02 June 2017

KONFLIK KEBEBASAN BERAGAMA DI PEKANBARU RIAU

Oleh : M. Syafi’ie

“Pemerintah sedang memelihara kekerasan.
Mengamankan aktor-aktor intoleran.
Pemerintah dan aparat keamaan menyaksikan kekerasan terjadi.”
(Zuhdi, Koordinator JAKFI Pekanbaru.
Korban Pemukulan)

A. Pendahuluan
Konflik kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Riau tak banyak terdengar. Hanya Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur dan Yogyakarta yang selalu menguat. Tapi tidak berarti kasus KBB tidak ada di Riau, pernah terjadi pengrusakan tempat ibadah, penyegelaan rumah ibadah Ahmadiyah dan penyekapan aktivis yang dituduh Syiah. 

 Artinya kasus KBB ada, tapi seperti tak terlihat akibat kuatnya suara kelompok eksklusif, dukungan politik eksklusif dan peran penegak hukum yang yang membiarkan kasus kekerasan terjadi. “Tidak ada yang mendukung kelompok agama yang jadi korban kekerasan berbasis agama di sini. Yang membela hanya Lembaga Bantuan Hukum. Juga beberapa mahasiswa, itu pun  tidak jelas,” ungkap Andi Wijaya, salah seorang pengacara kasus  KBB dari LBH Riau.[1]

Mengapa menyuarakan isu kebebasan beragama sulit? Salah satu faktor yang dapat dikemukakan ialah posisi Riau sebagai bagian dari wilayah Melayu, di mana agama Islam telah menjadi bagian dari cara berfikir dan kebudayaan masyarakatnya. Dan semakin ke sini, cara berfikir keislaman sebagian kelompok semakin tertutup. Seperti dinyatakan Rizal Akbar, pandangan orang melayu terhadap agama Islam sangat kental, sehingga muncul konsep bahwa Melayu identik dengan Islam. Bagi orang Melayu, konsep itu tidak semata slogan, tetapi teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Bila ada orang Melayu murtad (keluar dari agama Islam), maka ia tidak lagi dikatakan sebagai orang Melayu. Tetapi sebaliknya, bila ada orang Cina yang hidup di tengah masyarakat Melayu masuk Islam, maka dia pasti dikatakan orang Melayu.[2]
Eksistensi agama Islam dan politik kebijakan keberagamaan Riau kekinian, terlihat semakin mengarah pada cara pandang yang semakin eksklusif. Pendekatan keberagamaan yang semakin menggunakan kerangka fiqh yang menyempit; pendekatan yang membaca pluralitas dari kacamata sesat dan tidak sesat.  Kondisi ini berbeda dengan Islam Melayu awal yang begitu menyatu dengan tradisi dan ajaran diletakkan sebagai substansi dan hakekat. Situasi tersebut mendorong kebudayaan melayu yang toleran terhadap kelompok lain dan menjunjung tinggi perdamaian.
Menurut Mahdini dalam buku “Islam dan Kebudayaan Melayu”, penyebaran Islam yang massif di Melayu, tidak hanya berkaitan dengan para pedagang, tetapi ditopang oleh kehadiran para guru sufi yang mengembara, berpindah-pindah dan menyebarkan agama Islam yang terbuka. Guru-guru sufi umumnya memiliki pandangan budaya agraris dan mendorong perkembangan corak Islam yang cukup khas, inklusivistik dan bahkan cenderung sinkretik. Ajaran Islam sangat akomodatif terhadap sistem nilai dan kepercayaan lokal yang telah hidup cukup lama.[3]
Pergeseran cara pandang sebagian kelompok beragama di Provinsi Riau tentu menjadi tantangan. Pemerintah daerah mesti punya pijakan yang jelas dan tidak mengikuti arus eksklusifisme. Petugas kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban juga mesti mengacu pada mandat konstitusional. Kita tahu, petugas kepolisian dimandatkan untuk menjaga keamanan, ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, pemerintah daerah dan kepolisian harus menggunakan pendekatan kewarganegaraan, di mana setiap orang tanpa perbedaan apa pun memilik hak yang sama atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Berbagai potensi konflik dan aksi yang mengatasnamakan agama, pemerintah daerah dan polisi harus saling bersinergi agar kebebasan beragama dan berkeyakinan tetap terjamin, umat beragama terlindungi ketika beribadah dan dan kekerasan berbasis agama dapat ditangani dengan benar secara hukum.
Berangkat dari kerangka di atas, penulis hendak mendalami topik kebebasan beragama dan keyakinan di Provinsi Riau dengan fokus dua hal, pertama, bagaimana peta kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di Riau? Kedua, bagaimana peran kepolisian dan pemerintah daerah dalam merespon konflik KBB yang terjadi?

B. Riau dan Keragamannya
Secara etimologis, terdapat beragam pendapat dalam memaknai asal kata ‘Riau.’ Ada yang mengatakan berasal dari kata Rio (bahasa Portugis) yang berarti sungai. Di pulau Bintan, salah satu wilayah Riau terdapat sebuah sungai yang bernama “Sei Rio.” Dari kata “Rio” berubah menjadi “Riau.” Orang Belanda menulis “Riau” dengan “Riouw.” Ada juga pandangan bahwa asal kata Riau berkaitan dengan ucapan sehari-hari dalam masyarakat Siak, yaitu kata “meriau” yang artinya musim ikan bermain.  Di Kuantan, “meriau” ialah ungkapan kata yang menunjukkan aktivitas mengumpulkan ikan pada suatu tempat agar mudah ditangkap dalam jumlah yang lebih besar. Di masyarakat Riau Kepulauan juga dikenal kata “Rioh” yang berarti suara yang ramai di pusat kerajaan melayu Riau. Pusat kerajaan terletak di sebelah hulu Sungai Carang. Ramainya suara karena kesibukan perdagangan yang keluar masuk kota.[4]
Di banding dengan beberapa Provinsi yang lain, Riau dikenal dikenal kuat memegang norma-norma adat dan agama. Bagi masyarakat Riau, agama merupakan jati diri mereka. Tidaklah disebut seorang itu sebagai seorang warga Melayu bila keislaman tidak melekat dalam diri mereka secara baik. Begitu kuatnya keyakinan itu, di Riau lautan atau pesisir dikenal istilah “adat bersendi syarak” dan di Riau daratan terkenal istilah “adat bersendikan syarak, syarat bersendi kitabullah,” yaitu satu istilah yang mencerminkan jiwa keagamaan dan kebudayaan yang menyatu dan saling menguatkan.[5]
Namun demikian, umat beragama yang heterogen sebenarnya sudah lama hidup di Riau. Orang-orang Cina yang tinggal di Riau telah menjalankan keyakinan agamanya sejak lama. Gereja dan masjid berdiri berdampingan di pusat kota.[6] Dan saat kondisi saat ini semakin heterogen seiring dengan migrasi penduduk yang besar-besaran ke daerah Riau. Daya pikat ekonomi yang besar di Riau menjadi magnet tersendiri. Umat Islam yang awalnya mayoritas, kenyataan ini saat ini  ada begitu banyak non muslim yang juga hadir dan menghuni di beberapa wilayah di Riau.[7] Di antara mereka ada yang Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu. Dan keragaman keyakinan juga terlihat di internal agama yang beragam itu. Dalam Islam misal juga hidup kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah.
Riau sendiri merupakan wilayah yang sangat besar. Di era otonomi daerah, ia mengalami pemekaran terus menerus. Dan salah satu wilayah Riau dan menjadi pusat kota Provinsi Riau ialah Pekanbaru. Di masa lalu, Pekanbaru sendiri merupakan dusun kecil bernama Payung Sesaki yang terletak di pinggiran sungai Siak. Dusun kecil itu lalu dikenal juga dengan nama Senapelan. Desa ini kemudian lebih berkembang pesat setelah lokasi pasar (pekan) lama pindah ke seberang pada tahun 1784. Terciptalah pasar baru yang kemudian identik dengan dengan sebutan “pekan baru” dan saat ini menjadi sebutan kota ini, yaitu Pekanbaru.[8]

Keterangan : peta provinsi Riau. Pusat kotanya Pekanbaru.

Pekanbaru terkenal ramai. Sungai Siak yang membelah kota menjadi jalur pelayaran strategis dari dan menuju ke beberapa kota pantai di Provinsi Riau dan luar Riau. Sungai Siak juga punya peran pentiing sebagai media perdagangan antar pulau dan juga ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Letak kota pun sangat strategis karena berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia dan Singapura, juga di jalur lintas angkutan lintas timur wilayah Sumatera.[9]
Posisi strategis Pekanbaru khususnya, dan Provinsi Riau umumnya, tidak mengejutkan kalau daerah ini menjadi magnet untuk didatangi dari beragam penduduk dari luar daerah. Buktinya, Riau memiliki keragamaan etnis dan agama saat ini. Dari segi etnis, Provinsi Riau menampung banyak suku bangsa : Melayu, Jawa, Minangkabau, Tionghoa, Banjar, Mandailing, Batak, Bugis, Aceh, Sunda dan Flores. Melayu merupakan suku mayoritas. Suku Jawa dan Sunda banyak berada di kawasan transmigran. Etnis Minangkabau dan Tionghoa kebanyakan jadi pedagang. Suku Minangkabau banyak bermukim di Pekanbaru, Dumai, Kampar, Kuantan Singingi (Kuansing) dan Rokan Hulu. Sedangkan etnis Cina yang rata-rata beragama Konghucu berada di daerah Bagansiapiapi, Selat Panjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Suku Banjar dan Bugis berada di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), terutama di Tembilahan. Dan Riau juga memiliki suku masyarakat asli dan rata-rata tinggal di kawasan pedalaman dan bantaran Sungai, seperti Sakai, Akit, Talang Mamak dan Suku Laut.[10]
Sedang penganut agama juga beragam. Departemen Agama Kantor Wilayah Riau 2010 pernah merilis : Agama Islam dianut 4. 907. 218 jiwa, Kristen Protestan dianut 313. 660 jiwa, Kristen Katolik dianut 125. 561 jiwa, Hindu dianut 21. 837 jiwa, Buddha dianut 150. 759 jiwa, Konghucu dianut 725 jiwa dan aliran kepercayaan lain terdapat 434 jiwa. Data 2010 menginformasikan bahwa setidaknya terdapat 11. 481 rumah ibadah muslim di Riau, 1.194 rumah ibadah Kristen Protestan, 246 rumah ibadah Katolik, Hindu ada sekitar 8 tempat ibadah dan Budha sekitar 340 rumah ibadah.

C. Problematika Kebebasan Beragama
Keragaman umat beragama dan etnis menjadi kenyataan yang tak bisa dibohongi di Provinsi Riau saat ini. Tarikan ekonomi dan kebijakan transmigrasi yang besar-besaran menjadi penegas bahwa pemerintah dan masyarakat lama mesti terbuka terhadap pluralitas yang muncul. Walau pun sangat disadari, bahwa konflik atas nama apa pun, termasuk konflik agama yang menjadi concern tulisan ini tidak muncul secara tiba-tiba. Tetapi pasti dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi yang lebih luas.
Awalnya konflik agama di Riau sepi. Konflik terlihat membesar dan memunculkan kebencian atas nama agama akibat beberapa peraturan dari pemerintah pusat. Di antara peraturan dan kebijakan yang dinilai mendorong kekerasan, pertama, Undang-Undang No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kedua, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah ibadat. Ketiga, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Keempat, Instruksi Menteri Agama Ripublik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 tentang Antisipasi terhadap Timbulnya Kerawanan/Konflik Kerukunan Umat Beragama.
Selain peraturan dan kebijakan pemerintah pusat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang secara langsung dan tidak langsung memperuncing genderang perang terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat dan berbeda pandangan dengan keyakinan mainstream. Setidaknya dua fatwa MUI yang memicu perang di internal agama, pertama, Fatwa MUI tahun 2005 tentang Pelarangan Ahmadiyah di Indonesia. Kedua, Fatwa MUI tentang Pelarangan pluralism, liberalism dan sekularisme agama.
Produk hukum pemerintah pusat dan munculnya fatwa MUI yang secara terang-terangan menunjuk kelompok sesat dan terlarang akhirnya berpengaruh terhadap reaksi pemerintah daerah. Di Riau sendiri, muncul aturan yang selanjutnya semakin memicu konflik, yaitu : pertama, Surat Walikota Pekanbaru tanggal 12  Oktober 2010 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Tuah Karya Pekanbaru. Kedua, Surat Bupati Kampar tanggal 16 Februari 2011 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Koro Bangun dan Koto Baru Kecamatan Tapung Hilir Kapubaten Kampar.
Akibat regulasi di atas, huru-hara atas nama agama di Provinsi Riau pun mengemuka. Misal, pasca dikeluarkannya SKB 3 Menteri, sebuah masjid milik Jemaat Ahmadiyah yang terletak di kampung Sukamaju, KM 5, Dusun Seimenanti, Desa Tanjung Medan, Kecamatan Pujud, Kabupaten Rokan Hilir. Kejadiannya tepat lima hari setelah hari raya Idul Fitri, 5 Oktober 2008. [11]
Di hari itu, enam orang mendatangi masjid Mubarok yang kepentingan katanya untuk berdialog. Para tamu mengaku mewakili masyarakat dan ditemui oleh Ilham, Ketua Cabang Ahmadiyah Mahato bersama pengurus Ahmadiyah. Dalam percakapan tersebut, salah satu tamu berkata, “Kami minta kegiatan Ahmadiyah dihentikan di dusun ini. Bapak boleh sholat di mana pun, asal jangan di masjid ini. Masjid ini akan kami segel. Sudah ada 150 orang dari dua tempat yang berkumpul. Kami hanya punya waktu 2,5 jam.”
Perkataan itu ternyata bukan gertak biasa. Tak berselang lama, ratusan massa sudah berkumpul, dan meminta Jemaat Ahmadiyah agar menandatangani pernyataan yang isinya antara lain : melarang jemaat untuk sholat, adzan dan melaksanakan kegiatan di masjid. Sempat muncul pernyataan dari perwakilan Ahmadiyah, “Apakah Bapak-bapak sanggup mendapat kutukan dari Allah Ta’ala bila melarang kami sholat di sini?” Perwakilan massa serentak menjawab, “Kami siap!”
Karena sudah terdesak oleh massa, tidak ada mediator dan peran negara, surat pernyataan itu pun ditanda tangani dan dibacakan di depan massa yang telah berkeliling di sekitar masjid. Belum selesai surat pernyataan itu dibacakan, massa yang berkeliling masjid Mubarok mulai bertindak anarkis. Massa melempar masjid dengan batu dan sudah memegang balok kayu di tangan. Aksi itu berlanjut dengan menghancurkan kaca masjid dan mendobrak bangunan masjid. Dalam waktu  singkat 1 jam, masjid Mubarok pun roboh. Massa bersorak dan bertepuk tangan. Dan terakhir lafadz Allah yang ada di puncak masjid pun dicopot.
Kejadian serupa juga terjadi Pekanbaru. Masjid Mubarok yang juga milik Ahmadiyah di disegel. Masjid berada di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan, Pekanbaru. Jemaah Ahmadiyah dilarang beribadah dan melakukan aktivitas di masjid. Larangan Ahmadiyah selain merujuk pada SKB 3 Menteri, juga dilegitimasi oleh Surat Herman Abdullah, Walikota Pekanbaru yang ditujukan kepada Agussumarsono, Ketua jemaat Ahmadiyah. Surat itu dikeluarkan tanggal 16 November 2010 yang berisi penghentian kegiatan jemaat Ahmadiyah.
Surat Walikota Pekanbaru ini mendasarkan pada rapat Ketua RAKEM Kota Pekanbaru, Kapolresta Kota Pekanbaru, Camat Tampan, Kapolsek Tampan, Ketua MUI Kota Pekanbaru, Ketua FKUB Kota Pekanbaru dan Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Pekanbaru tertanggal 27 Oktober 2010, yang rapat itu langsung dipimpin secara langsung oleh Walikota Pekanbaru. Rapat koordinasi tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi, yaitu :

1.      Bahwa sesuai dengan pasal 27 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa salah satu kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah memelihara keamanan dan ketertiban, melaksanakan kehidupan demokrasi, mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangan.
2.      Bahwa berdasarkan Surat dari Mendagri No. 450/3457/SJ Tanggal 24 Agustus 2010 perihal Penanganan Jemaat Ahmadiyah dan tindakan anarkis, di mana pada poin 1 (satu) nya disebutkan bahwa Esensi dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008; Nomor KEP-033/A/JA/6/2008; Nomor 199 Tahun 2008 Tanggal 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat, adalah pengawasan dan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penganut, anggota dan/atau anggota penggurus JAI maupun oleh masyarakat yang melakukan tindakan kekerasan.
3.      Agar tidak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1965 tentang Penodaan Agama dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI Nomor 08 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Tempat Ibadah serta Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 14 Tahun 2000 tentang Izin Bangunan Dalam Daerah Kota Pekanbaru dan untuk mengantisipasi terjadinya tindakan anarkis oleh masyarakat yang timbul akibat adanya kegiatan Jemaat Ahmadiyah di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan rekomendasi di atas, Walikota Pekanbaru meminta kepada Agussumarsono selaku Ketua Ahmadiyah dan seluruh Jemaat Ahmadiyah di kota Pekanbaru agar mematuhi Surat Walikota Nomor 450/BKBPPM/636 tanggal 12 Oktober 2010 perihal Menghentikan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan dan atau dalam wilayah Kota Pekanbaru. Dan apabila Agussumasono selaku Ketua Ahmadiyah dan seluruh Jemaat Ahmadiyah tidak mematuhi maka permasalahan Ahmadiyah akan diselesaikan sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku.
Surat Walikota ini pun ditembuskan kepada beberapa pihak pemangku otoritas setempat, yaitu : Dirjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri di Jakarta, Gubernur Riau, Kepala Badan Kesbang, Politik dan Linmas Propinsi Riau, Kepala Kejaksaan Negeri Kota Pekanbaru selaku ketua PAKEM, Kapolresta Pekanbaru, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Pekanbaru, Ketua MUI Kota Pekanbaru, Ketua FKUB Kota Pekanbaru, Camat se-Kota Pekanbaru, Kapolsek Tampan dan Lurah Tuah Karya.
Surat Walikota Pekanbaru itu pun sudah diterima oleh Agussrumarsono, Ketua Jemaat Ahmadyah Riau. Menurutnya, sejak surat diterima, Jemaah Ahmadiyah tidak lagi beribadah di masjid Mubarok. Masjid dalam keadaan disegel. Jemaah Tuah Karya beribadah dan melaksanakan kegiatan di rumah masing-masing. Padahal menurut Agus, Jemaat Ahmadiyah di daerah Tuah Karya sudah melaksanakan kegiatannya sejak tahun 1990. Dalam tempo yang panjang itu, aktivitas dan kegiatan Ahmadiyah baik-baik saja, sampai dengan muncul Surat Walikota tahun 2010 yang substansi merujuk pada SKB 3 Menteri.
Menurut Agus, masjid Mubarok mulai dibangun tahun 2008 dari dana swasembada masyarakat dan baru selesai tahun 2010 sebelum bulan puasa. Sempat digunakan untuk sholat tarawih bersama Jemaah sampai akhirnya muncul Surat Larangan dari Walikota Pekanbaru. Agus sempat mengadu ke kepolisian sebagai institusi pelindung dan pengayom masyarakat untuk sekedar melaksanakan sholat idul fitri dan idul adha, tapi jawaban polisi tidak memuaskan mereka. Agus bilang “Kita pernah meminta pengamanan Polsek Tampan untu melaksanakan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha di Masjid Mubarok. Tapi Kapolsek tidak berani memberi idzin sebelum surat Walikota Pekanbaru itu dicabut.”[12]
Setelah Surat Sakti Walikota Pekanbaru itu, kelompok massa yang mengintimidasi kelompok Ahmadiyah dan menghancurkan masjid Ahmadiyah seperti mendapatkan legitimasi dan semakin melebarkan aksinya. Berikutnya masjid  An-Nasir yang disegel. Masjid ini berada di Gang Ahmadi Nomor 2 Jalan Sudirman Kecamatan Pekanbaru. Penyegelan masjid dilakukan oleh sekitar 10 orang yang mengatasnamakan Front Pembela Islam dan Laskar Pembela Islam Kota Pekanbaru, pada 19 April 2011, jam 10.00.[13]
Menariknya, penyegelan masjid An-Nasir disimbolkan dengan pemasangan spanduk di pintu dan jendela sekeliling masjid dengan menggunakan paku. Tulisan pada spanduk itu : Masyarakat Kota Pekanbaru mendukung Gubernur Riau dan Walikota Pekanbaru Bubarkan Ahmadiyah yang Telah Merusak Islam. Penyegelan pun disaksikan oleh pejabat pemerintah Kota Pekanbaru dan pihak dari kepolisian.
Pada momen penyegelan yang disaksikan aparat kepolisian dan pemerintah tersebut, Front Pembela Islam dan Laskar Pembela Islam juga merusak gembok pintu pagar masjid dan mencabut aliran listrik. Mereka pun berorasi yang di antara isinya mendesak Gubernur Riau agar secepatnya mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pelarangan Ahmadiyah di Provinsi Riau. Aparat pemerintah dan kepolisian semuanya menjadi saksi atas peristiwa penyegelan dan pengrusakan itu.
Penyegelan masjid An-Nasir tidak ada perlawanan berarti. Sebab sebelum peristiwa terjadi, tepatnya tanggal 15 April 2011, Muhammad Daud penghuni masjid dan Ketua Cabang Ahmadiyah Jemaat Ahmadiyah Pekanbaru Kota diajak Ketua RW untuk membicarakan keberadaan dan kegiatan Jemaah Ahmadiyah. Pertemuan diselenggarakan di rumah Ketua RW, dan dihadiri  Ketua RT, Lurah, Camat, Pihak Kepolisian dan Muhammad Daud sendiri. Dalam pertemuan Jemaah Ahmadiyah diminta untuk menghentikan aktivitasnya, sebab kegiatan mereka dinilai sudah meresahkan masyarakat. Dan pada pertemuan tersebut, Daud diminta tanda tangan pernyataan tentang penghentian kegiatan Ahmadiyah yang sudah dipersiapkan sebelum pertemuan dimulai. Tapi dengan alasan tertentu, Daud tidak mau tanda tangan.
Sewaktu penyegelan, Muhammad Daud tidak ada di tempat. Ia dan keluarganya pergi ke Padang. Dan ketidakhadirannya juga karena pesan dari Kepala Unit (Kanit) Intel kepolisian agar jangan pulang karena masjid akan disegel. Akibat ketidakpulangannya tersebut, rumah Muhammad Daud juga disegel, dan terpaksa ia mencari tempat baru untuk tempat tinggal.
Selain menimpa kelompok Ahmadiyah, kekerasan juga menyasar terhadap kelompok yang dituduh ditunggangi Syiah. Dalam rilis panitia Diskusi Batas Arus Pekanbaru dituliskan bahwa setiap Jumat malam mereka memiliki agenda rutin diskusi. Setiap minggunya mfereka menyajikan topik berbeda. Untuk Jumat, 1 April 2016, Kelompok Diskusi Batas Arus Pekanbaru bekerjasama dengan Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI) Pekanbaru dan HMI Pekanbaru bersepakat bekerjasama mengadakan diskusi dan mengangkat tema :Perempuan sebagai Rumah Cinta, Air Mata dan kebangkitan;  Sebuah Upaya mendekatkan Identitas Perempuan Indonesia yang Progresif Historis dan Spiritual. Diskusi akan diadakan di Pusat Kegiatan HMI, Jalan Melayu Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. Diskusi ini mengundang AM. Sofwan, dari Rausyan Fikr, Yogyakarta.
Kegiatan ini menjadi keprihatinan banyak pihak karena acara diskusi dibubarkan oleh ormas yang mengatasnamakan Front Pembela Islam. Sekitar jam 20.00 WIB, AM Safwan sampai di tempat diskusi, dan di sana sudah ada beberapa orang FPI dan berdialog dengan Safwan yang intinya meminta pembatalan diskusi dan mendesak AM Safwan untuk meninggalkan lokasi. Terdesak, AM Sofwan menyanggungi permintaan FPI. Setelah menyanggupi, beberap menit kemudian datang sekitar 50 massa FPI dan langsung melakukan aksi swepping dan membawa pergi AM Safwan.
“Sewaktu swepping, terjadi kekerasan. AM Safwan yang diundang jauh-jauh dari Yogyakarta dipukul. Diintimidasi secara kasar. Ditarik-tarik. Ditendang. Dan diludahi mukanya. Dan ada banyak perempuan Kohati (Korps HMI-wati) yang saat itu hendak ikut diskusi juga diludahi oleh FPI.” Ungkap Zuhdi Koordinator Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI) dan Pengurus HMI, Pekanbaru.
Pengrusakan di kantor HMI cukup parah. Karena kendaraan bermotor yang diparkir dirusak, kantor HMI dilempar batu, dan beberapa orang peserta diskusi, diantaranya Zuhdi dan Fikri Ketua Panitia, terkena pukulan oleh massa FPI. Suasana tempat diskusi sangat mencekam dan tidak terkendali. Padahal, di lokasi sudah petugas intelejen kepolisian dan tidak mengambil tindakan selayaknya kepolisian harus melindungi keamanan masyarakatnya.
Hal yang paling mengganggu pikiran dan menakutkan panitia diskusi ialah penculikan pembicara : AM Sofwan, dan tidak diketahui keberadaannya. Pembicara hilang dan tidak diketahui  nasibnya. Disiksa, atau diberlakukan seperti apa, pembicara tidak diketahui. Telponnya mati tidak bisa dihubungi. Hati dan pikiran panitia was-was dan tidak tahu harus mengadu kepada siapa.
Sampai akhirnya tiba-tiba muncul berita online yang berjudul, “Massa FPI Riau Hentikan Kegiatan Berbau Suatu Aliran, 1 orang Diamankan.” Dalam berita dinyatakan bahwa FPI Provinsi Riau telah mendatangi suatu tempat di Jalan Melayu, Arangka, Pekanbaru, Riau. Tempat tersebut diduga tengah berlangsung suatu agenda kegiatan. Dari pemberitaan tersebut, tidak tergambar suasana pengrusakan, kekerasan dan penyekapan yang telah terjadi. Dan seperti mengamini terhadap proses kekerasan yang terjadi. “Pemberitaan media itu hanya sepihak. Hanya merujuk sumber dari FPI. Media Go Riau.com, memang terkenal dekat dengan FPI.” Jelas Zuhdi[14]
 Dengan adanya berita, kesedihan panitia tidak terhenti. Pikiran mereka was-was dan memikirkan nasib AM Safwan yang berada di kandang FPI. Mereka tidak bisa tidur dan membuat rilis kronologi. Dari rilis itulah mereka mendatangi kantor Polres, Pekanbaru pada jam 04.00 WIB (2/4/2016) dengan niat melaporkan peristiwa kekerasan dan akan meminta aparat kepolisian untu mengamankan AM Safwan yang telah diculik oleh FPI. Setelah sampai di kantor kepolisian, tidak banyak polisi yang ada. Dan mereka sepertinya tidak tahu menahu terkait peristiwa kekerasan yang terjadi di HMI. Padahal, sewaktu kejadian sudah ada intelejen.
Dari proses laporan, dan sampai jam 06.00 WIB, tiba-tiba ada kabar pesan bahwa AM Safwan akan pulang ke Yogyakarta pada jam 08.00 WIB. “AM Safwan berpesan, demi keamanan bersama jangan ada yang mengantarkan saya ke Bandara” tutur Suhardiman mengikuti pesan AM Safwan. Koordinator diskusi, Diman menduga bahwa AM Safwan telah dipaksa dan didesak oleh FPI untuk mengirim pesan. Dan ia pasti dikawal FPI ke bandara.[15]
 Dan lewat pesan pula, AM Safwan berpesan agar dimaafkan semuanya. Tidak dilanjutkan dengan membesar-besarkan kasus. Memproses hukum lebih lanjut. Berdasarkan pesan AM Safwan itu pula, laporan kasus yang telah masuk di kepolisian dicabut oleh Suhardiman dan kawan-kawan. Akhirnya tidak terjadi proses hukum. Walau pun tindakan FPI jelas merupakan tindak pidana. “Saya sebenarnya ingin memproses kasus ini. Soal saya pribadi terluka kena pukulan. Pemateri juga disekap. Terjadi pengrusakan. Dan ada beberapa kaum perempuan yang juga diludahi. Tapi demi menghormati pesan AM Safwan saya mengalah.” Ungkap Zuhdi sedih.
Hal yang paling menyakitkan dari proses kekerasan itu ialah ujungnya. Dimana semua kekerasan berakhir dengan anti klimaks dan tidak ada penjeraan terhadap perilaku yang intoleran. Dan AM Safwan pun dipaksa untuk menulis dan menandatangani beberapa pernyataan bermaterai, yang isinya secara tidak langsung mengakui kebersalahannya. 
Selain kekerasan yang terjadi di internal agama Islam. Kekerasan juga menimpa non muslim, yaitu umat kristiani. Kasusnya ialah pembakaran atau pengrusakan tempat ibadah yang terjadi di daerah Kuansing pada 11 April 2011. Pengrusakan terjadi akibat bentrokan warga dan berlanjut dengan pembakaran gereja GBKP, GMI dan GPDI oleh seratusan orang yang tidak dikenal. Kasus di tempat lain ialah pelarangan ibadah minggu yang dialami oleh Gereja HKBP Tampan Resort HKBP Hangtuah, Pekanbaru pada 13 November 2011.
Peristiwa terbaru yang menimpa pemeluk agama Kristen ialah pengrusakan gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI) pada 17 Januari 2016. Kejadiannya terjadi di Desa Sungai Paku, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Pada saat kejadian, beberapa orang beribadah dan gereja dijaga oleh pihak kepolisian dan TNI. Tiba-tiba sekompok orang kurang lebih 20 orang. Pada saat itu, jemaat dianjurkan pulang semua karena ibadah sudah selesai.
Masalahnya, setelah jemaat pulang, sebagian masyarakat yang datang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan dan menyatakan bahwar mereka mendapat perintah dari Ketua Pemuda untuk menghancurkan atribut ibadah, dan menghancurkan kursi, dinding ruangan ibadah, mimbar, alat music (gitar), kipas angin, rak piring dan kitab suci dilempar dan diinjak-injak. Pada kesempatan itu, kelompok yang melakukan pengrusakan mengancam : jika pendeta tetap juga beribadah, mereka akan membakar rumah ibadah tersebut.
Setelah pengrusakan masih terjadi intimidasi. Misalnya, pada tanggal 18 Januari 2016, jam 00.30 terlihat tiga orang laki-laki yang mengendap-endap memakai topeng. Namun demikian, tiga orang itu lari setelah dikejar. Dan pada pada hari yang sama, pendeta GSPDI diundang Bupati Kampar melalui desa untuk membahas kegiatan keagamaan. Konflik yang menimpa GSPDI sebenarnya telah lama. Pada tahun 2015, GSPDI bahkan tidak diperbolehkan beribadah oleh Kepala Desa Sungai Paku, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau dengan alasan akan ada penyerangan.[16]
Berikut tabel beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Provinsi Riau, yaitu :
Waktu
Peristiwa Kekerasan

5 Oktober 2008
Masjid Mubarak Mahato milik Ahmadiyah,Kecamatan Pujud Rokan Hilir dihancurkan kelompok intoleran

29 Juni 2007
Masjid Al-Mubarok beserta rumah muballigh Ahmadiyah, Kecamatan Mandau Duri diobrak-abrik kelompok intoleran

16 Februari 2011
Masjid milik Ahmadiyah di Desa Koto Bangun dan Koto Baru, Kecamatan Tapung Hilir Kampar disegel oleh pemerintah Kabupaten Kampar

12 Oktober 2010
Masjid Mubarok milik Ahmadiyah Kecamatan Tuah Karya Pekanbaru disegel oleh pemerintah Kabupaten Pakanbaru

19 April 2011
Front Pembela Islam dan Laskar Pembela Islam disaksikan pemerintah daerah dan kepolisian menyegel masjid An-Nasir milik Jemaat Ahmadiyah di Pekanbaru Kota

8 Desember 2012
Komunitas Melayu Riau bersatu memprotes pembangunan gapura di kawasan China Town di Jalan Karet Pekanbaru

1 Agustus 2011

Gereja Batak Karo Protestan, Kecamatan Logas Tanah Darat Kuantan Singingi dibakar kelompok intoleran. Gereja sedang tahap pengecatan saat dibakar.

1 Agustus 2011
 Gereja Pantakosta di Indonesia (GPDI) dibakar kelompok intoleran. Massa sempat minta keluarga pendeta GPDI keluar dari rumah. Peristiwa terjadi di Kecamatan Pengeran Kuantan Singingi

2 Agustus 2011

Gereja Methodist Indonesia, Kecamatan Pangeran Kuantan Singingi dibakar warga intoleran. Gereja dibakar di hari kedua bulan puasa tahun 2011.

7 Agustus 2015

Larangan tidak boleh beribadah oleh Kepala Desa Sungai Paku, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau. Alasannya karena akan ada penyerangan

17 Januari 2016
Pengrusakan gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI) di desa Sungai Paku Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar

1 April 2016

Pembubaran diskusi Batas Arus Pekanbaru yang bekerjasama dengan HMI dan Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI). Terjadi kekerasan terhadap peserta diskusi serta kekerasan dan penyekapan terhadap pembicara yang dituduh Syiah. Kejadian terjadi di Jalan Melayu Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru.

Keterangan : Diolah dari berbagai sumber dokumen dan wawancara

Secara umum, kasus-kasus kekerasan berbasis agama di atas disinyalir tidak terjadi secara tiba-tiba. Tetapi dilatarbelakangi oleh beberapa kebijakan pemerintah pusat, yang secara langsung dan tidak langsung menyesatkan beberapa kelompok agama, dan mengeluarkan kebijakan terkait pendirian rumah ibadah. Itu semua seperti mengobarkan permusuhan dan membesarkan konflik berbau agama.[17]
Dan situasinya bertambah buruk dengan munculnya beberapa kebijakan di daerah Riau yang mengeluarkan kebijakan atau edaran pelarangan aktivitas keagamaan tertentu, seperti Surat Walikota Pekanbaru tanggal 12 Oktober 2010 dan 16 November 2010 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Tuah Karya, serta Surat Bupati Kampar tanggal 16 Februari 2011 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Koto Bangun dan Koto Baru, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar.

D. Polisi dan Proses Hukum yang Macet
Sekian kasus kekerasan terjadi, berulang-ulang, dan hanya satu kasus berproses secara hukum yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Provinsi Riau. Kasus yang saat ini berproses hukum di kepolisian ialah pengrusakan gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI) yang terjadi di Desa Sungai Paku Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Kasusnya terjadi pada tanggal 17 Januari 2016.
Kasus pengrusakan gereja ini ditangani oleh Kepolisian Daerah Riau Resort Kampar. Dan pihak gereja yang dikoordinatori Timbul Jadi P. Siahaan telah menerima pemberintahuan perkembangan hasil penelitian laporan yang ditanda tangani pada 20 Januari 2016,. Isi surat intinya Kepolisian Resor Kampar memberitahukan bahwa laporan/pengaduan telah diterima dan akan dilakukan penyidikan/penyelidikan dalam waktu 60 hari. Pihak kepolisian juga telah menunjuk personel yang akan melakukan penyidikan.[18]
Musthofa, pengacara LBH menyatakan bahwa kasus pengrusakan tempat ibadah di Desa Sungai Paku, Kecamatan Kampar – awalnya ditangani oleh Polses setempat. Merasa tidak mampu, Polses menyerahkan kasusnya ke Polres Kampar. Alasannya personel sedikit dan pihak Polres Kampar dinilai akan lebih mempuni untuk menangani kasus sekelas kebebasan beragama dan berkeyakinan.[19]
Rian Sibarani, pengacara publik LBH Riau juga menuturkan bahwa sewaktu kejadian pengrusakan, sebenarnya ada polisi dan hanya berjarak sekitar 100 meter  dari tempat kejadian. Tetapi polisi membiarkan peristiwa kekerasan terjadi. Walau demikian, korban dari pihak gereja tetapi butuh kepolisian dan kemudian langsung melapor. Ketika berproses hukum, para korban minta bantuan LBH Rau untuk menjadi pendamping hukum.
“Saat ini sedang proses hukum. Penyidikan dan penyelidikan masih dilakukan. Pemanggilan saksi-saksi mulai RT, Kepala Dusun, dan lain-lain masih dilakuan.  Masalahnya pelaku kekerasan belum ada yang ditangkap dan ditahan.”[20] Kasus pengrusakan yang terjadi di gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI) menurut Rian sangat rumit. Karena, sebenarnya telah terjadi proses pertemuan lintas sektoral, utamanya dengan FKUB dan didalamnya mempermasalahkan idzin bangunan gereja.
“Setiap melaksanakan ibadah, polisi selalu mengawal. Setelah kekerasan terjadi, masih terjadi proses menghalang-halangi. Jalan diblokir oleh sekelompok massa yang berjumlah sekitar 100 orang. Massa yang memblokir sebelumnya berkumpul di kantor desa, lalu dikawal oleh polisi. Dan sewaktu peristiwa terjadi, sebenarnya polisi ada di tempat kejadian. Tetapi umat kristiani yang beribadah disuruh pulang, hingga sisa penghuni gereja. Dan setelah itu terjadilah pengrusakan.” Tambah Rian Sibarani.
Pengakuan proses hukum jug diakui oleh Andi Wijaya, pengacara publik LBH yang mendampingi secara langsung kasus pengrusakan gereja GSPDI. Ia menyatakan bahwa awalnya Kepolisian Resort Kampar terlihat progress. Responnya baik. Masalahnya, kasus ini sampai saat ini tidak ada penyelesaian yang jelas. Pelaku pengrusakan tempat ibadah tidak ada yang ditahan. Dan pengakuan dari korban, para pelaku kekerasan telah mendatangi kepolisian Resor Kampar dan meminta kasus pengrusakan tidak diproses. Para pelaku mendatangi Kapolres dan mendesak untuk menutup kasus.[21] 
Dengan demikian, penyelesaian kasus pengrusakan gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI) penuh dengan ketidakpastian. Pihak gereja yang dirusak tempat ibadahnya seperti dibiarkan dan seakan dipersalahkan atas perilakunya melaksanakan ibadah. Dan ketakutan masih hidup dalam diri mereka karena intimidasi atas beragam kesalahan masih terus digulirkan. Dan ketidakpastian proses hukum pengrusakan gereja GSPDI sejalan dengan pembiaran praktek kekerasan yang menimpa kelompok agama dan kepercayaan lain di Provinsi Riau.
Secara umum Andi mengutarakan bahwa pihak kepolisian tidak aktif melindungi korban kekerasan berbasis agama dan memproses hukum pengrusakan beberapa tempat ibadah. Kepolisian hanya aktif meminta data anggota umat kristiani dan atau umat Ahmadiyah. Tetapi tidak jelas untuk apa data akan dipergunakan. Sebabnya, dalam beberapa kasus kekerasan berbasis agama, polisi selalu ada dan menyaksikan bagaimana pengrusakan tempat ibadah dan kekerasan dilakukan oleh sekompok orang yang intoleran.
Lebih lanjut Andi mengutarakan, walau kasus kekerasan dan pengrusakan atas nama agama di Riau cukup banyak, tetapi tidak ada yang diproses hukum. Kalau pun ada yang melapor seperti GSPDI, itu pun tidak jelas penyelesaiannya. Dan kasus-kasus kekerasan yang menimpa Ahmadiyah walau pun sangat nyata masjid yang dirusak dan jelas beberapa orang yang telah diancam akan dibunuh, tapi proses hukumnya tetap tidak ada. Masalahnya cukup rumit karena kekerasan yang terjadi terlegitimasi struktur dari tingkat paling bawah seperti  RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, sampai dengan Walikota dan Bupati yang aktif menyesatkan dan mempersalahkan keyakinan.
Dalam banyak kasus, polisi hanya menjadi saksi bagaimana kekerasan, pengrusakan dan intimidasi dilakukan. Tindak pidana itu dibiarkan berlangsung. Dan bahkan, sempat Jemaat Ahmadiyah misal mengirimkan surat untuk meminta perlindungan pihak kepolisian untuk melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri, tetapi jawaban kepolisian menolak untuk melindungi dengan alasan sudah ada Surat Walikota yang melarang aktivitas Ahmadiyah.[22]
Padahal, kepolisian semestinya tunduk pada perintah konsitusi, aturan tertinggi negara Indonesia. Pasal 30 UUD 1945 berbunyi, “Kepolisian Ripublik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”  Juga mandat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2  Tahun 2002  tentang Kepolisian RI yang menyatakan bahwa : “Kepolisian Negara Ripublik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Dan lewat mandat konstitusi juga, kepolisian semestinya memahami bahwa hak beragama dan berkeyakinan merupakan yang bersifat tidak bisa dikurangi dan atau dicabut dalam kondisi apa pun (non derogable rights). Pasal 28I ayat 1 berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Dan dalam konstitusi juga ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

E. Pemangku Kebijakan dan Eklusifisme
Pemangku kebijakan, baik itu pemerintah daerah, kepolisian, dan atau pemerintah pusat, semestinya memijakkan kebijakannya pada konstitusi. Di mana dalam preambule konstitusi ditegaskan bahwa pembentukan pemerintahan negara Indonesia ditujukan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa  dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan membaca preambule konstitusi ini, terbaca jelas di mana posisi negara dan pemerintahan Indonesia ini dibentuk. Bahwa negara dan pemerintahan Indonesia bukanlah hanya untuk sekelompok etnis dan agama, tetapi untuk semua orang, segenap orang yang hidup di negara ini. Karena itu, konstitusi lewat Pasal 27 ayat 1 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dan ihawal kehidupan beragama, berkeyakinan dan melaksanakan ibadah, konstitusi juga telah memberikan keterangan dan rambu-rambu yang jelas. Di mana dalam konstitusi ditegaskan bahwa setiap orang berhak memeluk agama, menjamin setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dan konstitusi cukup terang menyebut bahwa hak beragama dikatagorikan sebagai hak yang bersifat asasi, internum pada setiap pribadi manusia dan bersifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Namun demikian, mandat konstitusi yang mengakui keberagamaan yang plural, sepertinya tidak dapat dipahami dengan jernih oleh para pemangku kebijakan di Indonesia. Pemerintah daerah, pemerintah pusat dan pihak kepolisian yang bekerja di sektor perlindungan dan penegakan hukum. Para pemangku kebijakan terseret oleh suara dan kepentingan eksklusif kelompok keagamaan yang mengatasnamakan ‘mayoritas’. Pemangku kebijakan tunduk dan patuh digerakkan kelompok-kelompok keagamaan ekslusif. Kepatuhan itu lalu berlanjut pada pembiaran, dan bahkan  terlibat aktif mendorong dan membuat kebijakan yang mengucilkan kelompok keagamaan minoritas.
Membaca problematika cara pandang eksklusif pemerintahan dan kelompok mayoritas muslim, menarik membaca pendapat Ariel Haryanto. Menurutnya, sebagian besar penduduk Indonesia saat ini sedang mencoba merumuskan ulang identitas mereka. Ini adalah masa yang tak terduga, penuh dengan janji akan kebebasan, tetapi pada saat yang sama juga ketakutan dan kekhawatiran.  Masa yang ditandai dengan peningkatan politik islami, perdebatan publik tentang pelanggaran hak asasi manusia, perpecahan yang berkepanjangan dan tak terdamaikan di kalangan elit politik, bangkitnya kekuatan ekonomi Asian serta revolusi komunikasi digital yang disambut secara bergairah oleh kaum muda.[23]
Menurut Ariel Haryanto, islamisasi telah menjadi satu-satunya yang  paling mencolok mewarnai dekade pertama Indonesia pasca Orde Baru. Walau pun, islamisasi di Indonesia sebenarnya memiliki sejarah lebih panjang dengan kebangkitan dramatis Islam dalam kehidupan publik pada decade 1990-an. Hingga tingkat tertentu, islamisasi telah menentukan kerangka, batas-batas, dan isi pergulatan kekuasaan di Indonesia pasca orde baru.[24]
Berangkat dari pemikiran Ariel Haryanto, pemerintah dan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, saat ini sedang pada tahap pergulatan pencarian identitas baru. Walau pun secara konstitusional negara Indonesia telah menegaskan jaminan akan pluralitas agama dan keyakinan, tetapi di level sosial dan praktis politis selalu muncul problematika karena terjadi perebutan ruang kekuasaan yang hendak saling mengalahkan; saling menundukkan antar kelompok yang mengatasnamakan mayoritas dan minoritas. Apalagi dalam bacaan yang luas, kerangka dan batas keslaman secara publik, ruang itu telah dikuasai dan ditentukan oleh kelompok politik yang katatanya mewakili kepentingan mayoritas.
Di tengah polemik tarik menarik dan tren politik keberagamaan saat ini, yang penting untuk diluruskan ialah identitas kebangsaan dan kenegaraan yang telah dimandatkan konstitusi. Rujukan selalu kesana, dan orientasi kebijakan pemerintah dan atau penegak hukum mesti diarahkan sesuai dengan mandat konstitusional itu. Perdebatan identitas dan jati diri negara : apakah akan berideologi agama atau kebangsaan? Problemtika itu telah diputuskan. Para pendiri bangsa dengan kesadarannya atas pluralitas dan keberagaman penduduk yang hidup di Indonesia, memilih Pancasila sebagai ideologi dan menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Pilihan kebangsaan yang bhinneka tunggal ika tersebut telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.[25]
Dalam konteks kehidupan sosial dan cara berfikir keberagamaan historis di Riau, sebenarnya tidak tidak ada jejak paradigma ajaran agama yang merusak. Nilai agung agama Islam sebagai keyakinan mayoritas telah memperkuat nilai budaya melayu dan masyarakatnya yang toleran dan ramah.[26] Cara berfikir keagamaan orang Melayu, yang didalamnya daerah Riau cenderung memiliki kesamaan dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah yang digariskan oleh Nahdlatul Ulama (NU), di mana cara berfikirnya cenderung kompromistis, toleran, memilih jalan penyelesaian secara damai, patuh dan sangat menghargai para ulama’ serta mengekalkan nilai-nilai tradisional dan kultural.[27]
Dengan pemikiran di atas, tata kelola kebijakan Provinsi Riau memiliki potensi untuk kembali pada cara berfikir sosial keagamaannnya yang toleran; kembali pada mandat konstitusi yang menegaskan pengakuan keberagaman, dan polisi sebagai aparat negara mesti tercerahkan akan tugasnya untuk melindungi dan menegakkan hukum kepada semua orang tanpa diskriminasi. Jalan pikiran ini juga memandatkan kepada pemerintah daerah Riau khususnya dan pemerintah pusat umumnya, untuk segera mencabut semua peraturan, kebijakan dan surat edaran yang secara langsung dan atau tidak langsung menstimulasi praktek-praktek kekerasan yang terus terjadi di tingkat akar rumput.

F. Kesimpulan
Dari pemarapan di atas dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, kekerasan berbasis agama di provinsi Riau relatif banyak terjadi. Bentuk-bentuk kekerasan meliputi penyegelan, pengrusakan tempat ibadah, intimidasi akan dibunuh, pembubaran diskusi kelompok yang dinilai berbau aliran syi’ah dan penyekapan. Kekerasan berbasis agama terjadi di internal agama dan antar agama. Internal agama menimpa penganut Ahmadiyah dan kelompok yang dituduh berafiliasi dengan Syi’ah, dan antar agama menimpa umat Kristen dan Konghucu.
Kedua, konflik keberagamaan yang terjadi di provinsi Riau tidak terjadi tiba-tiba, tapi distimulasi oleh peraturan dan kebijakan pemerintah pusat yang langsung dan tidak langsung menyesatkan dan mempermasalahkan kelompok tertentu. Fatwa MUI juga menjadi sumber yang mendorong praktek penyesatan dan tindak kekerasan. Pemerintah Daerah Riau sendiri mengeluarkan surat edaran diskriminatif, yaitu : Surat Walikota Pekanbaru tanggal 12 Oktober 2010 dan 16 November 2010 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Tuah Karya, serta Surat Bupati Kampar tanggal 16 Februari 2011 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Koto Bangun dan Koto Baru, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar.
Ketiga, legitimasi peraturan dan surat edaran pemerintah daerah kemudian berdampak pada pembiaran terjadinya kekerasan berbasis agama, pengrusakan tempat ibadah, intimidasi atas nama agama, bahkan pemerintah daerah dan kepolisian menjadi saksi bagaimana praktek kekerasan dan pengrusakan tempat ibadah dilakukan oleh sekelompok orang intoleran. Dan kekerasan berbasis agama tidak ada yang terproses secara hukum. Hanya satu, itu pun belum jelas penyelesaiannya dan tidak ada pelaku pengrusakan yang ditahan. Akibat tidak ada proses hukum yang jelas, kekerasan berbasis agama di Provinsi Riau terjadi berulang-ulang, tidak ada penjeraan terhadap pelaku kekerasan, dan kelompok intoleran seperti mendapatkan pembenaran untuk terus menerus melaksanakan aksi teror dan menyebar ketakutan terhadap kelompok agama atau keyakinan yang dinilai sesat dan salah.

  
DAFTAR PUSTAKA 


Buku-buku :

Ariel Haryanto, Identitas dan Kenikmatan : Politik Budaya Layar Indonesia, Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2015, Jakarta
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis : Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
F. Harianto Santoso, Profil Daerah Kabupaten dan Kota Jilid 2, Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Cet. II 2003, Jakarta
Husni Tamrin (editor), Dinamika Sosial Keagamaan : Seri Proceding Hasil Penelitian, Penerbit Yayasan Pustaka Riau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Suska Riau, Riau
Husnu Abbadi, Eksistensi Aliran-Aliran Keagamaan dalam Islam, UNRI Press, Pekanbaru, 2008
Ilham Prisgunanto, Komunikasi dan Polisi : Bias Selebritas, Geng Motor, Ranah Publik, Konvergensi Simbolik, CV Prisani Cendekia, Jakarta, 2012
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2002
Mahdini, Islam dan Kebudayaan Melayu, Daulat Riau, Pekanbaru Riau, 2003
Muhammad A.S Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Asia Foundation, Jakarta, 2000
Rizal Akbar, Kontemplasi Filosofis Pembangunan Daerah, LPNU Press, Pekanbaru Riau, 2005
S. Maimun, Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988

Majalah dan Website ;
-          Suryadi, Realita Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Riau,  Majalah Bahana Mahasiswa (Edisi Khusus), 17 Juli 2012
-          “Pasca SKB dan Idul Fitri Masjid di Mahato Riau Diruntuhkan,” isamujahid.wordpress.com

Dokumen-Dokumen :
-          Kronologi kejadian yang dibuat oleh Pendeta Timbul Jadi P. Siahaan pada 1 Januari 2016
-          Surat Pemberitahun Perkembangan Hasil Penelitian Laporan Kepolisian Daerah Riau, Resor Kampar
-      Surat Penggunaan Masjid Ahmadiyah untuk Sholat Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Surat ditujukan kepada Kepala Polisi Resort Kota (Kapolresta) Pekanbaru, Provinsi Riau. Surat juga ditembukan ke Kapolsek Tampan, Lurah Sukaramai dan Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru
-     Laporan Pelaksanaan Dialog Adanya Protes Masyarakat Desa Sungai Paku Kecamatan Kampar Kiri terkait Kediaman Timbul Jadi P. Siahaan yang dijadikan Tempat Ibadah Umat Kristinai
-       Permohonan idzin beribadah setipa minggu di rumah Timbul Jadi P. Siahaan, ditujukan kepada Kepala Desa Sungai Paku. Tembusan kepada Camat Kampar Kiri, Ketua FKUB Kabupaten Kampar dan Bupati Kampar
-          Undangan rapat/sosialisasi FKUB terkait kegiatan ibadah di rumah Timbul Jadi P. Siahaan
-          Surat kepada Direktur LBH Pekanbaru terkait penyegelan masjid Ahmadiyah oleh FPI. Surat ditembuskan kepada Wakil Gubernur Provinsi Riau, Kepala Badan Kesbang, Politik dan Linmas Provinsi Riau, Kepala Kejaksaan Negeri Kodya Pekanbaru selaku ketua Pakem, Kapolda Riau dan Kepala Kementrian Agama Provinsi Riau
-          Surat LBH Pekanbaru yang ditujukan kepada Walikota Pekanbaru terkait Surat Permohonan Peninjauan Ulang dan atau Pencabutan Surat Keputusan Walikota Pekanbaru Nomor : 450/BPKBPPM/636 tertanggal 12 Oktober 2010 dan Surat Nomor : 450/BKBPPM/749 tertanggal 16 November 2010 perihal Menghentikan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Pekanbaru
-          Rilis kronologi pembubran diskusi JAKFI Pekanbaru, HMI Pekanbaru dan Kelompok Diskusi Batas Arus Pekanbaru oleh Kelompok Front Pembela Islam Pekanbaru




[1] Wawancara Andi Wijaya (Pendamping Ahmadiyah dan Pengrusakan tempat ibadah), 17 Mei 2016
[2] Rizal Akbar, Kontemplasi Filosofis Pembangunan Daerah, LPNU Press, Pekanbaru Riau, 2005, hlm 115-116
[3] Mahdini, Islam dan Kebudayaan Melayu, Daulat Riau, Pekanbaru Riau, 2003, hlm 140-145
[4] Ibid, hlm 11
[5] Helmi Karim, Peta Agama di Kabupaten Rokan Hulu, dalam Husni Tamrin (editor), Dinamika Sosial Keagamaan : Seri Proceding Hasil Penelitian, Penerbit Yayasan Pustaka Riau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Suska Riau, Riau, 2007, hlm131-133
[6] Wawancara Indra, Pengacara publik Riau, pada tanggal 15 Mei 2016
[7] Wawancara Husnu Abadi, Dosen Universitas Islam Riau, pada 18 Mei 2016
[8] F. Harianto Santoso, Profil Daerah Kabupaten dan Kota Jilid 2, Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Cet. II 2003, Jakarta, hlm 143
[9] Ibid, hlm 143-144
[10] Suryadi, Realita Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Riau, dalam Majalah Bahana Mahasiswa (Edisi Khusus), 17 Juli 2012,  hlm 14
[11] Baca “Pasca SKB dan Idul Fitri Masjid di Mahato Riau Diruntuhkan”,  di isamujahid.wordpress.com
[12] Wawancara Agussumarsono dalam majalah BAHANA MAHASISWA (Edisi Khusus 29), 17 Juli 2012, hlm 9
[13] Ibid, hlm 9-10
[14] Wawancara Zuhdi, Koordinator JAKFI Pekanbaru, pada 17 Mei 2016
[15] Wawancara Suhardiman, Koordinator Diskusi :Perempuan sebagai Rumah Cinta, Air Mata dan kebangkitan;  Sebuah Upaya mendekatkan Identitas Perempuan Indonesia yang Progresif Historis dan Spiritual pada 17 Mei 2016
[16] Kronologi kejadian yang dibuat oleh Pendeta Timbul Jadi P. Siahaan pada 1 Januari 2016
[17] Wawancara Aditya Bagus Santoso, Pengacara publik LBH Riau, pada 16 Mei 2016
[18] Foto copy Surat Pemberitahun Perkembangan Hasil Penelitian Laporan Kepolisian Daerah Riau, Resor Kampar. Foto copy diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum, Provinsi Riau.
[19] Wawancara Musthofa pada 16 Mei 2016
[20] Wawancara Rian pada tanggal 17 Mei 2016
[21] Wawancara Andi Wijaya pada tanggal 17 Mei 2016
[22] Surat Penggunaan Masjid Ahmadiyah untuk Sholat Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Surat ditujukan kepada Kepala Polisi Resort Kota (Kapolresta) Pekanbaru, Provinsi Riau. Surat juga ditembukan ke Kapolsek Tampan, Lurah Sukaramai dan Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru
[23] Ariel Haryanto, Identitas dan Kenikmatan : Politik Budaya Layar Indonesia, Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2015, hlm 1
[24] Ibid, hlm 2
[25] Kaelan, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma, Yogyakarta : 2002, hlm. 26
[26] Wawancara M. Tupon, tokoh masyarakat, pada 20 Mei 2016
[27] Rizal Akbar, Kontemplasi Filosofis Pembangunan Daerah, Penerbit LPNU Press, Pekanbaru, 2005, hlm 112-113

0 comments:

Post a Comment