20 February 2013
Buramnya Penegakan Hukum dan Posisi Kader HMI
Wednesday, February 20, 2013
No comments
M.
Syafi’ie[2]
Sampai
hari ini kita masih menyaksikan buramnya dunia hukum di Indonesia. Praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat masih berlangsung secara
sistemik dan terstruktur. Data Political
dan Economic Risk Consultancy (PERC) pada 9 Maret 2010 menyebutkan bahwa negara Indonesia
merupakan negara terkorup di Asia Pasifik dari 16 negara. Posisi Indonesia
masih di atas negara Kamboja, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, dan beberapa
negara Asia Pasifik lainnya. Hebatnya, penegakan hukum terhadap kasus-kasus
korupsi juga lemah dan dilemahkan. Data penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa perkara korupsi
rata-rata divonis di bawah 2 tahun. Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA)
menyebutkan bahwa pada 2010 kasus korupsi
yang diputus MA sebanyak 269 kasus atau 60,68% dan hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2
tahun. Kemudian, 87 kasus atau 19,68% divonis
antara 3-5 tahun. Hanya 13 kasus atau 2,94% yang divonis 6-10 tahun. Demikian
juga putusan di Pengadilan Tipikor yang hukumannya rata-rata 4, 5 tahun. Padahal
korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra
ordinary crimes) sama dengan kasus terorisme yang aktor-aktornya langsung
ditembak mati.
Dalam
kasus yang lain, kita dipersaksikan dengan penegakan hukum yang diterapkan
terhadap orang-orang kecil, seperti penghukuman yang menimpa nenek Minah di
Banyumas yang mencuri tiga buah kakau di PT RSA, pencurian kapuk bu Manisih di PT Segayung di Kabupaten Batang dan
diancam 7 tahun penjara, pencurian satu semangka oleh Kholil dan Basar Suyanto
di Kediri yang diancam hukuman 5 tahun penjara, penangkapan dan penahanan
petani Tukijo yang berusia 46 tahun akibat melakukan penolakan terhadap proyek
Pasir Besi di Kulonprogo Yogyakarta, pengusiran paksa masyarakat adat karena
kepentingan eksplorasi tambang di beberapa tempat, kriminalisasi petani sawit
yang selama tahun 2007-2010 terdapat 2.357 kasus akibat implementasi otoriter undang-undang perkebunan, serta masih banyak
kasus lainnya.
Ilustrasi
kasus di atas memperlihatkan wajah penegakan hukum di Indonesia yang hadir
dengan identitas buruk rupa : hukum yang tidak tegas terhadap pejabat yang
merampok uang rakyat dan hukum yang tunduk terhadap kepentingan bisnis dan
eksploitasi alam. Hukum tidak lagi
supreme untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Padahal menurut Satjipto
Rahardjo, hukum adalah untuk manusia dan
bukan sebaliknya. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu
yang luas, yaitu untuk mengangkat harga
diri manusia, mendorong kebahagiaan, menciptakan kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Karena itu, hukum tidak boleh menjadi
institusi yang lepas dari kepentingan pengabdian untuk mensejahterakan manusia.
Para pelaku hukum harus mengedepankan kejujuran dan ketulusan hati dalam
penegakannya. Para penegak hukum itu harus memiliki kepudulian yang tinggi,
integritas yang mulia dan memahami penderitaan yang dialami oleh rakyat dan
bangsanya.
Paradigma Penegakan Hukum
Buramnya
penegakan hukum di Indonesia, salah satu
sebab mendasarnya ialah krisis paradigma dan telah hilangnya nilai-nilai
transedensi dari aktor-aktor penegak
hukum dan pejabat politik yang mengesahkan hukum. Hukum oleh mereka sekedar
dimaknai sebagai sesuatu yang terpisah dari perlindungan sosial dan kepentingan
kemanusiaan. Kita tahu bahwa paradigma penegakan hukum di Indonesia masih
positivistik, dimana para penegak hukum masih
belum mampu bergerak emansipatoris dan progresif, tetapi sekedar menjadi alat yang instrumentalis, corong undang-undang dan pengetok palu dari
teks-teks pasal yang dirumuskan dan disahkan
di arena pemegang kekuasaan. Keadilan
sosial sekedar diukur dari bunyi-bunyi pasal yang kaku dan dogmatik. Ijtihad berupa penemuan hukum yang responsif dan
progresif mati suri. Hukum yang hidup di masyarakat termarjinalisasi oleh hegemoni sentralisme
hukum, dan dalam prakteknya juga telah dihapuskan dalam penentuan kebenaran
hukum.
Paradigma
positivisme sejalan dengan tipe tradisi hukum
kontinental yang mempunyai ciri-ciri adanya peranan yang sangat dominan
dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah
hukum dalam suatu masyarakat. Hukum menjadi alat yang supreme bagi pelaksanaan ideologi dan
program-program negara yang dalam banyak hal telah menciderai kemanusiaan
seperti program-program pembangunan yang berlangsung di era rezim otoriter Orde
Baru.
Paradigma
positivisme yang melekat pada mayoritas aktor penegak hukum di Indonesia
berdampak pada penegakan hukum yang sekedar mengabdi kepada kepentingan
kekuasaaan yang dalam banyak hal telah berkolaborasi dengan
kepentingan-kepentingan bisnis. Medan politik juga manjadi media yang ampuh
bagaimana rumusan hukum yang menindas diciptakan dan menjadi dasar keadilan
hukum oleh para penegak hukum. Instrumen-instrumen hukum yang menyesengsarakan itu
antara lain, UU Ketenagakerjaan, UU Kehutanan, UU Perlindungan Varietas
Tanaman, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Ketenagalistrikan, UU Panas Bumi, UU
Sumberdaya Air, UU Perkebunan, UU Perikanan, UU Penanaman Modal, PP No. 36/2005
tentang Pengadaan Tanah Untuk Pelaksanaan Pembangunan demi Kepentingan Umum, Kebijakan
pemerintah yang mendivestasi perusahaan penting negara seperti PAM Jaya,
Indosat, dan banyak lainnya.
Posisi Kader HMI
Situasi
dan kondisi memilukan penegakan hukum di atas tidak bisa dibantah telah
mengingkari terhadap tujuan besar dari peradaban Islam. Potret penegakan hukum
tersebut menciderai semangat transedensi (keberimanan).
Aktor-aktor penegak hukum dan penentu-penentu kebijakan hukum itu telah mengaburkan
perintah dasar agama tentang keadilan sosial dan jaminan perlindungan
kemanusiaan yang cukup tegas diatur dalam dogma-dogma agama. Orientansi
penegakan hukum dan rumusan hukum yang berdimensi humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahi mungkar) diabaikan begitu saja.
Di
tengah kekisruhan dunia hukum itu, kader HMI tentu menjadi salah satu aktor
yang harus bertanggungjawab dan menjawab tantangan problem buramnya dunia hukum
kedepan. Kader HMI harus ikut bertanggungkawab karena kita tahu tidak sedikit di
negeri ini, aktor-aktor penegak hukum dan pembuat hukum yang duduk di bangku
kekuasaan adalah kader-kader HMI. Demikian juga, kader HMI harus menjawab berbagai
tantangan penegakan hukum. Dalam konteks paradigma profetik, kader HMI harus
menjadi bagian pendorong dan terlibat
dalam penegakan hukum yang manusiawi dan beradab. Setiap kader harus
berlomba-lomba untuk menjadi suri teladan (khairu
ummah) dalam penegakan hukum di negeri yang selalu terpuruk ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment