Oleh
: M. Syafi’ie
“Pemerintah sedang memelihara kekerasan.
Mengamankan aktor-aktor intoleran.
Pemerintah dan aparat keamaan menyaksikan kekerasan
terjadi.”
(Zuhdi, Koordinator JAKFI Pekanbaru.
Korban Pemukulan)
A.
Pendahuluan
Konflik
kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Riau tak banyak terdengar. Hanya
Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur dan Yogyakarta yang selalu menguat. Tapi tidak
berarti kasus KBB tidak ada di Riau, pernah terjadi pengrusakan tempat ibadah,
penyegelaan rumah ibadah Ahmadiyah dan penyekapan aktivis yang dituduh Syiah.
Artinya kasus KBB ada, tapi seperti tak
terlihat akibat kuatnya suara kelompok eksklusif, dukungan politik eksklusif
dan peran penegak hukum yang yang membiarkan kasus kekerasan terjadi. “Tidak ada yang mendukung kelompok agama
yang jadi korban kekerasan berbasis agama di sini. Yang membela hanya Lembaga
Bantuan Hukum. Juga beberapa mahasiswa, itu pun
tidak jelas,” ungkap Andi Wijaya, salah seorang pengacara kasus KBB dari LBH Riau.
Mengapa
menyuarakan isu kebebasan beragama sulit? Salah satu faktor yang dapat
dikemukakan ialah posisi Riau sebagai bagian dari wilayah Melayu, di mana agama
Islam telah menjadi bagian dari cara berfikir dan kebudayaan masyarakatnya. Dan
semakin ke sini, cara berfikir keislaman sebagian kelompok semakin tertutup.
Seperti dinyatakan Rizal Akbar, pandangan orang melayu terhadap agama Islam
sangat kental, sehingga muncul konsep bahwa Melayu identik dengan Islam. Bagi
orang Melayu, konsep itu tidak semata slogan, tetapi teraktualisasi dalam
kehidupan sehari-hari. Bila ada orang Melayu murtad (keluar dari agama Islam), maka ia tidak lagi dikatakan
sebagai orang Melayu. Tetapi sebaliknya, bila ada orang Cina yang hidup di
tengah masyarakat Melayu masuk Islam, maka dia pasti dikatakan orang Melayu.
Eksistensi
agama Islam dan politik kebijakan keberagamaan Riau kekinian, terlihat semakin
mengarah pada cara pandang yang semakin eksklusif. Pendekatan keberagamaan yang
semakin menggunakan kerangka fiqh
yang menyempit; pendekatan yang membaca pluralitas dari kacamata sesat dan
tidak sesat. Kondisi ini berbeda dengan
Islam Melayu awal yang begitu menyatu dengan tradisi dan ajaran diletakkan
sebagai substansi dan hakekat. Situasi tersebut mendorong kebudayaan melayu
yang toleran terhadap kelompok lain dan menjunjung tinggi perdamaian.
Menurut
Mahdini dalam buku “Islam dan Kebudayaan
Melayu”, penyebaran Islam yang massif di Melayu, tidak hanya berkaitan
dengan para pedagang, tetapi ditopang oleh kehadiran para guru sufi yang
mengembara, berpindah-pindah dan menyebarkan agama Islam yang terbuka.
Guru-guru sufi umumnya memiliki pandangan budaya agraris dan mendorong
perkembangan corak Islam yang cukup khas, inklusivistik dan bahkan cenderung
sinkretik. Ajaran Islam sangat akomodatif terhadap sistem nilai dan kepercayaan
lokal yang telah hidup cukup lama.
Pergeseran
cara pandang sebagian kelompok beragama di Provinsi Riau tentu menjadi
tantangan. Pemerintah daerah mesti punya pijakan yang jelas dan tidak mengikuti
arus eksklusifisme. Petugas kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban
juga mesti mengacu pada mandat konstitusional. Kita tahu, petugas kepolisian dimandatkan
untuk menjaga keamanan, ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, pemerintah
daerah dan kepolisian harus menggunakan pendekatan kewarganegaraan, di mana
setiap orang tanpa perbedaan apa pun memilik hak yang sama atas hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Berbagai potensi konflik dan aksi yang
mengatasnamakan agama, pemerintah daerah dan polisi harus saling bersinergi agar
kebebasan beragama dan berkeyakinan tetap terjamin, umat beragama terlindungi
ketika beribadah dan dan kekerasan berbasis agama dapat ditangani dengan benar
secara hukum.
Berangkat
dari kerangka di atas, penulis hendak mendalami topik kebebasan beragama dan
keyakinan di Provinsi Riau dengan fokus dua hal, pertama, bagaimana peta kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan
di Riau? Kedua, bagaimana peran kepolisian
dan pemerintah daerah dalam merespon konflik KBB yang terjadi?
B. Riau dan Keragamannya
Secara
etimologis, terdapat beragam pendapat dalam memaknai asal kata ‘Riau.’ Ada yang
mengatakan berasal dari kata Rio (bahasa Portugis) yang berarti sungai. Di
pulau Bintan, salah satu wilayah Riau terdapat sebuah sungai yang bernama “Sei
Rio.” Dari kata “Rio” berubah menjadi “Riau.” Orang Belanda menulis “Riau”
dengan “Riouw.” Ada juga pandangan bahwa asal kata Riau berkaitan dengan ucapan
sehari-hari dalam masyarakat Siak, yaitu kata “meriau” yang artinya musim ikan
bermain. Di Kuantan, “meriau” ialah ungkapan
kata yang menunjukkan aktivitas mengumpulkan ikan pada suatu tempat agar mudah
ditangkap dalam jumlah yang lebih besar. Di masyarakat Riau Kepulauan juga
dikenal kata “Rioh” yang berarti suara yang ramai di pusat kerajaan melayu
Riau. Pusat kerajaan terletak di sebelah hulu Sungai Carang. Ramainya suara
karena kesibukan perdagangan yang keluar masuk kota.
Di
banding dengan beberapa Provinsi yang lain, Riau dikenal dikenal kuat memegang
norma-norma adat dan agama. Bagi masyarakat Riau, agama merupakan jati diri
mereka. Tidaklah disebut seorang itu sebagai seorang warga Melayu bila
keislaman tidak melekat dalam diri mereka secara baik. Begitu kuatnya keyakinan
itu, di Riau lautan atau pesisir dikenal istilah “adat bersendi syarak” dan di Riau daratan terkenal istilah “adat bersendikan syarak, syarat bersendi
kitabullah,” yaitu satu istilah yang mencerminkan jiwa keagamaan dan
kebudayaan yang menyatu dan saling menguatkan.
Namun
demikian, umat beragama yang heterogen sebenarnya sudah lama hidup di Riau.
Orang-orang Cina yang tinggal di Riau telah menjalankan keyakinan agamanya
sejak lama. Gereja dan masjid berdiri berdampingan di pusat kota.
Dan saat kondisi saat ini semakin heterogen seiring dengan migrasi penduduk
yang besar-besaran ke daerah Riau. Daya pikat ekonomi yang besar di Riau
menjadi magnet tersendiri. Umat Islam yang awalnya mayoritas, kenyataan ini
saat ini ada begitu banyak non muslim
yang juga hadir dan menghuni di beberapa wilayah di Riau. Di
antara mereka ada yang Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu dan
Konghucu. Dan keragaman keyakinan juga terlihat di internal agama yang beragam
itu. Dalam Islam misal juga hidup kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah.
Riau
sendiri merupakan wilayah yang sangat besar. Di era otonomi daerah, ia
mengalami pemekaran terus menerus. Dan salah satu wilayah Riau dan menjadi
pusat kota Provinsi Riau ialah Pekanbaru. Di masa lalu, Pekanbaru sendiri
merupakan dusun kecil bernama Payung Sesaki yang terletak di pinggiran sungai
Siak. Dusun kecil itu lalu dikenal juga dengan nama Senapelan. Desa ini
kemudian lebih berkembang pesat setelah lokasi pasar (pekan) lama pindah ke
seberang pada tahun 1784. Terciptalah pasar baru yang kemudian identik dengan
dengan sebutan “pekan baru” dan saat ini menjadi sebutan kota ini, yaitu
Pekanbaru.
Keterangan
: peta provinsi Riau. Pusat kotanya Pekanbaru.
Pekanbaru
terkenal ramai. Sungai Siak yang membelah kota menjadi jalur pelayaran
strategis dari dan menuju ke beberapa kota pantai di Provinsi Riau dan luar
Riau. Sungai Siak juga punya peran pentiing sebagai media perdagangan antar
pulau dan juga ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Letak kota pun
sangat strategis karena berada di simpul segi tiga pertumbuhan
Indonesia-Malaysia dan Singapura, juga di jalur lintas angkutan lintas timur
wilayah Sumatera.
Posisi
strategis Pekanbaru khususnya, dan Provinsi Riau umumnya, tidak mengejutkan
kalau daerah ini menjadi magnet untuk didatangi dari beragam penduduk dari luar
daerah. Buktinya, Riau memiliki keragamaan etnis dan agama saat ini. Dari segi
etnis, Provinsi Riau menampung banyak suku bangsa : Melayu, Jawa, Minangkabau,
Tionghoa, Banjar, Mandailing, Batak, Bugis, Aceh, Sunda dan Flores. Melayu
merupakan suku mayoritas. Suku Jawa dan Sunda banyak berada di kawasan
transmigran. Etnis Minangkabau dan Tionghoa kebanyakan jadi pedagang. Suku
Minangkabau banyak bermukim di Pekanbaru, Dumai, Kampar, Kuantan Singingi
(Kuansing) dan Rokan Hulu. Sedangkan etnis Cina yang rata-rata beragama
Konghucu berada di daerah Bagansiapiapi, Selat Panjang, Pulau Rupat dan
Bengkalis. Suku Banjar dan Bugis berada di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil),
terutama di Tembilahan. Dan Riau juga memiliki suku masyarakat asli dan
rata-rata tinggal di kawasan pedalaman dan bantaran Sungai, seperti Sakai,
Akit, Talang Mamak dan Suku Laut.
Sedang
penganut agama juga beragam. Departemen Agama Kantor Wilayah Riau 2010 pernah
merilis : Agama Islam dianut 4. 907. 218 jiwa, Kristen Protestan dianut 313.
660 jiwa, Kristen Katolik dianut 125. 561 jiwa, Hindu dianut 21. 837 jiwa,
Buddha dianut 150. 759 jiwa, Konghucu dianut 725 jiwa dan aliran kepercayaan
lain terdapat 434 jiwa. Data 2010 menginformasikan bahwa setidaknya terdapat
11. 481 rumah ibadah muslim di Riau, 1.194 rumah ibadah Kristen Protestan, 246
rumah ibadah Katolik, Hindu ada sekitar 8 tempat ibadah dan Budha sekitar 340
rumah ibadah.
C. Problematika Kebebasan Beragama
Keragaman
umat beragama dan etnis menjadi kenyataan yang tak bisa dibohongi di Provinsi
Riau saat ini. Tarikan ekonomi dan kebijakan transmigrasi yang besar-besaran
menjadi penegas bahwa pemerintah dan masyarakat lama mesti terbuka terhadap
pluralitas yang muncul. Walau pun sangat disadari, bahwa konflik atas nama apa
pun, termasuk konflik agama yang menjadi concern tulisan ini tidak muncul
secara tiba-tiba. Tetapi pasti dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi yang lebih
luas.
Awalnya
konflik agama di Riau sepi. Konflik terlihat membesar dan memunculkan kebencian
atas nama agama akibat beberapa peraturan dari pemerintah pusat. Di antara
peraturan dan kebijakan yang dinilai mendorong kekerasan, pertama, Undang-Undang No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan,
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kedua,
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah ibadat. Ketiga,
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tahun
2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Keempat,
Instruksi Menteri Agama Ripublik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 tentang
Antisipasi terhadap Timbulnya Kerawanan/Konflik Kerukunan Umat Beragama.
Selain
peraturan dan kebijakan pemerintah pusat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
mengeluarkan fatwa yang secara langsung dan tidak langsung memperuncing
genderang perang terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat dan berbeda
pandangan dengan keyakinan mainstream. Setidaknya dua fatwa MUI yang memicu
perang di internal agama, pertama,
Fatwa MUI tahun 2005 tentang Pelarangan Ahmadiyah di Indonesia. Kedua, Fatwa MUI tentang Pelarangan
pluralism, liberalism dan sekularisme agama.
Produk
hukum pemerintah pusat dan munculnya fatwa MUI yang secara terang-terangan
menunjuk kelompok sesat dan terlarang akhirnya berpengaruh terhadap reaksi
pemerintah daerah. Di Riau sendiri, muncul aturan yang selanjutnya semakin
memicu konflik, yaitu : pertama,
Surat Walikota Pekanbaru tanggal 12
Oktober 2010 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan
Tuah Karya Pekanbaru. Kedua, Surat
Bupati Kampar tanggal 16 Februari 2011 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat
Ahmadiyah di Koro Bangun dan Koto Baru Kecamatan Tapung Hilir Kapubaten Kampar.
Akibat
regulasi di atas, huru-hara atas nama agama di Provinsi Riau pun mengemuka.
Misal, pasca dikeluarkannya SKB 3 Menteri, sebuah masjid milik Jemaat Ahmadiyah
yang terletak di kampung Sukamaju, KM 5, Dusun Seimenanti, Desa Tanjung Medan,
Kecamatan Pujud, Kabupaten Rokan Hilir. Kejadiannya tepat lima hari setelah
hari raya Idul Fitri, 5 Oktober 2008.
Di
hari itu, enam orang mendatangi masjid Mubarok yang kepentingan katanya untuk
berdialog. Para tamu mengaku mewakili masyarakat dan ditemui oleh Ilham, Ketua
Cabang Ahmadiyah Mahato bersama pengurus Ahmadiyah. Dalam percakapan tersebut,
salah satu tamu berkata, “Kami minta
kegiatan Ahmadiyah dihentikan di dusun ini. Bapak boleh sholat di mana pun,
asal jangan di masjid ini. Masjid ini akan kami segel. Sudah ada 150 orang dari
dua tempat yang berkumpul. Kami hanya punya waktu 2,5 jam.”
Perkataan
itu ternyata bukan gertak biasa. Tak berselang lama, ratusan massa sudah
berkumpul, dan meminta Jemaat Ahmadiyah agar menandatangani pernyataan yang
isinya antara lain : melarang jemaat untuk sholat, adzan dan melaksanakan
kegiatan di masjid. Sempat muncul pernyataan dari perwakilan Ahmadiyah, “Apakah Bapak-bapak sanggup mendapat kutukan
dari Allah Ta’ala bila melarang kami sholat di sini?” Perwakilan massa
serentak menjawab, “Kami siap!”
Karena
sudah terdesak oleh massa, tidak ada mediator dan peran negara, surat
pernyataan itu pun ditanda tangani dan dibacakan di depan massa yang telah
berkeliling di sekitar masjid. Belum selesai surat pernyataan itu dibacakan,
massa yang berkeliling masjid Mubarok mulai bertindak anarkis. Massa melempar
masjid dengan batu dan sudah memegang balok kayu di tangan. Aksi itu berlanjut
dengan menghancurkan kaca masjid dan mendobrak bangunan masjid. Dalam waktu singkat 1 jam, masjid Mubarok pun roboh.
Massa bersorak dan bertepuk tangan. Dan terakhir lafadz Allah yang ada di
puncak masjid pun dicopot.
Kejadian
serupa juga terjadi Pekanbaru. Masjid Mubarok yang juga milik Ahmadiyah di disegel.
Masjid berada di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan, Pekanbaru. Jemaah
Ahmadiyah dilarang beribadah dan melakukan aktivitas di masjid. Larangan
Ahmadiyah selain merujuk pada SKB 3 Menteri, juga dilegitimasi oleh Surat
Herman Abdullah, Walikota Pekanbaru yang ditujukan kepada Agussumarsono, Ketua
jemaat Ahmadiyah. Surat itu dikeluarkan tanggal 16 November 2010 yang berisi
penghentian kegiatan jemaat Ahmadiyah.
Surat
Walikota Pekanbaru ini mendasarkan pada rapat Ketua RAKEM Kota Pekanbaru,
Kapolresta Kota Pekanbaru, Camat Tampan, Kapolsek Tampan, Ketua MUI Kota
Pekanbaru, Ketua FKUB Kota Pekanbaru dan Kepala Kantor Kementrian Agama Kota
Pekanbaru tertanggal 27 Oktober 2010, yang rapat itu langsung dipimpin secara
langsung oleh Walikota Pekanbaru. Rapat koordinasi tersebut menghasilkan
beberapa rekomendasi, yaitu :
1. Bahwa sesuai dengan pasal 27 Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa salah satu kewajiban Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah adalah memelihara keamanan dan ketertiban, melaksanakan
kehidupan demokrasi, mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangan.
2. Bahwa berdasarkan Surat dari Mendagri No. 450/3457/SJ
Tanggal 24 Agustus 2010 perihal Penanganan Jemaat Ahmadiyah dan tindakan
anarkis, di mana pada poin 1 (satu) nya disebutkan bahwa Esensi dari Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2008; Nomor KEP-033/A/JA/6/2008; Nomor 199 Tahun 2008 Tanggal 9
Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat, adalah
pengawasan dan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh penganut, anggota dan/atau anggota penggurus JAI maupun oleh masyarakat
yang melakukan tindakan kekerasan.
3. Agar tidak terjadinya pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1965 tentang Penodaan Agama dan Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI Nomor 08 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun
2006 tentang Pendirian Tempat Ibadah serta Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor
14 Tahun 2000 tentang Izin Bangunan Dalam Daerah Kota Pekanbaru dan untuk
mengantisipasi terjadinya tindakan anarkis oleh masyarakat yang timbul akibat
adanya kegiatan Jemaat Ahmadiyah di tengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan rekomendasi di atas, Walikota
Pekanbaru meminta kepada Agussumarsono selaku Ketua Ahmadiyah dan seluruh
Jemaat Ahmadiyah di kota Pekanbaru agar mematuhi Surat Walikota Nomor
450/BKBPPM/636 tanggal 12 Oktober 2010 perihal Menghentikan Kegiatan Jemaat
Ahmadiyah di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan dan atau dalam wilayah Kota
Pekanbaru. Dan apabila Agussumasono selaku Ketua Ahmadiyah dan seluruh Jemaat
Ahmadiyah tidak mematuhi maka permasalahan Ahmadiyah akan diselesaikan sesuai
dengan ketentuan dan hukum yang berlaku.
Surat
Walikota ini pun ditembuskan kepada beberapa pihak pemangku otoritas setempat,
yaitu : Dirjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri di Jakarta, Gubernur Riau,
Kepala Badan Kesbang, Politik dan Linmas Propinsi Riau, Kepala Kejaksaan Negeri
Kota Pekanbaru selaku ketua PAKEM, Kapolresta Pekanbaru, Kepala Kantor
Kementrian Agama Kota Pekanbaru, Ketua MUI Kota Pekanbaru, Ketua FKUB Kota
Pekanbaru, Camat se-Kota Pekanbaru, Kapolsek Tampan dan Lurah Tuah Karya.
Surat
Walikota Pekanbaru itu pun sudah diterima oleh Agussrumarsono, Ketua Jemaat
Ahmadyah Riau. Menurutnya, sejak surat diterima, Jemaah Ahmadiyah tidak lagi
beribadah di masjid Mubarok. Masjid dalam keadaan disegel. Jemaah Tuah Karya
beribadah dan melaksanakan kegiatan di rumah masing-masing. Padahal menurut
Agus, Jemaat Ahmadiyah di daerah Tuah Karya sudah melaksanakan kegiatannya
sejak tahun 1990. Dalam tempo yang panjang itu, aktivitas dan kegiatan
Ahmadiyah baik-baik saja, sampai dengan muncul Surat Walikota tahun 2010 yang
substansi merujuk pada SKB 3 Menteri.
Menurut
Agus, masjid Mubarok mulai dibangun tahun 2008 dari dana swasembada masyarakat
dan baru selesai tahun 2010 sebelum bulan puasa. Sempat digunakan untuk sholat
tarawih bersama Jemaah sampai akhirnya muncul Surat Larangan dari Walikota
Pekanbaru. Agus sempat mengadu ke kepolisian sebagai institusi pelindung dan
pengayom masyarakat untuk sekedar melaksanakan sholat idul fitri dan idul adha,
tapi jawaban polisi tidak memuaskan mereka. Agus bilang “Kita pernah meminta pengamanan Polsek Tampan untu melaksanakan sholat
Idul Fitri maupun Idul Adha di Masjid Mubarok. Tapi Kapolsek tidak berani
memberi idzin sebelum surat Walikota Pekanbaru itu dicabut.”
Setelah
Surat Sakti Walikota Pekanbaru itu, kelompok massa yang mengintimidasi kelompok
Ahmadiyah dan menghancurkan masjid Ahmadiyah seperti mendapatkan legitimasi dan
semakin melebarkan aksinya. Berikutnya masjid
An-Nasir yang disegel. Masjid ini berada di Gang Ahmadi Nomor 2 Jalan
Sudirman Kecamatan Pekanbaru. Penyegelan masjid dilakukan oleh sekitar 10 orang
yang mengatasnamakan Front Pembela Islam dan Laskar Pembela Islam Kota
Pekanbaru, pada 19 April 2011, jam 10.00.
Menariknya,
penyegelan masjid An-Nasir disimbolkan dengan pemasangan spanduk di pintu dan
jendela sekeliling masjid dengan menggunakan paku. Tulisan pada spanduk itu :
Masyarakat Kota Pekanbaru mendukung Gubernur Riau dan Walikota Pekanbaru
Bubarkan Ahmadiyah yang Telah Merusak Islam. Penyegelan pun disaksikan oleh
pejabat pemerintah Kota Pekanbaru dan pihak dari kepolisian.
Pada
momen penyegelan yang disaksikan aparat kepolisian dan pemerintah tersebut, Front
Pembela Islam dan Laskar Pembela Islam juga merusak gembok pintu pagar masjid
dan mencabut aliran listrik. Mereka pun berorasi yang di antara isinya mendesak
Gubernur Riau agar secepatnya mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pelarangan
Ahmadiyah di Provinsi Riau. Aparat pemerintah dan kepolisian semuanya menjadi
saksi atas peristiwa penyegelan dan pengrusakan itu.
Penyegelan
masjid An-Nasir tidak ada perlawanan berarti. Sebab sebelum peristiwa terjadi,
tepatnya tanggal 15 April 2011, Muhammad Daud penghuni masjid dan Ketua Cabang
Ahmadiyah Jemaat Ahmadiyah Pekanbaru Kota diajak Ketua RW untuk membicarakan
keberadaan dan kegiatan Jemaah Ahmadiyah. Pertemuan diselenggarakan di rumah
Ketua RW, dan dihadiri Ketua RT, Lurah,
Camat, Pihak Kepolisian dan Muhammad Daud sendiri. Dalam pertemuan Jemaah
Ahmadiyah diminta untuk menghentikan aktivitasnya, sebab kegiatan mereka
dinilai sudah meresahkan masyarakat. Dan pada pertemuan tersebut, Daud diminta
tanda tangan pernyataan tentang penghentian kegiatan Ahmadiyah yang sudah
dipersiapkan sebelum pertemuan dimulai. Tapi dengan alasan tertentu, Daud tidak
mau tanda tangan.
Sewaktu
penyegelan, Muhammad Daud tidak ada di tempat. Ia dan keluarganya pergi ke
Padang. Dan ketidakhadirannya juga karena pesan dari Kepala Unit (Kanit) Intel
kepolisian agar jangan pulang karena masjid akan disegel. Akibat
ketidakpulangannya tersebut, rumah Muhammad Daud juga disegel, dan terpaksa ia
mencari tempat baru untuk tempat tinggal.
Selain
menimpa kelompok Ahmadiyah, kekerasan juga menyasar terhadap kelompok yang
dituduh ditunggangi Syiah. Dalam rilis panitia Diskusi Batas Arus Pekanbaru
dituliskan bahwa setiap Jumat malam mereka memiliki agenda rutin diskusi. Setiap minggunya mfereka menyajikan topik
berbeda. Untuk Jumat, 1 April 2016, Kelompok Diskusi Batas Arus Pekanbaru
bekerjasama dengan Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI) Pekanbaru dan HMI
Pekanbaru bersepakat bekerjasama
mengadakan diskusi dan mengangkat tema :“Perempuan sebagai Rumah Cinta,
Air Mata dan kebangkitan; Sebuah Upaya mendekatkan Identitas Perempuan
Indonesia yang Progresif Historis dan
Spiritual”. Diskusi akan diadakan di Pusat
Kegiatan HMI, Jalan Melayu Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai,
Pekanbaru. Diskusi ini mengundang
AM. Sofwan, dari Rausyan Fikr, Yogyakarta.
Kegiatan ini menjadi keprihatinan banyak
pihak karena acara diskusi dibubarkan oleh ormas yang mengatasnamakan Front
Pembela Islam. Sekitar jam 20.00 WIB, AM Safwan sampai di tempat diskusi, dan
di sana sudah ada beberapa orang FPI dan berdialog dengan Safwan yang intinya
meminta pembatalan diskusi dan mendesak AM Safwan untuk meninggalkan lokasi.
Terdesak, AM Sofwan menyanggungi permintaan FPI. Setelah menyanggupi, beberap
menit kemudian datang sekitar 50 massa FPI dan langsung melakukan aksi swepping
dan membawa pergi AM Safwan.
“Sewaktu
swepping, terjadi kekerasan. AM Safwan yang diundang jauh-jauh dari Yogyakarta
dipukul. Diintimidasi secara kasar. Ditarik-tarik. Ditendang. Dan diludahi mukanya.
Dan ada banyak perempuan Kohati (Korps HMI-wati) yang saat itu hendak ikut
diskusi juga diludahi oleh FPI.”
Ungkap Zuhdi Koordinator Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI) dan Pengurus
HMI, Pekanbaru.
Pengrusakan di kantor HMI cukup parah.
Karena kendaraan bermotor yang diparkir dirusak, kantor HMI dilempar batu, dan
beberapa orang peserta diskusi, diantaranya Zuhdi dan Fikri Ketua Panitia,
terkena pukulan oleh massa FPI. Suasana tempat diskusi sangat mencekam dan
tidak terkendali. Padahal, di lokasi sudah petugas intelejen kepolisian dan
tidak mengambil tindakan selayaknya kepolisian harus melindungi keamanan
masyarakatnya.
Hal yang paling mengganggu pikiran dan
menakutkan panitia diskusi ialah penculikan pembicara : AM Sofwan, dan tidak
diketahui keberadaannya. Pembicara hilang dan tidak diketahui nasibnya. Disiksa, atau diberlakukan seperti
apa, pembicara tidak diketahui. Telponnya mati tidak bisa dihubungi. Hati dan
pikiran panitia was-was dan tidak tahu harus mengadu kepada siapa.
Sampai akhirnya tiba-tiba muncul berita
online yang berjudul, “Massa FPI Riau
Hentikan Kegiatan Berbau Suatu Aliran, 1 orang Diamankan.” Dalam berita
dinyatakan bahwa FPI Provinsi Riau telah mendatangi suatu tempat di Jalan
Melayu, Arangka, Pekanbaru, Riau. Tempat tersebut diduga tengah berlangsung
suatu agenda kegiatan. Dari pemberitaan tersebut, tidak tergambar suasana
pengrusakan, kekerasan dan penyekapan yang telah terjadi. Dan seperti mengamini
terhadap proses kekerasan yang terjadi. “Pemberitaan
media itu hanya sepihak. Hanya merujuk sumber dari FPI. Media Go Riau.com,
memang terkenal dekat dengan FPI.” Jelas Zuhdi
Dengan
adanya berita, kesedihan panitia tidak terhenti. Pikiran mereka was-was dan
memikirkan nasib AM Safwan yang berada di kandang FPI. Mereka tidak bisa tidur
dan membuat rilis kronologi. Dari rilis itulah mereka mendatangi kantor Polres,
Pekanbaru pada jam 04.00 WIB (2/4/2016) dengan niat melaporkan peristiwa
kekerasan dan akan meminta aparat kepolisian untu mengamankan AM Safwan yang
telah diculik oleh FPI. Setelah sampai di kantor kepolisian, tidak banyak
polisi yang ada. Dan mereka sepertinya tidak tahu menahu terkait peristiwa
kekerasan yang terjadi di HMI. Padahal, sewaktu kejadian sudah ada intelejen.
Dari
proses laporan, dan sampai jam 06.00 WIB, tiba-tiba ada kabar pesan bahwa AM
Safwan akan pulang ke Yogyakarta pada jam 08.00 WIB. “AM Safwan berpesan, demi keamanan bersama jangan ada
yang mengantarkan saya ke Bandara” tutur Suhardiman mengikuti
pesan AM Safwan. Koordinator
diskusi, Diman menduga bahwa AM Safwan telah dipaksa dan didesak oleh FPI untuk
mengirim pesan. Dan ia pasti dikawal FPI ke bandara.
Dan
lewat pesan pula, AM Safwan berpesan agar dimaafkan semuanya. Tidak dilanjutkan
dengan membesar-besarkan kasus. Memproses hukum lebih lanjut. Berdasarkan pesan
AM Safwan itu pula, laporan kasus yang telah masuk di kepolisian dicabut oleh
Suhardiman dan kawan-kawan. Akhirnya tidak terjadi proses hukum. Walau pun
tindakan FPI jelas merupakan tindak pidana. “Saya
sebenarnya ingin memproses kasus ini. Soal saya pribadi terluka kena pukulan.
Pemateri juga disekap. Terjadi pengrusakan. Dan ada beberapa kaum perempuan
yang juga diludahi. Tapi demi menghormati pesan AM Safwan saya mengalah.”
Ungkap Zuhdi sedih.
Hal
yang paling menyakitkan dari proses kekerasan itu ialah ujungnya. Dimana semua
kekerasan berakhir dengan anti klimaks dan tidak ada penjeraan terhadap
perilaku yang intoleran. Dan AM Safwan pun dipaksa untuk menulis dan
menandatangani beberapa pernyataan bermaterai, yang isinya secara tidak
langsung mengakui kebersalahannya.
Selain
kekerasan yang terjadi di internal agama Islam. Kekerasan juga menimpa non muslim,
yaitu umat kristiani. Kasusnya ialah pembakaran atau pengrusakan tempat ibadah
yang terjadi di daerah Kuansing pada 11 April 2011. Pengrusakan terjadi akibat
bentrokan warga dan berlanjut dengan pembakaran gereja GBKP, GMI dan GPDI oleh
seratusan orang yang tidak dikenal. Kasus di tempat lain ialah pelarangan
ibadah minggu yang dialami oleh Gereja HKBP Tampan Resort HKBP Hangtuah,
Pekanbaru pada 13 November 2011.
Peristiwa
terbaru yang menimpa pemeluk agama Kristen ialah pengrusakan gereja Sidang
Pantekosta di Indonesia (GSPDI) pada 17 Januari 2016. Kejadiannya terjadi di
Desa Sungai Paku, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Pada
saat kejadian, beberapa orang beribadah dan gereja dijaga oleh pihak kepolisian
dan TNI. Tiba-tiba sekompok orang kurang lebih 20 orang. Pada saat itu, jemaat
dianjurkan pulang semua karena ibadah sudah selesai.
Masalahnya,
setelah jemaat pulang, sebagian masyarakat yang datang tiba-tiba masuk ke dalam
ruangan dan menyatakan bahwar mereka mendapat perintah dari Ketua Pemuda untuk
menghancurkan atribut ibadah, dan menghancurkan kursi, dinding ruangan ibadah,
mimbar, alat music (gitar), kipas angin, rak piring dan kitab suci dilempar dan
diinjak-injak. Pada kesempatan itu, kelompok yang melakukan pengrusakan
mengancam : jika pendeta tetap juga beribadah, mereka akan membakar rumah
ibadah tersebut.
Setelah
pengrusakan masih terjadi intimidasi. Misalnya, pada tanggal 18 Januari 2016,
jam 00.30 terlihat tiga orang laki-laki yang mengendap-endap memakai topeng.
Namun demikian, tiga orang itu lari setelah dikejar. Dan pada pada hari yang
sama, pendeta GSPDI diundang Bupati Kampar melalui desa untuk membahas kegiatan
keagamaan. Konflik yang menimpa GSPDI sebenarnya telah lama. Pada tahun 2015,
GSPDI bahkan tidak diperbolehkan beribadah oleh Kepala Desa Sungai Paku,
Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau dengan alasan akan ada
penyerangan.
Berikut
tabel beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Provinsi Riau, yaitu :
Waktu
|
Peristiwa Kekerasan
|
5 Oktober 2008
|
Masjid Mubarak
Mahato milik Ahmadiyah,Kecamatan Pujud Rokan Hilir dihancurkan kelompok
intoleran
|
29 Juni 2007
|
Masjid
Al-Mubarok beserta rumah muballigh Ahmadiyah, Kecamatan Mandau Duri
diobrak-abrik kelompok intoleran
|
16 Februari
2011
|
Masjid milik
Ahmadiyah di Desa Koto Bangun dan Koto Baru, Kecamatan Tapung Hilir Kampar
disegel oleh pemerintah Kabupaten Kampar
|
12 Oktober
2010
|
Masjid Mubarok
milik Ahmadiyah Kecamatan Tuah Karya Pekanbaru disegel oleh pemerintah
Kabupaten Pakanbaru
|
19 April 2011
|
Front Pembela
Islam dan Laskar Pembela Islam disaksikan pemerintah daerah dan kepolisian
menyegel masjid An-Nasir milik Jemaat Ahmadiyah di Pekanbaru Kota
|
8 Desember
2012
|
Komunitas
Melayu Riau bersatu memprotes pembangunan gapura di kawasan China Town di
Jalan Karet Pekanbaru
|
1 Agustus 2011
|
Gereja Batak
Karo Protestan, Kecamatan Logas Tanah Darat Kuantan Singingi dibakar kelompok
intoleran. Gereja sedang tahap pengecatan saat dibakar.
|
1 Agustus 2011
|
Gereja Pantakosta di Indonesia (GPDI)
dibakar kelompok intoleran. Massa sempat minta keluarga pendeta GPDI keluar
dari rumah. Peristiwa terjadi di Kecamatan Pengeran Kuantan Singingi
|
2 Agustus 2011
|
Gereja
Methodist Indonesia, Kecamatan Pangeran Kuantan Singingi dibakar warga
intoleran. Gereja dibakar di hari kedua bulan puasa tahun 2011.
|
7 Agustus 2015
|
Larangan tidak
boleh beribadah oleh Kepala Desa Sungai Paku, Kecamatan Kampar Kiri,
Kabupaten Kampar, Riau. Alasannya karena akan ada penyerangan
|
17 Januari
2016
|
Pengrusakan
gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI) di desa Sungai Paku Kecamatan
Kampar Kiri, Kabupaten Kampar
|
1 April 2016
|
Pembubaran
diskusi Batas Arus Pekanbaru yang bekerjasama dengan HMI dan Jaringan Aktivis
Filsafat Islam (JAKFI). Terjadi kekerasan terhadap peserta diskusi serta
kekerasan dan penyekapan terhadap pembicara yang dituduh Syiah. Kejadian
terjadi di Jalan Melayu Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai,
Pekanbaru.
|
Keterangan
: Diolah dari berbagai sumber dokumen dan wawancara
Secara
umum, kasus-kasus kekerasan berbasis agama di atas disinyalir tidak terjadi
secara tiba-tiba. Tetapi dilatarbelakangi oleh beberapa kebijakan pemerintah
pusat, yang secara langsung dan tidak langsung menyesatkan beberapa kelompok
agama, dan mengeluarkan kebijakan terkait pendirian rumah ibadah. Itu semua
seperti mengobarkan permusuhan dan membesarkan konflik berbau agama.
Dan
situasinya bertambah buruk dengan munculnya beberapa kebijakan di daerah Riau
yang mengeluarkan kebijakan atau edaran pelarangan aktivitas keagamaan
tertentu, seperti Surat Walikota Pekanbaru tanggal 12 Oktober 2010 dan 16
November 2010 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Tuah
Karya, serta Surat Bupati Kampar tanggal 16 Februari 2011 tentang Penghentian
Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Koto Bangun dan Koto Baru, Kecamatan Tapung Hilir,
Kabupaten Kampar.
D. Polisi dan Proses Hukum yang
Macet
Sekian
kasus kekerasan terjadi, berulang-ulang, dan hanya satu kasus berproses secara
hukum yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Provinsi Riau. Kasus yang
saat ini berproses hukum di kepolisian ialah pengrusakan gereja Sidang
Pantekosta di Indonesia (GSPDI) yang terjadi di Desa Sungai Paku Kecamatan
Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Kasusnya terjadi pada tanggal 17
Januari 2016.
Kasus
pengrusakan gereja ini ditangani oleh Kepolisian Daerah Riau Resort Kampar. Dan
pihak gereja yang dikoordinatori Timbul Jadi P. Siahaan telah menerima
pemberintahuan perkembangan hasil penelitian laporan yang ditanda tangani pada
20 Januari 2016,. Isi surat intinya Kepolisian Resor Kampar memberitahukan
bahwa laporan/pengaduan telah diterima dan akan dilakukan
penyidikan/penyelidikan dalam waktu 60 hari. Pihak kepolisian juga telah
menunjuk personel yang akan melakukan penyidikan.
Musthofa,
pengacara LBH menyatakan bahwa kasus pengrusakan tempat ibadah di Desa Sungai
Paku, Kecamatan Kampar – awalnya ditangani oleh Polses setempat. Merasa tidak
mampu, Polses menyerahkan kasusnya ke Polres Kampar. Alasannya personel sedikit
dan pihak Polres Kampar dinilai akan lebih mempuni untuk menangani kasus
sekelas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Rian
Sibarani, pengacara publik LBH Riau juga menuturkan bahwa sewaktu kejadian
pengrusakan, sebenarnya ada polisi dan hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempat kejadian. Tetapi polisi
membiarkan peristiwa kekerasan terjadi. Walau demikian, korban dari pihak
gereja tetapi butuh kepolisian dan kemudian langsung melapor. Ketika berproses
hukum, para korban minta bantuan LBH Rau untuk menjadi pendamping hukum.
“Saat ini sedang proses
hukum. Penyidikan dan penyelidikan masih dilakukan. Pemanggilan saksi-saksi
mulai RT, Kepala Dusun, dan lain-lain masih dilakuan. Masalahnya pelaku kekerasan belum ada yang
ditangkap dan ditahan.”
Kasus pengrusakan yang terjadi di gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI)
menurut Rian sangat rumit. Karena, sebenarnya telah terjadi proses pertemuan
lintas sektoral, utamanya dengan FKUB dan didalamnya mempermasalahkan idzin
bangunan gereja.
“Setiap melaksanakan
ibadah, polisi selalu mengawal. Setelah kekerasan terjadi, masih terjadi proses
menghalang-halangi. Jalan diblokir oleh sekelompok massa yang berjumlah sekitar
100 orang. Massa yang memblokir sebelumnya berkumpul di kantor desa, lalu
dikawal oleh polisi. Dan sewaktu peristiwa terjadi, sebenarnya polisi ada di
tempat kejadian. Tetapi umat kristiani yang beribadah disuruh pulang, hingga
sisa penghuni gereja. Dan setelah itu terjadilah pengrusakan.”
Tambah Rian Sibarani.
Pengakuan
proses hukum jug diakui oleh Andi Wijaya, pengacara publik LBH yang mendampingi
secara langsung kasus pengrusakan gereja GSPDI. Ia menyatakan bahwa awalnya
Kepolisian Resort Kampar terlihat progress. Responnya baik. Masalahnya, kasus
ini sampai saat ini tidak ada penyelesaian yang jelas. Pelaku pengrusakan
tempat ibadah tidak ada yang ditahan. Dan pengakuan dari korban, para pelaku
kekerasan telah mendatangi kepolisian Resor Kampar dan meminta kasus
pengrusakan tidak diproses. Para pelaku mendatangi Kapolres dan mendesak untuk
menutup kasus.
Dengan
demikian, penyelesaian kasus pengrusakan gereja Sidang Pantekosta di Indonesia
(GSPDI) penuh dengan ketidakpastian. Pihak gereja yang dirusak tempat ibadahnya
seperti dibiarkan dan seakan dipersalahkan atas perilakunya melaksanakan
ibadah. Dan ketakutan masih hidup dalam diri mereka karena intimidasi atas beragam
kesalahan masih terus digulirkan. Dan ketidakpastian proses hukum pengrusakan
gereja GSPDI sejalan dengan pembiaran praktek kekerasan yang menimpa kelompok
agama dan kepercayaan lain di Provinsi Riau.
Secara
umum Andi mengutarakan bahwa pihak kepolisian tidak aktif melindungi korban
kekerasan berbasis agama dan memproses hukum pengrusakan beberapa tempat
ibadah. Kepolisian hanya aktif meminta data anggota umat kristiani dan atau
umat Ahmadiyah. Tetapi tidak jelas untuk apa data akan dipergunakan. Sebabnya,
dalam beberapa kasus kekerasan berbasis agama, polisi selalu ada dan
menyaksikan bagaimana pengrusakan tempat ibadah dan kekerasan dilakukan oleh
sekompok orang yang intoleran.
Lebih
lanjut Andi mengutarakan, walau kasus kekerasan dan pengrusakan atas nama agama
di Riau cukup banyak, tetapi tidak ada yang diproses hukum. Kalau pun ada yang
melapor seperti GSPDI, itu pun tidak jelas penyelesaiannya. Dan kasus-kasus
kekerasan yang menimpa Ahmadiyah walau pun sangat nyata masjid yang dirusak dan
jelas beberapa orang yang telah diancam akan dibunuh, tapi proses hukumnya
tetap tidak ada. Masalahnya cukup rumit karena kekerasan yang terjadi terlegitimasi
struktur dari tingkat paling bawah seperti
RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, sampai dengan Walikota dan Bupati
yang aktif menyesatkan dan mempersalahkan keyakinan.
Dalam
banyak kasus, polisi hanya menjadi saksi bagaimana kekerasan, pengrusakan dan
intimidasi dilakukan. Tindak pidana itu dibiarkan berlangsung. Dan bahkan,
sempat Jemaat Ahmadiyah misal mengirimkan surat untuk meminta perlindungan
pihak kepolisian untuk melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri, tetapi jawaban
kepolisian menolak untuk melindungi dengan alasan sudah ada Surat Walikota yang
melarang aktivitas Ahmadiyah.
Padahal,
kepolisian semestinya tunduk pada perintah konsitusi, aturan tertinggi negara
Indonesia. Pasal 30 UUD 1945 berbunyi, “Kepolisian Ripublik Indonesia adalah alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Juga mandat Pasal 4 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang menyatakan bahwa :
“Kepolisian Negara Ripublik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya ketentraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Dan lewat mandat konstitusi juga, kepolisian semestinya memahami bahwa
hak beragama dan berkeyakinan merupakan yang bersifat tidak bisa dikurangi dan
atau dicabut dalam kondisi apa pun (non derogable rights). Pasal 28I
ayat 1 berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Dan dalam konstitusi juga ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk
memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Pasal 29 ayat 2
UUD 1945 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
E. Pemangku Kebijakan dan Eklusifisme
Pemangku
kebijakan, baik itu pemerintah daerah, kepolisian, dan atau pemerintah pusat,
semestinya memijakkan kebijakannya pada konstitusi. Di mana dalam preambule
konstitusi ditegaskan bahwa pembentukan pemerintahan negara Indonesia ditujukan
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan
membaca preambule konstitusi ini, terbaca jelas di mana posisi negara dan
pemerintahan Indonesia ini dibentuk. Bahwa negara dan pemerintahan Indonesia
bukanlah hanya untuk sekelompok etnis dan agama, tetapi untuk semua orang,
segenap orang yang hidup di negara ini. Karena itu, konstitusi lewat Pasal 27
ayat 1 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Dan
ihawal kehidupan beragama, berkeyakinan dan melaksanakan ibadah, konstitusi
juga telah memberikan keterangan dan rambu-rambu yang jelas. Di mana dalam
konstitusi ditegaskan bahwa setiap orang berhak memeluk agama, menjamin setiap
orang untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dan konstitusi
cukup terang menyebut bahwa hak beragama dikatagorikan sebagai hak yang
bersifat asasi, internum pada setiap pribadi manusia dan bersifat tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.
Namun
demikian, mandat konstitusi yang mengakui keberagamaan yang plural, sepertinya
tidak dapat dipahami dengan jernih oleh para pemangku kebijakan di Indonesia.
Pemerintah daerah, pemerintah pusat dan pihak kepolisian yang bekerja di sektor
perlindungan dan penegakan hukum. Para pemangku kebijakan terseret oleh suara
dan kepentingan eksklusif kelompok keagamaan yang mengatasnamakan ‘mayoritas’.
Pemangku kebijakan tunduk dan patuh digerakkan kelompok-kelompok keagamaan
ekslusif. Kepatuhan itu lalu berlanjut pada pembiaran, dan bahkan terlibat aktif mendorong dan membuat kebijakan
yang mengucilkan kelompok keagamaan minoritas.
Membaca
problematika cara pandang eksklusif pemerintahan dan kelompok mayoritas muslim,
menarik membaca pendapat Ariel Haryanto. Menurutnya, sebagian besar penduduk
Indonesia saat ini sedang mencoba merumuskan ulang identitas mereka. Ini adalah
masa yang tak terduga, penuh dengan janji akan kebebasan, tetapi pada saat yang
sama juga ketakutan dan kekhawatiran.
Masa yang ditandai dengan peningkatan politik islami, perdebatan publik
tentang pelanggaran hak asasi manusia, perpecahan yang berkepanjangan dan tak
terdamaikan di kalangan elit politik, bangkitnya kekuatan ekonomi Asian serta
revolusi komunikasi digital yang disambut secara bergairah oleh kaum muda.
Menurut
Ariel Haryanto, islamisasi telah menjadi satu-satunya yang paling mencolok mewarnai dekade pertama
Indonesia pasca Orde Baru. Walau pun, islamisasi di Indonesia sebenarnya
memiliki sejarah lebih panjang dengan kebangkitan dramatis Islam dalam
kehidupan publik pada decade 1990-an. Hingga tingkat tertentu, islamisasi telah
menentukan kerangka, batas-batas, dan isi pergulatan kekuasaan di Indonesia
pasca orde baru.
Berangkat
dari pemikiran Ariel Haryanto, pemerintah dan penduduk Indonesia yang mayoritas
muslim, saat ini sedang pada tahap pergulatan pencarian identitas baru. Walau
pun secara konstitusional negara Indonesia telah menegaskan jaminan akan
pluralitas agama dan keyakinan, tetapi di level sosial dan praktis politis
selalu muncul problematika karena terjadi perebutan ruang kekuasaan yang hendak
saling mengalahkan; saling menundukkan antar kelompok yang mengatasnamakan
mayoritas dan minoritas. Apalagi dalam bacaan yang luas, kerangka dan batas keslaman
secara publik, ruang itu telah dikuasai dan ditentukan oleh kelompok politik yang
katatanya mewakili kepentingan mayoritas.
Di
tengah polemik tarik menarik dan tren politik keberagamaan saat ini, yang
penting untuk diluruskan ialah identitas kebangsaan dan kenegaraan yang telah
dimandatkan konstitusi. Rujukan selalu kesana, dan orientasi kebijakan
pemerintah dan atau penegak hukum mesti diarahkan sesuai dengan mandat konstitusional
itu. Perdebatan identitas dan jati diri negara : apakah akan berideologi agama
atau kebangsaan? Problemtika itu telah diputuskan. Para pendiri bangsa dengan
kesadarannya atas pluralitas dan keberagaman penduduk yang hidup di Indonesia, memilih
Pancasila sebagai ideologi dan menggunakan demokrasi sebagai sistem
pemerintahannya. Pilihan kebangsaan yang bhinneka tunggal ika tersebut telah disahkan
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam
konteks kehidupan sosial dan cara berfikir keberagamaan historis di Riau,
sebenarnya tidak tidak ada jejak paradigma ajaran agama yang merusak. Nilai
agung agama Islam sebagai keyakinan mayoritas telah memperkuat nilai budaya
melayu dan masyarakatnya yang toleran dan ramah.
Cara berfikir keagamaan orang Melayu, yang didalamnya daerah Riau cenderung
memiliki kesamaan dengan pemahaman Ahlussunnah
wal Jama’ah yang digariskan oleh Nahdlatul Ulama (NU), di mana cara
berfikirnya cenderung kompromistis, toleran, memilih jalan penyelesaian secara
damai, patuh dan sangat menghargai para ulama’ serta mengekalkan nilai-nilai
tradisional dan kultural.
Dengan
pemikiran di atas, tata kelola kebijakan Provinsi Riau memiliki potensi untuk
kembali pada cara berfikir sosial keagamaannnya yang toleran; kembali pada
mandat konstitusi yang menegaskan pengakuan keberagaman, dan polisi sebagai aparat
negara mesti tercerahkan akan tugasnya untuk melindungi dan menegakkan hukum
kepada semua orang tanpa diskriminasi. Jalan pikiran ini juga memandatkan
kepada pemerintah daerah Riau khususnya dan pemerintah pusat umumnya, untuk
segera mencabut semua peraturan, kebijakan dan surat edaran yang secara
langsung dan atau tidak langsung menstimulasi praktek-praktek kekerasan yang
terus terjadi di tingkat akar rumput.
F. Kesimpulan
Dari
pemarapan di atas dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, kekerasan berbasis agama di provinsi Riau relatif banyak
terjadi. Bentuk-bentuk kekerasan meliputi penyegelan, pengrusakan tempat
ibadah, intimidasi akan dibunuh, pembubaran diskusi kelompok yang dinilai
berbau aliran syi’ah dan penyekapan. Kekerasan berbasis agama terjadi di
internal agama dan antar agama. Internal agama menimpa penganut Ahmadiyah dan
kelompok yang dituduh berafiliasi dengan Syi’ah, dan antar agama menimpa umat
Kristen dan Konghucu.
Kedua,
konflik keberagamaan yang terjadi di provinsi Riau tidak terjadi tiba-tiba,
tapi distimulasi oleh peraturan dan kebijakan pemerintah pusat yang langsung
dan tidak langsung menyesatkan dan mempermasalahkan kelompok tertentu. Fatwa
MUI juga menjadi sumber yang mendorong praktek penyesatan dan tindak kekerasan.
Pemerintah Daerah Riau sendiri mengeluarkan surat edaran diskriminatif, yaitu :
Surat Walikota Pekanbaru tanggal 12 Oktober 2010 dan 16 November 2010 tentang
Penghentian Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Tuah Karya, serta Surat
Bupati Kampar tanggal 16 Februari 2011 tentang Penghentian Kegiatan Jemaat
Ahmadiyah di Koto Bangun dan Koto Baru, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten
Kampar.
Ketiga,
legitimasi peraturan dan surat edaran pemerintah daerah kemudian berdampak pada
pembiaran terjadinya kekerasan berbasis agama, pengrusakan tempat ibadah, intimidasi
atas nama agama, bahkan pemerintah daerah dan kepolisian menjadi saksi
bagaimana praktek kekerasan dan pengrusakan tempat ibadah dilakukan oleh sekelompok
orang intoleran. Dan kekerasan berbasis agama tidak ada yang terproses secara
hukum. Hanya satu, itu pun belum jelas penyelesaiannya dan tidak ada pelaku
pengrusakan yang ditahan. Akibat tidak ada proses hukum yang jelas, kekerasan
berbasis agama di Provinsi Riau terjadi berulang-ulang, tidak ada penjeraan
terhadap pelaku kekerasan, dan kelompok intoleran seperti mendapatkan pembenaran
untuk terus menerus melaksanakan aksi teror dan menyebar ketakutan terhadap
kelompok agama atau keyakinan yang dinilai sesat dan salah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Ariel Haryanto, Identitas dan Kenikmatan : Politik Budaya
Layar Indonesia, Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2015, Jakarta
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis : Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004
F. Harianto Santoso, Profil Daerah Kabupaten dan Kota Jilid 2,
Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Cet. II 2003, Jakarta
Husni Tamrin (editor), Dinamika Sosial Keagamaan : Seri Proceding
Hasil Penelitian, Penerbit Yayasan Pustaka Riau bekerjasama dengan Lembaga
Penelitian dan Pengembangan UIN Suska Riau, Riau
Husnu Abbadi, Eksistensi Aliran-Aliran Keagamaan dalam Islam, UNRI Press,
Pekanbaru, 2008
Ilham Prisgunanto, Komunikasi dan Polisi : Bias Selebritas,
Geng Motor, Ranah Publik, Konvergensi Simbolik, CV Prisani Cendekia,
Jakarta, 2012
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2002
Mahdini, Islam dan Kebudayaan Melayu, Daulat Riau, Pekanbaru Riau, 2003
Muhammad A.S Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil
Society, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Asia Foundation, Jakarta, 2000
Rizal Akbar, Kontemplasi Filosofis Pembangunan Daerah, LPNU Press, Pekanbaru
Riau, 2005
S. Maimun, Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988
Majalah
dan Website ;
-
Suryadi, Realita Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Riau, Majalah Bahana Mahasiswa (Edisi Khusus), 17
Juli 2012
-
“Pasca
SKB dan Idul Fitri Masjid di Mahato Riau Diruntuhkan,” isamujahid.wordpress.com
Dokumen-Dokumen
:
-
Kronologi kejadian yang dibuat oleh
Pendeta Timbul Jadi P. Siahaan pada 1 Januari 2016
-
Surat Pemberitahun Perkembangan Hasil
Penelitian Laporan Kepolisian Daerah Riau, Resor Kampar
- Surat Penggunaan Masjid Ahmadiyah untuk
Sholat Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Surat ditujukan kepada Kepala Polisi Resort
Kota (Kapolresta) Pekanbaru, Provinsi Riau. Surat juga ditembukan ke Kapolsek
Tampan, Lurah Sukaramai dan Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru
- Laporan Pelaksanaan Dialog Adanya Protes
Masyarakat Desa Sungai Paku Kecamatan Kampar Kiri terkait Kediaman Timbul Jadi
P. Siahaan yang dijadikan Tempat Ibadah Umat Kristinai
- Permohonan idzin beribadah setipa minggu
di rumah Timbul Jadi P. Siahaan, ditujukan kepada Kepala Desa Sungai Paku.
Tembusan kepada Camat Kampar Kiri, Ketua FKUB Kabupaten Kampar dan Bupati
Kampar
-
Undangan rapat/sosialisasi FKUB terkait
kegiatan ibadah di rumah Timbul Jadi P. Siahaan
-
Surat kepada Direktur LBH Pekanbaru
terkait penyegelan masjid Ahmadiyah oleh FPI. Surat ditembuskan kepada Wakil
Gubernur Provinsi Riau, Kepala Badan Kesbang, Politik dan Linmas Provinsi Riau,
Kepala Kejaksaan Negeri Kodya Pekanbaru selaku ketua Pakem, Kapolda Riau dan
Kepala Kementrian Agama Provinsi Riau
-
Surat LBH Pekanbaru yang ditujukan
kepada Walikota Pekanbaru terkait Surat Permohonan Peninjauan Ulang dan atau
Pencabutan Surat Keputusan Walikota Pekanbaru Nomor : 450/BPKBPPM/636
tertanggal 12 Oktober 2010 dan Surat Nomor : 450/BKBPPM/749 tertanggal 16
November 2010 perihal Menghentikan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Pekanbaru
-
Rilis kronologi pembubran diskusi JAKFI
Pekanbaru, HMI Pekanbaru dan Kelompok Diskusi Batas Arus Pekanbaru oleh
Kelompok Front Pembela Islam Pekanbaru
Helmi Karim, Peta Agama di Kabupaten Rokan Hulu,
dalam Husni Tamrin (editor), Dinamika
Sosial Keagamaan : Seri Proceding Hasil Penelitian, Penerbit Yayasan
Pustaka Riau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Suska
Riau, Riau, 2007, hlm131-133
Wawancara
Indra, Pengacara publik Riau, pada tanggal 15 Mei 2016
Wawancara Husnu
Abadi, Dosen Universitas Islam Riau, pada 18 Mei 2016
Wawancara
Aditya Bagus Santoso, Pengacara publik LBH Riau, pada 16 Mei 2016
Foto copy Surat
Pemberitahun Perkembangan Hasil Penelitian Laporan Kepolisian Daerah Riau,
Resor Kampar. Foto copy diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum, Provinsi Riau.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta : 2002, hlm. 26
Wawancara M.
Tupon, tokoh masyarakat, pada 20 Mei 2016
Rizal Akbar, Kontemplasi Filosofis Pembangunan Daerah,
Penerbit LPNU Press, Pekanbaru, 2005, hlm 112-113
0 comments:
Post a Comment