M. Syafi'ie
21 January 2019
Pelanggaran HAM dan Pesan Untuk Pemangku Kebijakan
Monday, January 21, 2019
No comments
Di
awal tahun, tidak ada salahnya kita mengingat kasus pelanggaran HAM tahun lalu.
Setidaknya kasus-kasus yang ada akan memperingatkan pemangku kebijakan agar
tidak mengulangi kesalahan di tahun ini. Di hari HAM 2018, Kontras merilis
peristiwa pelanggaran HAM yang cukup mengagetkan. Kasus pelanggaran HAM di
sektor sumber daya alam (umum) mencapai 194 kasus, okupasi lahan mencapai 65 kasus,
kriminalisasi 29 kasus, penembakan atas nama terorisme 15 kasus, penangkapan
atas nama terorisme 99 kasus, vonis hukuman mati 21 kasus, penyiksaan (umum) 73
kasus, extrajudicial killing 182
kasus, pelanggaran aksi 32 kasus, pembubaran paksa 75 kasus, pelanggaran di sektor kebebasan beragama dan berkeyakinan
78 kasus, pelarangan aktifitas 28 kasus, intimidasi minoritas 19 kasus, dan
persekusi 35 kasus.
Data
pemantauan yang dihimpun Kontras memperlihatkan betapa pelanggaran HAM tahun
2018 terbilang sangat besar dan didominasi konflik sumber daya alam dan exstra judicial killing. Pertanyaannya,
mengapa peristiwa pelanggaran HAM tersebut masih terjadi? Apakah di Indonesia
sedang devisit norma terkait dengan HAM, atau yang bermasalah ialah hilangnya
tanggungjawab negara terhadap semangat perlindungan, penghormatan dan pemenuhan
HAM?
Terkait
dengan norma hukum yang menjamin HAM, pasca jatuhnya rezim Orde Baru
norma-norma hukum HAM telah banyak yang disahkan. Kovenan dan sebagian besar
konvensi internasional telah diratifikasi lewat perundang-undangan. Norma hukum
HAM yang dibuat pemerintah sendiri juga
banyak yang telah disahkan. Bahkan UUD 1945 telah menjamin penghormatan dan perlindungan HAM dalam bab
yang tersendiri. Walau pun ada beberapa catatan terhadap pengaturan norma hukum
HAM, negara Indonesia terbilang cukup maju dalam memproduksi aturan yang
menjamin hak asasi manusia.
Letak
persoalan suburnya kasus pelanggaran HAM tahun lalu lebih tepat akibat dari
lemahnya semangat penyelenggara negara, utamanya ‘aparat keamanan’ dalam
menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya. Seperti kasus kriminalisasi dan okupasi lahan dalam kasus
konflik sumber daya alam yang memperlihatkan betapa pemerintah dan aparat
keamanan tidak cukup jelas bagaimana prinsip dan standar HAM mesti diutamakan
dalam menyelesaikan persoalan. Penembakan, penangkapan, penyiksaan dan extrajudicial killing memperlihatkan
betapa aparat kemanan masih mengutamakan pendekatan ‘represif’ dibanding dengan
cara persuasi dan penegakan hukum yang fair. Sedangkan kasus intimidasi
monoritas, persekusi dan pelarangan aktivitas ibadah memperlihatkan betapa
aparat keamanan dan pemerintah cenderung abai dalam menjamin hak atas rasa aman
setiap warga negara yang ada di negara bangsa ini.
Iluastrasi Beberapa Kasus
Konfllik
sumber daya alam tahun lalu dan beberapa masih berlangsung saat ini antara lain
terjadi di Tumpang Pitu, kasus Tambang Emas di Simpang Tonang, Pembangunan
Waduk Sepat, Pembangunan Panas Bumi di Gunung Talang, konflik Serat Rayon di
Sukoharjo dan konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu.
Dari konflik yang terjadi, setidaknya 29 kasus yang di proses di pengadilan dan
ironisnya aktivis lingkungan yang sebagian besar warga pemilik lahan ditetapkan
sebagai pelaku kriminal. Bahkan, kriminalisasi tidak hanya menimpa aktivis
lingkungan dan warga, tetapi menimpa para ahli yang berpendapat sesuai dengan
kepakaran ilmunya. Ahli yang terancam hukum ialah Guru Besar Kehutanan Institut
Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Suharjo yang digugat atas atas kasus
kebakaran hutan dan lahan di area PT JJP. Kasus serupa menimpa Basuki Basis,
seorang ahli lingkungan hidup IPB yang digugat
karena kesaksiannya dalam kasus yang ditangani KPK terkait kerusakan lingkungan
karena pemberian idzin salah satu usaha pertambangan.
Kasus
pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam lain terjadi Yogyakarta, yakni
okupasi tanah dengan dasar kepentingan umum dalam pembangunan Bandara New
Yogyakarta International Airport (NYIA). Demi memperlancar pembangunan bandara,
pihak pengembang dan pemerintah melakukan penggusuran paksa dan mengabaikan
standar pembangunan yang berbasis HAM. Pengosongan lahan warga dilakukan dengan
cara-cara paksa dan tidak menghormati warga
yang telah lama tinggal di lokasi. Komnas HAM menyebut pengosongan lahan
warga tidak didasarkan pada semangat kemanusiaan dan melanggar terhadap
norma-norma HAM yang telah menjadi hukum di Indonesia. Kasus yang okupasi lahan
yang serupa juga terjadi di Desa Sidodadi Serdang dan Kota Binjai, di mana
lahannya dialihfungsikan menjadi perkebunan tebu yang selanjutnya akan diolah
perusahaan.
Di
sektor hak sipil politik, kasus extrajudicial
killing dengan cara tembak tempat ternyata massif terjadi. Kontras
menemukan setidaknya terdapat 236 orang meninggal. Kasus ini ditengarai akibat pernyataan
Kapolri yang memerintahkan kepada jajarannya agar bertindak tegas dan melakukan
tembak mati kepada jambret, begal dan pengedar narkoba. Di lapangan, pernyataan
Kapolri ternyata salah diterjemahkan dan berakibat banyaknya kasus pembunuhan
di luar hukum. Banyak orang terbunuh tanpa proses hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Butuh Kemauan Pemegang Kekuasaan
Kasus
pelanggaran HAM yang menjadi catatan menahun dan belum ada progresifitasnya sampai
awal tahun ini adalah terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu. Pemerintah lewat Menko Polhukum Wiranto pernah berinisiatif membentuk Tim
Gabungan Terpadu dan mengadakan pertemuan dengan keluarga korban pada 31 Mei
2018 di Istana Negara. Namun demikian, dalam pertemuan tersebut terkonfirmasi
ketidakmauan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu lewat jalur pengadilan dan muncul rencana yang semata non hukum, yaitu penyelesaian
lewat rekonsililasi. Dalam perjalanannya, inisiatif ini tidak mengalami
perkembangan dan tidak ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan kasus dan
memulihkan hak-hak korban dan keluarganya.
Kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu dan beberapa kasus pelanggaran HAM lain
berkelindan dengan besarnya informasi hoax dan berita-berita buruk yang secara
langsung dan tidak langsung memperkuat stigma, persekusi, ujaran kebencian dan
dorongan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang minoritas. Kriminalisasi
atas nama pencemaran nama baik seperti yang diatur dalam KUHP dan pelanggaran
terhadap Undang-Undang ITE juga semakin tidak terkendali arah penegakannya.
Di
awal tahun ini, problem perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia masih menjadi
persoalan serius di negara ini. Butuh politicall
will pemegang kekuasaan untuk memperbaiki keadaan dan menjadikan standar HAM
sebagai basis setiap kebijakan dan implementasi program pembangunan. Termasuk
kemauan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa. Tanpa itu,
pemerintah pusat atau pun daerah akan selalu tercatat sebagai pelanggar HAM dari
ke tahun. (Terbit di Koran Sindo, 10 Januari 2019)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment