08 February 2025

KONFLIK BERSEJARAH DAN PELANGGARAN HUKUM HAM AGRESI ISRAEL TERHADAP PALESTINA

~~ M. Syafi’ie[1]

 

 

A.   Pendahuluan

Konflik bersenjata internasional yang tidak pernah berhenti, mengiris hati dan pikiran, serta menyedot perhatian massif masyarakat internasional ialah konflik Israel dan Palestina.  Mayoritas pemimpin negara-negara dunia telah berpartisipasi untuk mendorong perdamaian antar kedua negara, termasuk tidak sedikit aktifis HAM internasional yang bersuara keras menentang diskriminasi dan pelanggaran hukum HAM yang dilakukan Israel terhadap warga negara Palestina. Bahkan pada tahun 1993, Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat prosedur khusus (special procedure)[2] telah membentuk pelapor khusus untuk menyelidiki situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki sejak tahun 1967.[3] PBB telah mengeluarkan beberapa resolusi, salah satunya resolusi yang menyerukan Israel agar pergi dari tanah Palestina. Resolusi ini disetujui September 2024 dengan dukungan mayoritas dari 124 (serratus dua puluh empat) anggota PBB, tetapi disayangkan ada 14 (empat belas) negara menolak, dan 43 (empat puluh tiga) negara lainnya abstain.[4]



Permasalahan Israel dan Palestina merupakan konflik yang begitu menyedihkan karena terjadi dari sekian dekade, dan pada sisi lain dunia internasional tidak berhasil melakukan apapun untuk menghentikannya, karena setiap seruan dan resolusi dunia internasional lewat mekanisme PBB selalu berakhir dengan veto yang dikeluarkan oleh Amerka Serikat, sekutu dekat dan strategis Israel. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan Israel akhirnya terbiarkan begitu saja, dan terlihat mendapatkan pemaafan yang begitu menyakitkan dari beberapa negara dunia, dan bahkan terdapat negara-negara dunia yang mendukung kejahatan-kejahatan Israel dengan selalu memberikan dukungan penuh pada tindakan Israel di forum besar PBB. 

Israel dan Palestina adalah dua negara yang memiliki pemerintahan, wilayah, dan penduduknya masing-masing. Perbedaannya, Israel adalah negara yang berdiri pada tahun 14 Mei 1948, dan diterima menjadi anggota penuh PBB pada 11 Mei 1949. Sedangkan Palestina diumumkan berdiri pada 15 November 1988, tetapi hingga saat ini Palestina belum menjadi anggota penuh PBB. Statusnya disebut sebagai negara pengamat non anggota PBB sejak 29 November 2012. Palestina sebenarnya sudah mengajukan menjadi anggota penuh PBB, bahkan pada pada Mei 2024, PBB menyetujui resolusi keanggotaan Palestina dengan dukungan 143 (seratus empat puluh tiga) negara, 9 (Sembilan) negara menolak, dan 25 (dua puluh lima) menyatakan abstain. Keanggotan Palestina di PBB juga butuh persetujuan dari Dewan Keamanan, dan harapannya tidak ada veto dari Amerika, Rusia, Cina, Prancis atau Inggris.[5]

 Israel ialah negara di Timur Tengah yang dikelilingi Laut TengahLebanonSuriahYordaniaMesir dan gurun pasir Sinai. Israel juga dikelilingi dua daerah yang menjadi otoritas nasional Palestina, yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dengan populasi sekitar 7,5 juta jiwa, Israel terkenal sebagai satu-satunya negara Yahudi di dunia. Sedangkan Palestina merupakan negara Timur Tengah yang terletak antara Laut Tengah dan Sungai Yordan. Sebagian besar negara dunia khususnya negara negara yang tergabung dalam OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) telah mengakui kedaultan Palestna sejak lama. 

Geografis yang berdekatan antara negara Israel dan negara Palestina, menjadikan kedua negara ini selalu berkonflik dan tidak pernah terselesaikan dengan dengan tuntas. Beberapa perjanjian antar kedua negara telah disepakati tetapi tidak pernah berakhir dengan komitmen dan kejujuran, bahkan untuk menyelesaikan konflik kedua negara PBB tercatat telah mengeluarkan lebih dari 66 (enam puluh enam) resolusi yang mendorong perdamaian, penghentian kekerasan dan pelanggaran HAM dan meminta negara Israel untuk menghentikan tindakan agresi dan penjajahannya terhadap negara Palestina. Namun, resolusi PBB selalu berujung pada ketidakpastian karena resolusi-resolusi tersebut selalu “batal” karena hak veto negara Amerika Serikat yang mendukung Israel.[6]

Salah satu muatan resolusi PBB yang berakhir dengan hak veto Amerika Serikat ialah penentangan PBB terhadap tindakan pendudukan negara Israel terhadap wilayah yang menjadi otoritas dan hak negara Palestina. Pendudukan negara Israel terhadap negara negara Palestina menjadi satu wacana yang sangat serius dan panjang. Pendudukan Israel berdampak pada berbagai pelanggaran lainnya yang beruntun seperti pembangunan pemukiman di wilayah negara Palestina, penghancuran tempat-tempat sah warga negara Palestina, pengambilan tanah secara paksa, pengusiran penduduk Palestina, dan saat ini adalah penyerangan secara brutal dengan melakukan bom terhadap rumah dan fasilitas publik warga Palestina, menjadikan anak-anak dan masyarakat sipil sebagai target serangan, blokade bantuan internasional,  dan menciptakan penderintaan ekstrem terhadap penduduk Palestina dan anak-anak.

Dalam hukum internasional konflik bersenjata yang berdasarkan pendudukan suatu negara tertentu atas negara yang berdaulat lainnya merupakan satu bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa yang mengatur perihal pendudukan asing (alien occupation) serta tindakan Israel yang menggunakan kekuatan militer secara berlebihan terhadap warga sipil, pemboman rumah-rumah warga sipil, penyerangan tehradap infrastruktur sipil, dan pengepungan yang menyebabkan penderitaan manusia yang tidak proporsional merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional.[7] Berangkat dari pemikiran ini, tulisan ini hendak menjawab setidaknya dua hal, pertama, historisitas konflik Israel dan Palestina. Kedua,pendudukan negara Israel terhadap wilayah Palestina dan konstruksi pelanggaran hukum humaniter dan hukum HAM internasional. Dua hal ini penting untuk melihat secara sadar akar historis konflik Israel-Palestina, dimensi pelanggaran hukum, dan praktek pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.

 

B.   Historisitas Konflik Israel dan Palestina

Negara Israel dan negara Palestina, merupakan dua negara yang terletak di kawasan timur tengah.  Kawasan ini sejarah historis tidak bisa dilepaskan sama sekali dari eksistensi agama-agama mayoritas di dunia. Di kawasan ini, lahir 3 (tiga) agama samawi dunia, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam serta tempat suci agama masing-masing. Kondisi inilah yang mendorong terjadinya perang salib yang terjadi sekitar awal abad ke-11 Masehi, dan berdampak pada letusan ragam konflik era modern seperti perang Palestina-Israel, perang Iran-Irak, perang Irak-Kuwait, dan beberapa kasus lainnya.[8]Di kawasan yang identik dengan nuansa tandus dengan dekat dengan gurun pasir ini tersimpan sumber daya alam yang melimpah yaitu kekayaan minyak bumi. [9] Negara di kawasan timur tengah menjadi magnet dan tumpuan negara-negara global terkait supply minyak, gas dan energi alam lainnya sehingga konflik bersenjata dan permusuhan manjadi sarana barter, dan konflik yang yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari motif ekonomi dan kepentingan bisnis dunia.

Strategisnya wilayah timur tengah menjadi ajang berbagai kepentingan negara, ideologi, ekonomi, dan pengikut agama-agama samawi yang tersebar di dunia saat ini. Tidak selesainya konsensus perdamaian dan penegakan kemanusiaan antara negara Israel dan Palestina salah satu penyebabnya ialah ambivalensi dan ambiguitas posisi politik negara-negara dunia untuk menyelesaikan konflik kemanusiaan antara keduanya. Konflik antara Israel dan Palestina merupakan konflik terpanjang yang terjadi di kawasan timur tengah, bahkan salah satu agenda pertama dalam Sidang Majelis Umum PBB setelah terbentuk ialah penyelesaian konflik negara Israel dan Palestina.[10]

Konflik antara Israel dan Palestina telah terjadi sekian dekade semenjak terbentuknya negara Israel, berikut ialah historisitas eksistensi Israel dan konflik yang berlangsung meliputi,[11] pertama, periode pra 1920. Semenjak kehancuran Kerajaan Israel dan penjajahan oleh Romawi, Israel mengalami diaspora, dan tidak pernah memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat. Diaspora telah menghasilkan penyebaran umat Yahudi di seluruh dunia, khususnya di Eropa. Mereka berasimilasi dengan masyarakat di sekitarnya, namun tetap mempraktikkan ajaran-ajaran Yahudi. 

Pada awalnya, tidak ada gerakan nasionalisme Yahudi yang mempunyai tujuan untuk kembali ke tanah Israel, karena pada umumnya warga Yahudi diterima di wilayah dimana mereka berasimilasi. Tetapi, setelah munculnya program di Rusia, paham anti-semit di kawasan Eropa Timur dan Tengah, dan juga kematian Alfred Dreyfus (seorang Kapten Tentara Prancis beragama Yahudi) karena tuduhan menjadi mata-mata musuh, gerakan nasionalisme Yahudi muncul di kalangan Yahudi Eropa.[12] Gerakan ini lazim disebut dengan Zionisme. Ketika gerakan Zionisme mulai marak di kawasan Eropa, wilayah Palestina/Israel yang kita kenal pada saat ini masih berada dibawah kekuasaan Imperium Ottoman.

Imperium Ottoman di kawasan Timur Tengah berakhir ketika kekalahan Ottoman pada Perang Dunia I. Kekalahan Ottoman bukan saja disebabkan oleh Inggris dan Prancis, namun juga oleh bangsa Arab yang berada di wilayah Ottoman. Bangsa Arab memberontak kepada Imperium Ottoman atas bantuan Inggris yang telah menjanjikan untuk membantu terbentuknya sebuah pemerintahan Arab yang independen apabila bangsa Arab mau melawan Ottoman.[13] Namun janji Inggris terhadap Arab untuk membantu pembentukan pemerintahan Arab tidak segera diwujudkan. Inggris dan Prancis justru membuat perjanjian bilateral yang membagi bekas wilayah Imperium Ottoman untuk negara-negara Eropa, yang dikenal dengan Sykes-Picot Agreement. Ketika Sykes-Picot Agreement dibuat, wilayah Palestina belum diserahkan kepada negara manapun, sehingga dijadikan sebagai sebuah wilayah pengawasan internasional yang dikelola secara bersama-sama oleh negara pemenang perang.[14]

Pada waktu yang hampir bersamaan dengan dengan pembuatan Sykes-Picot Agreement, Inggris kembali mengumbar janji kepada bangsa Yahudi dengan mendukung pendirian negara Yahudi di tanah Palestina. Dokumen ini dikenal dengan nama Balfour Declaration, yang menjadi landasan bagi gerakan Zionisme untuk mewujudkan visi terbentuknya negara Yahudi yang eksklusif dengan kembali ke tanah Palestina. Lahirnya janji-janji dari Inggris kepada Yahudi dan Arab telah melatarbelakangi konflik antara Arab dan Yahudi, yang merasa berhak dan didukung oleh Inggris. Sykes-Picot Agreementyang dibuat antara Inggris dan Prancis ternyata tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di kawasan Timur Tengah, akhirnya Dewan Sekutu memutuskan dalam Konferensi San Remo yang menghasilkan keputusan memberikan wilayah Palestina dan Irak kepada Inggris, sedangkan Prancis mendapatkan Suriah dan Lebanon.

Kedua, periode 1920-1948. Pada periode ini, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Inggris untuk mengelola wilayah Palestina sampai Palestina bisa memerintah secara otonom. Karena dualisme janji yang diberikan Inggris kepada bangsa Arab dan Kaum Yahudi, untuk bisa membentuk pemerintahan berdaulat yang berdiri sendiri berdampak pada kuatnya gesekan terutama klaim mengenai siapa yang paling berhak untuk berada di wilayah Palestina. Dalam kurun waktu hampir 30 (tiga puluh) tahun selama pemerintahan mandat Inggris telah terjadi beberapa bentrokan di antara bangsa Arab dan Yahudi yang berada di wilayah Palestina, antara lain Palestine Riots 1920, Palestine Riots 1929, Arab Revolt 1936-1939, dan Jerusalem Riots 1947. Kondisi itu berbarengan dengan Perang Dunia II di wilayah Eropa yang melahirkan tragedi holocaust, sehingga semakin menguatkan niat bangsa Yahudi di Eropa untuk kembali ke tanah Palestina.

Pasca Perang Dunia II, lahirlah PBB. Kelahiran badan ini melahirkan inisiatif untuk membuat sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat pembagian wilayah di wilayah  Palestina, sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Dalam proposal ini, Jerusalem tidak ditempatkan di bawah penguasaan Arab atau pun Yahudi, tetapi dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang diurus secara internasional oleh PBB. Proposal itu akhrinya berujung pada pembuatan Resolusi 181 Majelis Umum PBB, atau lebih dikenal dengan UN Partition Plan, yang memberikan 55% wilayah Palestina untuk dijadikan negara Yahudi, dan 45% sisanya untuk negara Arab.[15] Secara demografis, komunitas Yahudi hanya ada sekitar 7% dari seluruh penduduk Palestina, dan 93% sisanya merupakan penduduk Arab.

Keputusan PBB yang dianggap tidak adil melahirkan penolakan dari bangsa Arab yang merasa diperlakukan tidak adil melalui UN Partition Plan mendorong terjadinya konflik di Yerusalem antara Arab dengan Yahudi, diantaranya melalui pasukan paramiliter Haganah. Ditambah dengan sikap Bangsa Arab  yang menganggap proposal perdamaian yang kemudian diwujudkan dalam resolusi tidak sah dan tidak mengikat secara hukum karena sekedar resolusi Majelis Umum PBB yang sifatnya tidak mengikat secara hukum (non-legally binding) sebagaimana dalam ketentuan United Nation Charter.[16] Di tengah suasana yang belum pasti itu, bersamaan dengan berakhirnya mandat Inggris, David Ben-Gurion yang mewakili Yahudi memproklamirkan berdirinya Negara Israel pada 14 Mei 1948.[17] Pendirian negara Israel di dukung oleh Amerika Serikat dan Uni Sovyet.[18]

Ketiga, periode 1948. Pasca didirikannya negara Israel di wilayah Palestina berdampak sangat serius terhadap berbagai konflik bersenjata antara Bangsa Arab dan negara Yahudi di wilayah tersebut. Di antara konflik bersenjata itu ialah perang Al Nakba yang kemudian mendorong perjanjian perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab di sekitarnya pada bulan Juli 1949. Momentum perdamaian itu menegaskan bahwa Israel telah diterima sebagai anggota penuh PBB. Perang saat itu berdampak sekitar 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu) warga Palestina terpaksa menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara Arab. 

Konflik bersenjata Arab dan Israel tidak berhenti di tahun 1949. Selama 17 tahun, ketegangan antara negara-negara Arab dan Israel masih terus terjadi, khususnya dari Presiden Mesir pada saat itu, yaitu Gamal Abdul Nasser yang seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berisikan tentang keinginannya untuk menghancurkan negara Israel. Pada tahun 1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel, dimana Israel pada waktu itu melancarkan serangan pertamanya ke Mesir. Dalam perang yang dikenal juga dengan Six-Days War Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Selain itu, negara Israel juga berhasil mengubah peta geopolitik di kawasan Timur Tengah. Dampak Perang pada 1967, sekitar 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) penduduk wilayah Palestina menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi Palestina, dan kemudian bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di pengungsian.

Konflik antara bangsa Arab dan negara Israel belum selesai. Pada tahun 1973 terjadi konflik bersenjata yang dikenal dengan Yom Kippur War. Dalam perang ini, Bangsa Arab berhasil membalas kekalahannya dari Israel. Serbuan negara-negara Arab berhasil melumpuhkan Israel, meski Israel tidak dikalahkan secara telak. Perang ini berhasil memaksa Israel untuk mengembalikan Semenanjung Sinai dan Gaza kepada Mesir melalui sebuah perjanjian perdamaian pada tahun 1979. Konflik terus terjadi, sampai menguatnya solidaritas masyarakat Palestina yang tergabung dalam Palestine Liberation Organization (PLO). Eksistensi PLO sebagai representasi resmi bagi rakyat Palestina membuat perjuangan rakyat Palestina semakin terkontrol, dan memudahkan Palestina untuk ikut serta dalam konferensi-konferensi internasional, karena status PLO sebagai gerakan pembebasan nasional yang diakui sebagai salah satu subyek hukum internasional. Walaupun telah memiliki organisasi yang resmi, masyarakat Palestina di tataran akar rumput tetap melakukan perlawanan terhadap represifitas negara Israel.

Perlawanan rakyat Palestina salah satunya dikenal dengan “Intifada”. Perlawanan ini dilatari oleh kekecewaan rakyat Palestina terhadap bangsa Arab yang tidak lagi berjuang bersama-sama Palestina. PLO yang belum bisa menunjukkan posisinya sebagai representasi dari rakyat Palestina, dan juga tindakan represif dari negara Israel melalui pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Palestina, penghancuran properti milik warga Palestina, dan juga pemindahan penduduk secara paksa mendorong totalitas perjuangan rakyat Palestina.

Eksistensi Intifada di Palestina, dan kematian salah satu tokohnya yaitu Abu Jihad menginspirasi beberapa pemimpin Palestina untuk mempertegas posisi negara Palestina. Semenjak tahun 1988, istilah Palestina untuk menggambarkan sebuah negara mulai dikenal. Eksistensi PLO, deklarasi negara Palestina, konferensi-konferensi perdamaian antara Palestina dan Israel mulai marak dilakukan oleh negara-negara besar seperti AS dan Rusia. Konferensi perdamaian paling awal adalah Madrid Conference yang dilaksanakan pada tahun 1991, dilanjutkan dengan Oslo Accords pada tahun 1993. Oslo Accords menjadi salah satu tahapan penting dalam kronik perdamaian Palestina-Israel karena memuat rencana-rencana perdamaian dan pembentukan negara Palestina.

