20 February 2013
Satreskrim Polisi Rentan Penyimpangan
Wednesday, February 20, 2013
No comments
... M. Syafi'ie
Satreskrim merupakan salah satu unit di tubuh kepolisian yang
sangat
rentan penyelewengan. Kewenangan yang begitu istimewa seakan-akan
menjanjikan banyak peluang yang bisa dipergunakan sewaktu-waktu untuk
mempertebal kantong para penegak hukum itu.
Tugas-tugas penyelidikan, penyidikan,
penindakan
dan pemeriksaan yang dilakukan Satreskrim seringkali berbuah uang, baik
karena pasal-pasal yang bisa digonta-ganti, upaya damai dari para
korban dan pelaku, dan atau dengan memeras para korban yang rata-rata
masyarakat kecil dan tidak tahu norma-norma hukum. Hukum dan penengakannya sudah biasa menjadi ajang bisnis.
Bagi
penganut hukum kritis, itulah watak hukum dan penegak hukum yang
sebenarnya. Ditengah norma-norma hukum yang rigit dan pasti, tersimpan
beribu persoalan. Pada aspek material selalu menyembul pertanyaan, untuk
apa dan siapa yang berkepentingan terhadap aturan-aturan yang terbuat?,
pada aspek penegakannya juga menguat soal, siapa dan bagaimanakah
penegakan hukum itu dijalankan?. Hukum menjadi sangat bias, penuh
kesangsian dan kadangkala tidak memberikan kepastian sama sekali. Bagi
para korban, hukum tidak ubahnya alat penindasan dan pemerasan yang
dipergunakan oleh bagi para penegak hukum. Bagi mereka, penyelesaian
secara hukum tidak mungkin memuaskan, para penegak hukum juga sangat
tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Hukum dan
penegakan hukum penuh dengan sumber masalah. Menjadi sangat wajar,
ketika Badrun dalam satu kesempatan bilang “Tidak mungkin saya
melapor ke polisi karena kehilangan satu kambing, sebab saya sudah
paham, kalau melapor ke polisi pasti saya akan kehilangan satu sapi dan
berbelit-belit. Mendingan saya tidak melapor”. Pernyataan Badrun
penuh dengan narasi kritik, betapa hukum dan aparat penegak hukum telah
kehilangan integritasnya sama sekali di ripublik ini.
Satreskrim
merupakan salah satu unit bergengsi yang ada di struktur kepolisian.
Dalam unit ini, banyak hal yang ditangani terkait penanggulangan tindak
pidana yang terjadi silih berganti. Idealnya tugas Satreskrim sangatlah
mulia, apalagi kita tahu, para polisi yang bertugas di unit ini, bekerja
siang malam, banting tulang dan tidak mengenal waktu. Kalau unit-unit
yang lain bisa bersantai, Satreskrim dituntut bekerja terus menerus
untuk menanggulangi berbagai kriminalitas yang muncul di berbagai
daerah. Sebagaimana ungkapan Heri Suhendar dari Satreskrim Polres Gunung
Kidul “Kami di Satreskrim tidak ada liburnya Mas. Kami setiap saat
harus siap ketika ada kejadian di lapangan. Kita berbeda dengan unit
yang lain. Handphone kita harus on terus-menerus”, tegas Heri. Namun
sayangnya, tugas mulia Satreskrim itu, seringkali ternodai oleh
praktek-praktek para oknum polisi di dalamnya, mereka seringkali
memanfaatkan tugas dan kewenangannya sebagai media memeras, menindas dan
mengkibuli para korban.
Berdasarkan
temuan PSKP UGM, anggota Polri saat ini masih sering menunjukkan
prilaku-prilaku negatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Hal itu dapat terlihat dari dua hal, pertama, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang meliputi masih seringnya penggunaan kekerasan yang melampaui wewenang (brutally) di tubuh kepolisian, serta masih suburnya penuntutan imbalan materi/uang seperti pemerasan, pungli dan denda damai (corruption). Kedua,
kualitas penyajian pelayanan aparat kepolisian yang masih dipenuhi
sifat tercela seperti tindakan diskriminasi, membiarkan permintaan
layanan, penegakan hukum yang tanpa alasan tepat, mengulur-ulur waktu
penyelesaian kasus dan diskresi yang melampaui batas. Di samping itu,
aparat kepolisian saat ini masih arogan, lamban dan tidak meperlakukan
para kelompok rentan sesuai hak khususnya.
Tugas dan Wewenang Satreskrim Yang Rentan Penyelewengan
Polisi
ialah aparat negara dan penegak hukum. Satjipto Rahardjo menyebut bahwa
tugas aparat penegak hukum menjalankan dua hal, satu pihak ia
melangsungkan kegiatan untuk mencapai ketertiban (order), sedangkan di lain pihak ia melaksanakan kegiatan yang merupakan bagian dari hukum (law).
Dua dimensi tugas yang berseberangan ini tercermin dalam kerja-kerja
polisi, satu sisi polisi melaksanakan aturan-aturan hukum, tetapi pada
sisi yang lain polisi tidak segan-segan melangsungkan berbagai praktek
represif dan penuh kekerasan yang cenderung melanggar hukum. Tugas
polisi yang demikian itu, sangat beresiko mendorong terjadinya berbagai
praktek pelanggaran hak asasi manusia.
Erma Yulihastin menjelaskan beberapa tugas pokok Satreskrim diantaranya, yaitu, pertama, menanggulangi tindak pidana yang terjadi melalui upaya penyidikan untuk kepentingan peradilan. Kedua, melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil secara operasional dan pembinaan. Ketiga, melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data kriminalitas yang bersifat nasional. Keempat,
melaksanakan pembinaan fungsi riserse, mobil, riserse umum, reserse
ekonomi, dan lain sebagainya untuk meningkatkan tugas anggota reserse
pada semua tingkatan. Sebagai upaya mengungkap suatu tindak kejahatan,
seorang reserse melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, penindakan dan
pemeriksaan.
Pada pasal 14 (g) UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri dinyatakan dengan jelas tentang salah satu tugas Satreskrim yaitu “melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan perundang-undangan lainnya”. Sedangkan pada
Pasal 16 ayat (1) UU No. 2 tahun 2002 juga disebutkan perihal wewenang
penyelidikan atau penyidikan proses pidana, diantaranya meliputi, melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, membawa dan
menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan, memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,
mengadakan penghentian penyelidikan, menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
Tugas polisi dalam rangka penyelidikan juga diatur dalam UU No. 8 tahun 1981 KUHAP. Pada Pasal 5 ditegaskan, karena kewajibannya penyelidik berwenang, pertama, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Kedua,
mencari keterangan dan barang bukti; menyuruh berhenti seseorang yang
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Ketiga,
mengadakan tindakan hukum lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Oleh karena itu, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Kedua, pemeriksaan dan penyitaan surat. Ketiga, mengambil sidik jari dan memotret seseorang. Keempat, membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyelidik.
Pada pasal 16 ayat (1) huruf I ditegaskan bahwa kewenangan melakukan tindakan lain menurut hukum, itu disyaratkan harus, pertama, tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. Kedua, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan. Ketiga, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. Keempat, pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa. Kelima,
menghormati hak asasi manusia. Sedangkan tindakan polisi yang diberikan
kewenangan bertindak sendiri (diskresi) dapat dilakukan dalam keadaan, pertama, keadaan yang sangat perlu. Kedua, tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Ketiga, tidak bertentangan dengan kode etik profesi kepolisian.
Tugas
dan kewenangan prestisius di atas sangat rentan terhadap penyimpangan,
media pemerasan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM. Apalagi
penyelidik dan penyidik di Unit Satreskrim diberikan kewenangan dapat “mengadakan tindakan lain menurut hukum”,
kondisi-kondisi itu tentu akan mendorong pada tindakan-tindakan yang
kurang terukur secara hukum. Kepastian hukum menjadi sangat subyektif
dan makna keadilan akan berkelindan dalam arus yang serba tidak pasti
dan membuka ruang profit.
Penyelewengan-Penyelewengan
Tindakan
penyelewengan merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan prilaku
aparat hukum yang menyimpang dan melanggar aturan hukum. Pasca
reformasi, institusi polisi masih dikerumuni berbagai stigma menyimpang,
diantaranya, praktek kekerasan dalam penyidikan, pemerasan dalam
penyelidikan, persekongkolan polisi dengan penjahat-penjahat dalam kasus
kriminal, penyiksaan dan berbagai praktek pelanggaran HAM lainnya yang
masih menggurita. Aktor-aktor polisi sebagai aparat penegak hukum,
mempunyai kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentinganya dan
melegitimasi penyimpangan yang dilakukannya dengan rasionalisasi
segudang simbol dan kekuasaan yang melekat pada tanggungjawab polisi.
Di
unit Satreskrim, kita sudah biasa menyaksikan dan mendengar berbagai
tindakan yang menyimpang itu. Salah satunya diungkap Suwarni yang
mewawancarai beberapa orang polisi, diantara polisi itu berkata “Hal-hal
yang berhubungan dengan uang (dana partisipasi masyarakat) harus
komunikasi dan dan berhubungan langsung dengan Kasat, tidak melalui
penyidik”. Informan lainnya mengungkapkan “Masalah kekurangan
anggaran, Kapolres dan Waka tahunya beres. Yang menarik dana partisipasi
masyarakat biasanya langsung Kasat. Semua uang, baik anggaran resmi dan
dana partisipasi masyarakat dipegang Kasat. Anggota dibagi sesuai
kebijakan Kasat”. Penuturan di atas sudah menjadi pengetahuan
bersama para oknum polisi di Unit Satreskrim. Uang yang di dapat dari
masyarakat, mereka pergunakan untuk transportasi dan dibagi-bagi sesama
polisi.
Tindakan lainnya yang sudah biasa terjadi bagi aparat polisi di unit Satreskrim
ialah penganiyaan, penangkapan yang sewenang-wenang, sembarangan
menembak, penyiksaan dan bersekongkol dengan pelanggar hukum. Kasus
penganiyaan salah satunya menimpa Fadli Toriga di Polda Sulut. Pada
waktu kejadian, oknum Polisi tiba-tiba mendatangi tempat kos Fadli,
tanpa mengetuk pintu kamar dan menanyakan sesuatu, oknum polisi tersebut
langsung menghujani korban dengan pukulan. Fadli mengalami luka serius
di bagian wajah dan sekujur tubuh lainnya. Sedangkan kasus salah tembak
diantaranya menimpa Larasati yang mati (seorang tukang batu di kelurahan
Mandonga, Kendari, Sulawesi Utara), Yudiyanti di Duri Kosambi Jakarta
Barat yang juga tewas serta menimpa bu Siti Warsiti di Sundur Bogor,
dimana korban sedang menunggu angkota dan tiba-tiba terkena tembakan
petugas aparat polisi.
Tindakan
lainnya yang masih terbiasa di unit Satreskrim ialah penyiksaan sewaktu
penyidikan. Tindakan sadis itu salah satunya menimpa kepada Jazuni.
Karena membela klien dan mempertanyakan tindakan petugas aparat polisi
yang dipandang penuh dengan keperpihakan dan kebohongan, Jazuni akhirnya
ditangkap dan disiksa. Setelah ditangkap pada Jum’at tanggal 12
September 2008, Jazuni disiksa oleh beberapa polisi di ruang unit 1
Reskrimum Lantai 4 di Polres Metro Jakarta Utara. Penyiksaan dilakukan
dengan pemukulan berkali-kali (berhenti, memukul lagi, berhenti, memukul
lagi) pada bagian kepala bagian atas, telinga kanan dan kiri secara
bersama-sama (dikeplok) dan punggung tangan hingga bengkak dan memar.
Tindakan-tindakan
di atas merupakan beberapa contoh saja, contoh-contoh itu setidaknya
memperlihatkan betapa tindakan polisi di unit Satreskrim sangat rentan
menyimpangkan dan menyalahgunakan kewenangannya, dan menjadikan beberapa
kasus sebagai ladang mendapatkan uang diluar hak-haknya. Berbagai
praktek itu tentu akan menelan korban, baik dari pelaku kekerasan
sendiri, dan ataupun dari korban kekerasan. Salah satu contoh aktual
terjadi di Polsek dan Polres Gunung Kidul Yogyakarta tahun 2011. Korban
penganiyaan Subaris dan keluarganya di Desa Serut Kecamatan Gedangsari
harus kehilangan uang 1 juta rupiah karena diminta oleh
Reskrim Polsek Gedang Sari. Pelaku kekerasan Hardiwiyono juga dimintai
uang oleh polisi yang tidak kalah besar, yang menurut penuturan warga
mencapai 30 juta rupiah. Korban penganiyaan Subaris dan keluarga
terpaksa berdamai di Polsek karena tekanan yang dilakukan polisi. Kasus
mereka belum selesai dan tidak ada kepastian hukumnya karena Subaris
kembali menggugat ke Polres Gunung Kidul. Berkali-kali Subaris menelpon
meminta kepastian hukum, menurutnya biar jelas siapa yang salah dan
siapa yang benar.
Problem
hilangnya integritas dan keteladanan di atas masih diperkeruh dengan
lemahnya profesionalisme dan akuntabilitas aparat kepolisian. Banyak
hak-hak tersangka, terdakwa dan para korban yang telah diatur dalam
KUHAP dan perundang-undangan tentang HAM yang nyata-nyata banyak
dilanggar oleh aparat kepolisian. Di antara hak-hak itu ialah hak adanya
surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusan ketika akan
dilangsungkan penangkapan, penyidik yang tidak memberitahukan hak-hak
tersangka, pemanggilan tersangka tidak meperhatikan tenggang waktu,
penangkapan yang belum ada pasti adanya bukti permulaan yang cukup,
penyidik yang memberikan keterangan pers dan mengabaikan praduga
tidak bersalah, tidak adanya penegasan terkait hak didampingi penasehat
hukum dan satu lagi yang sudah biasa, berkas perkara tidak diberikan
kepada korban. Hak-hak tersebut biasa dilanggar oleh para petugas
kepolisian, masyarakat sudah terbiasa menjadi korban.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment