06 August 2015

Kebebasan Beragama dan Hilangnya Peran Polisi

~~~M. Syafi'ie 

Pendahuluan

Dalam wacana hak asasi manusia, kebebasan beragama dimasukkan menjadi  bagian dari hak sipil dan politik. Hak-hak yang terkatagori sipil dan politik sering disebut sebagai hak-hak negatif  (negatif rights), di mana jaminan hak di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi, yaitu apabila Negara tidak aktif melakukan intervensi terhadap keyakinan dan kepercayaan agama seseorang.

Tidak bisa dipungkiri, otoritas yang melekat dengan Negara seringkali digunakan untuk memaksa dan mengarahkan keyakinan dan kepercayaan seseorang. Tindakan aktif memaksakan pilihan agama dan kepercayaan tidak dibenarkan dalam hak asasi manusia. Perspektif inilah yang membedakan antara hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Di sektor hak ekonomi, sosial dan budaya, negara dituntut maksimal. Negara akan melanggar HAM jika negara tidak berperan secara aktif atau berperan minus.[1]
Muatan hak-hak sipil dan politik terklasifikasi menjadi dua : pertama, hak  non derogable rights, yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara, walaupun  negara dalam keadaan darurat sekali pun. Hak-hak ini meliputi, hak atas hidup ( rights to life), hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery), hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian hutang, hak bebas dari penahanan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum dan hak kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama.  Negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut akan mendapat kecaman sebagai negara yang melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).[2]
Klasifikasi yang kedua ialah hak-hak yang terkatagori derogable rights, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Hak-hak yang terkatagori derogable rights meliputi hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat  atau berekspresi.[3] Namun demikian, pembatasan hak tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang dan harus dilandasi dengan pertimbangan yang mendasar, seperti pembatasan karena alasan keselamatan umum, moral publik, tatanan atau ketertiban masyarakat, perlindungan hak serta kebebasan orang lain dan  memang perlu atau diharuskan (necessary). Catatan pentingnya, pembatasan hak harus dilakukan dengan cara-cara yang demokratis. Pembatasan mesti proporsional dan dibuat untuk merespon suatu  kebutuhan sosial yang mendesak dan tidak boleh diskriminatif.[4]
 Dalam kategorisasi hak sipil dan politik di atas, hak kebebasan beragama diletakkan sebagai hak yang non derogable rights, yaitu suatu hak yang tidak bisa di cabut dalam kondisi apa pun, termasuk dalam kondisi darurat sekali pun. Hak kebebasan beragama bersifat individual, internal, dan menuntut tidak adanya intervensi negara dan pihak eksternal yang lain.
Dalam kajian hak asasi manusia, kebebasan beragama menjadi salah satu masalah HAM yang tertua, paling kontroversial dan menjadi perhatian internasional sejak munculnya sistem kenegaraan internasional.[5] Kebebasan beragama sendiri sebenarnya merupakan konsep modern, walaupun secara faktual kebebasan beragama tersebut dapat ditelusuri dalam sejarah panjang peraadaban manusia, utamanya ketika agama-agama hadir di muka bumi, baik cakupannya agama yang samawi seperti  Islam, Kristen dan Yahudi, dan ataupun agama non samawi seperti Hindu dan Budha.
Di Indonesia, jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan telah sangat tegas secara konstitusional. Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ….” Pada Pasal serupa ayat 2 dinyatakan juga, “Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga menegaskan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pada Pasal yang lain, UUD 1945 menegaskan bahwa hak beragama dan berkeyakinan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan kondisi apa pun (non derogable rights). Pasal 28I ayat 1 menegaskan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.” Pada Pasal yang sama, ayat 2 berbunyi “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Penegasan jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak beragama dalam UUD 1945, sejalan dengan substansi UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 tahun 2005). Pasal 22 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pada ayat 2 dinyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia  berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun di tempat sendiri.”  Jaminan kebebasan beragama dalam Pasal DUHAM ini telah menjadi resolusi Majelis Umum PBB 217 [III] pada 10 Desember 1945.
Sedangkan dalam Kovenan Internasional  Hak Sipil dan Politik, dimana Indonesia telah meratifikasinya juga disebutkan dengan tegas. Pasal 18 ayat 1 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran.” Pada ayat 2 berbunyi, “Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya”. Pada ayat 3 berbunyi, “Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral mayarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain”.
Dari kerangka norma-norma di atas, jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, bukan lagi semata seruan moral dan mengikat secara moral (morally binding), tetapi telah berkonsekwensi dan mengikat secara hokum (legalliy binding).[6] Dan dari kerangka normatif itulah, ada beberapa elemen yang terikat dengan penjelasan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, meliputi : [7]
1.  Kebebasan internal
Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkesadaran, dan beragama; hak ini mencakup kebebasan setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.
2.  Kebebasan eksternal
Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan penaatan.
3.  Tanpa dipaksa
Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.
4.  Tanpa diskriminasi
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
5.  Hak orang tua dan wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang
6.  Kebebasan korporat dan kedudukan hukum
Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka mempunyai hak untuk memperoleh kedudukan hukum sebagai bagian dari hak hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain.
7.  Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal
Kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral  atau hak-hak mendasar orang lain
8.  Tidak dapat dikurangi
Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.

Dari delapan inti normatif tersebut, bahasan kebebasan beragama dan berkeyakinan kita akan mengenal dua istilah penting : forum internum dan forum eksternum. Forum internum ialah keyakinan dan kepercayaan yang bersifat internal dan melekat pada pikiran dan hati setiap manusia. Dalam hal ini, Negara sama sekali tidak boleh melakukan intervensi, baik dengan cara indoktrinisasi, ideologisasi, cuci otak atau cara-cara pemaksaan dan manipulasi yang lain. Dan pada saat bersamaan, Negara juga bertanggungjawab untuk melindungi hak-hak yang bersifat internal tersebut dari setiap gangguan, pemaksaan dan kekerasan dari pihak-pihak non Negara, termasuk dari kelompok keagamaan sendiri yang biasanya melakukan tindakan indoktrinasi, pengucilan dan bentuk-bentuk pemaksaan atas nama kebenaran suatu agama tertentu.[8]
Sedangkan forum eksternum ialah manifestasi dan pengalaman dari keyakinan dan kepercayaan itu sendiri. Setiap orang yang memiliki agama dan keyakinan, pasti ada aspek-aspek keluarannya, berupa kewajiban untuk menjalankan ibadah dan ajaran suatu agama. Dalam ajaran Islam, misal ada kewajiban untuk menjalan sholat, puasa, melaksanakan hukum pidana Islam, dan seterusnya. Dalam agama Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu serta agama dan kepercayaan yang lain, pasti memiliki  ajaran-ajaran yang bersifat manifestasi dan pengamalan. Dalam bahasan kebebasan beragama dan berkeyakinan, menjalankan ajaran agama atau keyakinan juga diakui sebagai bagian penting dari hak asasi manusia. Namun, hak yang bersifat manifestasi dan pengamalan ajaran agama, tidak bersifat absolut atau mutlak pemenuhannya. Dalam arti, pengamalan ajaran agama dan keyakinan bisa dibatasi dan dikurangi (derogable rights), baik karena alasan keselamatan umum, moral publik, tatanan atau ketertiban masyarakat, hukum dan atau untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain.

Potret dan Faktor Kekerasan
Kekerasan berbasis agama menjadi berita yang tidak pernah usai. Dari tahun ke tahun selalu terjadi dan berulang. Kita bisa periksa di berbagai dokumen laporan : kekerasan berbasis agama selalu mengemuka. Di antara laporan itu muncul dari The Wahid Institute. Dalam laporan akhir tahun 2012 dikemukakan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pelanggaran itu dilakukan oleh state actor (aktor negara) dan non state actor (aktor non negara). Pelanggaran oleh state actor terjadi karena pembiaran aparat negara, pelarangan rumah ibadah, pelarangan aktifitas keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan dan intimidasi.
Sedangkan pelanggaran yang dilalakukan oleh non state actor berupa ancaman kekerasan, penyerangan, pelarangan rumah ibadah, pemaksaan keyakinan, diskriminasi agama, pelarangan aktifitas berdasar agama, penyebaran kebencian, pengrusakan properti, penyesatan, kriminalisasi keyakinan dan pembunuhan bermotif agama.[9] Laporan serupa dirilis Setara Institute yang menyebut bahwa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia di dominasi oleh pejabat negara (state actor).[10]
Dalam laporan akhir tahun 2014, The Wahid Institute kembali menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia sepanjang tahun 2014 berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah itu, 80 peristiwa melibatkan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor non-negara.
Dari sisi pelaku, aktor negara terbanyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian dengan 25 pelaku; pemerintah kabupaten dengan 18 pelaku; pengadilan dan aparat desa atau kelurahan masing-masing delapan pelaku; dan pelaku dari aparat kecamatan dengan enam pelaku. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan aktor negara paling banyak berupa tindakan menghambat, melarang dan menyegel rumah ibadah ada 17 peristiwa; tindakan kriminalisasi atas dasar agama sebanyak 14 peristiwa dan diskriminasi atas dasar agama serta melarang atau menghentikan kegiatan keagamaan masing-masing 12 peristiwa.
Sementara pelaku aktor non-negara paling banyak warga tidak menamakan diri 21 pelaku; massa atau orang yang menggunakan atribut FPI 12 pelaku; Forum Jihad Islam (FJI) sembilan pelaku; MUI delapan pelaku, Forum Umat Islam dan gabungan ormas masing-masing tujuh pelaku. Bentuk tindakan kekerasan yang melibatkan aktor non-negara paling tinggi adalah serangan fisik atau perusakan properti sebanyak 16 peristiwa; penyebaran kebencian 15 peristiwa; tindakan penyesatan terhadap kelompok lain 10 peristiwa, intimidasi dan ancaman kekerasan serta pembatasan atau pelarangan kegiatan keagamaan masing-masing 9 peristiwa.[11]
Lalu, mengapa kekerasan berbasis agama yang dalam khazanah hak asasi manusia diletakkan sebagai pelanggaran HAM selalu terjadi? Ada banyak faktor yang melatarbelakangi peristiwa kekerasan berbasis agama. Di antara faktor itu ialah pemaknaan ajaran agama yang bermasalah di internal penganut agama dan kepercayaan, ketidaktegasan pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama dan keyakinan serta adanya faktor ekonomi politik yang secara langsung dan tidak langsung mendorong kekerasan berbasis agama.
Faktor pemaknaan ajaran agama terjadi, diantaranya di dorong oleh cara berfikir eksklusif dengan membedakan kelompok dalam (in group) dan kelompok luar (out group). Dalam situasi konflik, pembedaan kelompok ini dipertajam dengan saling menyalahkan, saling tuduh dan saling menyesatkan. Cara pandang eksklusif ini semakin berkembang dengan dengan adanya legitimasi keagamaan antar kelompok untuk membenarkan pikiran dan tindakannya. Ungkapan bahwa kelompok luar itu kafir, sesat, tidak beriman, dan seterusnya, menjadi alat legitimasi yang sangat ampuh yang menyulut pembenaran kekerasan. Cara berfikir bermasalah ini semakin tidak terkendali dengan adanya pengabsahan penggunaan senjata untuk menghancurkan dan memusnahkan kelompok-kelompok yang dianggap berbeda.[12] 
Masalahnya, adakah tindakan-tindakan kekerasan dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sebenarnya tidak ada agama dan atau kepercayaan yang memiliki tujuan merusak dan menghancurkan. Tujuan agama dan kepercayaan pasti bermuara pada kedamaian, kejujuran, keadilan dan kemanusiaan. Bahkan, menurut Abdullah A. An-Na’im, setiap ajaran agama kalau ditelaah pasti memiliki prinsip-prinsip agung berkaitan dengan kamanusiaan. An-Na’im menyebut prinsip-prinsip itu dengan prinsip emas (golden rule). Gagasan pokok dari golden rule ialah prinsip hubungan timbal balik (resiproksitas) dalam hubungan kemanusiaan, yaitu tuntutan untuk memberlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.[13] Karena itu, agama tidak akan pernah bisa disalahkan, yang bermasalah adalah penganut agama yang tidak selesai dalam memahami substansi ajaran agama dan keyakinan.
Faktor yang juga mendorong terjadinya kekerasan berbasis agama adalah ketidaktegasan negara dalam menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal, konstitusi sudah sangat tegas menjamin penghormatan dan perlindungan hak tersebut. Kita tahu dari konstitusi juga bahwa negara mesti berdiri di atas semua kelompok agama dan kepercayaan. Negara tidak boleh berpihak kepada kekuatan mayoritas dan pada saat bersamaan  tidak melindungi hak beragama kelompok minoritas. Negara tidak boleh bertindak dan bersikap diskriminatif atas nama apapun.
Beberapa konflik kekerasan berbasis agama dan keyakinan, peran, tugas dan tanggungjawab negara selalu dipermasalahkan. Laporan penting yang dikeluarkan pemantau isu kebebasan beragama dan berkeyakinan selau mempersoalkan dan meminta ketegasan aparat negara untuk melindungi kelompok minoritas agama dan keyakinan dari berbagai ancaman, pengucilan dan kekerasan.[14] Mengapa harus kepada negara menagih ketegasan? Karena negara memiliki kekuasaan, otoritas, penjaga kedaulatan hukum dan pemangku kewajiban penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Faktor penting ketiga dan juga mendorong terjadinya konflik berbasis agama ialah adanya kepentingan ekonomi, persaingan politik dan ketidakadilan sosial. Faktor agama dinilai bukan sebagai faktor utama konflik kekerasan, karena agama hanya digunakan dan diperalat  oleh orang-orang tertentu sebagai alat untuk mencari kekuasaan politik, mengamankan sumber daya alam dan memperkuat keamanan.  Konflik kekerasan yang terjadi lebih banyak sebagai dampak dari ketidakpuasan masyarakat beragama dan menumbuhkan rasa kebersamaan kelompok akibat kesalahan program pembangunan ekonomi.
Merujuk cara pandang ini, konflik kekerasan yang terjadi seperti di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat, konflik Ambon dan Poso, Sulawesi Tengah merupakan akibat dari ketimpangan, ketidakadilan pembangunan ekonomi dan penikmatan hasilnya oleh kelas-kelas (sosial ekonomi) di masyarakat. Dalam hal ini, agama semata salah satu faktor yang turut serta, faktor yang mungkin datang lebih akhir,  atau bahkan agama menjadi faktor yang dimanipulasi bersama-sama dengan persoalan ekonomi dan faktor-faktor lain yang mendorong munculnya pertikaian dan kekerasan.[15] Karena itu, konflik berbasis agama dan keyakinan menjadi persoalan yang sangat kompleks dan ada banyak faktor yang secara langsung dan atau tidak langsung mendorong meletusnya suatu konflik kekerasan.

Tanggungjawab Polisi Terhadap Kebebasan Beragama
Polisi merupakan bagian dari state actor (aktor negara). Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 menyatakan,  “Kepolisian Ripublik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”  Pada Pasal 4 UU No. 2  Tahun 2002  tentang Kepolisian juga ditegaskan,  “Kepolisian Negara Ripublik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Dengan pijakan norma tersebut, sangat jelas apa tugas, tujuan dan tanggungjawab polisi terkait penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pertama, polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban. Kita tahu bahwa kekerasan berbasis agama diawali dari kasus-kasus  yang berkembang di masyarakat. Suasana keamanan dan ketertiban satu komunitas masyarakat sudah pasti terbaca. Gesekan yang akan memicu konflik kekerasan  pasti terlihat.  Sebab, tidak mungkin ada kasus yang tiba-tiba muncul, pasti ada sebab dan muaranya.
Tugas keamanan dan ketertiban polisi sangat strategis disini. Polisi bisa menelaah dan mendiskusikan muara dan akar dari satu persoalan yang akan muncul. Kemudian menemukan formula bagaimana meredam dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Tentu tugas polisi disini bukan berpihak kepada mayoritas masyarakat keagamaan dan terlibat dalam mempermasalahkan kelompok minoritas. Polisi wajib netral dan tidak boleh diskriminatif. Lebih jauh, polisi wajib menjaga keamanan kelompok minoritas agar tidak menjadi korban dan melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh keagamaan setempat untuk terlibat mencegah tindakan-tindakan anarkis dan kekerasan.
Kedua, polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Disini polisi wajib memastikan diri bahwa mereka merupakan bagian yang tidak terpisah dari masyarakat. Polisi mesti melindungi, mengayomi, menyayangi dan melayani semua masyarakat tanpa kecuali. Tidak memperdulikan masyarakat itu mayoritas atau pun minoritas. Semuanya dilindungi, dilayani dan diayomi.
Posisi polisi yang tidak memisahkan diri dari kepentingan masyarakat, akan memudahkan polisi untuk menjadi bagian penjaga harmoni, kedamaian, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Semua persoalan yang berpotensi memicu kekerasan dan konflik berbasis agama bisa di cegah sejak awal. Masyarakat bisa diciptakan untuk menjadi bagian penjaga kedamaian, keamanan dan ketertiban itu sendiri.
Ketiga, polisi sebagai penegak hukum. Hal penting  tanggungjawab polisi yang harus netral karena pijakan kerjanya adalah semata-mata menegakkan kedaulatan hukum. Dalam kasus kekerasan berbasis agama, polisi wajib menegakkan hukum dengan sebenar-benarnya. Tanpa ketegasan hukum, kekerasan itu akan terus berulang dan berkembang. Karena itu, setiap orang  yang melanggar hukum dan melakukan kekerasan wajib diberikan hukuman.
Ketika konflik berbasis keagamaan terjadi, pelaku kekerasan biasanya dilakukan oleh pihak-pihak mayoritas, baik itu dengan mengusir kelompok minoritas, membakar rumah, mencaci-maki dan seterusnya. Dalam kasus seperti ini, polisi wajib menegakkan hukum. Aktor-aktor mayoritas  yang bersalah wajib di tangkap dan diberi hukuman. Tidak  boleh ada pembenaran sedikit pun walau pun mewakili mayoritas, kekerasan tetaplah kekerasan, dan pasti menjadi tindakan yang bertentangan dengan hukum. Artinya, hukum disini harus diletakkan sebagai norma yang paling tinggi dan menjadi media pelindung masyarakat dari segala ancaman, ketakutan dan kekerasan.
Keempat, polisi sebagai pemelihara ketentraman dengan landasan hak asasi manusia. Tugas kepolisian disini semakin mempertegas bahwa polisi memang memiliki tanggungjawab untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia. Apalagi institusi kepolisian saat ini telah menerbitkan Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas kepolisian Ripublik Indonesia.
Pada Pasal 8 ayat 2 PERKAP ditegaskan bahwa setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya, pertama, menghormati martabat dan HAM setiap orang. Kedua, bertindak secara adil dan tidak diskriminatif. Ketiga, berprilaku sopan. Keempat, menghargai norma agama, etika dan susila. Kelima, menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM.
Dalam konteks hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak ini penting untuk dijamin penghormatannya, dilindungi umat beragamanya dan institusi kepolisian harus memastikan bahwa setiap orang beragama dan berkeyakinan terjamin hak atas rasa amannya, terjaga dari segala intimidasi dan kekerasan. Dalam hal ini, polisi ditantang untuk memberi keyakinan bahwa keberadaan agama dan keyakinan bukan menjadi lahan untuk berkonflik, tetapi menjadi sarana untuk menjaga harmoni, saling menghormati dan saling mengasihi antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agamanya lainnya.
Dari keempat tugas, mandat dan tanggungjawab kepolisian, menjadi terang bahwa polisi merupakan figur yang dimiliki oleh semua masyarakat tanpa terkecuali. Mayoritas maupun minoritas. Seluruh warga negara adalah setara dan tidak boleh diberlakukan secara diskriminatif.[16]



[1] Ifdhal Kasim (Ed), Hak Sipil dan Politik : Esai-esai Pilihan, Buku I (Jakarta : Elsam, 2001), hlm xi-xii
[2] Knut D. Asplund, Suparman Marzuki dan Eko Riyadi (Ed), Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta : Pusham UII, , 2010), hlm 53-54
[3] Ifdhal Kasim (Ed), Hak Sipil dan … Op. Cit, hlm xii-xiii
[4] Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, Pembatasan-Pembatasan Yang Diperbolehkan Terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, dkk (Ed), Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan : Seberapa Jauh? (Yogyakarta : Kanisius, 2010),  hlm 207-231
[5] Malcom D. Evans, Religious Liberty and International Law in Europe (Cambridge : Cambridge University Press, 1997), Bab 2
[6] Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani (Ed), Gerakan Kebebasan Sipil : Studi dan Advokasi Perda Syari’ah (Jakarta : Penerbit Nalar, 2009), hlm 26-27
[7] Tore Lindholm, dkk (Ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan : Seberapa Jauh? (Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm 20-21
[8] David J Harris, Michael O’Boyle dan Crish Werbrick, Law of the European Convention on Human Rights (London : Butterworth, 1995), hlm 360
[9]  The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012
[11] The wahid institute, Laporan tahuan kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi 2014, hlm 21-25
[12] John Kelsay d an Summer B. Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta : Institute Dian/Interfidei, 2007), hlm 7-13
[13] Abdullah A. An-Na’im, Shari’a and Basic Human Rights Concerns dalam Liberal Islam A Sourcebook (New York : Oxford University Press, 1998), hlm 223
[14] Laporan Penelitian INFID  No. 2/2013, Kebebasan Beragama di Indonesia Tahun 2010-2012 (Jakarta : INFID dan TiFA, 2013), hlm 13-16
[15] M.M. Billah, Agama dan Hak Asasi Manusia, Kata Pengantar buku John Kelsay d an Summer B. Twiss (Ed), Agama dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta : Institute Dian/Interfidei, 2007), hlm xxxiii-xxxiv
[16] M. Syafiie, Kinerja Polisi : Sebuah Pekerjaan Rumah Yang Belum Selesai, dalam  Puguh Windrawan (Ed), Perlindungan Polisi Terhadap Kaum Minoritas dan Pelayanan Publik di Wilayah Polda DIY (Yogyakarta : Pusham UII, 2013), hlm 118-120

0 comments:

Post a Comment