01 March 2015
HUKUM TIDAK ADIL KEPADA DIFABEL
Sunday, March 01, 2015
No comments
M. Syafi’ie
Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.
Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk
sesuatu yang luas,
yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemuliaan manusia.[2]
Pengantar
Tidak ada yang
membayangkan bahwa hukum akan menciderai keadilan dan kemanusiaan. Sebab,
tujuan hukum sebagaimana teori etis ialah semata-mata untuk mewujudkan
keadilan. Isi hukum semata-mata ditentukan oleh keyakinan etis tentang adil
ataukah tidak. Dengan konstruksi etis itulah, maka hukum tidak hanya
ditempatkan sebagai produksi dan implementasi peraturan dan norma-norma, tetapi
sejauhmana keberadaan hukum telah berkontribusi untuk keadilan sosial,
kemaslahatan, dan memanusiakan manusia.
Bernard L. Tanya
mengatakan bahwa tindakan etis dalam hukum berpegang pada beberapa prinsip
nilai, yaitu : pertama, tindakan etis
harus selaras dengan martabat manusia. Tidak etis bila ada norma dan penegakan
hukum yang bertentangan dengan hakekat kemanusiaan. Praktik apartheid,
diskriminasi, genosida dan pelanggaran HAM adalah tindakan yang tidak etis. Kedua, tindakan etis harus selaras
dengan integritas manusia sebagai manusia. Integritas manusia terletak pada
kesantunan, kejujuran, fairness,
bertindak adil. Ketiga, tindakan etis
setia pada kebenaran. Keempat,
tindakan etis itu peran, bukan cita-cita. Kelima,
tindakan etis menolak yang salah. Keenam,
menyatakan ‘tidak’ pada kebiasaan yang salah. Ketujuh, berlaku tulus. Kedelapan,
tindakan etis tidak menghalalkan cara yang tidak benar demi mencapai tujuan. Kesembilan, berani mengambil resiko demi
keadilan dan kemanusiaan. Kesepuluh,
tindakan etis harus bermetode dan diterima akal sehat.[3]
Nah, dari
kerangka hukum etis, sampai saat ini tujuan hukum tersebut belum tercapai. Pada
tiap bahasan norma hukum, penegakan
hukum dan politik hukum selalu muncul pertanyaan-pertanyaan kritis yang
menggugat disorientasi hukum. Hukum dinilai semakin menjauh dari mozaik
keadilan dan kemanusiaan. Hukum dinilai semakin tidak bermartabat dan menjadi
biang diskriminasi serta pelanggaran hak asasi manusia. Hukum terhenti sebagai
sarana pembebasan dan pencipta keadilan sosial. Banyak orang frustasi dan
menggerutu terhadap keberadaan hukum karena selalu di bawah level ideal dan
berjalan tidak sesuai harapan.
Salah satu
kelompok masyarakat yang saat ini terpojok oleh hukum adalah difabel.[4] Secara
terminologi, difabel adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan,
kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau
sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan
lingkungan fisik dan sosial.[5] Sesuai
definisi ini, internal difabel sangatlah bervarian, dan secara umum
terklasifikasi menjadi lima, yaitu : pertama,
difabel katagori intelektual (retardasi mental dan slow learner). Kedua, ketagori
mobilitas (gangguan tubuh/kaki, paraphlegia, autis, dll). Ketiga, katagori komunikasi (gangguan wicara, gangguan pendengaran,
dll). Keempat, katagori sensori
(gangguan penglihatan, kusta, dll). Kelima,
katagori psikososial.[6]
Lalu, mengapa
difabel terpojok oleh hukum dan terlanggar hak asasi manusianya? Jawabannya
sederhana : ada banyak data dan potret kasus difabel berhadapan dengan hukum
yang selalu berujung pada ironi. Hambatan-hambatan yang melekat dengan diri
difabel, baik itu aksesibilitas fisik (ramp, guiding block, informasi braile,
video dan audio, lift, dll),
aksesibilitas non fisik (penterjemah, etika berinteraksi, dll) serta prosedur
beracara difabel berhadapan dengan hukum, belum terfasilitasi dan terpenuhi
sama sekali. Akibatnya, difabel berhadapan dengan hukum baik itu sebagai
korban, tersangka/terdakwa dan atau sebagai saksi, sudah biasa berujung pada
diskriminasi dan pelanggaran atas hak peradilan yang fair.
Dengan melihat
varian, keunikan dan cara berbeda yang
melekat dengan difabel, sistem hukum semestinya fleksibel dan adaptif terhadap
hambatan dan kebutuhan difabel. Karena itu, profil
assessment menjadi fundamental dan sangat basic terkait bagaimana penegakan
hukum yang fair dapat dikontruksi bagi difabel. Profil assessment akan mendeteksi secara mendalam terkait
hambatan-hambatan mendasar yang melekat dengan kedirian difabel berhadapan
dengan hukum, baik itu tingkat mentalitas, kemampuan berbicara, tingkat
sensitifitas, tingkat fokus, kemampuan menahan diri, dan seterusnya. Dari profil
assessment, peradilan yang fair bagi difabel kemudian berlanjut pada
kebutuhan penterjemah, pendamping difabilitas, ahli, pendamping hukum,
lingkungan peradilan yang aksesibel, pemeriksaan yang fleksibel, pemeriksaan
yang memperhatikan daya fokus difabel dan kebutuhan adanya aparat penegak hukum
yang memahami difabilitas.
Namun demikian,
di tengah harapan itu, sampai saat ini, sistem hukum di Indonesia, baik itu
substansi hukum, aparat penegak hukum, sarana prasarana penegakan hukum sampai
dengan budaya hukum masyarakat masih perlu desakan perubahan radikal dan
transformasi terus menerus. Jika desakan perubahan sistem hukum itu berhenti,
keadilan bagi difabel berhadapan dengan hukum mungkin hanya menjadi isapan
jempol belaka. Berikut beberapa catatan terkait belum ramahnya sistem hukum
Indonesia terhadap hak-hak difabel berhadapan dengan hukum.
Substansi
Hukum Menciderai Kemanusiaan
Pasca reformasi
memang muncul berbagai peraturan yang melindungi hak asasi manusia, baik itu
UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan
Politik, sampai dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas. Namun demikian, keberadaan peraturan-peraturan tersebut
tidak cukup menjamin terhadap perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak
difabel berhadapan dengan hukum. Bahkan, penegak hukum selalu merujuk pada
peraturan-peraturan ‘kuno’ yang secara langsung dan tidak langsung meletakkan difabel sebagai kelompok
masyarakat yang tidak normal, tidak mampu dan tidak bisa. Satu cara pandang
yang disebut Mansour Fakih sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh
ideologi normalisme yang terstruktur.[7]
Dalam menangani
difabel berhadapan dengan hukum, aparat penegak hukum selalu merujuk pada
aturan dan tafsiran yang diskriminatif. Dalam kasus tindak pidana misal, difabel
netra selalu dipermasalahkan oleh aparat penegak hukukm, bahkan kesaksiannya
tidak dapat diterima karena difabel netra dinyatakan tidak bisa melihat. Aparat
penegak hukum selalu merujuk pada aturan Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyatakan
bahwa yang dikatakan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Akibat tafsir
ketentuan ini, difabel yang menjadi korban tindak pidana tidak diproses kasus
hukumnya. Bahkan, biasa dipersalahkan karena dinilai tidak bisa membuktikan
kesaksian penglihatannya.
Dalam
kasus-kasus keperdataan, difabel selalu ditempatkan sebagai pihak yang berada
di bawah pengampuan dan tidak bisa menjadi subyek hukum yang berdiri sendiri.
Akibatnya, difabel dalam hubungan dan konflik keperdataan selalu menjadi
korban, seperti tidak bisa memiliki hak waris serta tidak bisa menjadi pihak
dalam perjanjian perbankan dan asuransi. Ketika berkonflik dalam hukum perdata,
aparat penegak hukum biasanya mengacu pada Pasal 433 Buku I KUH Perdata yang
menyatakan bahwa setiap orang dewasa, yang selalu dalam keadaan dungu, gila
atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia
kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga
ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.
Yang tidak kalah menyedihkan, perempuan karena
difabilitas ialah salah syaratnya sahnya seorang laki-laki berpoligami.
Ketentuan tersebut termaktub secara tegas pada Pasal 4 UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Pasal tersebut menyatakan bahwa dalam hal seorang suami
akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan ke
pengadilan. Pasal ini hanya memberi idzin pada suami yang akan beristri lebih
dari seseorang apabila : satu. Istri
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Dua. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. Tiga. Istri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Dalam
peraturan-peraturan hukum yang lain seperti Undang-Undang Guru dan Dosen,
Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Peradilan Umum dan beberapa lainnya
masih meletakkan persyaratan sehat jasmani dan rohani. Dan dalam
implementasinya, sehat jasmani dan rohani selalu dilekatkan dengan difabel,
yang kemudian berakibat tidak diterimanya difabel sebagai pegawai negeri sipil
di lingkungan kepolisian, peradilan umum, bahkan untuk menjdi guru dan dosen.
Dulu, kita masih mengingat almarhum Gus Dur yang nota bene mengalami difabilitas netra dan daksa, gagal
pencalonannya jadi presiden karena terhambat tes medis sehat jasmani dan
rohani.
Pada dimensi
yang lain, peraturan-peraturan hukum di Indonesia masih belum mengatur
perlindungan (to protect),
penghormatan (to respect) dan
pemenuhan (to fulfill) hak-hak
penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Baik itu pengaturan
pengakuan mental intelektual, penyediaan pendamping hukum, penyediaan
pendamping difabilitas, penyediaan ahli, pengaturan hukum acara khusus bagi
difabel, desk pelayanan khusus di
lingkungan peradilan, pengaturan profil
assessment, penyediaan penterjemah dan pengaturan aksesibilitas sarana
prasarana peradilan masih belum tersedia sama sekali. Dalam konteks ini dapat
dikatakan bahwa ada problem serius dengan substansi dan norma-norma hukum di
Indonesia. Kedepan, perlu ada gerakan
review hukum, penghapusan norma-norma hukum yang diskriminatif serta perlu
penciptaan norma-norma hukum baru yang kuat dalam menjamin hak-hak difabel
berhadapan dengan hukum.
Aparat Penegak Hukum Tidak Progresif
Bila mengikuti
paradigma hukum progresif yang digagas Satjipto Rahardjo, sepertinya aparat
penegak hukum tidak akan seburuk saat ini. Dimana mereka begitu sangat
terpasung oleh pasal-pasal yang sungguh tidak respect terhadap hak-hak difabel yang berhadapan dengan hukum.
Penegak hukum tidak mampu mengeluarkan cara pandang etiknya ketika menangani
difabel. Walaupun sebagian mereka relatif mengerti tentang hambatan dan
kebutuhan difabel, mereka tidak mau keluar dari pakem hukum yang legalistik.
Salah satu
potret itu misal tergambar dalam kasus Bunga, seorang perempuan difabel rungu
wicara dan mental intelektual. Ia korban pemerkosaan dan pencabulan. Ketika
menjadi korban, umur kalender bunga sudah 22 tahun, dan umur mental intelektual
Bunga sebagaimana assessment
psikologi masih 9 tahun 2 bulan. Umur
mental Bunga masih anak-anak dan semestinya ia berhak untuk di proses sesuai
dengan standar Undang-Undang Perlindungan Anak dan Peradilan Anak. Sejak awal,
pendamping Bunga sudah mendesakkan pentingnya proses hukum yang ramah bagi
korban sebagai anak. Pendamping sudah mencoba memahamkannya kepada penyidik,
penuntut umum dan hakim dengan menyodorkan hasil assessment psikologi. Tapi, desakan itu selalu gagal karena aparat
penegak hukum tetap beralasan tidak ada jaminan normatif dalam Undang-Undang
yang mengakui umur mental intelektual. Akibatnya, Bunga beberapa kali mengalami
trauma dan mesti mengorbankan dirinya mengikuti prosedur orang dewasa. Ia
dikonfrontir dengan terdakwa dan melewati fase pemeriksaan dan persidangan yang
berulang-ulang.[8]
Secara umum,
pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum terkait difabilitas sangat
lemah. Hal itu setidaknya terlukiskan dari beberapa fakta berikut, pertama, dalam kasus pidana, seorang
difabel rungu wicara yang menjadi korban pemerkosaan kerap disudutkan oleh
pertanyaan-pertanyaan penegak hukum karena tidak berteriak ketika diperkosa.
Padahal penegak hukum mestinya tahu dan paham bahwa difabel rungu wicara
mengalami hambatan internal terkait kemampuan berteriak. Kedua, difabel netra kerap tidak di proses kasus tindak pidananya
oleh penegak hukum karena korban tidak bisa melihat pelaku secara langsung
pelaku tindak pidana. Padahal penegak hukum dalam hal ini mestinya paham bahwa
difabel netra memiliki hambatan melihat dan pasti memiliki panca indera lain
yang dapat mengenali pelaku. Ketiga,
difabel rungu wicara yang kasusnya berada di tahap penyidikan, penyidik
seringkali tidak terlibat dalam proses tanya jawab penyidikannya. Ia
menyerahkan tugas dan wewenang kepada penterjemah. Padahal penegak hukum
mestinya paham bahwa penterjemah hanya media dan tidak bisa menggantikan tugas
penyidik sebagai aparat penegak hukum. Keempat,
penegak hukum kerap merendahkan difabel dengan mempermasalahkan difabilitas,
kemampuan dan kecakapannya hukumnya.
Padahal, penegak hukum semestinya paham bahwa difabel adalah pribadi-pribadi
yang memiliki kemampuan dan cara yang berbeda dalam menjelaskan dan memahami
segala sesuatu.[9]
Akibat ketidaktahuan
dan ketidakpahaman aparat penegak hukum terhadap difabilitas, terjadi
pelanggaran hak asasi manusia secara sistemik kepada difabel. Baik itu secara
langsung seperti mempersalahkan difabel karena difabilitasnya, tidak memproses
hukum secara fair, dan atau pun pelanggaran hak asasi manusia secara tidak
langsung berupa pembiaran terhadap kasus-kasus hukum terjadi sedemikian rupa
kepada difabel. Dalam konstruksi penegakan hukum, difabel seperti telah
disengaja ditempatkan sebagai korban dan tidak difasilitasi hak-haknya atas
persamaan di hadapan hukum. Aparat penegak hukum masih hidup dalam ideologi dan
cara pandang normalisme. Karena itu, kedepan, aparat penegak hukum, baik itu
polisi, jaksa, hakim, dan termasuk pengacara dan petugas lembaga pemasyarakatan
mesti dipahamkan tentang difabilitas dan memandu mereka agar bertindak fair dan
etis ketika menangani difabel berhadapan dengan hukum.
Sarana Prasarana Peradilan Belum Aksesibel
Bila kita
berkunjung ke kantor peradilan, baik itu kantor kepolisian, kejaksaan dan kantor
hakim bertugas di pengadilan, maka akan terlihat dengan jelas betapa sarana
prasarana di lembaga ini belum aksesibel bagi difabel. Sarana prasarana fisik
dan non fisik tidak terfasilitasi sama sekali. Assessment sederhana mungkin akan membantu penilain ini dan akan
membantu kita untuk yakin terhadap problem serius aksesibilitas kantor-kantor
peradilan.
Di kepolisian
misal, sarana prasarana fisik seprti surat penangkapan dan dokumen administrasi
belum ada yang berbentuk braile dan audio, ruang pemeriksaan yang akses difabel
belum tersedia, ramp belum ada,
toilet belum akses, pintu masuk/keluar sempit, posisi pintu kantor tinggi dan
tidak datar, tidak ada guiding block,
tidak disediakan lift untuk kantor
yang berlantai 2 atau lebih, papan informasi belum aksesibel dan tidak lengkap,
loket yang terlalu tinggi, alat bantu mobilitas yang tidak tersedia dan ruang
tahanan yang juga belum akses. Demikian juga sarana prasarana yang terkatagori
non fisik seperti pelayanan pegawai, cara berinteraksi dan proses komunikasi di
lingkungan peradilan. Semua itu masih menjadi pertanyaan dan gugatan berulang
ketika difabel harus berproses di kantor-kantor peradilan.
Sarana prasarana
yang tidak aksesbel juga terjadi di kantor kejaksaan dan tempat persidangan. Hampir
bisa dikatakan sarana prasarana fisik seperti berkas-berkas tuntutan, putusan
dan informasi perkembangan kasus, semuanya belum terdesain universal. Difabel
banyak yang tidak paham dan menjadi penikmat ketidakadilan ketika berkunjung ke
kantor peradilan. Pelayanan dan proses komunikasinya juga masih belum
berperspektif difabel.
Karena itu,
kedepan perlu ada dorongan yang lebih massif agar kantor-kantor peradilan di
desain aksesibel dan di rancang ramah serta memudahkan bagi semua orang (universal desain).[10]
Karena sarana prasarana yang aksesibel dalam konteks pelayanan hukum adalah
bagian yang tidak terpisah dari pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi
difabel berhadapan dengan hukum. Ketidakmauan (unwilling) pemerintah untuk menyediakan sarana prasarana yang
aksesibel juga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena fasilitas
dan pelayanan publik tidak boleh dijalankan secara diskriminatif. Setiap orang
tanpa terkecuali harus dapat menikmati fasilitas, sarana prasarana dan
pelayanan publik yang disediakan oleh negara.
Budaya Hukum Lemah
Di antara
persoalan serius difabel berhadapan dengan hukum adalah budaya hukum. Bila kita
cek di lapangan, kita akan banyak mendengar dan menemukan cerita-cerita dimana
difabel kerap menjadi korban tindak pidana pemerkosaan, pencabulan, kekerasan,
penipuan, pencurian, pengucilan, konflik hak waris, tidak diterima di lapangan
kerja karena dinilai tidak sehat jasmani dan rohani, sampai dengan peniadaan
hak pilih difabel dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Dari sekian banyak kasus yang ada, tidak banyak keluarga difabel dan diri difabel sendiri
yang berani dan mau melapor dan memproses kasusnya secara hukum. Baik memproses
lewat sistem peradilan seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, dan atau
mengadukannya ke lembaga-lembaga monitoring pemenuhan hak asasi manusia seperti
Komnas HAM, Ombudsman, Komnas Perempuan, Kompolnas, Bawaslu dan beberapa
lainnya.
Ketidakkeberanian
dan ketidakkemauan untuk memproses secara hukum, mungkin difabel atau keluarga
difabel menilai bahwa proses hukum adalah jalur yang berbiaya tinggi,
berbelit-belit, rumit, meluaskan aib dan ketika di proses hukum pun, penegak
hukum seringnya mempersalahkan difabel. Penilaian itu tidak sepenuhnya salah,
karena faktanya memang memperlihatkan demikian. Tapi banyak dampak yang terjadi,
seperti masalah-masalah hukum yang menimpa difabel berlalu begitu saja; tidak
ada penjeraa sama sekali terhadap pelaku kekerasan sehingga kasusnya selalu
berulang. Dan yang lebih tragis, perempuan difabel korban pemerkosaan dan telah
melahirkan, anak-anak yang dilahirkan akhirnya tidak ada yang bertanggungjawab
dan sangat mengkhwatirkan masa depannya sebagai anak.
Akhirnya memang
jadi pelik. Difabel berhadapan dengan hukum, seperti hidup dalam lingkaran
struktur sosial yang tidak ramah dan tidak adil untuknya. Tapi setidaknya,
kesadaran berhukum kaum difabel akan mendorong perubahan-perubahan struktural dan
kultural yang lebih manusiawi. Dan kesadaran berhukum pun, tidak semata
diletakkan dalam kotak pemahaman advokasi litigasi yang areanya berusan dengan
kerumitan sistem peradilan formal, tapi lebih penting dari itu adalah advokasi
non litigasi. Dalam konteks non litigasi, hak-hak difabel berhadapan dengan
hukum patut diperjuangkan lewat beragam aksi, baik itu aksi demonstrasi, press
rilis, audiensi, mediasi, pengajuan draf perbaikan hukum dan seterusnya. Lewat
langkah-langkah non litigasi, harapannya muncul perubahan yang memberikan
harapan terhadap pemenuhan hak-hak difabel berhadapan dengan hukum.
Menyambut Momentum
Gerakan
mendorong peradilan yang fair bagi difabel berhadapan dengan hukum, relatif
baru di Indonesia. Tetapi karena massifnya kasus di tingkat grassroots dan pada saat bersamaan berlangsung program jejaring
yang secara kritis membongkar sisi-sisi gelap potret difabel berhadapan dengan
hukum, akhirnya pembicaraan difabel berhadapan dengan hukum menjadi topik yang
mengemuka. Setidaknya saat ini, Komisi Yudisial RI dan Mahkamah Agung sudah
merencanakan penerbitan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Difabel
Berhadapan dengan Hukum. Kompolnas juga pernah menjanjikan pentingnya Peraturan
Kapolri tentang Difabel berhadapan dengan hukum. Dan pada saat bersamaan pula,
RUU Penyandang Disabilitas telah menjadi program legislasi nasional perioritas
tahun 2015. RUU KUHAP dan KUHP juga sedang berlangsung pembahasannya.
Adanya
pembahasan substansi PERMA, RUU
Penyandang Disabilitas, RUU KUHP dan RUU KUHAP, hal ini menjadi momentum bagi
aktifis difabel dan hak asasi manusia untuk mendesakkan perubahan hukum yang
beradab agar konten, substansi dan materi terkait difabel berhadapan dengan
hukum bisa berbentuk lex specialis (hukum
khusus).
Hemat penulis,
bahasan difabel berhadapan dengan hukum khususnya di RUU Penyandang disabilitas
semestinya didesain seperti UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dimana dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara tegas bahwa pemerintah
dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan memberi perlindungan khusus kepada
anak yang berhadapan dengan hukum. Dan dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak juga ditegaskan tentang
perlindungan khusus (lex specialis)
bagi anak berhadapan dengan hukum, seperti hak untuk mendapatkan perlakuan yang
manusiawi sesuai dengan harkat dan martabat anak, penyediaan petugas pendamping
khusus bagi anak, penyediaan sarana prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang
tepat untuk kepentingan anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
anak berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan
untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga, serta
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa.
Selain itu,
hukum acara anak berhadapan dengan hukum juga telah ada. Itu ditegaskan dengan
pengesahan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Undang-Undang
Pengadilan Anak dijelaskan tentang ketentuan umum tentang anak dan hukum acara
pengadilan anak, baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan. Tata
cara interaksi, komunikasi, bagaimana aparat penegak hukum bersikap terhadap
anak dan seperti desain bangunan pemeriksaan, semuanya diatur dalam
Undang-Undang ini.
Lalu apa yang
bisa dipelajari dari pengaturan anak berhadapan dengan hukum di atas? Penulis
rasa sangat banyak yang bisa dipelajari dan dijadikan bahan betapa anak
berhadapan dengan hukum saat ini telah memiliki mikanisme peradilan yang fair. Dulu,
kita tidak pernah menyagka bahwa anak berhadapan dengan hukum akan mendapatkan
proses hukum berperspektif anak. Dulu, banyak anak yang menjadi korban
ketidakadilan sistem hukum. Tetapi karena banyaknya aktifis anak yang berjuang,
akhirnya momentum itu hadir. Penulis kira, momentum mewujudkan peradilan yang
fair bagi difabel juga akan hadir lewat prolegnas RUU Penyandang Disabilitas
2015 ini. Termasuk RAPERMA yang saat ini sedang akan digodok oleh Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung.
Karena itu tidak
ada bahasa lain, mari kita kawal
perumusan RUU Penyandang Disabilitas dan RAPERMA! Mari kita kawal RUU KUHAP dan
KUHP! Ayo kita wujudkan sistem peradilan yang fair bagi difabel!
[1] Peneliti dan tim
advokasi Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)
[2] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2006, hlm 188
[3] Bernard L. Tanya, Penegakan Hukum dalam Terang Etika,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm 6-11
[4] Di Indonesia
sebagaimana rilis Susenas tahun 2003, jumlah difabel diperkirakan mencapai
2.454.359 jiwa. Rilis ASEAN General Election for Disability Acces
(AGENDA), difabel di seluruh dunia mencapai 15% dari jumlah total penduduk
dunia.
[5] Pasal 1 Peraturan
Daerah Provinsi DIY No. 4/2012 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas
[6] Hari Kurniawan, Kebutuhan Difabel Terhadap
Aksesibilitas Peradilan Yang Fair,
Jurnal Difabel SIGAB, Volume 1. No. 1. Mei 2014
[7] Mansour Fakih, Panggil Saja Kami Kaum Difabel, dalam Jalan Lain : Manifesto Intelektual Organik,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011,
hlm 306-311
[8] M. Syafi’ie, Purwanti
dan Mahrus Ali, Potret Difabel Berhadapan
dengan Hukum Negara, SIGAB, Yogyakarta, 2014, hlm 61-70
[9] Ibid, hlm 105-126
[10] Universal desain secara
sederhana dapat dimaknai sebagai rancangan produk, lingkungan, program dan
pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang yang sedapat mungkin tidak membutuhkan adaptasi
atau rancangan khusus. Rancangan universal tidak termasuk penyediaan alat-alat
pembantu untuk orang-orang dengan difabilitas tertentu yang memerlukannya. Baca
Pasal 2 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment