29 November 2025

POLISI SIPIL

 ~~~ M. Syafi'ie

Penanganan demonstrasi oleh aparat kepolisian pada akhir Agustus sampai awal September 2025 layak dijadikan pelajaran. Demonstrasi berubah jadi amarah publik setelah tindakan aparat kepolisian yang menewaskan seorang .pengemudi ojek online. Setelah itu, demonstrasi semakin memanas dan penanganannya tidak terkendali : penggunaan gas air mata secara berlebihan, pemukulan, dan penangkapan massal terhadap para demonstran.




Tindakan aparat kepolisian, utamanya ketika melindas seorang pengojek online memperlihatkan bahwa hati nurani aparat seperti sirna dan kehilangan statusnya sebagai polisi sipil. Fungsi kepolisian sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat seakan lenyap, digantikan fungsi pertahanan yang memberlakukan demonstran seakan sebagai musuh negara.

Tindakan aparat kepolisian yang anti terhadap demonstran  mengingatkan pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dan ratusan orang-orang mengalami luka-luka. Perih di era transisi ini layak diingat karena kejadian tersebut menjadi ujung yang mengakhiri negara teror (state terrorism) orde baru. Periswa tersebut mendorong reformasi ABRI yang menggabungkan institusi TNI dan Polri. 

Fungsi pertahanan dan keamanan sebagamana diatur dalam UU No. 20 Tahun 1982  digabung untuk menindak dan menyanggah setiap ancaman luar dan dalam negeri. Akibatnya, banyak peristiwa kekerasan dan pendekatan perang  terhadap masyarakat sipil sepanjang orde baru. Konsep yang dikenal dwifungsi ABRI tersebut kemudian dihapuskan di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, serta dilakukan pemisahan yang jelas dimana TNI difokuskan pada fungsi pertahanan, dan Polri yang difokuskan pada fungsi keamanan dan ketertiban, penegakan hukum,  pengayoman dan pelayanan masyarakat.

Tindakan dan Kekhawatiran

Setelah melewati satu dasawarsa era reformasi, tindak kekerasan aparat kepolisian ternyata tidak dapat dihilangkan. Penggunaan cara-cara kekerasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya kerap terjadi, sehingga muncul kesan bahwa rakyat masih ditempatkan sebagai musuh yang harus dilumpuhkan atau diperangi. Merujuk peristiwa demonstrasi awal September, Komnas HAM menyebut setidaknya terdapat 10 orang meninggal. Beberapa korban diduga meninggal karena mengalami kekerasan dan penyiksaan. Bahkan, Kantor Komisi HAM PBB menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap tindakan aparat yang berlebihan dan meminta aparat agar menjunjung tinggi hak berkumpul secara damai serta kebebasan berekspresi. 

Tindakan aparat kepolisian memperlihatkan bahwa institusi ini relatif belum berhasil dalam tranformasi menjadi polisi sipil sebagaimana dicita-citakan dalam semangat pemisahan dwifungsi ABRI. Institusi kepolisian sepertinya tidak bisa beranjak dari paradigma militeristik, sehingga cara berfikirnya ketika melihat rakyat yang menyuarakan pendapatnya kerap dinilai sebagai ancaman, melawan negara, dan layak dijadikan musuh yang harus dihancurkan. Padahal, rakyat yang bersuara adalah bagian dari ekspresi hak-hak konstitusional, yaitu hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, serta hak kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan hati nurani.

Idealitas Polisi Sipil

Cara pandang aparat kepolisian yang memandang gerakan rakyat sebagai musuh tidak sejalan dengan semangat perubahan paradigma kepolisian. Satjipto Rahardjo menyebut setidaknya 4 hal yang harus diubah dari perilaku aparat kepolisiaan sehingga bisa dikatakan sebagai polisi sipil, pertama, mendekat kepada rakyat. Kedua, menjadikan akuntabel kepada rakyat. Ketiga, menggantikan dari yang mengandalkan ‘penghancuran’ dengan melayani dan menolong. Keempat, peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga negara, seperti membantu orang yang lemah, tidak tahu, kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, dan orang-orang yang putus asa. 

Secara historis, institusi kepolisian pernah mengeluarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor 737 Tahun 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan diganti dengan Peraturan Kepolri (Perkap) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi Implementasi Polmas dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Inti dari dua aturan ini ada tiga hal, pertama, kemitraan polisi dan masyarakat dari perencanaan hingga pelaksanaan. Kedua, penanggulangan keamanan bersama. Ketiga. pemberdayaan masyarakat. Masalahnya, kebijakan polmas dan bangunan cara berfikir polisi sipil sepertinya telah terlupakan dan tidak menjadi mindset kekuasaan. (Koran Kedaulatan Rakyat, 29 November 2025)