~~ M. Syafi'ie
Saat ini, pemerintah
Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan
keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun
2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
yang notabene tidak berlaku.
Di masa lalu, Perda No.
4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang
juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak
kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan
disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang
terjadi.
Nasib difabel dalam
banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah
satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan
pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam
konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel,
tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya.
Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.
Harmonisasi
Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori
yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi
mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak
sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang
yang lebih tinggi. Juga ada asas lex
posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang
berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang
tersebut mengatur obyek yang sama.
Merujuk dua asas di
atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi
revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya
tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan
norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak
difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.
Secara umum, terjadi
disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang
disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga, ada beberapa hak yang diatur
dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa
bagian berbeda ketentuan. Keempat,
ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.
Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan
kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016
dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan
Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang
Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4 Tahun 2012,
kuota paling sedikit hanya 1%
Pengawasan
Lemah
Substansi penting yang
harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan
hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur
sedemikian rupa tidak akan bergerak tanpa pengawasan yang ketat dan proses
pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.
Lembaga Pengawas ini
kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, dimana
kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi
penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan
independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun
semestinya dilakukan secara terbuka dan profesional.
Selain lembaga
pengawas, problem Perda No. 4 Tahun 2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi,
utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak
yang melakukan pelanggaran. Praktek anak difabel ditolak di sekolah, layanan
kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa
yang lain saat ini masih terus terjadi. Sistem pengawasan masih lemah dan norma
dalam Perda belum memiliki mekanisme penjera bagi para aktor pelangaran [Dimuat
di Koran Kedaulatan Rakyat, 28 November 2019]
0 comments:
Post a Comment