21 February 2013
Transformasi Islam Untuk Bebas dari Kemiskinan
Thursday, February 21, 2013
No comments
M. Syafi'ie
Kita tahu penduduk negara Indonesia
mayoritas adalah muslim. Tapi, di negara ini pula kemiskinan merajalela. Dalam
rilis LIPI dikatakan bahwa
jumlah orang miskin tahun 2010 bertambah terus. Orang-orang miskin
akan membengkak dari 32,5 juta jiwa pada 2009 akan membesar menjadi 32,7 juta
jiwa pada 2010. Pada tahun 2011, data BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang. Sedangkan tahun 2012 sebagaimana dikatakan Kepala Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang.
Jumlah
penduduk miskin di atas tentu tidak sedikit. Jumlah itu banyak. Jumlah itupun
yang tercatat BPS yang notabene
adalah lembaga negara yang selama ini banyak dikritik terkait independensi dan
akurasi pendataannya. Di atas yang tercatat itu, bila kita telisik secara
mendalam, pasti penduduk miskin diIndonesia jumlahnya sangat banyak. Dari
jumlah penduduk miskin yang kesekian itu, satu hal yang tidak bisa dipisahkan : mereka adalah mayoritas umat Islam.
Membludaknya
jumlah orang miskin, dan mayoritas umat Islam di Indonesia tentu adalah satu
yang ironis. Mengingat ajaran Islam sama sekali menentang terhadap
kemiskinan. Ajaran Islam selalu
mengumandangkan tentang solidaritas melawan kemiskinan dan pemiskinan, seperti
memerintahkan umat Islam untuk selalu bekerja keras, berhati-hati dengan waktu,
memerintahkan membayar zakat, menentang praktek ribawi dan monopoli dan
menganjurkan untuk berlomba-lomba dalam bersedekah dan berinfak. Ajaran Islam memiliki
visi besar : membebaskan manusia dari ketertindasan ekonomi.
Namun
demikian, ajaran Islam yang kukuh menentang kemiskinan tidak sejalan dengan
kondisi umatnya yang sampai saat ini masih diselimuti oleh ketertindasan
ekonomi, eksploitasi, dan ketidakadilan. Karena itu, menelaah kondisi umat
Islam di Indonesia tidak bisa dilihat secara simplistik. Kemiskinan umat Islam
di Indonesia bertautan dari satu sistem dengan sistem yang lainnya. Abad
Badruzzaman dalam bukunya “Teologi Kaum Tertindas” mengatakan bahwa, akar
kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja.
Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan
kegiatan produktifnya harus secara penuh juga diperhitungkan.
Kemiskinan
berasal dari dua faktor sekaligus : internal dan eksternal. Problem internal
berkait dengan kurangnya wawasan, lemahnya skill, kesehatan yang buruk dan etos
kerja yang lemah. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh kebijakan
pembangunan yang bermasalah, korupsi yang berdampak terpotongnya alokasi
anggaran bagi pemberdayaan orang miskin, dan tidak hadirnya kebijakan pemerintah yang afirmasi terhadap orang-orang lemah. Faktor
eksternal dan internal saling mengait dan berpengaruh. Keduanya saling
tergantung.
Secara
umum, terdapat dua teori yang mengkaji tentang kemiskinan. Teori pertama
mengacu pada perilaku individu. Teori ini fokus pada kerangka individual,
seperti motivasi, harapan, sikap, dan human capital. Teori ini umumnya mengacu
pada teori ekonomi neo klasik yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Karena itu, teori pertama ini lebih dikenal sebagai teori
pilihan yang mengait pada kondisi-kondisi individual.
Sedangkan
teori kedua mengacu pada kerangka struktural. Dalam teori ini dikatakan bahwa
hambatan-hambatan struktural melahirkan “ketidaksamaan”
dalam kesempatan dan semakin memberi ruang bagi berkuasanya kaum kapitalis dan
borjuis. Dalam teori ini, tidak ada
pilihan bebas bagi manusia untuk berdaya dan bebas dari kemiskinan. Yang ada
hanya jurang pemisah : yang kaya semakin
kaya dan orang miskin semakin miskin. Sebabnya, struktur yang ada tidak
menghadirkan afirmasi dan keadilan. Teori struktural ini diusung oleh kaum Marxis.
Kedua
teori di atas terbentang vis a vis. Teori perilaku mengklaim bahwa individu
yang miskin dan tidak produktif adalah akibat mereka lemah secara kualitas,
skill rendah dan tidak memiliki kemauan yang teguh. Karena itu, teori ini
mengatakan bahwa sumber masalahnya adalah “orang”, dan sebab itu ia harus
bangkit dan memperbaiki masalahnya sendiri. Berbeda dengan teori struktural.
Bagi teori ini, orang miskin bukan akibat dirinya, melainkan akibat sistem dan struktur
sosial yang kapitalis dan menindas. Orang miskin tanpa sadar telah
dimiskinkan, dan hak-haknya untuk berdaya ditutup dengan ragam eksploitasi,
korupsi dan kebijakan yang berkongsi dengan kaum borjuasi.
Mengait
dari dua teori yang berseberangan di
atas, ajaran Islam memadukan keduanya.
Ajaran Islam menentang kemiskinan dalam perspektif perilaku individual,
dan pada saat yang bersamaan, ajaran Islam juga menentang terhadap segala
praktek struktural yang ekploitatif, diskriminatif dan menindas. Secara
individual, Islam mengajarkan tentang kerja keras, tidak mensia-siakan waktu
dan bertekad kuat. Sedangkan secara struktural, tidak boleh ada kebijakan
dzalim dan tidak adil. Mengutip bahasanya Kuntowijoyo, penyadaran terhadap
problem internal dan eksternal kemiskinan adalah kebutuhan obyektif Islam untuk
mencatatkan sejarahnya bagi peradaban kemanusiaan di masa depan.
Tranformasi
Islam Untuk Bebas dari Kemiskinan
Ajaran
Islam dalam benturan teori di atas menegaskan satu hal : problem internal dan
eksternal harus bersamaan diselesaikan. Secara internal umat Islam tidak boleh
lagi terjebak dengan tafsir tradisional
agama yang menjadikan umat Islam terbelakang dan hidup dalam kemiskinan.
Sebagaimana dilukiskan Hasan Hanafi dalam buku “Kiri Islam” : kesabaran membuat
kita diam dalam segala hal. Ridha membuat kita membiarkan dalam segala hal.
Tawakkal membuat kita mengabaikan antisipasi masa depan. Sedangkan menunggal
dengan Tuhan telah menenggelamkan kita
dalam ilusi.
Pesan
yang dikatakan Hasan Hanafi merupakan sindiran besar terhadap umat Islam yang
sampai saat ini masih hidup dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Sebagaimana
kita ketahui, simbol-simbol keberimanan tradisional melekat dengan nuansa
kemiskinan, seperti pengembangan sikap fakir, berbaju kumuh dan kumul, dan
menghindari bau duniawi. Dunia dilekatkan pada satu yang nista dan tidak
berharga. Situasi itulah yang secara internal berpengaruh keterbelakangan dan
kemiskinan umat saat ini. Model pemberdayaan ekonomi seperti zakat, infak dan
sedekah akhirnya tidak dikelola secara visioner, tapi masih klasikal dan
ritual. Karena itu, kondisi tradisional umat Islam seharusnya diperbaiki.
Dimensi
kedua yang tidak kalah penting ialah aspek struktural. Ali Syariati dalam bukunya “Tugas Cendekiawan Muslim”
menyerukan tentang pentingnya agama yang ideologis, yaitu suatu agama yang
tidak hanya menjadi kumpulan kepercayaan
turun temurun dan perasaan-kepercayaan yang individual; agama yang sekedar
imitasi terhadap upacara-upacara, aturan-aturan, dan kebiasaan-kebiasaan yang
sudah berurat dari akar generasi tradisional.
Menurut
Syariati, terdapat dua wajah agama Islam dalam sejarah. Pertama, Islam yang dekaden, yaitu kelompok orang beragama Islam
yang seolah melibatkan dirinya dalam kejahatan, menumbuhkan reaksionerisme,
kelambanan dan kelumpuhan. Kelompok ini mengekang spirit kebebasan dan secara
culas membenarkan status quo. Kelompok Islam yang dekaden ini, tidak akan
pernah menghadirkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan. Sedangkan wajah agama
kedua adalah agama yang ideologis, yaitu suatu ajaran agama yang ditempatkan
sebagai satu ideologi yang berpihak untuk kemanusiaan. Agama ideologis hadir
setalah melalui proses panjang, mulai dari tahap kritik, kritis terhadap status
quo masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomis, politik dan moral yang
cenderung melawan terhadap perubahan. Agama ideologis menawarkan solusi-solusi
ideal ditengah sistem status quo yang tidak adil dan menindas.
Berdasar
pembacaan di atas, sudah
selayaknya kedepan mendorong ajaran Islam yang
tranformatif : mengubah watak internal umat Islam yang masih gemar
dengan keterbelakangan dan kemiskinan,
pada sisi bersamaan mengubah
struktur sosial dan negara yang
sampai saat ini masih melegitimasi diskriminasi
dan penindasan. Ajaran Islam mesti didorong untuk memaksimalisasi
potensi-potensi ekonomi umat untuk memberdayakan kaum lemah dan miskin.
Potensi Ekonomi Umat :
Zakat, Infak dan Sedekah
Ekonomi umat yang tidak tergarap maksimal
saat ini ialah zakat. Padahal, dengan mayoritas umat Islam di Indonesia, dan
setiap mereka memiliki tanggungjawab untuk membayar zakat, baik itu zakat maal ataupun fitrah,
tentu jika digarap dengan profesional, sangat mungkin kemiskinan akan teratasi.
Pemberdayaan masyarakat miskin baik berupa pemberian modal usaha sampai dengan
beasiswa pendidikan sangat bisa dilakukan. Hal lain yang masih belum tergarap
dengan baik ialah infaq dan sedekah. Padahal keduanya merupakan anjuran agama
dan setiap detik, umat Islam menunaikannya. Sebenarnya, modal itu sangat
berharga bagi pengentasan kemiskinan secara terus menerus.
Menurut Abbas Karoroh dalam “Al-Din Wal
Zakat’, zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakatan.
Zakat juga merupakan salah satu rukun Islam yang lima, dan Al-Qur’an
menegaskannya sebagai kewajiban yang setara dengan sholat. Dalam Al-Qur’an, secara eksplisit terdapat tujuh jenis harta
yang wajib dizakati, meliputi emas, perak, hasil tanaman dan buah-buahan,
barang dagangan, ternak, hasil tambang, dan barang temuan (rikaz). Namun
demikan, sebagaimana dikatakan
Abdurrahman Isa dalam “Al-Muamalat
al-hadistsah wa Ahkamuha”, bentuk harta lain seperti mata uang, sertifikat,
saham, obligasi, dan surat-surat berharga lainnya juga wajib dizakati. Sebab, bentuk
harta surat berharga diqiyas dengan emas dan perak.
Selain harta benda dan surat berharga di
atas, yang wajib dizakati bagi umat Islam juga ialah penghasilan. Penghasilan
menurut Fowler ialah penerimaan-penerimaan yang
diperoleh seseorang dari hasil bisnis, tanah, pekerjaan/profesi,
investasi dan sebagainya dalam waktu tertentu. Menurut Masjfuk Zuhdi, untuk
penghasilan pegawai negeri dan swasta, dan yang mempunyai profesi modern
seperti pengacara, notaris, akuntan, konsultasn dan sebagainya, kewajiban
zakatnya diqiyaskan dengan dengan zakat perdagangan. Karena profesi tersebut,
sama-sama menjual; yang satu menjual barang (perdagangan) sedangkan yang lain
menjual jasa dan sama-sama mengandung resiko untung rugi.
Menurut Masjfuk Zuhdi, dalam Islam tidak
semua harta wajib dizakati, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bebas zakat, seperti rumah
tempat tinggal, mobil pribadi dan peralatan kerja. Kedua, wajib dizakati harta bendanya saja, seperti emas dan perak,
apabila telah mencapai nisab dan haul. Ketiga,
wajib dizakati penghasilan dari harta bendanya saja, seperti hasil dari tanah
pertanian/perkebunan, dan sewa gedung. Keempat,
wajib dizakati harta benda dan penghasilan yang timbul dari padanya, seperti
hasil dari peternakan sapi dan perdagangan. Dari harta yang wajib zakat
tersebut, yang wajib dikeluarkan ialah antara 2,5% sampai 10% apabila
penghasilan neto telah mencapai batas minimum kena zakat (nisab) dan jatuh
tempo (haul).
Dari varian wajib zakat di atas,
tergambar jelas bahwa akan begitu banyak harta yang akan terhimpun untuk
mengentaskan kemiskinan. Munir Mulkhan mengatakan, jika diandaikan jumlah
penduduk miskin di Indonesia mencapai 40 juta jiwa, maka penduduk sisanya yang
tergolong kaya yang mencapai sekitar 210
juta jiwa, yakni 170 jiwa. Dengan perhitungan yang memeluk Islam dari jumlah
itu mencapai 90%, maka harta yang bisa dikumpulkan bisa mencapai sekitar lebih
dari 10 trilyun rupiah. Jika angka sebegitu besar habis seketika, sebenarnya
fungsi sosial zakat telah gagal ditegakkan, mereka yang menderita miskin akan
tetap miskin, bahkan diantara mereka akan semakin menderita karena mengalami
ketergantungan dengan sumbangan tahunan.
Hal sendada diungkap Khamami Zada. Menurutnya, zakat merupakan
potensi besar yang dimiliki Islam untuk menciptakan keadilan sosial, terutama
untuk membantu fakir miskin. Secara global, potensi zakat cukup besar.
Asumsinya, besar zakat yang dapat dikumpulkan adalah 2,5 persen dari total produk
domestik bruto (PDB). Dengan asumsi itu, Arab Saudi memiliki potensi zakat
hingga 5,4 miliar dollar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dollar AS setara Rp 9.000).
Turki berpotensi lebih besar, 5,7 miliar dollar AS (Rp 51,3 triliun), sedangkan
potensi Indonesia hingga 4,9 miliar dollar AS atau Rp 44,1 triliun. Namun fakta menunjukkan kondisi yang amat ironis.
Hingga kini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat
hingga 2,5 persen dari total PDB-nya.
Pada tahun 2006, Malaysia hanya mampu mengumpulkan zakat 600 juta
ringgit (Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 % dari total PDB. Begitu pun
Indonesia hanya mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 % dari total PDB.
Secara umum, negara-negara Teluk hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1,0 %
dari PDB. Padahal, jika dikelola dengan baik, zakat dapat diarahkan pada usaha
pemerataan ekonomi masyarakat. Zakat yang dikelola dengan efektif dan efisien,
akan membangun keseimbangan sirkulasi
ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan haknya secara lebih baik
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.. Masalahya,
pengelolaan zakat masih berkutat dalam bentuk-bentuk konsumtif-karikatif
yang tidak menimbulkan dampak sosial berarti.
Zakat hanya diberikan langsung oleh tiap pembayar kepada penerima sehingga
zakat tidak menjadi sistem sosial yang tranformatif.
Masjfuk Zuhdi mengatakan, seandainya aparat pemerintah Indonesia
bersih, berwibawa dan mereka dapat menangani langsung pengelolaan zakat dengan
menajemen yang baik sesuai dengan tujuan dan sasaran zakat yang telah
digariskan dalam Islam, pengelolaan pasti
akan efektif dan efisien. Persoalannya sekarang terletak pada pengelolaan zakat yang masih ditangani banyak
badan-badan amil zakat atau baitul maal
yang berjalan tanpa koordinasi. Sebagian
besar adalah non pemerintah dan sebagian kecil dari semi resmi pemerintah.
Menurutnya, seandainya pemerintah dapat membangun sistem dan
kelembagaan pengelolaan yang baik, pemerintah pasti bisa menjadikan zakat
sebagai sumber dana yang potensial untuk menunjang pembiayaan pembangunan yang
seringkali tertimpa resesi ekonomi, serta dapat
mensejahterakan masyarakat secara jasmani dan rohani. Masjfuk
mengatakan, kita ambil contoh Kotamadya Malang saja yang berdasarkan sensus
penduduk tahun 1980 berjumlah penduduk 507. 917 jiwa, dan yang muslim berjumlah
445. 258 jiwa. Kalau yang mengeluarkan zakat fitrah 80% saja, akan terkumpul
beras sebanyak (80% x 445. 258) x 2, 5 kg = 890. 516 kg. Jika diuangkan pada
waktu itu menjadi Rp. 400. 00 x 890. 516 = Rp. 356. 206. 400, 00. Jumlah itu baru zakat fitrah, angka itu akan
menjadi fantastis jika ditambah zakat profesi pegawai/karyawan, zakat
perusahaan, koperasi, perdagangan, industri, perhotelan dan banyak lainnya.
Hasil zakat jika dikelola dengan baik pasti
dapat membantu pemerataaan pendapatan masyarakat dan akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, Jalaluddin
Rakhmat mengatakan, untuk mengatasi
kemiskinan yang pertama-tama harus dilakukan ialah harus mengatasi kekeliruan berfikir. Apa yang dilakukan seseorang atau
pemimpin dalam mengelola zakat sangat tergantung dengan cara berfikirnya.
Mayoritas orang-orang Islam masih mengatakan bahwa kemiskinan tidak perlu
dipersoalkan secara sungguh-sungguh dengan rasionalisasi bahwa bila seseorang
mau bekerja keras ia akan kaya pada
akhirnya. Miskin hanyalah periode saja dalam perjalanan kehidupan seseorang.
Kebanyakan orang tidak pernah bertanya secara kritis terhadap fakta di balik
kemiskinan masyarakat. Menurut Kang
Jalal, zakat tidak akan pernah merubah apapun jika masih terbersit dalam
pikiran penanggung zakat dan
pengelolanya bahwa penunaian zakat hanya semata kewajiban agama dan meyakini
bahwa kemiskinan adalah fitrah setiap manusia.
Membaca dari pendapat di
atas, sudah saatnya pengelolaan zakat berubah. Negara harus menjadi sentrum
pengelolaan, pengawasan sampai dengan tranformasi pengentasan kemiskinan bagi
orang-orang miskin. Pelibatan negara dalam hal zakat bukanlah tanpa dalil. Yusuf Qardawi
mengatakan, zakat ialah kewajiban yang bersifat pasti, telah ditetapkan sebagai
suatu kewajiban dari Allah, dikeluarkan oleh orang mengharapkan ridha Allah dan
balasan yang baik di akhirat nanti.
Pelaksanaan zakat sebagai satu kewajiban bagi semua umat Islam
meniscayakan terhadap pengawasan oleh
pemangku kekuasaan. Zakat harus dilakukan oleh petugas yang rapi dan teratur,
dipungut dari orang yang wajib mengeluarkannya, dan diberikan kepada orang yang
berhak menerimanya. Menurut Qardawi
begitu banyak legitimasi hukum Islam yang menegaskan tentang melekatnya negara
untuk mengelola dan mengawasi terhadap zakat.
Dalil yang paling jelas ialah penegasan
tentang adanya “amil dalam zakat” sebagaimana ketentuan Al-Qur’an pada Qs.
Al-Taubah : 60.
Demikian juga dengan sunnah infaq dan sedekah. Negara semestinya
juga menjadi sentrum, karena infaq dan sedekah juga merupakan potensi yang
sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan. Ajaran Islam tentang dorongan
berinfaq dan sedekah begitu kuat. Ribuan umat islam setiap detik melakukannya.
Karena itu, penggabungan dana zakat, infaq dan sedekah akan menjadi modal besar
bagi Indonesia bebas dari kemiskinan. Namun
demikan, beberapa hal yang perlu dicatat, pengelolaan zakat, infaq dan sedekah harus
dikonstruksi secara profesional, transparan, dapat diawasi, tidak diselenggaran
secara eksploitatif, dan terakhir bebas korupsi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment