21 December 2015

Harapan Untuk RUU Difabilitas

Selasa, 18 Agustus kemarin, sekitar 500 difabel mengelar karnaval budaya menuju gedung DPR RI menuntut pengesahan RUU Penyandang Disabiilitas. Dan aksi kemarin bersambut baik, ada pernyataan anggota DPR RI yang menjanjikan pengesahan secara 'segera' RUU. Janji yang selalu akan dipegang dan dinantikan oleh warga difabel.

Kita tahu, karnaval budaya kemarin bukanlah aksi yang tiba-tiba. Ada banyak rangkaian diskusi, aksi, petisi dan rekomendasi substansi. Bisa dikatakan, warga difabel sangat antusias dengan hadirnya RUU. Mengapa? Dengan regulasi baru ini, harapannya ada ketegasan jaminan pemenuhan hak-hak difabel di berbagai sektor. Selama ini, telah ada peraturan yang secara langsung dan tidak langsung mengatur difabel, tapi peraturan-peraturan yang ada seperti tidak menjamin apa pun, tidak jelas, tak menjadi pegangan, bahkan ada banyak peraturan yang secara langsung menindas difabel.
Pertama, peraturan yang secara langsung diskriminatif. Peraturan ini terbaca dengan jelas di beberapa Pasal KUHAP, diantaranya Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP yang keduanya bicara kesaksian. Menurut Pasal ini, yang disebut saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Bagaimana kesaksian tuli dan netra? Norma ini tidak fair kepada difabel ketika berhadapan dengan hukum. Atau Pasal 433 (Buku 1) KUH Perdata yang memposisikan difabel sebagai pribadi yang berada di bawah pengampuan. Pasal ini berdampak tidak diakui dan dipersulitnya difabel menjadi pihak dalam perjanjian. Juga Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan, di mana seorang istri yang difabel menjadi syarat sahnya poligami laki-laki. Serta UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, UU No. 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan beberapa peraturan lain yang mempersyaratkan sehat jasmani dan rohani. Ketentuan ini berdampak serius di mana difabel ditolak melamar pekerjaan karena alasan medis : sehat jasmani dan rohani.
Kedua, peraturan yang kabur dan tidak memastikan secara tegas hak dan jaminan difabel. Dalam hal ini, kita bisa baca UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ketidakjelasan difabel sebagai pengampu hak PBI (Penerima Bantuan Iuran) dalam regulasi ini berdampak pada ketidakpastian jaminan pelayanan kesehatan bagi difabel. Juga, UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Penerima bantuan dalam Undang-Undang ini hanya orang miskin. Difabel dengan semua hambatannya belum dimasukkan sebagai penerima bantuan. Juga, UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang ini tidak jelas mengakui prinsip aksesibilitas, tidak komprehensif dan masih menggunakan istilah penyandang cacat.
Itu baru beberapa regulasi, sebenarnya ada beberapa yang lain dan secara langsung menopang peniadaan hak-hak difabel dan memperkuat stigma di tengah pergaulan sosial dan tata kelola pelayanan publik. Karena itu, jika tidak hati-hati dan tidak dikawal, RUU Penyandang Disabilitas bisa-bisa 'jatuh' seperti halnya UU. No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang ini, niatnya sangat baik, yaitu untuk menjamin hak-hak difabel, tapi pada perumusannya, substansi haknya sedikit yang dijamin, masih menggunakan cara pandang medis, dan rumusan saksi atas pelaksanaan jaminan tidak jelas. Akibatnya, Undang-Undang ini banyak dikritik dan tidak kuat mendorong dan memastikan pemenuhan jaminan hak-hak difabel.
Dari ragam persoalan di atas, RUU Penyandang Disabilitas adalah harapan besar warga difabel, harapan akan hadirnya kesetaraan, kesederajatan dan tata kelola pelayanan publik yang non diskriminasi. Semoga RUU ini terdesain dengan semangat perubahan itu, belajar dari kesalahan-kesalahan yang ada dan menjadi tempat berlabuh di tengah sistemiknya kekerasaan dan pelanggaran hak asasi yang menimpa warga difabel.

0 comments:

Post a Comment