28 April 2017

Pendampingan Difabel dan Sistem Hukum Yang Tidak Ideal

Oleh : Purwanti & M. Syafi’ie[1]

A. Pengantar
Tidak pernah terpikir awalnya, V akhirnya harus merasakan bagaimana kerasnya berproses di peradilan atas kasus yang menimpanya. V adalah korban pencabulan dan pemerkosasan oleh guru di sekolahnya. V merupakan seorang difabel ganda : tidak bisa mendengar, kesulitan  berbicara dan difabel mental intelektual. Umur kalendernya 22 tahun dan sudah terhitung dewasa, tetapi umur mental V baru 8 tahun dan terhitung umur mental anak-anak. Melihat V, yang terbaca adalah pribadi yang berperilaku anak-anak. Cara berfikir dan emosionalnya masih anak-anak. Hanya fisiknya yang terlihat dewasa.


Ketika berproses di dunia peradilan, kasus V menjadi pembelajaran penting, di mana aparat penegak hukum umumnya tidak mengerti difabilitas, sarana prasarana dan pelayanan peradilan masih belum akses, norma-norma hukum melemahkan posisi seorang difabel, dan untungnya kasus V didampingi oleh banyak pihak yang memiliki komitmen untuk mendorong penyelesaian kasus yang fair. Pendampingan dilakukan sejak pertama kasus muncul, mempersiapkan bukti-bukti, membangun jaringan advokasi, mengawal proses di kepolisian, kejaksaan, sampai dengan pengadilan.
Kasus hukum yang menimpa V merupakan satu kasus dari sekian banyak kasus yang menimpa difabel. Kasusnya bisa perkara pidana, perdata, tatanegara, administrasi dan beberapa kategori hukum lainnya. Umumnya, ketika berproses di peradilan, difabel biasa terpojokkan karena sistem peradilan yang memang masih belum ramah kepada difabel.
Kondisi difabilitas dengan ragam hambatannya, baik hambatan pendengaran, penglihatan, berbicara, mobilitas, intelektualitas dan emosionalitas,[2] kerap menghilangkan difabel sebagai subyek hukum dan tidak diberlakukan secara setara. Diifabel dianggap sangat lemah kesaksiaannya karena tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, lemah secara intelektual sehingga tidak runtut ketika menceritakan kasus, dan kondisi emosionalnya juga kerap tidak memberi gambaran utuh tentang trauma, sakit dan seterusnya.  Kondisi difabilitas biasa dengan pelemahan dan kerap mengalami kekalahan terus menerus akibat sistem hukum yang masih belum fair.

B. Pengalaman Pendampinan
Ketika mendampingi kasus difabel berhadapan dengan hukum, tim SIGAB memiliki banyak pengalaman ketika berproses di peradilan. Dan sebagian besar tim SIGAB sendiri adalah difabel sehingga memperkaya bagaimana proses peradilan dalam kasus-kasus difabel mesti dikonstruksikan. Di antara catatan pengalaman tim SIGAB, yaitu :

1.      Problem Aksesibilitas
Difabel berhadapan dengan hukum, umumnya mengalami masalah dengan sarana prarasarana peradilan. Di antara kasusnya menimpa H (perempuan difabel ganda: mengalami microchepaluus, mental intelektual, daksa/terhambat untuk berjalan, celebral palsy dan terhambat berbicara) dan D (perempuan difabel ganda : hidrosepalus, daksa, spina bifida dan mengalami luka dekubitus). H menjadi korban pemerkosaan ayah kandungnya, sedangkan D merupakan korban pemerkosaan tetangga kampungnya.

Ketika akan berproses di peradilan, yang dilakukan pendamping SIGAB pertama-tama adalah melakukan profil assessment terhadap kedua korban, yaitu terkait dengan disabilitasnya, kebutuhan alat bantu, cara berkomunikasi, kondisi trauma kejiwaan korban dan mencarikan surat keterangan medis yang membuktikan bahwa kondisi difabilitas kerap menjadi alasan difabel menjadi Korban tindak pidana.[3]

Dalam kasus H, pemeriksaan dilakukan di Polres. Ketika diperiksa, tata ruang di kantor kepolisian sangat tidak akses : kamar pemeriksaan penuh dengan meja, kursi, komputer, kursi untuk tamu, sehingga mempersulit pengguna kursi untuk bermanuver (memutar) dan bermobilitas. Posisi pendamping yang seharusnya berdekatan dengan korban (untuk menerjemahkan dan mendampingi) akibat ruang yang sempit, akhirnya pemeriksaan pun dilakukan di luar dan disaksikan oleh orang-orang yang berlalu lalang. Tidak kondusif untuk pemeriksaan.

Di kantor kepolisian tersebut, ramp tidak disediakan, informasi lalu lintas untuk jalan difabel tidak tersedia, sarana prasarana yang biasanya akan digunakan untuk memperagakan kesaksian kasus tidak tersedia, padahal itu penting dalam kasus difabel. Tetapi, pendekatan kepolisian terhadap perempuan korban kekerasan relatif sudah nyaman : bahasanya bagus dan pendekatan untuk membuka kesaksian sudah tepat.

Setelah berproses di kepolisian, berlanjut di kantor kejaksaan.  Di beberapa kantor kejaksaan sudah dibangun ramp, tetapi untuk masuk ke kantor kejaksaan kesulitan karena terhalangi mobil-mobil mewah. Ruang pertemuan di kantor kejaksaan biasanya dilangsungkan di lantai dua, padahal ruangnya tidak ada lift dan menggunakan tangga. Karena situasi aksesibilitas, tim SIGAB ketika audiensi di kantor kejaksaan, meminta agar pertemuan tidak dilangsungkan di lantai dua tetapi baiknya di lantai satu. Beberapa permintaan diterima. Situasinya tetap tidak nyaman, karena harus mencari ruang dulu di lantai satu dan tempatnya tetap tidak aksesibel karena sangat sempit dan bukan untuk tempat pertemuan.

Kemudian di kantor pengadilan, sarana prasarana juga bermasalah. Di beberapa pengadilan sudah ada ramp, tetapi tidak memenuhi standar aksesibilitas. Ketika mau menggunakan ramp, kadang ada besi penutup got. Kamar mandi sebagian pengadilan sudah akses. Ruang pengadilan kalau ada difabel masuk, biasanya dimodifikasi. Dan problemnya ialah jadwal sidang yang tidak pasti dan tidak sesuai dengan jadwal undangan.

Secara umum, sarana prasarana kantor peradilan masih belum akses kepada difabel. Baik di kantor kepolisian, kejasaan dan pengadilan. Tetapi upaya untuk menyediakan sarana prasarana akses sudah mulai dilakukan walau pun masih ada catatan-catatan penting. Sudah ada ramp, tetapi tidak memenuhi kelayakan dan sebagian sudah ada kursi roda tetapi bukan kursi roda yang standar.

2.     Perilaku Aparat Penegak Hukum
Perlaku aparat penegak hukum juga menjadi catatan penting. Pengalaman pendampingan SIGAB, aparat penegak hukum rata-rata tidak mengerti tentang difabel, tidak mengerti bagaimana berinteraksi, tetapi aparat penegak hukum sebagian ingin tahu siapa itu difabel dan bertanya bagaimana cara berinteraksi. Ketika ada kasus dilaporkan, tim SIGAB dan aparat penegak hukum biasanya bertanya tentang difabel dan bagaimana interaksi mesti dikembangkan.

Pengalaman tim Sigab yang biasa mendampingi korban, sangat membantu bagi pengetahuan dan bagaimana aparat penegak hukum mesti bertanya dan bersikap. Dan beberapa pengalaman setelah mendiskusikan beberapa kasus, biasanya sangat bermasalah kalau difabel yang berhadapan dengan hukum tidak ada pendamping difabelnya. Kasus-kasus difabel yang tidak didampingi rata-rata kasusnya tidak terproses, lepas dalam beberapa tahap pemeriksaan dan difabel tidak kuat posisinya.

Keberadaan pendamping difabel sangat berperan bagaimana hukum acara semestinya dijalankan, yaitu misalnya penjelasan tentang kebutuhan  saksi ahli, ahli difabel dan ahli psikis yang melekat dengan kondisi difabilitas. Sedikit banyak profil assessment difabel sangat dipengaruhi oleh keberadaan pendamping, sehingga proses hukum acara dan proses membuka kesaksian bagi difabel bisa berjalan dengan tepat.

Masalahnya saatt ini, profil assessment difabel belum menjadi standar hukum acara difabel berhadapan dengan hukum. Belum ada aturan hukumnya. Aparat penegak hukum ketika berkomunikasi dengan pendamping seringkali gamang terkait bagaimana proses hukum mesti dijalankan, karena norma hukum acara dan kebutuhan lapangan kerap tidak sejalan.

3.     Kebutuhan Penerjemah
Selama ini, kebutuhan penerjemah difabel biasa dipahami sebagai persoalan bahasa. Dan kerap dianggap hanya persoalan difabel yang rungu wicara (dijamin dalam Pasal 178 ayat 1, 2 dan 3 KUHP), padahal pada kenyataannya, penerjemah dalam kasus difabel berhadapan dengan hukum dibutuhkan untuk memberi pemahaman akan makna, perkataaan, pernyataan, bahasa dan kalimat yang disampaikan para pihak kepada korban. Kedua, penerjemah dibutuhkan untuk memancing agar korban bisa bercerita dengan terstruktur dan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga tidak bermakna ganda dan melemahkan difabel.

Pengalaman yang terjadi pada kasus H (difabel mental intelektual) yang ketika berproses di peradilan berada dalam masa puber dan mengaku memiliki banyak pacar. Sehingga image yang terjadi menjadi jelek dan memojokkan difabel yang menjadi korban. Padahal H adalah korban pemerkosaan. Dalam kondisi ini, keberadaan penerjemah menjadi kunci bagaimana ia mesti memahami dan menceritakan pesan secara maksimal yang diceritakan korban. Tanpa pemahaman yang utuh, situasi korban hanya ter-translate arti bahasa. Padahal ada banyak pengetahuan dan kesadaran yang belum terpahami oleh difabel.

Kebutuhan penerjemah dalam kasus difabel berhadapan dengan hukum yang membutuhkan penerjemah dengan demikian tidak hanya difabel bisu tuli, tetapi juga difabel yang lebih luas, khususnya difabel mental intelektual, psikotik, celebral palcy dan difabel netra, karena problem dan kendala pengetahuan, pendidikan dan asupan informasi difabel yang tidak memadai.

Standar penerjemah yang harus tersertifikasi atau guru SLB juga menjadi pertanyaan tersendiri. Alasannya, karena difabel ada yang menempuh pendidikan di SLB dan ada yang tidak. Sehingga bahasa yang digunakan di SLB belum tentu dipahami oleh difabel yang lain. Bahasa isyarat sangat beragam, yaitu bahasa isyarat Besindo, SIBI, gerak dan bibir (oral) yang biasa dipahami di sekolah dan tempat terapi, tetapi dalam kehidupan sehari-hari difabel tuli banyak yang menggunakan bahasa gesture yang ini terjadi secara alamiah di keluarga dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang tidak sekolah di SLB biasanya  menggunakan bahasa gesture.

Keragaman bahasa isyarat sangat dipengaruhi oleh kultur, kedaerahan dan lingkungan, dan tidak ada standar bakunya.  Dan tidak tidak ada lembaga yang memberikan sertifikasi di Indonesia mengingat problem bahasa isyarat yang memang sangat kompleks. Kebutuhan penerjemah bagi difabel berhadapan dengan hukum dengan demikian mesti dibaca secara lebih luas.

4.     Terpojok Karena Norma Hukum
Penegak hukum umumnya pasti berpijak pada norma-norma hukum yang kadang melemahkan difabel, seperti masih adanya peraturan yang melihat difabel dianggap tidak cakap hukum karena keterangannya dianggap tidak konsisten (mental intelektual, gangguan jiwa dan tuli yang dianggap bodoh); difabel yang kesaksiannya dipermasalahkan karena tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak melakukan perlawanan ketika terjadi tindak pidana; tidak berteriak; tidak bisa mengekspresikan kesedihan, trauma, kemarahan; dan bahkan tidak bisa memahami tindakan kejahatan apa yang terjadi pada dirinya, dampak dan akibat peristiwa yang terjadi, tidak mengerti nilai-nilai, dan tidak mengerti hukum dan hak-haknya.

Adanya peraturan yang menyebut difabel berada di bawah pengampuan berakibat difabel tidak memiliki kemampuan di hadapan hukum. Tidak menjadi subyek hukum karena ketika ada terjadi kasus kekerasan dan tindak pidana, proses penyelesaian kasus umumnya diserahkan semuanya ke pengampu. Difabel tidak bisa mengambil keputusan apa pun karena posisinya pengampunya sangat kuat. Pelaku tindak pidana yang berasal dari keluarga dekat, umumnya tidak diproses hukum karena pengaruh dari pengampu atau wali yang sangat dominan.

Prosedur hukum juga sudah sangat legalistik, tidak termaknai secara progresif dan memanusiakan. Padahal BAP akan diuji dalam persidangan. Proses hukum acara yang panjang, berulang-ulang, sangat membebani terhadap difabel. Difabel mental seperti yang dialami D (difabel mental intelektual), V (difabel mental intelektual), M (netra) dan beberapa difabel berproses hukkum yang lain mengalami trauma karena proses peradilan yang panjang dan ditanya berulang-ulang.

Di antara yang bermasalah juga ialah konfrontir antara pelaku dan korban dan kebijakan untuk mengeluarkan terdakwa untuk kepentingan melihat trauma korban oleh hakim. Situasi ini kadang saangat membuat trauma difabel korban, dan kadang melemahkan difabel karena bersikap biasa saja ketika bertemua pelaku karena kondisi difabilitasnya. Kondisi difabel kerap memberi kesimpulan yang salah jika tidak menggunakan cara berfikir dan prosedur hukum yang tepat.

Sistem hukum juga belum mengakomodasi terkait dengan keberadaan keterangan ahli disabilitas. Untuk difabel khususnya yang tuli, netra dan psikotik, jarang sekali menggunakan keterangan ahli. Padahal keterangan ahli sangat penting untuk menentukan posisi difabel yang menjadi korban dan atau pelaku. Semestinya, keberadaan ahli untuk difabel berhadapan dengan hukum difasilitasi agar dapat memberi penjelasan terkait difabilitas.

Keberadaan saksi ahli juga mesti dimulai dari proses penyidikan sampai dengan pengadilan, dan itu terkait dengan penganggaran. Sejauhmana negara akan memfasilitasi dan mendanai kebutuhan akan sistem yang fair. Selama ini, SIGAB membiayai sendiri terkait keberadaan ahli, penerjemah dan alat bantu yang dibutuhkan difabel. Pemerintah belum mendanai. 

5.     Peran Masyarakat dalam Proses Hukum
Peran masyarakat untuk difabel berhadapan dengan hukum sangat penting posisinya. Masyarakat yang peduli terhadap hak-hak difabel di sektor hukum dapat menjadi saksi dan penekan bagaimana proses hukum kepada difabel mesti ditegakkan dan dikontruksikan.

Pengalaman pendampingan SIGAB terkait peran masyarakat setidaknya tergambar dalam kasus H (difabel mental) dan D (difabel mental). Dukungan masyarakat untuk kasus H dan D sangat kuat sehingga proses hukum keduanya berjalan dengan lancar.   

Berbeda dengan masyarakat yang tidak mendukung, seperti tergambar dalam kasus DS (difabel mental intelektual, celebral palcy). Proses hukum kasus DS tidak berjalan dengan benar masyarakat di tempat DS tinggal tidak bersedia menjadi saksi, tidak bersedia memberikan keterangan apa pun dan bahkan tidak akan menolong keluarga DS ketika terjadi persoalan atau administrasi pemerintahan. Kasus DS diselesaikan dengan perjanjian. Perangkat desa meminta keluarga DS agar menanda tangani perjanjian yang di antara klasulnya ialah pemberian ganti uang sebesar 25 juta. Padahal DS dalam kondisi hamil, celebral palsy dan intelektual dan termasuk dalam keluarga yang sangat miskin.

Di masyarakat, juga berkembang budaya menjaga nama baik kampung dan desa dengan menekan angka kriminal yang terjadi di masyarakat. Masalahnya, menekan angka kriminal dalam banyak hal merugikan difabel yang menjadi korban. Menekan angka krimnal menjadi pembiaran tersendiri terhadap kasus-kasus criminal, khususnya yang menimpa perempuan difabel. Kondisi itu terjadi dalam beberapa kasus tindak pidana di Sukoharjo.

6.     Penghukuman atau Sanksi
Dalam banyak putusan hakim, ada beberapa yang sudah memasukkan pertimbangan difabel dalam putusannya, tetapi ada ada beberapa putusan yang belum tergambar pertimbangan difabilitas dan kerentanan yang melekat dengan komunitas difabel, sehingga putusan hakim cenderung tidak melihat difabilitas sebagai persoalan penting.

Dalam kasus-kasus yang didamping tim SIGAB, rata-rata sudah memasukkan pertimbangan difabilitas dan kerentanannya, sehingga putusan hakim rata-rata berbanding dengan kondisi difabel yang sangat rentan. Diantara putusan hakim yang sudah dinilai baik ialah kasus F (difabel korban pemerkosaan), K (difabel mental intelektul pemerkosaan), V (korban pencabulan dan pemerkosaan), dan beberapa kasus lain yang didampingi SIGAB, pelaku dihukum berat dan dianggap setimpal dengan dampak akibat tindak pidana yang dilakukan pelaku.

C. Lesson Learn dan Kebutuhan Kebijakan
Pengalaman pendampingan yang dilakukan tim SIGAB terhadap kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum, memberi gambaran bagaimana sistem hukum sistem di Indonesia mesti dikonstruksikan kedepannya. Ada banyak pelaran yang tergali dan memandatkan beberapa kebutuhan kebijakan, di antaranya, yaitu :
Pertama, hukum acara dan norma hukum yang merespon hak atas hukum difabel. Hukum acara difabel berhadapan dengan hukum sangat penting untuk dirumuskan. Hukum acara yang ada dalam KUHAP, tidak tepat dan tidak mengakomodasi bagaimana proses hukum bagi difabel mesti dijalankan. Di antara yang harus diperbaiki dalam KUHAP ialah pendefinisian tentang sanksi.  Norma-norma hukum KUHP dan KUHPdt juga penting untuk diperbaiki, sehingga difabel tidak lagi diperlakukan semata sebagai pribadi yang berada di bawah pengampuan dan tidak cakap hukum.
Kedua, Profil Assessment. Penilaian terhadap profil difabel berhadapan dengan hukum sangat penting dilakukan dalam proses peradilan. Profil assessment akan menjadi panduan bagaimana proses hukum mesti dikontruksi dan dijalankan oleh aparat penegak hukum. Diantaranya terkait bagaimana penegak hukum semestinya berinteraksi, berkomunikasi dan memahami perilaku seorang difabel yang berhadapan dengan hukum. Pentingnya profil assessment dalam kasus-kasus difabel, semestinya ada unit khusus seperi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian.
Ketiga, sarana prasarana dan interaksi yang akses.  Sarana prasarana fisik akses, layanan yang ramah dan akomodasi yang layak mesti difasilitas di lembaga peradilan. Guiding block, ramp standar, lift untuk bangunan bertingkat dan informasi visual (running text, audio, braille dan tertulis) mesti disediakan. Dokumen administrasi dan berkas hukum aksesibel mesti difasilitasi. Dan hal penting yang mesti didorong juga ialah pemahaman pegawai peradilan untuk berinteraksi dengan difabel.
Keempat, penegak hukum yang mengerti difabilitas. Penegak hukum, baik itu polisi, jaksa dan atau hakim sangat menentukan bagaimana sebuah kasus hukum akan berakhir : sukses atau tidak. Penegak hukum yang memahami difabel akan mempengaruhi bagaimana proses hukum difabel mesti dikonstruksikan. Karena itu, penting adanya pelatihan dan penguatan kesadaran terhadap para penegak hukum, bahkan mesti didorong adanya sistem yang memastikan bahwa untuk menangani kasus difabel berhadapan dengan hukum harus ditangani oleh penegak hukum yang memahami isu dan mengerti interaksi dengan difabel.
Kelima, pendamping difabel. Ketika berposes hukum, keberadaan pendamping difabel tidak bisa dihilangkan. Keberhasilan dan kegagalan proses hukum difabel sangat bergantung sejauhmana pendampingan difabel dijalankan. Pendamping difabel mesti memahami tentang difabilitas, memahami persoalan-persoalan hukum dan bisa berkomunikasi secara efektif dengan difabel yang didampinginya, baik sebagai korban, tersangka/terdakwa dan atau sebagai saksi.
Keenam, penerjemah. Difabel berhadapan dengan hukum umumnya membutuhkan penerjemah. Tidak hanya penerjemah bahasa yang dibutuhkan, tetapi penerjemah yang juga memahami kondisi difabilitas, sehingga dapat membantu memberikan keterangan yang utuh terhadap pembicaraan dan pesan yang disampikan seorang difabel berhadapan dengan hukum. Penerjemah tidak perlu disertifikasi karena bahasa isyarat sangat beragam bentuk dan artikulasinya.
Ketujuh, ahli difabilitas. Keberadaan ahli yang memahami dan mengerti difabilitas sangat penting untuk difasilitasi dalam proses hukum difabel. Keberadaan ahli harapannya akan memberi keterangan yang utuh terhadap kondisi disabilitas, baik dimensi sensoriknya, mental dan intelektualitas dan kondisi fisik yang mempengaruhi terhadap pikiran dan tindakan seorang difabel. Ahli disabilitas, psikiater, psikolog, dokter syaraf dan ahli sensorik motorik penting untuk dihadirkan dalam peradilan.
Kedelapan, putusan. Wajah hukum tehadap kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum tercermin dalam vonis putusan yang dijatuhkan oleh hakim, yaitu sejauhmana putusan hakim telah mengakomodasi pertimbangan difabilitas dan kerentanan yang terjadi. Putusan hakim terhadap kasus difabel berhadapan dengan hukum mesti memberi efek jera terhadap pelaku serta mempertimbangkan penderitaan yang dalam yang dialami oleh difabel dan keluarganya.
Demikianlah beberapa kebutuhan kebijakan yang mesti didorong untuk memperbaiki sistem hukum yang fair bagi difabel. Selama ini, proses hukum bagi difabel belum berjalan dalam kerangka sistem yang diharapkan atau ideal, ada banyak catatan di sana sini, tetapi dengan tekad yang kuat, beberapa kasus difabel berhadapan dengan hukum yang didampingi SIGAB, banyak yang berakhir seperti yang diharapkan. 



[1] Purwanti adalah Koordinator Advokasi dan Jaringan, sedang M. Syafi’ie adalah Koordinator Penelitian SIGAB
[2] Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, difabel terdapat empat ragam, yaitu difabel fisik, difabel intelektual, difabel mental dan difabel sensorik. Dari keempat ragam, difabel bisa tunggal, ganda dan multi difabilitas. Difabel fisik ialah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palcy (CP) akibat stroke, akibat kusta dan orang kecil. Difabel intelektual ialah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, difabel grahita dan down syndrome. Difabel mental ialah terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku, antara lain, pertama, psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, enxietas dan gangguan kepribadian. Kedua, difabel karena perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosia, diantaranya autis dan hiperatif. Difabel sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain difabel netra, rungu dan difabel wicara. Difabel ganda atau multi ialah difabel yang mempunyai dua atau lebih ragam difabel, antara lain difabel rungu wicara dan difabel netra tuli.
[3] Salah satu bentuk ketidakberdayaan seseorang adalah karena pingsan

0 comments:

Post a Comment