukijo, nyata telah hidup dalam  positivisme hukum yang terperangkap dalam kuasa penguasa dan pemodal yang lalim.
Karl Marx, seorang intelektual brilian mengungkap bahwa pengaruh kekuasaan ekonomi terhadap kehidupan manusia sangatlah menentukan. Siapapun yang menguasai sektor ekonomi, maka kekuasaan itu akan mendorong pada penguasaan manusia juga. Demikian juga dalam di dunia hukum dan penegakannya. Hukum tidak mungkin dilepaskan dari kuasa dan relasi-relasi ekonomi.  Menurut Karl Marx,  hukum tidak lebih sebagai alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu, karena hukum pada dasarnya telah terkuasai oleh kelas pemilik modal (borjuis). Maka keadilan dalam diri hukum merupakan satu yang utopia. Keadilan dalam diri hukum menurut Karl Marx hanyalah omong kosong. Faktanya, norma-norma hukum apalagi penegakannya pasti akan melayani kepentingan-kepentingan kelompok yang bermodal. Hukum menjadi alat yang ampuh untuk menggerakkan secara paksa eksploitasi yang dilakukan oleh pemodal yang telah bekerjasama dengan para penguasa.
Karl Marx meletakkan kajian hukum dalam kerangka infra struktur dan supra struktur. Infra struktur yaitu adanya fakta hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat akan menjadi faktor determinan terhadap supra struktur hukum. Wajah hukum dan penegakannya tidak mungkin lepas dari corak kepentingan ekonomi kelas penguasa yang telah berkongsi dengan para pemodal. Hubungan-hubungan ekonomi akan menentukan corak dan warna dari lembaga-lembaga penegakan hukum yang tunduk atas struktur logisnya yang lebih tinggi. Penguasa dan pemodal, keduanya walau terpisah, tetapi keduanya sebenarnya kekuatan yang tunggal dan saling memperkuat terhadap eksistensinya masing-masing. Menurut Marx, ketundukan pada hukum sesungguhnya bukan karena nilai kemaslahatannya yang agung, tetapi didorong oleh kesadaran palsu yang berhasil dibenamkan terhadap pikiran banyak orang oleh kekuatan pemaksa kekuasaan.
Bersandar terhadap analisa Bernard dan Karl Marx tersebut, terlihat bahwa penangkapan dan penahanan terhadap Tukijo, seorang aktifis Peguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) di Kulon Progo tidak bisa dilepaskan sama sekali dari kepentingan bisnis PT Jogja Magasa Iron (JMI) yang juga dikelola oleh keluarga kesultanan Yogyakarta dengan dukungan Gubernur DIY yang dijabat oleh Sultan sendiri. Apalagi bisnis Pasir Besi juga didorong oleh kepentingan investasi pemerintah pusat yang begitu haus akan eksploitasi alam. Maka, penegakan hukum yang digalakkan oleh Polisi dan segenap aparat negara pasti berada di pihak penguasa dan pemodal. Penambangan Pasir Besi pasti diamankan secara ketat oleh para aparat penegak hukum itu. Demonstrasi kegundahan para korban pasti diakhiri dengan kekerasan aparat juga. Norma-norma hukumpun, pasti dicari-cari bagaimana menjerakan para demonstran yang telah galau tanpa solusi. Menangkap dan mengkriminalisasi para korban sehingga bungkam ialah peta strategis keberhasilan kongsi pemerintah dan pengusaha. Penegakan hukum yang represif dan berjeruji menjadi media yang maksimum dan sah bagi proses perampasan hak-hak kaum  yang lemah.

Penangkapan Tukijo (ternyata)Masih Bermasalah
Penangkapan Tukijo ternyata juga bermasalah secara hukum dan hak asasi manusia, walaupun penangkapannya telah diniscayakan secara struktural. Hal ini terbaca dengan cukup jelas dari kronologi penangkapannya. Ketika ditangkap, Tukijo tidak diberikan surat penangkapan, tidak diperkenankan bertemu istri dan keluarganya, tidak diberitahukan alasan penangkapannya, dan dijebak untuk masuk mobil yang kemudian ternyata dibawa ke kantor polisi. Metode penangkapan aparat polisi terhadap Tukijo tersebut dapat terkatagorikan sebagai penangakapan yang sewenang-wenang.  Penangkapan yang dilakukan di luar jalur mikanisme hukum yang berlaku.
Pada Pasal 18 ayat 1 dinyatakan bahwa pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara RI dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat 1 dan 2 KUHAP di atas, maka nyata bahwa penangkapan aparat polisi terhadap Tukijo tidak mematuhi ketentuan hukum. Apalagi, Tukijo dengan sangat terang tidak sedang melakukan kejahatan yang tertangkap tangan. Tukijo sedang bertani bersama istrinya. Tidak ada niat sedikitpun dari Tukijo untuk menghilangkan barang bukti kejahatan kalaupun dia melakukan kejahatan. Dan tidak ada niat darinya lari dari persoalan-persoalan hukum yang akan didakwakan. Tukijo hanyalah petani biasa yang sedang bersuara karena hak-haknya yang dilanggar penguasa yang lalim. Tetapi nyatanya, aparat polisi menangkapnya seperti maling yang tertangkap tangan mencuri barang. Membawanya seperti buron yang menyamar dan sembunyi di persawahan. Tukijo telah ditempatkan aparat polisi sebagai pribadi yang buruk, negatif dan tidak punya etika. Padahal, sekali lagi, Tukijo hanyalah petani biasa dan disanjung oleh komunitasnya  karena keteguhannya menjadi pembela HAM.
Tindakan polisi yang menangkap Tukijo juga bertentangan aturan Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara RI. Pada Pasal 17 ayat 1 dinyatakan bahwa dalam melakukan penangkapan setiap petugas wajib untuk, pertama, memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri. Kedua, menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan. Ketiga, memberitahukan alasan penangkapan. Keempat, menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan. Kelima, menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan. Keenam, senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap. Ketujuh, memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.
Pada pasal 8 ayat 2 dalam Perkap yang sama juga dinyatakan bahwa setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya, pertama, menghormati martabat dan HAM setiap orang. Kedua, bertindak secara adil dan tidak diskriminatif. Ketiga, berprilaku sopan. Ketiga, menghargai norma agama, etika dan susila. Keempat, menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM. Pada pasal 10 juga dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas Polri wajib mematuhi ketentuan berprilaku (code of conduct), diantaranya ialah menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya. Maka tindakan polisi menangkap Tukijo sesuai ketentuan Perkap ini jelas telah menghilangkan martabat manusia, bertindak tidak sopan, bertindak tidak sesuai dengan norma agama, sandaran etika dan nilai-nilai susila yang hidup di masyarakat.
Berangkat dari aturan KUHAP dan Perkap di atas, maka tindakan aparat yang menangkap Tukijo setidaknya melanggar ketentuan hukum yang berdimensi hukum dan etika. Dalam konteks hukum, Tukijo harus dibebaskan karena penangkapan yang dilakukan oleh aparat Polisi dilangsungkan tidak sesuai dengan prosedur. Tukijo dan keluarga lewat kuasa hukumnya harus menuntut pra peradilan ke pengadilan atas tindakan polisi yang bertindak sewenang-wenang. Pra peradilan merupakan upaya hukum untuk mengkontrol tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 - 83,  pasal 95 - 97 KUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 - 46, pasal 47-49 dan pasal 128-132 KUHAP.
 Sedangkan dalam konteks pelanggaran etika sebagaimana pasal 10 dan 21 Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara RI, maka aparat polisi yang menangkap Tukijo semestinya diperiksa lembaga pengawas kode etik kepolisian. Pasal 60 Perkap No. 8/2009 disebutkan bahwa setiap pejabat Polri wajib, pertama, melakukan pengawasan penerapan HAM, terutama di lingkungan anggotanya. Kedua, memberikan penilaian bagi anggota Polri dalam menerapkan prinsip HAM dengan memberikan penghargaan terhadap yang berprestasi. Ketiga, memberikan tindakan koreksi terhadap tindakan anggotanya yang tidak sesuai dengan perlindungan HAM. Keempat, menjatuhkan sanksi bagi anggota Polri yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan pada Pasal 2 ditegaskan bahwa sanksi tersebut dijatuhkan melalui proses penegakan disiplin, penegakan etika kepolisian, dan atau proses peradilan pidana.
Namun demikian, harapan ideal untuk membebaskan Bapak Tukijo dari penindakan hukum yang sewenang-wenang membutuhkan profesionalisme dan langkah progresif dari sosok hakim yang menangani pra peradilan. Kondisi ini tentu sangat sulit, mengingat karakter hakim di Indonesia masih berparadigma legis-formalistik serta hidup dalam rezim penegakan hukum bermadzhab kontinental yang sekedar menjadi pembela teks suci yang menjadi kebijakan penguasa. Demikian juga penegakan disiplin dan kode etik yang ada di kepolisian. Aturan-aturan disiplin, kode etik dan atau sanksi-sanksi ideal di dalamnya, seringkali hanya menjadi untaian aturan yang indah, tetapi fakta penegakannya selalu berbeda. Dalam banyak kasus, apalagi cuma pelanggaran HAM Tidak ada tindakan tegas dari pimpinan terhadap polisi yang melakukan pelanggaran. Upaya hukum lewat pra peradilan dan penegakan kode etik dalam konteks itu kemudian tidak lagi menjadi media keadilan yang substantif dan profesional, tetapi dipenuhi selubung kepentingan kekuasaan yang terstruktur. 

0 comments:

Post a Comment