Keberadaan Oslo Accords mendamaikan beberapa saat konflik negara Israel dan negara Palestina. Tetapi seiring terbunuhnya Yitzhak Rabin yang berperan penting dalam Oslo Accords berdampak pada kesepakatan yang kembali mentah dan tidak dapat diimplementasikan. Kegalan Oslo Accords berdampak hidupnya kembali konflik negara Israel dan negara Palestina. Kesepakatan perdamaian terus dilakukan tetapi selalu berujung pada tidak adanya komitmen dan keseriusan negara Israel. Kesepakatan-kesepakatan yang telah mempertemukan kedua belah pihak itu antara lain Hebron AgreementWye River MemorandumBeirut Summit yang diprakarsai oleh Arab Peace Initiative, atau Road Map for Peace yang diusulkan oleh Quartet on Middle East yang terdiri dari AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa (UE), kesepakatan Annapolis Conference, dan lainnya.

Dari sekian kesepakatan-kesepakatan itu, selalu berujung tragis. Tidak ditepati, tidak menjadi komitmen dan selalu terjadi pelanggaran kesepakatan. Negara Israel yang telah mempunyai kekuatan militer yang sangat besar, penguasaan modal yang hegemonik di dunia dan didukung secara total oleh aliansi strategisnya Amerika Serikat semakin memposisikan negara Israel bertindak sewenang-wenang, tidak patuh pada kesepakatan, selalu menggunakan jalan kekerasan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh dan rakyat Palestina, serta mengancam dan membunuh para aktifis HAM yang mendorong perdamaan Israel-Palestina. 

Konflik termutaakhir adalah agresi dan serangan Israel yang telah telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina dan yang paling besar adalah anak-anak; serangan yang melukai ratusan ribu warga sipil Palestina; menghancurkan semua fasilitas publik dan rumah-rumah warga sipil Palestina; menyerang jurnalis, tenaga medis, dan pegiat kemanusiaan; melakukan blokade bantuan internasional yang berdampak pada kelaparan akut warga Palestina, dan menguatnya dukungan warga dunia dan negara-negara dunia untuk Palestina. Salah satunya muncul resolusi genjata senjata di forum Dewan Keamanan PBB, tetapi resolusi kemudian kandas karena Amerika Serikat melakukan veto kembali. Bisa dikatakan, hingga saat ini pelanggaran hukum humaniter dan pelanggaran hukum HAM internasional sangat sistemik telah dilakukan Israel, tetapi negara ini tidak dapat tersentuh hukum internasional dan tindakannya didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat.

 

C. Konstruksi Pelanggaran Hukum Humaniter dan Hukum HAM Internasional Terkait Pendudukan Israel di Wilayah Palestina

Pendudukan negara Israel terhadap wilayah Palestina terjadi sangat sistemik di antara tahun 1947 sampai dengan 1954, dan antara tahun 1967 sampai dengan sekarang.[19] Arlina Permanasari menuturkan, sekitar tahun 1948 terjadi perolehan tanah secara melawan hukum yang dilakukan dengan kekerasan bersenjata. Israel menambahkan wilayah yang diperolehnya dari pendudukan militer ke dalam wilayah nasionalnya. Pada tahap periode kedua, yaitu antara tahun 1967 sampai sekarang terjadi juga perolehan tanah secara melawan hukum. Negara Israel melakukan annexation(penggabungan) wilayah Jerusalem bagian Timur dan Dataran Tinggi Golan. Wilayah Palestina dihancurkan sedikit demi sedikit dengan penggunaan senjata  dan senjata oleh negara Israel, sampai tersisa sangat sedikit yang ditempati sedikit oleh warga Palestina saat ini.

Negara Palestina sebagaimana kita ketahui telah menjadi negara yang berdaulat setelah dideklarasikan pada tahun 1988, telah mendapatkan pengakuan dari negara-negara di dunia internasional, walaupun belum menjadi anggota penuh PBB karena belum disetujui oleh Amerika Serikat, Israel, dan beberapa negara sekutu dekatnya. Bahkan sebelum itu, wilayah Palestina sebagaimana Resolusi No. 181 Majelis Umum PBB (UN Partition Plan), 45% wilayah Palestina telah menjadi wilayah bangsa Arab, sedangkan sisanya menjadi wilayah Israel. Dalam konteks ini sangat jelas otoritas kewilayahan dari negara Palestina. Pendudukan atas wilayah Palestina dengan penggunaan senjata jelas bertentangan dengan hukum humaniter, tindakan pedudukan negara Israel terhadap Palestina dikatagorikan sebagai pendudukan asing (alien occupation).

Pada Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I (1977) Konvensi Jenewa (1949)[20] dikatakan  bahwa “Situasi yang dimaksud dalam ayat sebelumnya (perlindungan korban-korban perang) termasuk pula sengketa-sengketa bersenjata yang  didalamnya rakyat-rakyat sedang berperang melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing (allien occupation)dan melawan pemerintahan-pemerintahan rasialis (racist regimes)  untuk melaksanakan hak menentukan nasib sendiri mereka, sebagaimana yang dijunjung tinggi di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang Asas-asas Hukum Internasional mengenai Hubungan-hubungan Persahabatan dan Kerjasama di antara Negara-negara sesuai Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.” Pada Pasal 1 Protokol Tambahan I  ditegaskan bahwa para pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin dihormatinya protokol dalam segala keadaan. Tujuan pentingnya tentu untuk melindungi warga sipil dan kombatan sesuai prinsip-prinsip hukum internasional, prinsip kemanusiaan, dan hati nurani publik. Dalam protokol ini juga ditegaskan bahwa materi Protokol Tambahan I  melengkapi terhadap Konvensi Jenewa untuk melindungi korban perang.

Menurut Arlina, tindakan-tindakan militer dan pendudukan militer hanya akan dianggap sah jika dilakukan berdasarkan konsep mempertahankan diri-sendiri (self-defense), atau memang dilakukan demi kepentingan dari masyarakat asli dari wilayah yang diduduki, dan normalnya pendudukan militer dilakukan dalam waktu yang terbatas (tidak lama). Dalam konflik Israel-Palestina, ada begitu banyak tindakan Israel yang melanggar terhadap ketentuan Konvensi Jenewa, antara lain dimana pendudukan militer Israel diikuti dengan berbagai pelanggaran hukum humaniter lainnya seperti eksploitasi ekonomi demi kepentingan Israel, pendudukan dengan cara melawan hukum, pembuatan dinding pemisah, perubahan ketentuan administrasi, tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil,[21] penyerangan dan pembunuhan masyarakat sipil, penyerangan tenaga medis, penghancuran rumah sakit dan fasilitas cagar budaya, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap tahanan, penyerangan terhadap jurnalis, dan beberapa lainnya.

Tindakan pendudukan negara Israel terhada Palestina setidaknya telah melanggar beberapa ketentuan hukum humaniter, meliputi, pertama, pelanggaran pada Pasal 43 dan 44 Konvensi Den Haaq ke-IV tahun 1907. Pasal 43 berbunyi “Kewenangan dari penguasa yang sah secara nyata telah beralih ke tangan Penguasa Pendudukan, yang kemudian akan mengambil semua langkah dalam kewenangannya untuk mengembalikan dan menjamin ketertiban dan keamanan umum bila memungkinkan, kecuali benar-benar untuk pencegahan, dengan menghormati hukum yang berlaku di negara tersebut”.

Pasal 44 Konvensi Den Haaq ke-IV tahun 1907 berbunyi “Penguasa Pendudukan harus  hanya dianggap sebagai administrator dan pengelola bangunan-bangunan publik, pemukiman masyarakat, hutan, dan lahan pertanian yang menjadi milik Negara Musuh, dan yang terletak di dalam wilayah negara yang diduduki. Penguasa Pendudukan harus melindungi modal dari barang-barang tersebut dan mengelolanya sesuai dengan hukum lokal setempat”.

Kedua, pendudukan negara Israel telah melanggar Pasal 47 dan 54 Konvensi Jenewa IV tahun 1949, Pasal 47 berbunyi “Orang-orang yang dilindungi yang ada di wilayah yang diduduki,  bagaimanapun dan dalam keadaan apapun tidak akan kehilangan manfaat dari Konvensi ini karena perubahan yang diadakan dalam lembaga-lembaga atau pemerintahan suatu wilayah sebagai akibat dari pendudukan wilyah itu. Mereka juga tidak akan kehilangan manfaat Konvensi ini karena persetujuan apapun yang diadakan antara penguasa-penguasa dari wilayah yang diduduki dan negara pendudukan, atau karena aneksasi seluruh atau sebagian dari wilayah oleh Penguasa Pendudukan”.

Pasal 54 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 berbunyi “Penguasa Pendudukan tidak boleh merubah kedudukan pegawai-pegawai negeri atau hakim di wilayah yang diduduki, atau dengan cara bagaimanapun menggunakan sanksi atau mengambil tindakan paksaan atau diskriminasi apapun terhadap mereka, apabila mereka tidak melakukan tugas-tugas mereka karena alasan-alasan hati nurani mereka…”

Ketiga, pendudukan negara Israel telah melanggar Protokol Tambahan I tahun 1977. Perluasan pendudukan negara Israel dengan mengambil secara paksa tanah-tanah yang secara sah dimiliki rakyat Palestina jelas dapat dikatogorikan sebagai merupakan pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang dimiliki oleh rakyat Palestina. 

Selain hukum humaniter, hukum HAM internasional juga menjamin terhadap hak menentukan nasib sendiri (self-determination). Pada Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 55 Piagam PBB (Charter Of The United Nations) menegaskan prinsip tentang hak yang sama dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa. Pasal 1 ICCPR (International Convention on Civil dan Political Rights) dan Pasal 1 ICESCR (International Convention on Economic, Social and Cultural Rights) juga menegaskan bahwa semua bangsa mempunyai hak menentukan nasib sendiri, mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas berupaya mencapai pembangunan ekonomi, sosial dan budayanya. Hal yang sama ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) tahun 1960 tentang Declaration on the Granting Independence to Colonial Contries and Peoples, Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) tahun 1970 tentang Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation among States in Accordance with the Charter of The United Nations.

Ketentuan-ketentuan di atas jelas menegaskan perihal pelanggaran hukum humaniter dan pelanggaran hukum HAM internasional atas tindakan pendudukan yang dilakukan negara Israel. Berikut ini ialah beberapa gambaran praktek pelanggaran hukum humaniter dan hukum HAM internasional negara Israel sebagaimana diungkap dalam Israel Law Resource Center,[22] antara lain, pertama, negara Israel telah mengganti semua lembaga-lembaga pemerintah setempat dengan komite militer negara Israel. Negara Israel juga mendirikan sistem pemerintahan yang bersifat opresif dan eksploitatif terhadap kehidupan perekonomian rakyat Palestina. Sistem ini berdampak pada tingkat pengangguran yang sangat tinggi dan menurunnya pendapatan ekonomi rakyat Palestina, dan sebaliknya terjadi sentralisasi keuntungan yang negara Israel.

Kedua, negara Israel dengan sewenang-wenang mengambil tanah rakyat Palestina dan merubah status hukum tanah tersebut serta mengisi wilayah tersebut dengan infra struktur milik negara Israel yang berdampak pada terisolirnya masyarakat Palestina dari dunia luar. Infra struktur Israel meliputi tempat pemukiman penduduk sipil dari Israel, tempat perkemahan pasukan Israel, zona-zona penyangga, tempat-tempat penampungan orang asing, jalan raya yang hanya dapat digunakan oleh orang Israel, dan dinding pemisah yang di bangun di tengah-tengah komunitas rakyat Palestina. Ironisnya lagi, akses daerah Palestina diawasi oleh pasukan-pasukan bersenjata negara Israel. Situasi dan kondisi ini berdampak pada banyaknya pelecehan, kekerasan, extra judicial killing, dan sistemiknya pelanggaran hukum HAM yang menimpa rakyat Palestina. Kondisi ini juga berdampak pada terjadinya kemiskinan dan kelaparan di semua wilayah, malnutrisi dan berbagai penyakit yang diderita terutama oleh anak-anak rakyat Palestina.

