28 April 2017
Pendampingan Difabel dan Sistem Hukum Yang Tidak Ideal
Friday, April 28, 2017
No comments
Oleh : Purwanti
& M. Syafi’ie[1]
A. Pengantar
Tidak pernah terpikir awalnya, V akhirnya harus
merasakan bagaimana kerasnya berproses di peradilan atas kasus yang menimpanya.
V adalah korban pencabulan dan pemerkosasan oleh guru di sekolahnya. V
merupakan seorang difabel ganda : tidak bisa mendengar, kesulitan berbicara dan difabel mental intelektual. Umur
kalendernya 22 tahun dan sudah terhitung dewasa, tetapi umur mental V baru 8
tahun dan terhitung umur mental anak-anak. Melihat V, yang terbaca adalah pribadi
yang berperilaku anak-anak. Cara berfikir dan emosionalnya masih anak-anak.
Hanya fisiknya yang terlihat dewasa.
Ketika berproses di dunia peradilan, kasus V
menjadi pembelajaran penting, di mana aparat penegak hukum umumnya tidak
mengerti difabilitas, sarana prasarana dan pelayanan peradilan masih belum
akses, norma-norma hukum melemahkan posisi seorang difabel, dan untungnya kasus
V didampingi oleh banyak pihak yang memiliki komitmen untuk mendorong
penyelesaian kasus yang fair. Pendampingan dilakukan sejak pertama kasus muncul,
mempersiapkan bukti-bukti, membangun jaringan advokasi, mengawal proses di
kepolisian, kejaksaan, sampai dengan pengadilan.
Kasus hukum yang menimpa V merupakan satu kasus
dari sekian banyak kasus yang menimpa difabel. Kasusnya bisa perkara pidana,
perdata, tatanegara, administrasi dan beberapa kategori hukum lainnya. Umumnya,
ketika berproses di peradilan, difabel biasa terpojokkan karena sistem
peradilan yang memang masih belum ramah kepada difabel.
Kondisi difabilitas dengan ragam hambatannya, baik
hambatan pendengaran, penglihatan, berbicara, mobilitas, intelektualitas dan
emosionalitas,[2]
kerap menghilangkan difabel sebagai subyek hukum dan tidak diberlakukan secara
setara. Diifabel dianggap sangat lemah kesaksiaannya karena tidak bisa melihat,
tidak bisa mendengar, lemah secara intelektual sehingga tidak runtut ketika
menceritakan kasus, dan kondisi emosionalnya juga kerap tidak memberi gambaran
utuh tentang trauma, sakit dan seterusnya. Kondisi difabilitas biasa dengan pelemahan dan
kerap mengalami kekalahan terus menerus akibat sistem hukum yang masih belum
fair.
B. Pengalaman
Pendampinan
Ketika mendampingi kasus difabel berhadapan dengan
hukum, tim SIGAB memiliki banyak pengalaman ketika berproses di peradilan. Dan
sebagian besar tim SIGAB sendiri adalah difabel sehingga memperkaya bagaimana
proses peradilan dalam kasus-kasus difabel mesti dikonstruksikan. Di antara catatan
pengalaman tim SIGAB, yaitu :
1.
Problem Aksesibilitas
Difabel berhadapan dengan hukum, umumnya mengalami
masalah dengan sarana prarasarana peradilan. Di antara kasusnya menimpa H
(perempuan difabel ganda: mengalami microchepaluus, mental intelektual, daksa/terhambat
untuk berjalan, celebral palsy dan terhambat berbicara) dan D (perempuan difabel
ganda : hidrosepalus, daksa, spina bifida dan mengalami luka dekubitus). H
menjadi korban pemerkosaan ayah kandungnya, sedangkan D merupakan korban
pemerkosaan tetangga kampungnya.
Ketika akan berproses di peradilan, yang dilakukan
pendamping SIGAB pertama-tama adalah melakukan profil assessment terhadap kedua korban, yaitu terkait dengan
disabilitasnya, kebutuhan alat bantu, cara berkomunikasi, kondisi trauma
kejiwaan korban dan mencarikan surat keterangan medis yang membuktikan bahwa
kondisi difabilitas kerap menjadi alasan difabel menjadi Korban tindak pidana.[3]
Dalam kasus H, pemeriksaan dilakukan di Polres.
Ketika diperiksa, tata ruang di kantor kepolisian sangat tidak akses : kamar
pemeriksaan penuh dengan meja, kursi, komputer, kursi untuk tamu, sehingga
mempersulit pengguna kursi untuk bermanuver (memutar) dan bermobilitas. Posisi
pendamping yang seharusnya berdekatan dengan korban (untuk menerjemahkan dan
mendampingi) akibat ruang yang sempit, akhirnya pemeriksaan pun dilakukan di
luar dan disaksikan oleh orang-orang yang berlalu lalang. Tidak kondusif untuk
pemeriksaan.
Di kantor kepolisian tersebut, ramp tidak
disediakan, informasi lalu lintas untuk jalan difabel tidak tersedia, sarana
prasarana yang biasanya akan digunakan untuk memperagakan kesaksian kasus tidak
tersedia, padahal itu penting dalam kasus difabel. Tetapi, pendekatan
kepolisian terhadap perempuan korban kekerasan relatif sudah nyaman : bahasanya
bagus dan pendekatan untuk membuka kesaksian sudah tepat.
Setelah berproses di kepolisian, berlanjut di
kantor kejaksaan. Di beberapa kantor
kejaksaan sudah dibangun ramp, tetapi untuk masuk ke kantor kejaksaan kesulitan
karena terhalangi mobil-mobil mewah. Ruang pertemuan di kantor kejaksaan biasanya
dilangsungkan di lantai dua, padahal ruangnya tidak ada lift dan menggunakan
tangga. Karena situasi aksesibilitas, tim SIGAB ketika audiensi di kantor
kejaksaan, meminta agar pertemuan tidak dilangsungkan di lantai dua tetapi baiknya
di lantai satu. Beberapa permintaan diterima. Situasinya tetap tidak nyaman,
karena harus mencari ruang dulu di lantai satu dan tempatnya tetap tidak
aksesibel karena sangat sempit dan bukan untuk tempat pertemuan.
Kemudian di kantor pengadilan, sarana prasarana
juga bermasalah. Di beberapa pengadilan sudah ada ramp, tetapi tidak memenuhi
standar aksesibilitas. Ketika mau menggunakan ramp, kadang ada besi penutup
got. Kamar mandi sebagian pengadilan sudah akses. Ruang pengadilan kalau ada
difabel masuk, biasanya dimodifikasi. Dan problemnya ialah jadwal sidang yang
tidak pasti dan tidak sesuai dengan jadwal undangan.
Secara umum, sarana prasarana kantor peradilan
masih belum akses kepada difabel. Baik di kantor kepolisian, kejasaan dan
pengadilan. Tetapi upaya untuk menyediakan sarana prasarana akses sudah mulai
dilakukan walau pun masih ada catatan-catatan penting. Sudah ada ramp, tetapi
tidak memenuhi kelayakan dan sebagian sudah ada kursi roda tetapi bukan kursi
roda yang standar.
2.
Perilaku Aparat Penegak Hukum
Perlaku aparat penegak hukum juga menjadi catatan
penting. Pengalaman pendampingan SIGAB, aparat penegak hukum rata-rata tidak
mengerti tentang difabel, tidak mengerti bagaimana berinteraksi, tetapi aparat
penegak hukum sebagian ingin tahu siapa itu difabel dan bertanya bagaimana cara
berinteraksi. Ketika ada kasus dilaporkan, tim SIGAB dan aparat penegak hukum
biasanya bertanya tentang difabel dan bagaimana interaksi mesti dikembangkan.
Pengalaman tim Sigab yang biasa mendampingi
korban, sangat membantu bagi pengetahuan dan bagaimana aparat penegak hukum
mesti bertanya dan bersikap. Dan beberapa pengalaman setelah mendiskusikan
beberapa kasus, biasanya sangat bermasalah kalau difabel yang berhadapan dengan
hukum tidak ada pendamping difabelnya. Kasus-kasus difabel yang tidak
didampingi rata-rata kasusnya tidak terproses, lepas dalam beberapa tahap
pemeriksaan dan difabel tidak kuat posisinya.
Keberadaan pendamping difabel sangat berperan
bagaimana hukum acara semestinya dijalankan, yaitu misalnya penjelasan tentang
kebutuhan saksi ahli, ahli difabel dan
ahli psikis yang melekat dengan kondisi difabilitas. Sedikit banyak profil assessment difabel sangat dipengaruhi
oleh keberadaan pendamping, sehingga proses hukum acara dan proses membuka
kesaksian bagi difabel bisa berjalan dengan tepat.
Masalahnya saatt ini, profil assessment difabel belum menjadi standar hukum acara difabel
berhadapan dengan hukum. Belum ada aturan hukumnya. Aparat penegak hukum ketika
berkomunikasi dengan pendamping seringkali gamang terkait bagaimana proses
hukum mesti dijalankan, karena norma hukum acara dan kebutuhan lapangan kerap
tidak sejalan.
3.
Kebutuhan Penerjemah
Selama ini, kebutuhan penerjemah difabel biasa
dipahami sebagai persoalan bahasa. Dan kerap dianggap hanya persoalan difabel
yang rungu wicara (dijamin dalam Pasal 178 ayat 1, 2 dan 3 KUHP), padahal pada
kenyataannya, penerjemah dalam kasus difabel berhadapan dengan hukum dibutuhkan
untuk memberi pemahaman akan makna, perkataaan, pernyataan, bahasa dan kalimat
yang disampaikan para pihak kepada korban. Kedua,
penerjemah dibutuhkan untuk memancing agar korban bisa bercerita dengan
terstruktur dan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga tidak bermakna
ganda dan melemahkan difabel.
Pengalaman yang terjadi pada kasus H (difabel
mental intelektual) yang ketika berproses di peradilan berada dalam masa puber
dan mengaku memiliki banyak pacar. Sehingga image
yang terjadi menjadi jelek dan memojokkan difabel yang menjadi korban.
Padahal H adalah korban pemerkosaan. Dalam kondisi ini, keberadaan penerjemah
menjadi kunci bagaimana ia mesti memahami dan menceritakan pesan secara
maksimal yang diceritakan korban. Tanpa pemahaman yang utuh, situasi korban
hanya ter-translate arti bahasa.
Padahal ada banyak pengetahuan dan kesadaran yang belum terpahami oleh difabel.
Kebutuhan penerjemah dalam kasus difabel
berhadapan dengan hukum yang membutuhkan penerjemah dengan demikian tidak hanya
difabel bisu tuli, tetapi juga difabel yang lebih luas, khususnya difabel
mental intelektual, psikotik, celebral palcy dan difabel netra, karena problem
dan kendala pengetahuan, pendidikan dan asupan informasi difabel yang tidak
memadai.
Standar penerjemah yang harus tersertifikasi atau
guru SLB juga menjadi pertanyaan tersendiri. Alasannya, karena difabel ada yang
menempuh pendidikan di SLB dan ada yang tidak. Sehingga bahasa yang digunakan
di SLB belum tentu dipahami oleh difabel yang lain. Bahasa isyarat sangat
beragam, yaitu bahasa isyarat Besindo, SIBI, gerak dan bibir (oral) yang biasa dipahami di sekolah
dan tempat terapi, tetapi dalam kehidupan sehari-hari difabel tuli banyak yang
menggunakan bahasa gesture yang ini
terjadi secara alamiah di keluarga dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang
tidak sekolah di SLB biasanya menggunakan bahasa gesture.
Keragaman bahasa isyarat sangat dipengaruhi oleh
kultur, kedaerahan dan lingkungan, dan tidak ada standar bakunya. Dan tidak tidak ada lembaga yang memberikan
sertifikasi di Indonesia mengingat problem bahasa isyarat yang memang sangat
kompleks. Kebutuhan penerjemah bagi difabel berhadapan dengan hukum dengan
demikian mesti dibaca secara lebih luas.
4.
Terpojok Karena Norma Hukum
Penegak hukum umumnya pasti berpijak pada
norma-norma hukum yang kadang melemahkan difabel, seperti masih adanya
peraturan yang melihat difabel dianggap tidak cakap hukum karena keterangannya
dianggap tidak konsisten (mental intelektual, gangguan jiwa dan tuli yang
dianggap bodoh); difabel yang kesaksiannya dipermasalahkan karena tidak bisa
melihat, tidak bisa mendengar, tidak melakukan perlawanan ketika terjadi tindak
pidana; tidak berteriak; tidak bisa mengekspresikan kesedihan, trauma,
kemarahan; dan bahkan tidak bisa memahami tindakan kejahatan apa yang terjadi
pada dirinya, dampak dan akibat peristiwa yang terjadi, tidak mengerti
nilai-nilai, dan tidak mengerti hukum dan hak-haknya.
Adanya peraturan yang menyebut difabel berada di
bawah pengampuan berakibat difabel tidak memiliki kemampuan di hadapan hukum.
Tidak menjadi subyek hukum karena ketika ada terjadi kasus kekerasan dan tindak
pidana, proses penyelesaian kasus umumnya diserahkan semuanya ke pengampu. Difabel
tidak bisa mengambil keputusan apa pun karena posisinya pengampunya sangat
kuat. Pelaku tindak pidana yang berasal dari keluarga dekat, umumnya tidak diproses
hukum karena pengaruh dari pengampu atau wali yang sangat dominan.
Prosedur hukum juga sudah sangat legalistik, tidak
termaknai secara progresif dan memanusiakan. Padahal BAP akan diuji dalam
persidangan. Proses hukum acara yang panjang, berulang-ulang, sangat membebani
terhadap difabel. Difabel mental seperti yang dialami D (difabel mental
intelektual), V (difabel mental intelektual), M (netra) dan beberapa difabel
berproses hukkum yang lain mengalami trauma karena proses peradilan yang
panjang dan ditanya berulang-ulang.
Di antara yang bermasalah juga ialah konfrontir
antara pelaku dan korban dan kebijakan untuk mengeluarkan terdakwa untuk
kepentingan melihat trauma korban oleh hakim. Situasi ini kadang saangat membuat
trauma difabel korban, dan kadang melemahkan difabel karena bersikap biasa saja
ketika bertemua pelaku karena kondisi difabilitasnya. Kondisi difabel kerap
memberi kesimpulan yang salah jika tidak menggunakan cara berfikir dan prosedur
hukum yang tepat.
Sistem hukum juga belum mengakomodasi terkait
dengan keberadaan keterangan ahli disabilitas. Untuk difabel khususnya yang
tuli, netra dan psikotik, jarang sekali menggunakan keterangan ahli. Padahal
keterangan ahli sangat penting untuk menentukan posisi difabel yang menjadi
korban dan atau pelaku. Semestinya, keberadaan ahli untuk difabel berhadapan
dengan hukum difasilitasi agar dapat memberi penjelasan terkait difabilitas.
Keberadaan saksi ahli juga mesti dimulai dari
proses penyidikan sampai dengan pengadilan, dan itu terkait dengan
penganggaran. Sejauhmana negara akan memfasilitasi dan mendanai kebutuhan akan
sistem yang fair. Selama ini, SIGAB membiayai sendiri terkait keberadaan ahli,
penerjemah dan alat bantu yang dibutuhkan difabel. Pemerintah belum
mendanai.
5.
Peran Masyarakat dalam Proses Hukum
Peran masyarakat untuk difabel berhadapan dengan
hukum sangat penting posisinya. Masyarakat yang peduli terhadap hak-hak difabel
di sektor hukum dapat menjadi saksi dan penekan bagaimana proses hukum kepada
difabel mesti ditegakkan dan dikontruksikan.
Pengalaman pendampingan SIGAB terkait peran
masyarakat setidaknya tergambar dalam kasus H (difabel mental) dan D (difabel
mental). Dukungan masyarakat untuk kasus H dan D sangat kuat sehingga proses
hukum keduanya berjalan dengan lancar.
Berbeda dengan masyarakat yang tidak mendukung,
seperti tergambar dalam kasus DS (difabel mental intelektual, celebral palcy).
Proses hukum kasus DS tidak berjalan dengan benar masyarakat di tempat DS
tinggal tidak bersedia menjadi saksi, tidak bersedia memberikan keterangan apa
pun dan bahkan tidak akan menolong keluarga DS ketika terjadi persoalan atau
administrasi pemerintahan. Kasus DS diselesaikan dengan perjanjian. Perangkat
desa meminta keluarga DS agar menanda tangani perjanjian yang di antara
klasulnya ialah pemberian ganti uang sebesar 25 juta. Padahal DS dalam kondisi
hamil, celebral palsy dan intelektual dan termasuk dalam keluarga yang sangat
miskin.
Di masyarakat, juga berkembang budaya menjaga nama
baik kampung dan desa dengan menekan angka kriminal yang terjadi di masyarakat.
Masalahnya, menekan angka kriminal dalam banyak hal merugikan difabel yang
menjadi korban. Menekan angka krimnal menjadi pembiaran tersendiri terhadap
kasus-kasus criminal, khususnya yang menimpa perempuan difabel. Kondisi itu
terjadi dalam beberapa kasus tindak pidana di Sukoharjo.
6.
Penghukuman atau Sanksi
Dalam banyak putusan hakim, ada beberapa yang
sudah memasukkan pertimbangan difabel dalam putusannya, tetapi ada ada beberapa
putusan yang belum tergambar pertimbangan difabilitas dan kerentanan yang
melekat dengan komunitas difabel, sehingga putusan hakim cenderung tidak
melihat difabilitas sebagai persoalan penting.
Dalam kasus-kasus yang didamping tim SIGAB,
rata-rata sudah memasukkan pertimbangan difabilitas dan kerentanannya, sehingga
putusan hakim rata-rata berbanding dengan kondisi difabel yang sangat rentan.
Diantara putusan hakim yang sudah dinilai baik ialah kasus F (difabel korban
pemerkosaan), K (difabel mental intelektul pemerkosaan), V (korban pencabulan
dan pemerkosaan), dan beberapa kasus lain yang didampingi SIGAB, pelaku dihukum
berat dan dianggap setimpal dengan dampak akibat tindak pidana yang dilakukan
pelaku.
C. Lesson Learn
dan Kebutuhan Kebijakan
Pengalaman pendampingan yang
dilakukan tim SIGAB terhadap kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum,
memberi gambaran bagaimana sistem hukum sistem di Indonesia mesti
dikonstruksikan kedepannya. Ada banyak pelaran yang tergali dan memandatkan
beberapa kebutuhan kebijakan, di antaranya, yaitu :
Pertama,
hukum acara dan norma hukum yang merespon hak atas hukum difabel. Hukum acara
difabel berhadapan dengan hukum sangat penting untuk dirumuskan. Hukum acara
yang ada dalam KUHAP, tidak tepat dan tidak mengakomodasi bagaimana proses
hukum bagi difabel mesti dijalankan. Di antara yang harus diperbaiki dalam
KUHAP ialah pendefinisian tentang sanksi. Norma-norma hukum KUHP dan KUHPdt juga penting
untuk diperbaiki, sehingga difabel tidak lagi diperlakukan semata sebagai
pribadi yang berada di bawah pengampuan dan tidak cakap hukum.
Kedua,
Profil Assessment. Penilaian terhadap profil difabel berhadapan dengan hukum
sangat penting dilakukan dalam proses peradilan. Profil assessment akan menjadi
panduan bagaimana proses hukum mesti dikontruksi dan dijalankan oleh aparat
penegak hukum. Diantaranya terkait bagaimana penegak hukum semestinya
berinteraksi, berkomunikasi dan memahami perilaku seorang difabel yang
berhadapan dengan hukum. Pentingnya profil assessment dalam kasus-kasus
difabel, semestinya ada unit khusus seperi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak
(PPA) di kepolisian.
Ketiga,
sarana prasarana dan interaksi yang akses.
Sarana prasarana fisik akses, layanan yang ramah dan akomodasi yang
layak mesti difasilitas di lembaga peradilan. Guiding block, ramp standar, lift
untuk bangunan bertingkat dan informasi visual (running text, audio, braille
dan tertulis) mesti disediakan. Dokumen administrasi dan berkas hukum aksesibel
mesti difasilitasi. Dan hal penting yang mesti didorong juga ialah pemahaman
pegawai peradilan untuk berinteraksi dengan difabel.
Keempat,
penegak hukum yang mengerti difabilitas. Penegak hukum, baik itu polisi, jaksa
dan atau hakim sangat menentukan bagaimana sebuah kasus hukum akan berakhir :
sukses atau tidak. Penegak hukum yang memahami difabel akan mempengaruhi
bagaimana proses hukum difabel mesti dikonstruksikan. Karena itu, penting
adanya pelatihan dan penguatan kesadaran terhadap para penegak hukum, bahkan
mesti didorong adanya sistem yang memastikan bahwa untuk menangani kasus
difabel berhadapan dengan hukum harus ditangani oleh penegak hukum yang
memahami isu dan mengerti interaksi dengan difabel.
Kelima,
pendamping difabel. Ketika berposes hukum, keberadaan pendamping difabel tidak
bisa dihilangkan. Keberhasilan dan kegagalan proses hukum difabel sangat
bergantung sejauhmana pendampingan difabel dijalankan. Pendamping difabel mesti
memahami tentang difabilitas, memahami persoalan-persoalan hukum dan bisa
berkomunikasi secara efektif dengan difabel yang didampinginya, baik sebagai
korban, tersangka/terdakwa dan atau sebagai saksi.
Keenam,
penerjemah. Difabel berhadapan dengan hukum umumnya membutuhkan penerjemah.
Tidak hanya penerjemah bahasa yang dibutuhkan, tetapi penerjemah yang juga
memahami kondisi difabilitas, sehingga dapat membantu memberikan keterangan
yang utuh terhadap pembicaraan dan pesan yang disampikan seorang difabel
berhadapan dengan hukum. Penerjemah tidak perlu disertifikasi karena bahasa
isyarat sangat beragam bentuk dan artikulasinya.
Ketujuh,
ahli difabilitas. Keberadaan ahli yang memahami dan mengerti difabilitas sangat
penting untuk difasilitasi dalam proses hukum difabel. Keberadaan ahli
harapannya akan memberi keterangan yang utuh terhadap kondisi disabilitas, baik
dimensi sensoriknya, mental dan intelektualitas dan kondisi fisik yang
mempengaruhi terhadap pikiran dan tindakan seorang difabel. Ahli disabilitas,
psikiater, psikolog, dokter syaraf dan ahli sensorik motorik penting untuk
dihadirkan dalam peradilan.
Kedelapan,
putusan. Wajah hukum tehadap kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum
tercermin dalam vonis putusan yang dijatuhkan oleh hakim, yaitu sejauhmana
putusan hakim telah mengakomodasi pertimbangan difabilitas dan kerentanan yang
terjadi. Putusan hakim terhadap kasus difabel berhadapan dengan hukum mesti
memberi efek jera terhadap pelaku serta mempertimbangkan penderitaan yang dalam
yang dialami oleh difabel dan keluarganya.
Demikianlah
beberapa kebutuhan kebijakan yang mesti didorong untuk memperbaiki sistem hukum
yang fair bagi difabel. Selama ini, proses hukum bagi difabel belum berjalan
dalam kerangka sistem yang diharapkan atau ideal, ada banyak catatan di sana
sini, tetapi dengan tekad yang kuat, beberapa kasus difabel berhadapan dengan
hukum yang didampingi SIGAB, banyak yang berakhir seperti yang diharapkan.
[1] Purwanti adalah Koordinator Advokasi dan
Jaringan, sedang M. Syafi’ie adalah Koordinator Penelitian SIGAB
[2] Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas, difabel terdapat empat ragam, yaitu difabel
fisik, difabel intelektual, difabel mental dan difabel sensorik. Dari keempat
ragam, difabel bisa tunggal, ganda dan multi difabilitas. Difabel fisik ialah
terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku,
paraplegi, celebral palcy (CP) akibat stroke, akibat kusta dan orang kecil.
Difabel intelektual ialah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan
di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, difabel grahita dan down
syndrome. Difabel mental ialah terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku,
antara lain, pertama, psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi,
enxietas dan gangguan kepribadian. Kedua, difabel karena perkembangan yang
berpengaruh pada kemampuan interaksi sosia, diantaranya autis dan hiperatif.
Difabel sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera,
antara lain difabel netra, rungu dan difabel wicara. Difabel ganda atau multi
ialah difabel yang mempunyai dua atau lebih ragam difabel, antara lain difabel
rungu wicara dan difabel netra tuli.
[3] Salah satu bentuk ketidakberdayaan
seseorang adalah karena pingsan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment