20 February 2013
Korban Bencana Selalu Jadi Korban
Wednesday, February 20, 2013
No comments
~~ M. Syafi' ie
Sepanjang
2010 sampai 2011 saat ini, masyarakat Indonesia belum bisa dilepaskan
dari gempuran bencana alam yang selalu hadir setiap saat. Bencana alam
terjadi silih berganti dan selalu tidak mengerti betapa berat beban
penderitaan para korban bencana. Bagi sebagian korban, kadang terucap
“betapa Tuhan tidak adil, memberikan beban kepada makhluknya, ditengah
beban yang selalu menghimpit sehari-hari”. Ungkapan itu ialah
sebentuk ekspresi kegelisahan dan gugatan terhadap ketidakadilan yang
datang bertubi-tubi, membebani pundak dan pikiran mereka. Tidak sedikit
dari para korban bencana alam itu, yang mengalami stres berat dan tidak
bisa hidup normal. Jiwa dan pikiran para korban tidak kuat menahan
penderitaan yang bagi mereka abnormal.
Bencana
alam memang identik dengan abnormalitas. Ia tidak terpikir dan tidak
terperkirakan. Ketika bencana alam terjadi, barulah peristiwa itu
dianggap sebagai sesuatu yang normal dan diperbincangkan oleh para
ilmuan, khususnya dari kalangan pejabat pemerintahan. Situasi ini,
seakan membenarkan thesis bahwa pengetahuan itu terbatas dan
tanggungjawab negara juga terbatas sehingga tidak mungkin bisa melampaui
kehendak alam yang seringkali abnormal. Persoalannya terletak pada
sejauhmana pemerintah sebagai penanggungjawab kenegaraan,
memperioritaskan anggarannya untuk mendorong para ilmuan dan pekerja
sosial untuk melakukan penelitian, advokasi dan monitoring terhadap
situasi alam dan masyarakat yang seringkali menghadapi bencana.
Penelitian
kebencanaan sangat terkait dengan urgensi pendidikan tentang
kebencanaan. Pendidikan merupakan upaya strategis untuk menyadarkan
masyarakat, dari tidak paham menjadi paham, pendidikan merupakan upaya
membangkitkan nalar kritis masyarakat sehingga mampu membaca berbagai
varian dari tanda-tanda yang terjadi, alam sama dengan obyek lainnya
yang juga mempunyai simbol-simbol kunci yang menjelaskan tentang apa,
mengapa dan kapan bencana akan terjadi. Alam dan sistemnya mempunyai
disiplin ilmunya sendiri, dan itu harus digali dan didorong untuk
diajarkan kepada masyarakat. Pendidikan tentang alam dan kebencanaan,
otomatis juga akan mengajarkan kepada masyarakat untuk selalu mencintai
dan menyayangi alam, bukan malah menjauhinya karena dampak traumatik
yang timbul saat bencana terjadi.
Upaya-upaya
tranformasi lewat penelitian, pendidikan, advokasi dan monitoring
sangat fundamental dilakukan mengingat wilayah Indonesia sekali lagi
tidak bisa lepas dari bencana alam. Kita tidak akan lupa betapa silih
bergantinya bencana alam terjadi, mulai Tsunami, Gempa, Banjir, Gunung
Meletus, Angin Puting Beliung, dan beberapa lainnya. Bencana-bencana itu
terus-menerus terjadi secara bergantian di dIndonesia, setiap detik,
setiap menit, setiap hari, setiap bulan dan bertahun-tahun. Namun
sayangnya, pemerintah tidak serius untuk melakukan antisipasi dan
tindakan preventif. Pemerintah lebih disibukkan dengan
persoalan-persoalan polemik politik, pergantian Menteri, dan debat
simpang siur penegakan hukum, padahal kondisi bencana alam, sistemik
dan meluas terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah seakan
berjibaku dengan prioritasnya sendiri, sedangkan masyarakat juga harus
memikul bebannya sendiri tanpa perlindungan dan pemenuhan hak-hak dari
negara. Situasi ini diperparah dengan masih hidupnya pikiran sempit
bahwa pemerintah tidak bisa dipersalahkan atas bencana alam yang
terjadi, karena bencana alam kehadirannya dinilai alami dan tidak ada
kaitannya dengan tanggungjawab pemerintah.
Bencana Seiring Dengan Kehilangan
Ilustrasi di atas memperlihatkan betapa masyarakat korban bencana selalu menjadi korban atas minimalisnya political will
pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat yang diantaranya ialah
hak atas informasi dan hak atas pendidikan yang kemudian berdampak pada
lemahnya pengetahuan masyarakat atas situasi dan kondisi bencana.
Kalaupun ada program pemerintah terkait penyadaran tentang kebencanaan,
itupun tidak maksimal dan sekedar formalitas. Hal itu terbukti tidak
adanya hasil yang jelas dari program pemerintah tentang sadar bencana.
Ketika bencana terjadi, masyarakat selalu menjadi korban, mulai dari
kematian, cacat, luka-luka, kemacetan, tidak adanya penampungan yang
representatif, kehilangan benda-benda berharga dan banyak lagi lainnya.
Inilah akibat dari miskinnya komitmen struktural pemerintah sehingga
manajemen kultural masyarakat terkait kebencanaan terlihat awut-awutan
dan serba kacau.
Kita
biasa membayangkan, betapa kerugian materil dan immateril akibat
bencana alam sangatlah dahsyat, melebihi dari bencana-bencana sosial
lainnya. Bencana di Aceh misalkan Bappenas (2005) memperkirakan sekitar
9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu
tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor
besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota
rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana
tsunami di Aceh mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset),
sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar.
Demikian juga bencana di Mentawai, nilai kerusakan dan kerugian pada
sektor infrastruktur akibat bencana gempa yang diikuti tsunami pada 25
Oktober 2010 itu ditaksir mencapai Rp 19,16 miliar. Sedangkan total
kerusakan dan kerugian ditimbulkan tsunami yang melanda Pulau Sikakap,
Mentawai, juga ditaksir mencapai total Rp 348,92 miliar. Bencana di
Mentawai juga menyebabkan korban tewas 509 orang, 17 orang luka berat,
21 orang hilang dan 11.425 orang luka-luka.
Demikian
juga bencana di Yogyakarta. Potensi kerugian akibat gempa bumi 5,9 pada
Skala Richter (SR) yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei
2006 lalu sangat besar, meliputi kerusakan insfrastruktur, rumah-rumah,
dan macetnya roda perekonomian yang diperkirakan mencapai Rp 29,2
triliun dan telah menewaskan lebih dari enam ribu orang. Sedangkan
dampak letusan gunung Merapi sebagaimana dirilis oleh Bapenas
diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 4,23 triliun. Kerusakan dan
kerugian yang cukup besar terjadi di empat kabupaten yaitu Magelang,
Boyolali, Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta. Ratusan orang
luka-luka dan meninggal juga terjadi.
Jumlah
kerugian dan korban di atas merupakan data materil yang terhitung. Lain
lagi jumlah kerugian yang immateril, keberadaannya tidak bisa dijumlah
tapi kedahsyatan kesedihannya dapat dirasakan oleh para korban.
Kerugian immateril goncangannya pasti lebih hebat dari kerugian materil,
bagi banyak orang, harta betapapun sulitnya masih bisa dicari, tapi
tidak dengan jiwa. Orang tua yang kehilangan anak yang dicintainya dan
atau anak yang kehilangan orang tuanya, seorang istri yang kehilangan
suami yang dicintainya dan atau sebaliknya, pasti sangat sedih.
Kesengsaraan mereka tidak akan bisa ditutupi dengan uang. Butuh terapi
terus menerus untuk mengembalikan jiwa mereka yang goncang. Situasi ini
melukiskan, betapa bencana alam sangat berdampak pada identitas
kemanusiaan setiap orang. Bencana alam selalu beriringan dengan rasa
kehilangan.
Korban Bencana Terus Menjadi Korban
Peristiwa
bencana alam selalu tidak berpihak kepada korban. Bukan semata sebab
bencana alamnya, tetapi lebih pada hilangnya tanggungjawab pemerintah
sebagai pemangku kebijakan. Dalam banyak kasus bencana alam di
Indonesia, kita sudah terbiasa diperlihatkan dengan situasi dan kondisi
chaos dan tanpa kendali. Masyarakat di daerah bencana kocar-kacir. Tidak
sedikit masyarakat yang harus menjadi korban tabrakan, luka-luka sampai
harus mati akibat situasi chaos dari hiruk pikuk bencana yang terjadi.
Pemerintah selalu tidak siap, tidak siaga dan tidak memaksimalkan
langkah-langkah preventif dalam menangani bencana yang terjadi.
Pemerintah selalu abai dan lalai untuk melindungi masyarakatnya yang
terkena bencana.
Masyarakat
korban bencana juga sudah terbiasa menghadapi kebingungan untuk mencari
tempat pengungsian. Di banyak daerah tempat pengungsian khusus untuk
korban bencana alam belumlah dibangun. Ketika peristiwa bencana terjadi,
masyarakat berhamburan dan tidak terkoordinasi dengan baik. Para korban
seringkali lari ke tempat pengungsian luar daerah, yang kemudian
berdampak pada hilangnya hak-hak baik, diantaranya hak mendapatkan
bantuan makanan pokok, baju, alat-alat rumah tangga dan beberapa
lainnya. Distribusi konsumsi akhirnya hanya terfokus di beberapa tempat
saja, sedangkan masyarakat yang tidak terdata, mereka harus berjibaku
menanggung bebannya sendiri, atau harus menggantung sama bantuan orang
lain yang seringkali tidak memadai. Masalahnya lagi, pemerintah
membiarkan masyarakat terpencar-pencar dan tidak melakukan pendataan
secara serius. Bantuan-bantuan yang datang akhirnya hanya menumpuk di
gudang kantor-kantor pemerintah.
Salah satu contohnya gempa bumi tahun 2006 dan erupsi merapi di Yogyakarta tahun 2010. Gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei, jam 05.55 WIB dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter
itu memang diluar dugaan. Masyarakat berhamburan dan muncul simpang
siur akan adanya Tsunami. Masyarakat yang panik dan tidak ada kepastian
informasi harus berlarian dan menaiki motor dan mobil yang kemudian
memadatkan jalanan. Banyak korban luka-luka, tabrakan dan bahkan ada
yang meninggal akibat kepanikan yang timbul. Masalahnya lagi, tidak ada
tempat khusus pengungsian yang dibuat pemerintah pada waktu itu.
Demikian halnya ketika erupsi merapi terjadi. Masyarakat berhamburan dan
tidak terkoordinasi dengan baik. Peristiwa Gempa dan Erupsi Merapi di
Yogyakarta memperlihatkan betapa lemahnya sistem informasi, teknologi
dan penampungan yang tidak layak. Situasi ini sekali lagi memperlihatkan
betapa tidak siapnya pemerintah untuk melindungi masyarakatnya yang
rawan akan bencana.
Bencana
lain yang sering dirasakan masyarakat para korban ialah pencurian.
Hampir ketika bencana alam terjadi di Indonesia, dapat dipastikan pula
pencurian marak. Ketika gempa bumi pada Mei 2006 terjadi di Yogyakarta,
masyarakat korban bencana banyak yang kehilangan harta benda mereka baik
sepeda motor, hewan ternak, emas dan barang-barang berharga lainnya.
Demikian juga ketika bencana erupsi merapi, pencurian masih terjadi
disana-sini, walaupun banyak yang digagalkan oleh aparat militer dan
kepolisian. Maraknya pencurian di daerah bencana, juga memperlihatkan
betapa lemahnya perlindungan terhadap hak-hak milik para korban bencana,
sehingga pencurian sangat mudah terjadi.
Persoalan
lainnya yang juga sering terjadi pada korban, sebagaimana kasus erupsi
merapi ialah tindakan kasar dan pemaksaan aparat keamanan baik polisi
dan militer. Tindakan paksa dan kasar memang diperbolehkan ketika
bencana terjadi, tapi bagaimanapun tindakan dengan pendekatan pemaksaan
dan kasar hakekatnya tidak manusiawi. Oleh karena itu, aparat keamanan
seharusnya juga terlatih secara metodologis bagaimana menggunakan
pendekatan-pendekatan yang berkearifan lokal dan dapat diterima oleh
masyarakat. Penanganan korban bencana tidak bisa digerakkan secara
serampangan, membabi buta dan menafikan harkat martabat manusia.
Paradigma penanganan bencana alam yang serba mendadak saatnya diubah
menjadi penanganan yang sistematis dan visioner, baik sebelum, proses
dan pasca bencana.
Selalu Ada Janji-Janji Manis
Satu
hal yang selalu memilukan bagi para korban bencana ialah hadirnya
janji-janji manis pemerintah tetapi selalu berakhir dengan
pembohongan-pembohongan. Janji terbaru bagi para korban bencana merapi
misalkan, pemerintah telah menjanjikan akan membeli ternak-ternak yang
meninggal akibat erupsi merapi dan akan secepatnya membuatkan shelter
atau tempat hunian sementara bagi para korban bencana. Janji-janji
pemerintah sebagaimana diungkapkan langsung oleh Presiden SBY itu,
sampai saat ini masing belum jelas dan penuh dengan kesimpang siuran
informasi dari pemerintah. Masyarakat yang kecewa akhirnya melakukan
demontstrasi beberapa waktu yang lalu di kantor Kabupaten Sleman, kantor
Gubernur DIY, kantor DPRD DIY dan kantor Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB).
Janji
serupa juga pernah terjadi terhadap para korban bencana gempa bumi di
Yogyakarta, Mei 2006. Dimana pemerintah yang diwakili Jusuf Kalla pada
saat itu menjanjikan uang sebagai jatah hidup (Jadup/living cost)
sebesar 30 Juta untuk masing-masing keluarga yang mengalami kerusakan
total. Namun sayangnya, janji-janji yang dibuat pemerintah saat itu
berubah-ubah dan penuh dengan ketidakpastian. Masyarakat pada saat itu
juga melakukan demonstrasi sebagai bagian dari protes karena janji-janji
manis pemerintah tidak kunjung ditepati. Jatah hidup (living cost)
yang dijanjikan pada masyarakat korban gempa pada waktu berlangsung
lamban dan tidak merata, sehingga melahirkan pergesekan-pergesekan di
internal masyarakat sendiri.
Janji-janji
manis pemerintah juga terjadi di lokasi-lokasi bencana yang lain,
seperti Mentawai dan Wasior Papua. Korban bencana Mentawai saat ini
misalkan mengaku pesimistis dan tidak percaya pada janji-janji
pemerintah. Mereka sama dengan masyarakat Yogyakarta yang dijanjikan
uang santunan dan akan dibangunkan rumah-rumah hunian oleh pemerintah.
Tapi sayangnya, mereka saat ini mengaku kecewa karena pemerintah
ternyata tidak kunjung menurunkan uang santunan yang pasti dan pendirian
rumah hunian yang juga simpang siur. Di tengah ketidakpercayaan kepada
pemerintah, mereka akhirnya membangun rumah sendiri dengan biaya yang
seadanya. Demikian juga para korban banjir Wasior Papua. Mereka harus
hidup dengan harapan-harapan yang tidak kunjung datang dari pemerintah.
Janji-janji manis pemerintah yang ternyata berakhir dengan kebohongan,
setidaknya menjadi beban fisik dan psikis tambahan bagi para korban
bencana alam di Indonesia.
Korupsi Dana Bencana
Titik
nadir dehumanisasi dari peristiwa bencana alam di Indonesia ialah
ketika para pejabat pemerintah masih doyan mengkorupsi dana yang nota bene
merupakan hak para korban bencana alam. Para pejabat pemerintah sudah
biasa menjadikan ladang bencana alam sebagai pengkayaan diri sendiri dan
kelompoknya. Mereka menari-nari di atas penderitaan masyarakat yang
lapar dan menderita lahir maupun bathin akibat bencana. Catatan ICW
menyebutkan bahwa titik rawan korupsi dana bantuan bencana meliputi
tahap tanggap darurat, tahap rehabilitasi, dan tahap rekonstruksi lokasi
bencana. Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi ladang yang
sangat basah untuk terjadinya praktek korupsi bencana alam.
Emerson
Yuntho Wakil ICW misalkan menuliskan, sampai saat ini sudah tercatat
sekitar 27 kasus korupsi dana bantuan pasca tsunami telah masuk ke
pengadilan dengan nilai Rp 29,6 miliar yang terjadi di Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dipimpin oleh Kuntoro
Mangkusubroto. Demikian juga laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) terhadap penyimpangan dana bencana tsunami di Aceh dan Nias. BPK
dalam laporannya tahun 2005 juga mengungkapkan tentang adanya potensi
penyimpangan dana bantuan untuk tsunami di Aceh dan Nias yang mencapai
lebih dari Rp 150 miliar. Menurut Yuntho, potensi korupsi di daerah
bencana sangatlah besar, karena pemerintah memang menganggarkan dana
yang besar. Informasi terbaru, saat ini DPR telah menyetujui pencairan
dana sebesar Rp 150 miliar untuk tiga wilayah yang dilanda bencana di
Indonesia, yaitu Wasior Papua, Merapi Yogyakarta-Jateng dan di Mentawai,
Sumatera Barat. Bahkan pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran
penanggulangan bencana dalam APBN tahun 2011 sebesar Rp 4,9 triliun.
Korupsi
dana bencana alam juga tercium ketika gempa di Yogyakarta. Sebagaimana
disuarakan oleh beberapa LSM, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana alam
di Yogyakarta berlangsung cepat dengan berbagai aliran dana yang masuk
lewat pemerintahan Desa. Siaran pers sejumlah LSM meliputi LBH, Forum
LSM, LOS DIY, Lembaga Advokasi Yogyakarta, Idea dan beberapa lainnya
mengatakan bahwa masyarakat korban gempa bumi, baik yang masuk kategori
rumahnya rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan hampir tidak ada
yang menerima dana rehabilitasi dan rekonstruksi (dakon) secara utuh.
Dana yang semestinya menjadi hak masyarakat dipotong dari sifatnya yang
ringan sampai berat (puluhan ribu, ratusan ribu hingga jutaan). Alasan
yang digunakan untuk melakukan pemotongan dakon salah satunya ialah
dengan alasan kearifan lokal yang kadang tidak jelas maksud dan
tujuannya. Para aparat desa bisanya mengatakan hasil potongan digunakan
untuk membangun fasilitas umum di desa seperti perbaikan jalan, membuat
pagar bumi dan membangun balai desa yang rusak.
Korupsi dana bencana alam masih terus menjadi tren sampai saat ini di
beberapa daerah yang terjadi bencana. Investigasi dan penegakan hukumnya
sangat sulit karena mengait dengan aparatus yang paling dekat dengat
masyarakat korban bencana alam sendiri. Namun demikian, saat ini sudah
ada beberapa kasus korupsi bencana alam yang sudah masuk ke meja KPK di
Jakarta, seperti telah ditetapkannya Bupati Nias Binahati B. Baeha
sebagai tersangka dan desakan ICW dan Komite Penyelidikan dan
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng untuk
mengusut korupsi dana bencana Gempa di Klaten, Jawa Tengah. Keberanian
beberapa LSM untuk melakukan advokasi dan monitoring serta eksistensi
KPK yang baik, setidaknya menjadi penerang ditengah krisis perlindungan
pemerintah terhadap para korban bencana alam di Indonesia saat ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment