~~ M. Syafi'ie
Potret pendidikan bagi
difabel masih memilukan. Sepanjang tahun 2018 masih ditemukan kasus di mana
anak-anak difabel ditolak masuk sekolah. Beberapa komunitas telah melakukan
advokasi dan media massa telah memberitakannya. Di antara kasusnya menimpa RF,
siswa SMP Negeri Rangkasbelitung, Lebak, Banten. Tekadnya untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi di beberapa SMK di Rangkasbitung pupus karena
kondisi difabilitasnya. Kasus lain menimpa
BKR, seorang anak yang memiliki hambatan mobilitas yang ditolak di
beberapa SD di Pekanbaru, dan dua anak difabel penglihatan asal Makassar yang ditolak
saat melakukan Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA dan SMK di
Sulawesi Selatan.
x
Kasus yang terjadi di
tiga wilayah adalah fakta yang terkuak di media massa, jika ditelusuri lebih mendalam,
pasti akan ditemukan banyak kasus penolakan difabel. Alasannya selalu sama : pertama, anak difabel sekolahnya bukan
di Sekolah Umum, tetapi di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ketika di perguruan
tinggi, selalu diarahkan agar masuk ke jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Kedua, lembaga pendidikan selalu beralasan
bahwa di sekolah belum ada sarana prasarana yang aksesibel dan belum ada guru
pendamping difabel. Ketiga, lembaga
pendidikan berangapan bahwa difabel tidak cukup memiliki kapasitas di sekolah
umum. Alasan ini yang mengakibatkan ada beberapa anak difabel dikeluarkan dari
sekolah karena dinilai sulit mengikuti standar belajar mengajar dan penilaian
yang telah ditetapkan di sekolah.
Penolakan difabel masuk
sekolah atau perguruan tinggi dengan alasan-alasan yang secara substantif
bertentangan dengan Undang-Undang adalah satu dari sekian potret diskriminasi
yang dirasakan difabel di lembaga pendidikan. Problem lanjutan ketika difabel ditolak masuk di sekolah atau
perguruan tinggi, mereka harus hidup sebatang kara dan tidak memiliki cukup
basis pengetahuan untuk berkembang di masa depan. Terputusnya akses pendidikan
mengakibatkan difabel semakin tersisih dari pentas dunia ketenagakerjaan dan selalu
menjadi bagian dari penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Masalah lain ketika difabel
diterima di lembaga pendidikan, masih banyak hambatan yang terjadi, mulai dari
sarana prasarana sekolah yang tidak aksesibel, cara mengajar guru yang tidak
tepat karena tidak adanya profil assessment yang cukup memadai, kurikulum yang
tidak dijalankan sesuai profil assessment, serta sebutan dan stigma negatif
kerap dilontarkan oleh pihak-pihak yang ada dalam lingkungan pendidikan. Karena
itu, langsung atau tidak langsung anak didik difabel biasa menjadi korban kekerasan
dan hak-hak yang melekat pada harkat dan martabatnya sebagai manusia tercerabut
sedemikian rupa.
Gambaran existing difabel
di dunia pendidikan memperlihatkan betapa anak difabel mengalami diskriminasi
serius. Sistem pendidikan di semua
jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib dilakukan perombakan. Sekolah inklusi
yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah dan didukung oleh masyarakat sipil
setidaknya menjadi salah satu jalan keluar di tengah tata kelola pendidikan
yang diskriminatif kepada difabel.
Pendidikan
Inklusi
Pendidikan inklusi
menurut J. David Smith adalah konsep yang dipergunakan untuk mendeskripsikan
penyatuan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam program-program sekolah.
Bagi sebagian pendidik, isitilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih
positif dalam usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan
cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang
menyeluruh. Tujuan besarnya adalah agar setiap peserta didik dapat terlibat dan
berpartisipasi dalam proses belajar mengajar (J. David Smith, 2014)
Pemerintah lewat
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,
mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya.
Tujuan pendidikan
inklusif ada dua, pertama, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial
atau memiliki potensi kecerdasasan dan/
atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya. Kedua, mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Pendefinisian dan
tujuan pendidikan inklusi yang terumuskan dalam peraturan memberi penjelasan
bahwa pemerintah sedang berupaya mengatasi eksklusi yang menimpa kaum difabel
di mana selama ini selalu diarahkan untuk belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Pemerintah lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009
menyatakan bahwa Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu)
sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan, dan
1 (satu) satuan pendidikan menengah
untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik
yang dianggap memiliki kelainan.
Namun demikian, secara
normatif Peraturan Pemerintah yang secara spesifik mengatur pendidikan inklusif
ini tidak cukup tegas dalam menjamin pemenuhan hak atas pendidikan inklusi bagi
difabel. Peraturan ini masih menyatakan bahwa penerimaan peserta didik pada
satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Pertimbangan
ketiadaan sumber daya mengakibatkan beberapa sekolah di Indonesia sejauh ini
tidak mau menerima dan atau mengeluarkan anak didik difabel.
Pendekatan peraturan
lama ini dalam melihat difabel masih dianggap sebagai orang cacat, dianggap
orang yang memiliki kelainan, dan tidak normal. Satu pendekatan yang sudah lama
dikritik di tingkat komunitas karena menciderai hak-hak difabel yang semestinya
bebas dari stigma yang negatif.
Harapan
Baru
Sejak tahun 2009 setidaknya pemerintah Indonesia
telah memiliki landasan normatif dan operasional dalam mewujudkan pendidikan
inklusi. Sekolah-sekolah inklusi semakin kesini terus bermunculan seperti
kecambah. Di antara catatan pentingnya terletak pada indikator sistem
pendidikan inklusi yang belum memadai. Banyak sekolah inklusi lahir tapi
sistemnya sebenarnya belum inklusif. Elemen penting indikator hak atas
pendidikan meliputi aksesibilitas (accessibility),
ketersediaan (availability),
penerimaan (acceptability), dan
adaptabilitas (adabtability) belum
terimplementasi dan terukur dengan selayaknya.
Pendidikan inklusi
kedepan harapannya lebih menjawab problem dan hambatan yang dialami difabel. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementrian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) sudah sepantasnya menelaah peraturan lama yang
belum memadai dan menyesuaikan dengan peraturan terbaru. Peraturan pokok
terkait disabilitas saat ini adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas.
Salah satu substansi
Undang-Undang ini adalah kewajiban pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
penyelenggara pendidikan tinggi agar membentuk Unit Layanan Disabilitas untuk
mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif. Fungsi dan kewenangan unit ini
cukup srategis karena terkait dengan mainstreaming pemenuhan hak-hak difabel di
semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia. Penyelenggara
pendidikan yang tidak membentuk unit ini bisa dikenakan sanksi teguran
tertulis, penghentian kegiatan pendidikan, pembekuan idzin penyelenggaraan
pendidikan, dan pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
Terbit
di Koran Seputar Indonesia (SINDO) 13
November 2018
0 comments:
Post a Comment