Ketiga, Negara Israel telah menerapkan hukum yang dimodifikasi dari Defense (Emergency) Regulation 1945 yang pertama kali dibuat oleh Pemerintah Inggris untuk memadamkan kekerasan yang dilakukan oleh bangsa Palestina. Aturan tersebut ditentang keras oleh komunitas zionis, tetapi saat ini  aturan tersebut justru Israel praktekkan terhadap rakyat Palestina. Muatan dalam aturan Defense Regulation antara lain mengijinkan tindakan-tindakan ilegal seperti pidana penjara tanpa melalui sidang pengadilan atau denda, deportasi, penghancuran rumah, tindakan hukuman kolektif, dan beberapa aturan lain yang secara substansi tidak sejalan dengan hukum humaniter dan hukum HAM internasional. Selain itu, tantara-tentara negara Israel melakukan praktek kekerasan, penganiayaan, dan pembunuhan di luar hukum terhadap rakyat di di wilayah-wilayah Palestina.

Tindakan-tindakan negara Israel setidaknya telah melanggar terhadap puluhan resolusi Majelis Umum PBB; melanggar advisory opinion ICJ (International Court of Justice) tahun 2004 yang mengutuk pendirian dinding pemisah di Tepi Barat, dan beberapa kesepakatan internasional lainnya. 

Selain itu, terdapat fakta pelanggaran hukum humaniter dan hukum HAM internasional yang dilakukan negara Israel terhadap rakyat Palestina, antara lain : [23]  

1.     Pelarangan penduduk sipil Palestina atas hak untuk kembali ke tanah airnya setelah konflik bersenjata berakhirPemerintah Israel memberlakukan hukum dan memerintahkan pasukan militernya untuk menahan sekitar ribuan orang Palestina agar mereka tidak pulang ke tanah air mereka. 

2.     Pemindahan penduduk Palestina secara ilegal. Pemerintah Israel telah mendirikan pemukiman dan menempatkan ratusan warga Israel di wilayah pendudukan yang tidak sesuai dengan resolusi PBB tentang UN Partition Plan.

3.     Penghancuran rumah-rumah ibadah, dan menekan menteri agama dan urusan kepercayaan negara Palestina. Negara Israel telah menghancurkan masjid-masjid kaum muslimin dan ikut campur dalam urusan pemuka agama Palestina. 

4.     Negara Israel mempraktekkan hukuman kolektif terhadap warga Palestina atas tindakan pemberontakan mereka, seluruh komunitas warga Palestina akan dihukum karena tindakan dari beberapa orang saja. 

5.     Pemberlakuan praktek rasisme, dimana Pemerintah Israel membentuk aturan-aturan yang memberikan keuntungan hanya kepada rakyat Yahudi saja. 

6.     Pemerintah Israel melegalisasi praktek diskriminasi terhadap orang-orang Palestina, praktek itu sesuai dengan pengertian apartheid menurut PBB.

7.     Pemerintah Israel membuat kebijakan yang mencerai-beraikan kesatuan keluarga orang-orang Arab. Pada tahun 2003, Parlemen Israel (Knesset) mengeluarkan suatu aturan yang melarang pasangan (suami-istri) warga negara keturunan Arab yang berada di wilayah pendudukan untuk mengunjungi keluarga mereka di negara Israel (dengan perkecualian). 

8.     Negara Israel melakukan praktek pembersihan etnis. Sebelum berdirinya negara Israel, orang-orang Israel telah mempraktekkan berbagai macam bentuk pembersihan etnis yang alasan utamanya adalah ingin melindungi kaum Yahudi yang saat itu merupakan kaum minoritas.

 

Konflik Israel-Palestina yang begitu pelik, dan termutaakhir adalah penghancuran secara total wilayah Palestina dan penyerangan masyarakat sipil yang berada di luar batas kemanusian semakin mempertebal bahwa pemimpin negara Israel telah melanggar ragam hukum internasional, yaitu melanggar hukum perang; melanggar terhadap Statuta Roma (1998) yang mengatur the most serious crimes (war crime, genocide, crimes against humanity, dan crime of aggression); melanggar terhadap beberapa resolusi PBB; melanggar terhadap kovenan dan beberapa konvensi hukum HAM Internasional.[24] Karena itu, pertama, tidak berlebihan jika Mahkamah Internasional atau ICJ (International Court of Justice) [25] membuat keputusan bahwa pendudukan Israel di tanah Palestina adalah ilegal dan harus diakhiri serta memutuskan agar Israel menghentikan serangan militernya dan tindakan lain apapun di Rafah yang dapat menyebabkan kehancaruran fisik secara keseluruhan maupun sebagian.[26] Kedua, tidak berlebihan juga kalau Pengadilan Kriminal Internasional atau ICC (International Criminal Court) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama konflik di Gaza, Palestina.[27] Kedua pimpinan negara Israel tersebut bertanggungjawab terhadap kejahatan kelaparan yang menjadi strategi perang, pembunuhan, penganiayaan, blokade bantuan internasional, dan dampak penderitaan ekstrem yang menimpa penduduk Palestina dan khususnya yang menimpa anak-anak.

 

D. Penutup

Berpijak pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik bersenjata antara negara Israel dengan negara Palestina merupakan konflik yang sudah sangat lama terjadi di kawasan Timor Tengah. Kawasan ini merupakan tempat lahirnya agama-agama yang mempunyai penganut agama terbesar di dunia, yakni agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Selain itu, kawasan Timor Tengah merupakan wilayah yang sangat strategis karena kandungan sumber daya alamnya yang sangat melimpah. Karena itu, negara-negara internasional dan masyarakat sipil internasional dengan berbagai varian ideologi dan agama, tidak bisa lepas dari motif ekonomi dari ragam konflik yang terjadi.

Penetapan ragam resolusi PBB dan begitu besarnya korban yang menimpa rakyat Palestina tidak menghentikan konflik bersenjata di Palestina. Kesepakatan-kesepakatan perdamaian telah dibuat tetapi selalu berakhir dengan tidak adanya komitmen dari negara Israel. Dalam konflik yang panjang itu, terjadi proses pendudukan yang ilegal yang dilakukan oleh negara Israel terhadap wilayah otoritas Palestina. Pendudukan terhadap wilayah Palestina dibarengi dengan berbagai kekerasan, pembunuhan, penghancuran rumah-rumah, pengambilan tanah secara paksa, pembangunan dinding di tepi barat, dan serangan terhadap masyarakat sipil. Secara umum pendudukan dan tindakan-tindakan pidaan yang dilakukan negara Israel terhadap wilayah Palestina telah melanggar hukum humaniter; melanggar Statuta Roma;  melanggar terhadap beberapa resolusi PBB; melanggar terhadap keputusan ICJ (International Court of Justice); sertamelanggar terhadap kovenan dan beberapa konvensi hukum HAM internasional. [Naskah Seri Monograf Kalimassada Yayasan Badan Wakaf UII, 2024)

 

 

 

BUKU

Dennis Ross, The Missing Peace The Inside Story of the Fight for Middle East Peace, Farrar Straus and Giroux, New York, 2005

Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002.

Hermawati, Sejarah Agama dan Bangasa Yahudi, Rajawali Pers, 2005, Jakarta

ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornel University Press, Ithaca and London, 2003

James Turner Johnson. Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Mizan, Bandung1997

Jawahir Thontowi, Hukum International di Indonesia, Madyan Press, Yogyakarta, 2002

Karen Armstong, Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi,  Serambi, Jakarta, 2000

KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 2007

Knut D. Asplund,  Suparman Marzuki dan Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over : Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama1998

Lina Alexandra dan Bantarto Bandoro, Ketidakstabilan Permanen di Timur Tengah, Analisis CSIS Indonesia dan Isu-Isu Global, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta 2007

Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka Hak Asasi Manusia Wallenberg Institute, 2003

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.

Muhsin Muhammad Shaleh, Palestina : Sejarah Perkembangan dan Konspirasi, Gema Insani, 2002, Jakarta

Peter Mansfield, The History of Middle East Second Edition, Penguin Books, New York, 2004

Ron David, Arab-Israel Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2007

Rusdi Marpaung (Ed), Perlindungan Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, IMPARSIAL, Jakarta, 2005

Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 2010

Simon, Mengenal ICC : Mahkamah Pidana International, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, 2009

Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia, 2004, Jakarta

Sumaryono Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia Press, 1990, Jakarta

Teuku May Rudi, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, 2011, Bandung

Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta, 2005

 

JURNAL, PROCIDING, MAKALAH

Liska Muslimma, Maya Widyastuti, dan Lenny Husna, Pelanggaran dalam Hukum Humaniter Internasional pada Perang Israel Terhadap Palestina, dalam Prociding Seminar Nasional Ilmu Sosial dan dan Teknologi (SNISTEK) 6 Tahun 2024

Widya Islamiati dan Syamsul Rijal, Memahami Konflik Palestina-Israel dalam Bingkai Berinta NU Online, dalam Jurnal Studi Jurnalistik, 4 (2), 2022

Veriztian Fernandis Turangan, Kajian Hukum Mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai Menurut Hukum Internasional, dalam Jurnal Lex Administratum, Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021 

Wdiada Gunakaya, Peranan dan Prospek “International Criminal Court” Sebagai  International Policy dalam Menanggulangi International Crimes”, dalam Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02, September 2013

Rafendi Djamin, Sistem dan Mekanisme HAM PBB, Regional dan Nasional, makalah yang disampaikan dalam Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia yang diselenggarakan Pusham UII dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) di Yogyakarta pada 22-24 September 2005

 



[1] Dosen pengajar Hukum HAM Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UII. Pernah mengikuti Training of Trainers ‘Human Rights and International Humanitarian Law (IHL) Dessminanton yang diselenggarakan The International Committee of The Red Cross (IHRC) tahun 2013, dan  Training Workshop on UN Human Rights Mechanisms yang diselenggarakan Geneva Academy dan Norwegian Centre For Human Rights University of Oslo tahun 2020. Penulis bisa dihubungi lewat email 154101314@uii.ac.id

[2] Rafendi Djamin, Sistem dan Mekanisme HAM PBB, Regional dan Nasional, makalah yang disampaikan dalam Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia yang diselenggarakan Pusham UII dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) di Yogyakarta pada 22-24 September 2005, hlm 2-4

[3] Prosedur khusus atau special procedure mandate holder merupakan pakar atau sekompok pakar independent yang ditunjuk oleh Dewan HAM PBB untuk memberikan laporan dan masukan kepada Dewan HAM terkait kondisi pelaksanaan tema HAM tertentu maupun kondisi HAM di negara tertentu. Dalam rangka menjalankan fungsinya, pakar atau para pakar yang ditugaskan antara lain akan melakukan pengamatan langsung melalui kunjungan ke negara (country visit); kajian tematis dan menyelenggarakan konsultasi dengan pakar, para pembela, dan pihak-pihak terkait. 

[4] Resolusi merupakan hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui baik melalui consensus maupun pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan yang bersangkutan. Resolusi juga bisa dimaknai pernyataan resmi tentnag pendapat atau kehendak dari suatu badan resmi atau suatu majelis yang bersifat umum yang disahkan melalui pemungutan suara, sebagai suatu penyelesaian secara legislatif. Baca Sumaryono Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia Press, 1990, Jakarta, hlm 30-32

[5] Organ utama PBB yang paling menonjol adalah Dewan Keamanan. Organ ini beranggotakan 15 (lima belas) negara, dimana 5 (lima) negara merupakan anggota tetap, dan 10  (sepuluh) sisanya merupakan anggota tidak tetap. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB diberikan hak yang istimewa, yaitu hak veto. Hak ini disebut istimewa karena merupakan hak untuk membatalkan suatu rancangan resolusi yang telah diputuskan oleh suara terbanyak anggota Dewan Keamanan PBB. Hak veto sendiri dinyatakan sebagai imbalan dari tanggung jawab negara pemenang perang dunia II terhadap tugas menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Baca Teuku May Rudi, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, 2011, Bandung, hlm 102; dan Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia, 2004, Jakarta, hlm 291

[6] http://www.phon.ucl.ac.uk/home/geoff/UNresolutions.htm, diakses 27 Agustus 2010, jam 10. 00 

[7] Liska Muslimma, Maya Widyastuti, dan Lenny Husna, Pelanggaran dalam Hukum Humaniter Internasional pada Perang Israel Terhadap Palestina, dalam Prociding Seminar Nasional Ilmu Sosial dan dan Teknologi (SNISTEK) 6 Tahun 2024, hlm 201

[8] Lina Alexandra dan Bantarto Bandoro, Ketidakstabilan Permanen di Timur Tengah, Analisis CSIS Indonesia dan Isu-Isu Global, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta 2007, hlm. 63

[9] Anup Shah, “The Middle East”, http://www.globalissues.org/Geopolitics/MiddleEast.asp, 22 April 2008, 09.22 WIB

[11] Ibid

[12] Dennis Ross, The Missing Peace The Inside Story of the Fight for Middle East Peace, Farrar Straus and Giroux, New York, 2005, hlm.16

[13] Ron David, Arab-Israel Untuk Pemula, Terjemahan : Pito, Resist Book, Yogyakarta, 2007, hlm.85

[14] Muhsin Muhammad Shaleh, Palestina : Sejarah Perkembangan dan Konspirasi, Gema Insani, 2002, Jakarta, hlm 42

[15] PBB membentuk komisi khusus bagi Palestina yaitu United Nation Special Committee of Palestine (UNSCOP) yang terdiri dari sebelas negara dan dipimpin oleh Swedia. Setelah meninjau lokasi, komisi ini memberikan laporan kepada Majelis Umum PBB  dan pada tanggal 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 181 yang mengesahkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua bagian, yaitu bangsa Arab Palestina dan untuk orang-orang Yahudi. Baca Hermawati, Sejarah Agama dan Bangasa Yahudi, Rajawali Pers, 2005, Jakarta, hlm 134

[17] Pada tanggal 14 Mei 1948 satu hari sebelum menyerahkan mandate Palestina kepada PBB, David Ben Gourion (pemimpin zionis) memproklamasikan berdirinya Negara Israel yang kemudian diakui oleh Amerika Serikat sehari setelahnya. Pada tanggal 15 Mei 1948, Israel disebut sebagai negara yang berdaulat. Kemerdekaan Israel kemudian dianggap menjadi awal terjadinya rentetan konflik Arab-Israel maupun Israel-Palestina hingga saat ini. Baca Widya Islamiati dan Syamsul Rijal, Memahami Konflik Palestina-Israel dalam Bingkai Berinta NU Online, dalam Jurnal Studi Jurnalistik, 4 (2), 2022, hlm 8

[18] Peter Mansfield, The History of Middle East Second Edition, Penguin Books, New York, 2004, hlm. 236

[19] Arlina Permanasari, Israel dan Pendudukan Asing atas Palestina. Konflik Bersenjata Harus Diakhiri…!!!, lihat di http://arlina100.wordpress.com/2009/01/05/, diakses pada 27 Agustus 2010, jam 19. 00

[20] Protokal Tambahan I dan II merupakat traktat internasional yang melengkapi Konvensi Jenewa tahun 1949. Kedua protokol ini secara signifikan dianggap semakin meningkatkan perlindungan hukum bagi penduduk sipil dan korban luka. Protokol ini dianggap menjadi aturan yang memiliki dimensi kemanusiaan yang rinci dan berlaku ketika terjadi perang sipil dan konflik bersenjata. Protokol I melindungi korban-korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan protokol II untuk melindungi korban-korban pertikaian bersenjata non internasional. Baca Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 2003, Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan Yang Berhubungan dengan Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II).

[21] Arlina Permanasari, Israel dan Pendudukan Asing atas Palestina. .. Op.Cit, Diakses pada 27 Agustus 2010.

[22] Ibid

[24] Negara Israel setidaknya melangar terhadap international covenant on civil dan political rights; international covenan on economic, sosial and cultural rights; convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment; convention on the rights of the child; international convention on the elimination of all forms of racial discrimination; international convention for the protection of all persons from enforced disappearance; dan convention on the prevention and punishment of the crime of genocide.

[25] International Court of Justice (ICJ) adalah lembaga peradilan yang didirikan oleh PBB. Setidaknya ada tiga cara yang bisa dilalui oleh negara yang ingin mengajukan kasus sengketanya dengan negara lain ke ICJ, pertama, dengan kesepakatan khusus (special agreement. Dua negara atau lebih mengajukan kasus ke ICJ dalam suatu kesepakatan. Kedua, melalu klausul khusus dalam traktat perjanjian (clause in a treaty). Ketiga,adanya deklarasi unilateral (unilateral declaration). Negara-negara yang mengajukan kasus bisa memilih menggunakan deklarasi unilateral sesuai dengan yurisdiksi ICJ dan mengikuti bagi negara lainnya. Yurisdiksi ICJ mencakup dua hal, pertama, jurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkan (contentious jurisdiction). Kedua, jurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction) yang dikenal non contentious jurisdiction. Baca Veriztian Fernandis Turangan, Kajian Hukum Mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai Menurut Hukum Internasional, dalam Jurnal Lex Administratum, Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021 

[26] Ada beberapa negara yang mendeklarasikan untuk intervensi kepada International Court of Justice (ICJ), antara lain Kolumbia, Libya, Meksiko, Negara Palestina dan Spanyol atas kasus Afrika Selatan vs Israel mengenai Penerapan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) di jalur Gaza terhadap Israel.

[27] International Criminal Court (ICC) adalah pengadilan internasional yang bersifat permanen dan mandiri. ICC digagas dan dibentuk oleh PBB lewat pengesahan Statuta Roma (1998) dan diberikan kewenangan untuk menyelidiki, mengadili dan memidana individu tanpa memandang official capacity yang dimiliki oleh individu tersebut di negaranya, tidak peduli apakah Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan, Komandan Militer, atau sebagai atasan, seorang sipil atau tantara bayaran asalkan terbukti bersalah melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi criminal ICC maka individu tersebut harus dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. ICC berkedudukan di Den Haag dengan yurisdiksi criminal empat hal, pertama, kejahatan genosida (the crimes of genocide). Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes of against humanity). Ketiga, kejahatan perang (war crimes). Keempat, kejahatan agresi (the crimes fo aggression). Baca Wdiada Gunakaya, Peranan dan Prospek “International Criminal Court” Sebagai  International Policy dalam Menanggulangi International Crimes”, dalam Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 29 No. 02, September 2013,  hlm 790

0 comments:

Post a Comment