~~ M. Syafi'ie
03 January 2019
Polemik Hak Pilih Difabel Mental
Thursday, January 03, 2019
No comments
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) hampir pasti menolak keberatan salah satu partai dan beberapa orang yang
mempertanyakan atas masuknya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam daftar
pemilih tetap (DPT). KPU menyatakan memiliki landasan yang kuat untuk
memasukkan ODGJ dalam daftar pemilih. Namun, ada persyaratan tambahan yang
harus dilengkapi ODGJ ketika mau memilih, yaitu harus memiliki surat keterangan
sehat dari dokter.
Respon penulis terhadap
KPU ada dua, pertama, apresiasi karena lembaga ini telah menghormati hak
politik dan kewarganegaraan ODGJ, yang di dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas telah dimasukkan sebagai bagian dari difabel mental. Kedua,
persyaratan surat sehat dari dokter sebagai bagian pemenuhan hak pilih difabel
mental perlu didiskusikan lebih jauh. Persyaratan sehat jasmani dan rohani bagi
difabel sudah lama menjadi momok menakutkan, dalam praktek persyaratan ini
berdampak pada diskriminasi dan penghilangan hak-hak difabel.
x
Terkait dengan hak
pilih difabel --dalam hal ini salah satunya ODGJ-- secara spesifik hak ini
telah dijamin dalam Undang-Undang yang secara spesifik mengatur hak-hak
difabel. Dalam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak politik bagi
difabel diantaranya adalah hak memilih dan dipilih dalam jabatan; memilih
partai politk dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum;
berperan serta aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau
bagian penyelenggaraannya; memperoleh akesibilitas sarana prasarana
penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan
pemilihan kepala desa atau nama lain; dan memperoleh pendidikan politik.
Begitu pentingnya hak
politik bagi difabel, maka Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini
memandatkan kewajiban kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin agar difabel dapat berpatitisipasi secara
efektif dan penuh dalam kehidupan politik, dan menjamin hak dan kesempatan
difabel untuk memilih dan dipilih. Pemerintah pusat dan daerah yang dalam hal
ini tanggungjawabnya dijalankan oleh KPU dan KPUD agar memperhatikan keragaman
disabilitas dan memastikan prosedur, fasilitas dan alat bantu pemilihan
bersifat layak, dapat diakses, mudah dipahami dan dapat digunakan oleh difabel.
Norma hukum yang secara
khusus juga menjamin hak pilih difabel adalah UU No. 19 Tahun 2011 tentang 2011
tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi
ini menegaskan bahwa negara harus
menjamin hak politik difabel dan memastikan difabel menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan
orang-orang lain. Karena itu negara wajib menjamin prosedur, fasilitas, dan materi
yang memadai, dapat diakses, mudah dipahami dan digunakan. Termasuk adalah
jaminan untuk untuk memilih secara rahasia.
Pernah
Menjadi Polemik
Hak pilih ODGJ pernah
ditiadakan secara hukum pada tahun 2015. Peniadaan secara struktural ini
kemudian dikasuskan di Mahkamah Konstitusi. Pada waktu itu, Perhimpunan Jiwa
Sehat yang dipimpin Jenny Rosanna Damayanti, Pusat Pemilihan Umum Akses
Penyandang Cacat (PPUA PENCA) yang dipimpin Arini, dan Perkumpulan Untuk Pemilu
dan Demokrasi (PERLUDEM) yang dipimpin Titi Anggraini melakukan judicial review
pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Pasal 57 ayat (3) huruf
a menyatakan bahwa salah satu persyaratan warga negara Indonesia yang bisa
didaftar sebagai pemilih adalah orang yang sedang “tidak terganggu
jiwa/ingatannya”. Ketentuan ini oleh para pemohon dinilai berpotensi menghilangkan hak seorang
warga negara untuk terdaftar sebagai pemlih dan memberikan suaranya dalam
penyelenggaraan pemilihan. Pasal ini dinilai merugikan hak konstitusional yang
telah dijamin pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Setelah dilakukan pemeriksaan
permohonan dan alat bukti diantaranya mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan
keterangan ahli dan keterangan para pihak, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan
Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian. Pasal
57 ayat (3) huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa
“terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa
dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut bidang kesehatan jiwa telah
menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”
Membaca Putusan
Mahkamah Konstitusi yang kita kenal sebagai pelindung konstitusi (the guardian of constitution), pengawal
dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara maka kita akan mengerti bahwa
ODGJ tidak bisa digeneralisasi dan tidak semua ODGJ tidak memiliki hak pilih. Keputusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pada prinsipnya ODGJ memiliki hak pilih
sepanjang ‘gangguan jiwa atau ingatan’ tidak permanen. Keputusan Mahkamah
Konsitusi ini didasarkan pada pendapat professional di bidang kesehatan bahwa
hilangnya ingatan atau gangguan jiwa yang permanen bisa dimaknai juga
menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.
Merujuk pada putusan
Mahkamah Konsitutusi, maka sudah selayaknya KPU-KPUD memikirkan bagaimana cara
mengidentifikasi permanen atau tidaknya seorang ODGJ dan bagaimana cara yang tepat
memfasilitasi hak pilih difabel ODGJ. Terkait hal ini, sudah selayaknya
KPU-KPUD mengajak diskusi aktifis dan pendamping difabel mental yang ada di
Indonesia. Tujuan besarnya adalah menampung bagaimana cara mengenali difabel
mental yang ternyata tidak tunggal, belajar bagaimana cara yang tepat untuk
berinteraksi, dan terpenting menelaah bagaimana model fasilitasi yang harus
dipersiapkan oleh para petugas pemilihan umum. Hal ini penting agar tidak
terjadi diskriminasi berulang-ulang kepada difabel mental yang diberikan hak
pilihnya.
Pada sisi yang lain,
analisis normatif hak pilih difabel dan tinjauan putusan Mahkamah Konstitusi di
atas memberikan pesan agar tidak ada lagi pihak yang mempertanyakan hak pilih
difabel ODGJ. Sama dengan manusia pada
umumnya, ODGJ juga memiliki hak pilih. Lebih jauh, hak ini merupakan sarana
bagi komunitas difabel mental untuk memperbaiki nasib mereka dengan memilih
pemimpin yang memikirkan hak-hak mereka yang tercerabut. Selama ini, keberadaan
mereka disingkirkan dalam pikiran dan wacana publik, dan tidak pernah
diperhatikan dengan serius oleh pemangku kebijakan, sehingga banyak di antara
mereka harus menjadi korban kekerasan di jalanan, diperkosa oleh orang-orang
tidak bertanggungjawab, dan dipermainkan dalam dalam beberapa momen kekerasan.
Pertanyaannya, betulkah hak pilih akan menjawab problem dan hak-hak kaum ODGJ?
Belum tentu. Tapi hak ini adalah sarana awal pengakuan eksistensi kaum paling
marginal di negeri ini. (Dimuat di Koran Harian Sindo)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment