~~ M. Syafi'ie
Sejak tahun 1992, tanggal
3 Desember telah ditetapkan sebagai hari difabel internasional oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setiap tanggal ini, komunitas dan pegiat isu
difabel ikut merayakan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang salah
satu pesannya memberi ingatan kepada elemen masyarakat dan para pemangku
kebijakan tentang hak-hak difabel, potensi difabel, serta diskriminasi yang
terus menerus terjadi.
Dalam sejarah,
pengakuan hak-hak difabel bukanlah sesuatu yang muncul secara mudah, tetapi manifes
dari suatu kelompok kelompok tertindas yang berjuang melawan label dan
stigmatisasi negatif. Menurut Mansour Fakih, konstruksi sosial melekatkan difabel
dengan sebutan normal atau cacat, Istilah cacat memiliki makna ideologis yang
berarti ketidakmampuan (disabilities),
invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan cara pandang lebih
dalam bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya dan atau tidak sepenuhnya.
x
Konstruksi sosial yang
melemahkan difabel menurut Mansour Fakih adalah ideologi kenormalan. Ideologi
ini menjadi basis segala gagasan dan perilaku sosial masyarakat yang
menciptakan kelas antar manusia yang dengan mudah bisa dikatakan normal atau
tidak normal. Ideologi kenormalan ini menjadi penyokong cara pandang sosial yang
penuh stigma; serta menjadi basis banyaknya kebijakan diskriminatif yang
berakibat pada eksklusi difabel dalam ruang publik seperti yang kita saksikan
saat ini.
Problem Menyejarah
Kegelisahan Mansour
Fakih dan beberapa aktivis difabel juga dipikirkan oleh banyak pemikir disabilitas
di belahan dunia. Pemikir Michael Oliver dan Colin Barnes menghadirkan
pendekatan baru dalam melihat disabilitas, yaitu pendekatan social model of disability. Pendekatan
ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas
dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik
dan atau mental, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas.
Pendekatan sosial
merupakan kritik terhadap pendekatan medical model dan model moral. Dalam
kacamata medical model, esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), dimana lewat
cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa
mengoperasikan teknologi baru, dan non difabel yang dianggap bisa
mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada
pemisahan difabel dan non difabel untuk
justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program
rehabilitasi difabel agar bisa mandiri dan normal.
Pendekatan medical
model dikiritik sedemikian rupa karena dinilai menopang marginalisasi difabel
yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak
normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment). Pada level empirik,
pendekatan ini menciptakan penghilangan hak-hak difabel untuk berpartisipasi
dalam ruang publik. Difabel selalu dipersalahkan karena dinilai dokter tidak
sehat secara jasmani (fisik) dan atau pun rohani (mental dan spiritual).
Pendekatan lain yang
juga dinilai menyumbang diskriminasi adalah model moral atau budaya. Pendekatan
ini berkembang sangat awal, dimana keberadaan difabel selalu dikaitkan
keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misal di masyarakat Yunani dan
Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan,
sehingga kelainan atau ketidaksempuraan harus dihilangkan. Konon di masa itu,
anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota
atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula
diceritakan, bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang
dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber.
Problem moral dan
budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi di level masyakat, bahkan
tidak terkecuali Indonesia. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu
ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktifitas yang lain diyakini sebagian
masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel. Keyakinan ini menjadi
mitos yang melekatkan difabel dengan perilaku kurang baik orang tuanya, dan
dalam jangka yang panjang memberi dampak pengucilan difabel dalam interaksi
sosial masyarakat.
Pengakuan Hak
Sejak munculnya kritik
kelompok social model dan pada skala yang lebih luas menghadirkan pengakuan
hak-hak difabel, maka semestinya stigma negatif difabel dihentikan. Stigma
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Terkait dengan hak difabel,
sejak tahun 1981, PBB telah memulai pencanangan International Year of Disabled People; pada tahun 1993 PBB
menetapkan Standar Rules for the
Equalisation on The Oportunities for Persons With Disabilities; dan tahun
2006 Majelis Umum PBB sepakat terhadap Convetion
on The Rights of Person With Disabilities (CRPD).
Pengakuan hak-hak
difabel yang luas di level di internasional, memberi dampak pengakuan hukum di
Indonesia. Pertama, Indonesia telah
meratifikasi CRPD lewat UU No. 19 Tahun 19 Tahun 2011. Ratifikasi CPRD ini
memberi makna bahwa pemerintah Indonesia berjanji secara hukum untuk
bertanggungjawab menjamin dan meningkatkan realisasi yang utuh dari semua hak
dan kebebasan fundamental difabel tanpa diskriminasi. Kedua, Indonesia juga telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, yang secara hukum mencabut UU No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat. Pengesahan Undang-Undang baru ini menegaskan bahwa term dan
paradigma kecacatan telah dihapuskan di Indonesia.
Pengakuan hak difabel
saat ini menegaskan banyak hal, utamanya tanggungjawab pemerintah untuk
mewujdukan kesadaran sosial bahwa difabel merupakan bagian dari keragaman
manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia pada umumnya.
Pemerintah juga bertanggungjawab menghapus segala bentuk diskriminasi yang
mengurangi bahkan meniadakan hak-hak difabel yang ternyata masih terus terjadi.
Momentum hari difabel adalah pengingat kepada kita semua bahwa bukan zamannya
lagi ada cara pandang, perilaku dan kebijakan yang merendahkan difabel.
0 comments:
Post a Comment